#Kitab Kuning Versi Jawa
Explore tagged Tumblr posts
kitabkuning99 · 5 years ago
Text
0813-5173-3881, Kitab Fiqih
0813-5173-3881, Kitab Kuning Versi Indonesia, Kitab Kuning Washoya, Kitab Kuning Waroqot, Kitab Kuning Wajib, Kitab Kuning Wali Songo, Kitab Kuning Ahlussunnah Wal Jama'ah, Kitab Kuning Yang Membahas Pernikahan, Kitab Kuning Yang Membahas Hubungan Suami Istri, Kitab Kuning Yang Sudah Diterjemahkan, Kitab Kuning Yang Berisi Cerita,
Tumblr media
Para santri tingkat awal belajar fiqih melalui kitab kecil seperti Safinah dan Taqrib. Ini kitab fiqih berdasarkan mazhab Syafi'i. Baru kemudian meningkat pada kitab syarh-nya seperti Kasyifatus Saja dan Fathul Qarib.
Tumblr media
Seiring naik tingkat, para santri akan mengenal kitab fiqih Syafi'i kelas menengah seperti Fathul Mu'in dan syarhnya seperti I'anah. Lanjut kemudian dengan kitab fiqih babon mazhab Syafi'i seperti Minhaj-nya Imam Nawawi.
Tumblr media
Dengan asumsi dasar-dasar fiqih Syafi'i sudah kokoh, para santri senior kemudian dikenalkan dengan keragaman pendapat di luar mazhab Syafi'i. Di bawah ini saya tuliskan sedikit catatan mengenai sejumlah kitab fiqih yang merangkum 4 mazhab fiqih: Syafi'i, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Di luar 4 mazhab juga ada mazhab lain seperti Zhahiri, Jafari, Zaidi dan mazhab lain yang sudah tak ada pengikutnya lagi seperti Abu Tsaur, Auza'i, Thabari.
Tumblr media
 Di luar itu juga masih ada opini lain dari individual ulama yang kadang kala berbeda dengan pendapat mazhabnya. Namun sekarang kita fokuskan saja dulu ke-4 mazhab.
Tumblr media
Yang saya cantumkan ini adalah kitab yang merangkum 4 mazhab, bukan kitab yang ditulis oleh ulama mazhab tertentu yang kemudian mencantumkan dan mengomparasikannya dengan mazhab lain--kitab kategori ini misalnya al-Mughni Ibn Qudamah, al-Majmu' Imam Nawawi atau Hasyiah Ibn Abidin.
Tumblr media
Pertama, kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil A'immah. Ini kitab fiqih yang merangkum pendapat dari keempat mazhab. Disusun berdasarkan bab fiqih standar. Tidak ada pencantuman dalil, diskusi maupun pandangan penulisnya. Ini hanya merangkum saja. Tidak lebih. Fungsinya hanya membantu kita mengetahui adakah perbedaan pendapat dalam satu kasus. Judul kitab ini menyifatkan pesan khusus bahwa perbedaan pendapat fiqih para imam mazhab itu adalah rahmat untuk umat. Kitab ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Tumblr media
Kedua, kitab al-Mizanul Kubra. Biasanya dicetak bareng dengan Kitab Rahmatul Ummah (pada hamisy atau pinggir). Dalam kitab ini sudah ada penjelasan singkat terhadap pendapat yang dirangkum, bahkan Imam Sya'rani pengarang kitab al-Mizanul Kubra ini juga memaparkan pandangannya dengan memberikan pertimbangan mana pendapat fiqih yang ringan dan mana yang berat untuk dilaksanakan. Rasanya belum ada kitab terjemahnya dalam bahasa Indonesia (CMIIW).
Tumblr media
Ketiga, kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd. Di pesantren modern seperti Gontor kitab ini dibaca oleh para santri senior, namun di pesantren salaf tidak semuanya mengajarkannya. Kitab ringkas 4 juz ini bukan saja merangkum perbedaan pendapat tapi juga menjelaskan sebab perselisihannya. Dalil juga dicantumkan hanya saja cukup terbatas. Saya rekomendasikan untuk membaca juga kitab Syarh-nya yang menjelaskan lebih detil mengenai dalil yang dicantumkan Ibn Rusyd. Maklum saja kitab ini memang sekedar permulaan saja (bidayah). Anda tidak bisa mengklaim sebagai mujtahid hanya karena membaca kitab ini. Kitab ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Tumblr media
Keempat, kitab yang lebih luas dari Bidayatul Mujtahid adalah kitab al-Fiqh 'ala Mazahabil Arba'ah. Kitab 5 jilid ini disusun oleh Abdurrahman al-Jaziri. Kitab ini sudah ada di aplikasi android (arab). Saya pernah lihat terjemahannya juga sudah ada di Gramedia. Pembahasannya lebih kengkap dari ketiga kitab di atas.
Tumblr media
Kelima, kitab al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah disebut-sebut sebagai yang paling lengkap merangkum opini 4 mazhab. Ditulis oleh kumpulan para ulama yang disponsori oleh pemerintah Kuwait. Terdiri dari 45 jilid yang pembahasannya berdasar alfabet arab. Jelas ini memudahkan untuk mencari topik pembahasan. Anda cukup mencari kata kunci dan melacaknya berdasarkan huruf hijaiyah. Tentu ini berbeda dengan kitab fiqih standar yang berdasarkan topik dan selalu dimulai dengan pembahasan masalah thaharah. Di bagian akhir kitab ensikopledia fiqih Kuwait ini memasukkan info mengenai nama dan bio singkat para fuqaha. Corak pembahasannya: setelah mengurai defenisi, kemudian menyebutkan persoalan pokok dalam entry fiqih yang sedang dibahas, setelah itu menyebutkan perbedaan pandangan para ulama yang diurai dengan sistematis berikut masing-masing dalilnya. Kelemahannya adalah tidak adanya diskusi maupun analisis perbandingan. Sedari awal ini disadari oleh penyusunnya dan itulah sebbanya mereka memilih judul mausu'ah atau ensiklopedia.
Tumblr media
Keenam, tentu masih ada kitab fiqih muqarin (perbandingan) lainnya seperti karya Syekh Wahbah al-Zuhaili yang berjudul al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu yang isinya 9 jilid dengan jilid ke-10 berisi index dan maraji'. Syekh Wahbah al-Zuhaili juga menulis Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami wa Al-Qadhaya Al-Mu’ashirah (14 jilid)
Tumblr media
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/76678/mengenal-kitab-kitab-fiqih-perbandingan-mazhab
Tumblr media
Kami melayani pembelian kitab kuning karya ulama salaf yang tak terbantahkan kealimannya
Pemesanan hubungi: 0813-5173-3881
Tumblr media
4 notes · View notes
menowo78 · 4 years ago
Photo
Tumblr media
Kamus lengkap Assalafy Versi kitab kuning Jawa - Indonesia (di Kediri) https://www.instagram.com/p/CE4giQ2puly/?igshid=kurfvqu3jopg
0 notes
hudaifi-blog · 7 years ago
Text
Kemanusiaan Gusdur dalam sehelai Kutang
"Kemanusiaan Gus Dur dalam Sehelai Kutang" Oleh: Daffy Al-Jugjawy Dari KH Abdul Fattah Hasyim, Gus Dur belajar betapa kemanusiaan sama pentingnya dengan hukum.Menghukum peserta didik adalah jalan termudah, tapi hukuman harus selalu menjadi cara mendidik yang lain. Pelajaran sangat berharga didapatkan Gus Dur saat menjadi kepala keamanan sebuah pondok pesantren. ------- “Gus Dur seharusnya tidak melaksanakan cita-cita separatisme mereka. Hal ini bukanlah apa yang kita harapkan dari seorang presiden. Ia seharusnya mendorong persatuan dan pembangunan,” kata Akbar Tandjung dalam Biografi Gus Dur (2004: 447) saat mengomentari cara pandang Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terhadap krisis di Irian Jaya. Tidak hanya Akbar Tandjung, sang Wakil Presiden, Megawati, juga mendukung kritik yang dilayangkan untuk Gus Dur. Hal tersebut terkait beberapa rencana Gus Dur untuk Irian Jaya. Seperti mengganti nama Irian Jaya yang sangat kental nuansa Orde Baru dengan nama Papua, sampai ucapan tentang simbol Bintang Kejora sebagai lambang kultural dan bukan ancaman. “Bintang kejora itu bendera kultural. Kalau kita anggap sebagai bendera politik salah kita sendiri,” kata Gus Dur saat itu. “Sepakbola saja punya bendera sendiri,” lanjutnya. Pandangan ini tentu memicu kontroversi. Setelah di periode Presiden BJ. Habibie, Timor Timur diberi referendum yang berakhir dengan kemerdekaan, pendekatan Gus Dur yang lebih lunak tergolong jadi hal baru pada era itu. Bukannya menumpas habis para separatis, Gus Dur malah memberi napas, menganggapnya sebagai bagian dari budaya bangsa, bahkan malah mencoba merangkul bersahabat dengan sikap kemanusiaan. Sikap yang bagi banyak kalangan sangat bertentangan, karena justru menyemai benih-benih perpecahan bangsa. Sepanjang sejarah, memang hanya Gus Dur Presiden Indonesia yang punya latar belakang santri. Akan tetapi, siapa sangka, justru dari pemikiran santri inilah lahir pengakuan agama Konghucu, tahun baru Imlek, sampai dengan yang paling kontroversialniatan mencabut TAP/MPRS 1966 soal ajaran marxisme-komunisme dan PKI serta berbagai implikasinya. Semua karena alasan yang sederhana, rasa kemanusiaan. Dari siapa Gus Dur belajar punya pandangan seperti ini? Setelah menempuh pendidikan pesantren di Tegalrejo, Magelang, dengan berguru pada Kiai Chudhori, Gus Dur diminta Kiai Haji Abdul Fattah Hasyim, pamannya, untuk membantu mengurus Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas di Jombang pada 1959. Usia Gus Dur saat itu sudah hampir 20 tahun. (Gus Dur, Siapa sih Sampeyan?, hal 20-21) Setelah mendapat restu dari Kiai Chudhori, Gus Dur membantu Kiai Fattah mengurus pesantren sebagai kepala keamanan pondok. Cerita ini didengar dari hasil diskusi dengan kawan-kawan komunitas Gusdurian Jogja dan juga pernah diceritakan ulang oleh K.H. Anwar Zahid, penceramah terkenal dari Bojonegoro, Jawa Timur. Diceritakan bahwa tugas Gus Dur sebagai kepala keamanan saat itu cukup sederhana. Yakni menindak santri yang melanggar peraturan, bahkan kalau perlu menghukum secara langsung. Dalam bahasa santri: "di-takzir”. Takzir dalam pondok pesantren ada level-levelnya. Digundul, disuruh membaca Alquran di halaman pesantren, menguras kamar mandi, sampai dengan level paling nakal adalah diusir dari pondok pesantren. Saat Gus Dur menjadi bagian keamanan pesantren, ia punya satu santri yang luar biasa nakal. “Saya geregatan sama santri nakal itu,” kata Gus Dur. Hal itu bahkan sampai membuat Gus Dur “niteni” atau mengincar setiap kesalahan yang diperbuatnya karena begitu jengkel. Bagaimana tidak jengkel jika kulit bedug di pesantren Tambakberas sering dipotong sedikit demi sedikit sampai membuatnya berlubang-lubang? “Siapa ini ada orang berani-beraninya mencuri kulit bedug masjid?” kata Gus Dur. Setelah diselidiki oleh bagian keamanan, akhirnya terjawab kenapa kulit bedug ini bisa hilang. Kulit bedug masjid yang terbuat dari kulit sapi asli ini dicuri salah satu santri. Setelah ketahuan siapa yang mencuri si santri dipanggil untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. “Kenapa kamu mencuri kulit bedug?” tanya Gus Dur, “Kamu jual ya? Biar dapat duit?” Si santri menunduk diam saja. Setelah didesak berulang kali akhirnya si santri menjawab, “Anu, Kang, digoreng buat lauk makan. Jadi krecek.” Sontak saja Gus Dur malah tertawa mendengar alasan si santri mencuri kulit bedug masjid. Dengan alasan itu, Gus Dur tidak menindaklanjutinya dengan takzir berlevel keras. Si santri tetap dihukum, tapi masih pada level-level ringan. Sayangnya, bukannya kapok, si santri ini tetap nakal. Salah satu bentuk kenakalannya adalah ia sering masuk ke kompleks pondok putri. Mengintip para santri putri. Masalahnya (baik Gus Dur maupun Kiai Anwar Zahid tidak menyebut nama si santri dalam ceramah), tidak pernah bisa ditemukan bukti-bukti yang bisa digunakan untuk melaporkan si santri kepada Kiai Fattah. Kenapa harus dilaporkan ke Kiai Fattah dan tidak ditindak oleh Gus Dur sendiri? Karena sudah jadi pandangan umum di pesantren, jika sebuah kasus pelanggaran sampai dibawa ke tingkat pengasuh, itu artinya pelanggaran yang dilakukan adalah pelanggaran tingkat tinggi. Dan hukuman yang menanti pun tingkatnya ada di level tertinggi pula, yaitu diusir dari pondok pesantren. Karena selalu gagal dalam melakukan “operasi tangkap tangan”, Gus Dur akhirnya memilih cara alternatif untuk bisa menangkap santri nakal ini dengan bukti serta alasan yang cukup kuat. Dalam kesimpulan Gus Dur, jika suka mengintip perempuan, itu berarti pikiran bocah ini pasti mesum. Dan karenanya pasti ada sesuatu di dalam lemarinya yang menunjukkan kemesuman itu. Akhirnya Gus Dur melakukan razia ke lemari-lemari santri putra. Benar saja, dalam lemari santri yang dimaksud, ditemukan sebuah kutang, yang setelah diselidiki memang salah satu kutang dari pondok putri. Gus Dur senang, karena dengan ini si santri akan mendapatkan hukuman tertinggi sesuai dengan hukum yang berlaku di pesantren. Dengan bungah Gus Dur pun menghadap ke Kiai Fattah sambil membawa kutang sebagai alat bukti. Begitu sudah sampai ndalem (kediaman) Kiai Fattah, Gus Dur mengeluarkan kutang curian tersebut. “Itu apa, Dur? Kenapa kamu bawa kutang kemari?” tanya Kiai Fattah heran. “Pak Kiai, ini hasil curian salah satu santri putra. Namanya Fulan bin Fulan. Dia sering ngintip ke pondok putri. Di dalam lemarinya saya temukan bukti ini,” kata Gus Dur, “Saya sama teman-teman dari keamanan pondok sepakat, agar santri ini bisa segera dikeluarkan.” “Oh, begitu,” kata Kiai Fattah. “Santri ini nakal banget, Kiai,” kata Gus Dur kepada pamannya. “Lho, santri nakal, kok, dilaporkan ke aku? Mau dikeluarkan lagi,” kata Kiai Fattah, “Kalau lapor ke aku, lapor santri yang sudah baik, sudah pintar, biar aku keluarkan dari pondok. Orang tua santri itu berharap anaknya pulang dari pondok biar jadi makin baik, bukan malah jadi tambah nakal,” tambah Kiai Fattah. Mendengar jawaban itu, Gus Dur heran. “Lha, terus gimana ini Kiai?” tanya Gus Dur. “Begini saja. Aku hargai musyawarah para pengurus keamanan. Karena kalian sudah sepakat untuk mengeluarkannya, ya sudah aku ya sepakat,” kata Kiai Fattah. Gus Dur tersenyum senang mendengarnya. “Keluar dari pondok, lalu masuk ke sini saja,” kata Kiai Fattah menunjuk kediamannya sendiri. Gus Dur terkejut mendengarnya. “Maksudnya, Kiai?” “Iya, dipindahkan ke sini. Ke ndalem. Rumahku. Kamu aturlah sama teman-temanmu. Pokoknya mulai hari ini santri itu dipindah ke sini,” kata Kiai Fattah menunjuk kediamannya sendiri. Meski bingung dengan perintah pamannya, pada akhirnya Gus Dur tetap menurut. Mengeluarkan si santri dari pondok, tapi malah memasukkannya ke ndalem Kiai Fattah. “Bukannya dikeluarkan, malah naik pangkat ini santri,” komentar teman-teman si santri. Pada akhirnya, karena kamarnya dekat dengan kamar Kiai Fattah, si santri jadi orang pertama yang selalu ditemui Kiai Fattah ketika bangun tidur, berangkat ngaji, sampai dengan salat tahajud. Ketika Kiai Fattah mengajar ngaji, si santri disuruh membawakan kitab dan menandai halaman-halamannya. Hal itu tanpa sadar membuat si santri mau tidak mau ikut belajar mengaji tanpa bisa membolos satu kali pun. Karena sering harus menandai bagian yang akan dimulai dan yang diakhiri, ia jadi belajar membaca kitab kuning. Selain itu, setiap Kiai Fattah akan salat, santri ini disuruh mempersiapkan tempat salat. Entah itu salat wajib atau pun sunah. Dengan pola seperti itu, akhirnya si santri terpaksa mengikuti laku hidup Kiai Fattah selama bertahun-tahun. Pada akhirnya, diawali dengan terpaksa, si santri jadi terbiasa dan benar-benar menjadi santri yang saleh. “Baik secara syariat, akhlak, maupun aturan pondok pesantren, ngintip ke dalam pondok putri adalah pelanggaran yang tidak bisa dibiarkan,” kata Gus Dur. Dari segala aspek hukum apapun si santri ini jelas salah. Dan keputusan Kiai Fattah benar-benar memberi pelajaran berharga bagi Gus Dur. Jika Kiai Fattah hanya ikut apa kata hukum saat itu, si santri memang benar harus diusir, pesantren jelas tidak akan rugi, Kiai Fattah tidak akan repot. Hanya saja santri tersebut akan kehilangan peluang untuk bisa berubah menjadi orang yang lebih baik. Dengan langkah sederhana, Kiai Fattah menunjukkan bahwa ada yang lebih penting daripada sekadar mengikuti nalar hukum, yaitu mengikuti nalar kemanusiaan. “Ternyata di atas hukum, masih perlu adanya rasa kemanusiaan,” kata Gus Dur. Dari cerita versi K.H. Anwar Zahid, santri ini kemudian menjadi kiai yang punya santri cukup banyak. Dan suatu ketika, Gus Dur dan santri ini bertemu. Dengan akrab Gus Dur pun bertanya, “Yang kamu curi dulu warnanya apa, Nda?” Keduanya pun tertawa terpingkal-pingkal. Tanpa menyadari, bahwa dari sanalah kemanusiaan untuk negeri ini lahir beberapa dekade tahun kemudian saat si kepala keamanan naik pangkat jadi kepala negara. Sumber: Tirto.id
0 notes