#Kiai Abdul Hamid
Explore tagged Tumblr posts
Text
Solid! Kiai se Kecamatan Batu Putih Siap Menangkan FAHAM di Pilkada Sumenep 2024
SUMENEP, MaduraPost – Para Kiai se Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, menyatakan dukungan mereka dan berkomitmen untuk memenangkan pasangan Fauzi-Imam (FAHAM) dalam Pilkada Sumenep 2024 mendatang. Pernyataan ini diungkapkan dalam acara silaturahmi yang dihadiri para kiai dan tokoh masyarakat pada Sabtu, 19 Oktober 2024, di wilayah Batu Putih. Abdul Hamid, salah satu…
#Achmad Fauzi Wongsojudo#Berita Sumenep#FAHAM#Kiai#Madurapost#pilkada Sumenep#Sumenep#tokoh masyarakat
0 notes
Text
Mengenal Kiai Marogan, Terkenal di Sumatera Selatan
Kyai Marogan terlahir dengan nama Masagus H Abdul Hamid bin Masagus H Mahmud. Namun bagi masyarakat Palembang, julukan “Kiai Marogan” lebih terkenal dibanding nama lengkapnya. Julukan Kiai Marogan dikarenakan lokasi masjid dan makamnya terletak di Muara sungai Ogan, anak sungai Musi, Kertapati Palembang.
Mengenai waktu kelahirannya, tidak ditemukan catatan yang pasti. Ada yang mengatakan, ia lahir sekitar tahun 1811, dan ada pula tahun 1802. Namun menurut sumber lisan dari zuriatnya, dan dihitung dari tahun wafatnya dalam usia 89 tahun, maka yang tepat adalah ia lahir tahun 1802, dan meninggal dunia pada 17 Rajab 1319 H yang bertepatan dengan 31 Oktober 1901.
Pada waktu Kiai Marogan lahir, kesultanan Palembang sedang dalam peperangan yang sengit dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Kiai Marogan dilahirkan oleh seorang ibu bernama Perawati yang keturunan Cina dan ayah yang bernama Masagus H Mahmud alias Kanang, keturunan ningrat Palembang. Dari surat panjang hasil keputusan Mahkamah Agama Saudi Arabia, diketahui silsilah keturunan Masagus H. Mahmud berasal dari sultan-sultan Palembang yang bernama susuhunan Abdurrahman Candi Walang.
✖

Nikmati LIVE report dan berita dari berbagai kota, rasakan menjadi Indonesia dengan TribunX
DOWNLOAD

Home
Palembang

Baca Selanjutnya:Kesaksian Warga Lihat Kapal Terbakar di Jembatan Ampera Sungai Musi, Suara Ledakan Begitu Besar
✖
Mengenal Kiai Marogan, Kisah Hidup Karomah dan Amalan Zikirnya yang Terkenal
Sabtu, 5 Januari 2019 11:31 WIB
Baca di App
Penulis: Erwanto | Editor: Prawira Maulana

TRIBUNSUMSEL.COM/AANG HAMDANI
A-A+
Kiai Merogan

DOWNLOAD
APLIKASI BERITA TRIBUNX
DI PLAYSTORE ATAU APPSTORE UNTUK MENDAPATKAN PENGALAMAN BARU
TRIBUNSUMSEL.COM PALEMBANG - Kyai Marogan terlahir dengan nama Masagus H Abdul Hamid bin Masagus H Mahmud.
Namun bagi masyarakat Palembang, julukan “Kiai Marogan” lebih terkenal dibanding nama lengkapnya.
Julukan Kiai Marogan dikarenakan lokasi masjid dan makamnya terletak di Muara sungai Ogan, anak sungai Musi, Kertapati Palembang.
Mengenai waktu kelahirannya, tidak ditemukan catatan yang pasti.
Ada yang mengatakan, ia lahir sekitar tahun 1811, dan ada pula tahun 1802.
Baca juga: Butuh tenaga kerja terbaik untuk bisnismu? Cari di sini!
Namun menurut sumber lisan dari zuriatnya, dan dihitung dari tahun wafatnya dalam usia 89 tahun, maka yang tepat adalah ia lahir tahun 1802, dan meninggal dunia pada 17 Rajab 1319 H yang bertepatan dengan 31 Oktober 1901.
Putra Kiai Ternama, Kekayaannya di Bawah Rp 1 Miliar! SOSOK Gus Yaqut yang Jadi Menteri Agama
Kiai Marogan dilahirkan oleh seorang ibu bernama Perawati yang keturunan Cina dan ayah yang bernama Masagus H Mahmud alias Kanang, keturunan ningrat Palembang.
Dari surat panjang hasil keputusan Mahkamah Agama Saudi Arabia, diketahui silsilah keturunan Masagus H. Mahmud berasal dari sultan-sultan Palembang yang bernama susuhunan Abdurrahman Candi Walang.
Berikut ini adalah silsilah beliau sampai ke Rasulullah:
Masagus Haji Abdul Hamid (Kiai Marogan) bin
Mgs. H. Mahmud Kanang bin
Mgs. Taruddin bin
Mgs. Komaruddin bin
Pangeran Wiro Kesumo Sukarjo bin
Pangeran Suryo Wikramo Kerik bin
Pangeran Suryo Wikramo Subakti bin
Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayyidul Imam bin
Pangeran Sedo Ing Pasarean (Pangeran Ratu Sultan Jamaluddin Mangkurat VI ) bin
Tumenggung Manco Negaro bin
Pangeran Adipati Sumedang bin
Pangeran Wiro Kesumo Cirebon (Tumenggung Mintik) bin
Sayyid Muhammad ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin
Sayyid Maulana Ishaq (Syeikh Al Umul Islam) bin
Sayyid Ibrahim Akbar bin
Sayyid Husain Jamaluddin Al Akbar bin
Sayyid Achmad Syah Jalal Umri bin
Sayyid Abdullah Azmatkhan bin
Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
Sayyid Alwi bin
Sayyid Muhammad Shohib Mirbat bin
Sayyid Ali Khaliq Qosam bin
Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin
Sayyid Alwi bin Sayyid Abdullah bin
Sayyid Ahmad Al Muhajir bin
Sayyid Isa Arrumi bin
Sayyid Muhammad An Naqib bin
Sayyid Ali Al Ridho bin Sayyid Ja’far Shidiq bin
Sayyid Muhammad Al Baqir bin
Sayyid Ali Zainal Abidin bin
Sayyidina Husain bin (Ali bin Abi Tholib dan Fatimah Az Zahro binti “Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam
Kiai Marogan (Mgs.H. Abdul Hamid) dan saudaranya Mgs.H Abdul Aziz. terlahir dari perkawinan orangtuanya (Ayah) yang bernama Mgs. H. Mahmud dan (ibu) Perawati (keturunan Cina) adapun saudaranya yang lain (Lain Ibu) bernama Masayu (Msy) Khadijah dan Msy Hamidah.
Kiai Marogan hanya memiliki seorang adik yang bernama Masagus KH Abdul Aziz, yang juga menjadi seorang ulama dengan sebutan Kiai Mudo.
Sebutan ini dikarenakan ia lebih muda dari Kiai Marogan. Kiai Mudo lebih dikenal di daerah Muara Enim seperti Gumay, Kertomulyo, Betung, Sukarame, Gelumbang, Lembak dan sekitarnya.
Sebagai anak yang lahir dan dibesarkan dari keluarga bangsawan, Kiai Marogan memperoleh pendidikan agama dengan istimewa.
Hal ini dikarenakan di dalam lingkungan kesultanan Palembang, agama Islam mempunyai tempat yang terhormat, di mana hubungan antara negara dan agama sangat erat, sebagaimana dibuktikan oleh birokrasi agama di istana Palembang.
Birokrasi ini dipimpin oleh seorang pegawai dengan gelar Pangeran Penghulu Naga Agama. Di samping itu, Kiai Marogan memperoleh pendidikan langsung dari orangtuanya yang ternyata merupakan seorang ulama besar yang lama belajar di Mekah di bawah bimbingan ulama besar seperti Syekh Abdush Shomad al-Falimbani.
Setelah wafat, ayah Kiai Marogan dimakamkan di negeri Aden, Yaman Selatan.
Melihat kecerdasan Kiai Marogan dalam menyerap ilmu agama kemudian orang tuanya mengirimkannya ke Mekah untuk belajar mendalami ilmu-ilmu agama.
Kiai Marogan tercatat pernah belajar ilmu-ilmu agama seperti ilmu fiqih, hadits dan tasawuf. Hal ini dapat diperoleh dari isnad-isnad yang ditulis oleh Syekh Yasin al-Fadani, mudir (pimpinan) Madrasah Darul Ulum Mekah.
Dasar-dasar pendidikan agamanya diberikan oleh ayahnya sendiri, Ki. Mgs. H. Mahmud Kanang yang juga sebagai sufi kelana dan wafat di Kota Aden –Yaman, yang makamnya terkenal dengan nama “Kubah al-Jawi”.
Ketika remaja Abdul Hamid belajar berbagai disiplin ilmu agama Islam kepada ulama-ulama besar Palembang waktu itu seperti: Syekh Pangeran Surya Kusuma Muhammad Arsyad (w.1884), Syekh Kemas Muhammad bin Ahmad (w.1837), Syekh Datuk Muhammad Akib (w.1849), dll. Ia berpegang kepada akidah ahlussunnah wal jamaah, bermazhabkan Imam Syafei.
Sedang di bidang tasawwuf, ia mengamalkan dan mendapat ijazah Tarekat Sammaniyah dari ayahnya sendiri dan Tarekat Naqsyabandiyah dari para gurunya. Selanjutnya ia meneruskan studinya ke tanah suci, terutama Makkah dan Madinah kepada gurunya Sayid Ahmad Zaini Dahlan, Sayid Ahmad Dimyati dan Syekh Ahmad Khatib Sambas.
Sedangkan kawan seperguruannya saat itu antara lain Imam Nawawi Banten (1813-1897), KH. Kholil Bangkalan (1820-1925), KH. Mahfuz Termas (1824-1920), Kgs. Abdullah bin Ma’ruf, dan lain-lain.
Setelah merampungkan studinya di tanah suci, ia berkeinginan untuk hijrah ke Masjidil Aqsa, namun niat tersebut diurungkannya. Karena ia memperoleh petunjuk bahwa negerinya masih sangat memerlukannya, dimana beliau meninggalkan dua anak yatim yang tak lain Masjid Kiai Merogan dan Masjid Lawang Kidul.
Kiai Marogan memiliki dua orang isteri yang bernama Masayu Maznah dan Raden Ayu salmah.
Dari pernikahannya ia dikarunia tiga putra putri yaitu Masagus H Abu Mansyur, Masagus H Usman, dan Masayu Zuhro.
Pada masa mudanya Kiai Marogan dikenal giat berbisnis di bidang saw-mill atau perkayuan. Ia memiliki dua buah pabrik penggergajian kayu.
Bakat bisnis mungkin diperoleh dari ibunya yang merupakan keturunan Cina. Berkat sukses dalam bisnis kayu ini memungkinkan Kiai Marogan untuk pulang pergi ke tanah suci dan menjalankan kegiatan penyebaran dakwah di pedalaman Sumatra Selatan.
Dari hasil usaha kayu ini juga Kiai Marogan mampu mendirikan sejumlah masjid yang diperuntukkan sebagai pusat pengajian dan dakwah.
Banyak ajaran Kiai Marogan yang masih melekat di sebagian penduduk Palembang, di antaranya adalah sebuah dzikir:
“La ilaha Illallahul Malikul Haqqul Mubin Muhammadur Rasulullah Shadiqul Wa’dul Amin”,
yang artinya “Tiada Tuhan Selain Allah, Raja Yang Benar dan Nyata, Muhammad adalah Rasulullah Yang Jujur dan Amanah.”
Dzikir yang diamalkan oleh Kiai Marogan di atas, ternyata sumbernya di dalam hadits. Dari Sayyidina Ali Ra Karramallahu wajhahu berkata, Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa setiap hari membaca 100 x Lailahaillah al-Maliku al-Haqqu al-Mubin, maka ia akan aman dari kefakiran, jadi kaya, tenang di alam kubur, dan mengetuk pintu surga."
Konon, amalan zikir ini dibaca oleh Kiai Marogan dan murid-muridnya dalam perjalanan di atas perahu. Sambil mengayuh perahu, beliau menyuruh murid-muridnya mengucapkan zikir tersebut berulang-ulang sepanjang perjalanan dengan suara lantang.
Zikir ini dapat menjadi tanda dan ciri khas penduduk apabila ingin mengetahui Kiai Marogan melewati daerahnya.
Amalan zikir ini ternyata sampai sekarang masih dibaca oleh Wong Palembang, khususnya kaum Ibu-ibu ketika menggendong anak bayi untuk menimang atau menidurkan anaknya dengan irama yang khas dan berulang-ulang.
Dan dzikir ini juga dipakai oleh penduduk untuk mengantarkan mayit sambil mengusung keranda sampai ke pemakaman.
Di antara karomah yang melegenda Kiai Marogan ketika masih hidup dan masih diingat sampai sekarang oleh wong Palembang, yaitu:
Ki Muara Ogan panggilan akrabnya, kemana-mana pergi untuk mengajar dan menyebarkan Agama Islam selalu menggunakan perahu, bila tempat mengajar yang tetap maka ia akan mendirikan mesjid disana.
Suatu ketika saat menuju ketempat mengajar, Ki Muara Ogan menasehati pada muridnya,”Murid-muridku sekalian ikuti apa yang akan aku ajarkan ini.”
“Baik guru,”jawab muridnya sambil mendayungkan perahu menuju ke lokasi di tempat ia mengajar.
Dalam perjalanan itu Ki Muara Ogan menuturkan ,”Baik demikian amalan itu, La illaha illahu malikul hakul mubin Muhammad Rasulullah Shodikul wa adil Amin,” begitu juga murid mengikuti apa yang disampaikan ulama tersebut. Ki Muara Ogan sepulang dari memberikan petuah-agamanya, ia kembali menuju ketempat tinggalnya, yaitu berada di Kertapati , hingga sekarang mesjid itu masih berdiri kokoh.
Begitu besar keyakinanya pada Allah, ketika itu di zaman pemerintahan penjajahan Belanda, seorang dari prajurit Belanda berkata pada Ki Muara Ogan,” tanah untuk kereta api ini harus di perluas.”
Ki Muara Ogan dengan tenang menjawab,”Tanah itu akan menggeser tanah pabrik kayu milik kami.”
“Kami tahu tuan, tapi perluasan tanah ini untuk kepentingan masarakat banyak,” ungkap prajurit utusan Belanda itu kepada Ki Muara Ogan. Ki Muara Ogan menganggukan kepala , “baik kami ikhlas ini untuk kepentingan masarakat dan negera, silahkan.”
Setelah itu pabrik kayu milik Ki Muara Ogan ini dipindahkan ke Kampung Karang Anyar, dan pabrik ini diberikan pada Mgs H M Abumansur.
Tanah wakap milik Ki Muara Ogan itu, hingga kini jadi milik PT Kereta Api.
Pada saat itu, Ki Muara Ogan tengah mengadakan ceramah, yaitu berada di Mesjid Ki Muara Ogan Kertapati, sehingga terdengar dengan sangat lantangnya,”Bumi berserta isinya adalah milik Allah ,” Jemaah mendengarkan itu dengan penuh perhatian sekali, sehingga terasa sejuk dan nyaman bagi siapa yang mendengarkan pada waktu itu.
Di saat itu tak lupa beberapa orang Belanda mendengarkan dan menyaksikan ceramah yang disampaikan oleh Ki Muara Ogan tersebut, tentu tugas mereka hanya untuk mengawasi kegiatan yang dilakukan Ki Muara Ogan.
Kembali terdengar dengan lantang apa yang disampaikan oleh Ki Muara Ogan, yang menyampaikan petuahnya pada jamaah,”Kekuasaan Allah itu adalah maha besar, jika ia berkata jadi maka jadilah ia.”
Penuh perhatian sekali jamaah menyimaknya, sehingga kembali terdengar seruannya,”Allah mengetahui apa-apa yang tidak di ketahui oleh manusia.”
Seorang hadirin bertanya,”Guru apa misalnya kekuasaan Allah yang tidak mungkin di ketahui oleh manusia itu ?
“Begini ,”kata Ki Muara Ogan sambil ia berdiri dihadapan para jamaahnya.”Misalnya tiap-tiap ada air didalamnya selalu akan ada ikannya”
Mendengar itu spontan seorang prajurit Belanda yang tengah mengawasi Ki Muara Ogan dari sejak tadi, tiba-tiba berkata,”Bagaimana dengan air kelapa, apakah ada juga ikannya?”
“Insya Allah jika Allah menghendaki maka ikan itu akan ada,” tegas Ki Muara Ogan sembari mulut tetap berkomat- kamit menyebut nama Allah.
Serta merta prajurit itu pandangannya mengarah keluar mesjid,”Ki apakah kelapa itu juga ada ikanya?” kembali prajutit itu menunjukan pada sebuah pohon kelapa yang ada di luar.
Serentak Ki Muara Ogan berserta dengan para jamaahnya menuju keluar, untuk membuktikan kekuasaan Allah tersebut.
Maka di perintahkanlah seorang murid Ki Muara Ogan memanjat sebuah pohon kelapa, sejenak saja sebuah pohon kelapa di letakan di hadapan Ki Muara Ogan juga disaksikan oleh para jamaah lainya yang hadir pada saat itu.Sehingga pada waktu itu juga, di persilahkan oleh Ki Muara Ogan pada prajurit Belanda itu sendiri untuk membuktikan kebesaran Allah pada penciptanya.
Pada saat itu juga dengan tiba-tiba sekali, prajurit Belanda itu segera memotong kelapa yang ada di hadapannya waktu itu, sungguh hal yang sangat tidak dapat di kira dari dalam kelapa yang di potong itu muncullah seekor ikan seluang, sejak saat itu sekitar masjid Ki Muara Ogan terdapat ikan Seluang dan di sekitar mesjid tetap berdiri pohon kelapa.
Pernah juga Kisah aneh terjadi, ketika Ki Muara Ogan bersama dengan ketujuh muridnya pulang dari menyebarkan agama Islam, pada waktu itu mereka terhambat karena tidak ada perahu yang akan menyeberangkan di sungai Ogan.
Namun dengan keyakinan yang ada dalam jiwa Ki Muara Ogan , serta merta ia membentangkan syalnya, yang selalu berada di pundaknya itu, ia letakan di atas air.”Silahkan kalian duduk di sal itu.” Perintah Ki Muara Ogan pada muridnya yang sedang ikut serta itu.
Karena itu adalah perintah seorang guru, muridnya yang yakin tanpa banyak komentar segera saja ia duduk di atas sal itu, tetapi bagi muridnya yang merasa ragu ia akan diam, atau ia akan bimbang.
“Naiklah wahai muridku, maka kau tidak akan tenggelam,” kata Ki Muara Ogan, namun ada seorang murid yang tidak mau ikut, tetapi yang sudah ikut serta segera saja mereka berjalan seperti layaknya mereka naik sebuah perahu saja.
Setelah itu kembali ia menjemput muridnya yang tadi tinggal tersebut, barulah muridnya itu merasa yakin, karena ia sudah melihat kenyataan itu. Muridnya yang tinggal itu ikut kembali menyeberang. Ketika hampir saja tiba diseberang muridnya itu masih saja merasa ragu, sehingga ia terjatuh, dan segera ia berenang ketepi sungai itu. Disaat itu Ki Muara Ogan berkata pada muridnya, “Itulah akibat jika seorang hamba belum yakin pada kebesaran Allah, sehingga masih adanya suatu keraguan yang tersimpan dalam pikiran dan hatinya. Untuk itu kamu harus kembali memperkuat iman kepada Allah yang telah menciptakan mahluknya .”
Kisah ini menjadi kisah yang di sampaikan dari mulut kemulut oleh warga kota Palembang, sehingga menjadi warisan kisah turun temurun hingga saat ini.
Dalam berdakwah Kiai Marogan menitikberatkan pada sikap zuhud dan kesufian dengan memperkuat keimanan. Hal ini dikarenakan pengaruh dari ajaran tarekat yang ia amalkan.
Di dalam buku, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Martin van Bruinessen memasukkan nama Kyai Marogan (Masagus H. Abdul Hamid) sebagai salah seorang guru dari tarekat Sammaniyah. Ia mempelajari tarekat Sammaniyah dari orang tuanya sendiri, yang berguru kepada Syekh Muhammad Aqib dan Syekh Abdush Shomad Al-Falimbani.
Menurut istilah di dalam ilmu tasawuf, tarekat ialah perjalanan khusus bagi para sufi yang menempuh jalan menuju Allah SWT. Perjalanan mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan seluk beluknya.
Dan tujuan dari tarekat adalah menciptakan moral yang mulia. Sebagaimana diketahui bahwa di daerah Palembang sejak masa kesultanan Palembang tarekat Sammaniyah telah menyebar secara luas dibawa oleh Syekh Abdush Shomad Al-Falimbani murid dari pendirinya Syekh Muhammad Abdul Karim Samman.
Mesjid Ki Merogan di Kertapati Palembang
Hampir seluruh masjid tua di Palembang, membaca ratib Samman yaitu bacaan yang meliputi syahadat, surah al-Qur’an dan bacaan zikir yang disertai gerak dan sikap yang khas tarekat Samman.
Tidak ditemukan kitab yang dapat diidentifikasi sebagai karya Kiai Marogan. Meskipun menurut penuturan dari zuriyatnya bahwa Kiai Marogan pernah menulis kitab tasawuf. Akan tetapi, yang dapat diketahui adalah Kiai Marogan meninggalkan beberapa bangunan masjid yang besar dan bersejarah. Yaitu masjid Jami’ Muara Ogan di Kertapati Palembang dan masjid Lawang Kidul di 5 Ilir Palembang.
Menurut cicitnya, Masagus H. Abdul Karim Dung, selain kedua masjid di atas, Kiai Marogan juga membangun beberapa masjid lagi seperti masjid di dusun Pedu Pedalaman OKI, masjid di dusun Ulak Kerbau Lama Pegagan Ilir OKI, Mushalla di 5 Ulu Laut Palembang, masjid Sungai Rotan Jejawi, masjid Talang Pangeran Pemulutan. Namun, pernyataan dari cicitnya ini belum dapat dibuktikan secara empiris, perlu dilakukan penelitian dan peninjauan lebih lanjut.
Sedangkan kedua masjid yaitu masjid Jami’ Muara Ogan dan masjid Lawang Kidul yang berada di kota Palembang, dapat dibuktikan melalui surat Nazar Munjaz atau surat Wakaf yang ditandatangani oleh Kiai Marogan langsung. itulah bagian Silsilah Sejarah Dan Riwayat Kiai Merogan Palembang.
0 notes
Text
Kepala Ops NCS: Kapolri Perintahkan Gelorakan Deklarasi Pemilu Damai
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bersama Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menyaksikan ratusan orang dari organisasi kemasyarakatan dan pemuda (OKP) serta berbagai elemen masyarakat lainnya menyatakan Deklarasi Pemilu Aman dan Damai di Lapangan Rampal, Kota Malang, Jawa Timur, Sabtu (21/10/2023). Jenderal Sigit mengapresiasi semangat komitmen pemilu damai dari para OKP dan tokoh masyarakat serta tokoh agama yang hadir di Lapangan Rampal. Kepala Operasi Nusantara Cooling System 2023-2024 (Kaops NCS) Irjen Asep Edi Suheri mengatakan, jika sebelumnya deklarasi pemilu damai dilakukan oleh para perwakilan partai politik di Lapangan Monas, Jakarta, kemarin. Namun kali ini dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan dan pemuda baik dari pusat maupun daerah. "Bapak Kapolri dan Panglima TNI meminta kegiatan deklarasi pemilu damai ini dilaksanakan di wilayah-wilayah. Komitmen pemilu damai ini harus dari yang dipilih dan yang memilih. Semuanya harus punya semangat yang sama menjaga pemilu berjalan damai, meski masing-masing berbeda pendapat namun itu tidak menjadi masalah karena bagian dari demokrasi," kata Kaops NCS dalam keterangannya, Sabtu (21/10). Kapolri kata Irjen Asep Edi juga menginginkan Pemilu 2024 mendatang, masyarakat tidak terpecah belah, meski berbeda pendapat dan beda pilihan. "Kematangan demokrasi kita kata Pak Kapolri bisa dilihat meski berbeda pendapat dan berbeda pilihan tidak berdampak pecahnya persatuan dan kesatuan. Karena itu semua harus menjaga pemilu berjalan dengan aman dan damai," tandasnya. Kaops menuturkan, Kapolri juga berharap pemilu 2024 berjalan aman dan damai serta menghasilkan pemimpin yang legitimate (sah) ini, bisa melanjutkan kepemimpinan untuk membawa Indonesia maju menuju Indonesia Emas 2045. Dalam kesempatan yang sama, Panglima TNI juga berharap pemilu 2024 berlangsung aman dan damai. Laksamana Yudo Margono juga menegaskan soal netralitas Polri-TNI dalam pemilu. "Beliau (Panglima TNI) juga menegaskan soal netralitas dalam pemilu 2024 merupakan kunci utama kita bisa melaksanakan dan menjaga pemilu yang aman baik dan lancar," tandasnya. Adapun pihak yang turut hadir dalam pembacaaan ikrar pemilu damai dalam kegiatan kali ini yakni Ketua FKUB Kiai A Hamid Syarif, Ketua MUI Jatim KH Moh Hasan Mutawakkil 'Alallah, Ketua Nahdlatul Ulama KH Marzuki Mustamar, Ketua PW Muhammadiyah Sukadiono, Ketua LDII Jatim Moch Amrodji Konawi, Ketua Perguruan Silat Se-Jatim Supratomo, Ketu Serikat Buruh Se-Jatim Ahmad Fauzi, Ketua KNPI Adv Urip Prayitno, Ketua Cipayung Plus OKP dan BEM se-Jatim, Abdul Ghoni beserta 20 rekan lainnya, Paguyuban Seniman Jatim Lusiati Fauzie, Forum Rektor se-Jatim, Prof Mohammad Nasih (Rektor Unair), asosiasi UMKM, Influencer dan konten kreator. Selama acara, peserta deklarasi membacakan ikrar bersama yang berisi komitmen: Mendukung dan membantu jajaran TNI dan Polri dalam menjaga keamanan serta mensukseskan pemilu 2024 yang aman dan adil. Menjaga persatuan dan kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menolak segala bentuk provokasi yang dapat memecah belah bangsa. Bersama-sama menangkal berita hoaks dan ujaran kebencian yang dapat mengganggu jalannya pemilu 2024. (Rls/Red) Read the full article
0 notes
Text
Menghela Wabah Dengan Ijazah KH. Hasyim Asy'ari.
Kamis, 9 April 2020.
Menyikapi bencana apapun, biasanya masyarakat pesantren mengukuti cara pandang para kiainya. Bahwa bencana berupa ketakutan (al-khauf), karena wabah atau bencana alam, kelaparan (alju’), krisis ekonomi (wa naqsin minal amwal), ancaman keselamatan jiwa (wal anfus) serta krisis pangan (wal tsmaarat) tak lebih dari sekadar ujian yang hanya perlu direspon manusia dengan bersikap sabar, tidak panik, apalagi menciptakan masalah baru misalnya menghembus krisis kepemimpinan di sebuah negeri.
Itulah protokol bencana para kiai atau ulama, tentu tanpa mengesampingkan ikhtiar. Ikhtiar itu sama pentingnya dengan berdoa. Berdoa itu sama pentingnya dengan ikhtiar. Kiainya para kiai, Hadratus Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri NU, bila ada wabah penyakit atau pageblug menimpa, beliau mengajak para santri dan umatnya menguatkan mental terlebih dahulu sebelum berikhtiar.
Dalam majelis haul KH Yahya bin Abdul Hamid Chasbullah, Pesantren Tambakberas, KH. Masduqi Abdurrahman AlHafidz, Pengasuh PP Roudhotu Tahfidzi Qur’an Perak Jombang mengisahkan Mbah Hasyim mengajak para kiai untuk membaca doa kala ada pagebluk. Doa tersebut seperti dibawah ini :
لِي خَمْسَةٌ أُطْفِئ بِهاَ # حَرَّ الوَباَءِ الحاَطمَة
المُصْطَفَى وَالمُرتَضَى # وَابْناَهُماَ وَفَاطِمَة
Artinya: "Aku memiliki lima orang yang dengannya kuberlindung (dengan karuniaMu) dari bala bencana (lahir batin) Sang Musthafa (Nabi Muhammad Saw), Al-Murtadha (Sayyidina Ali), kedua keturunan mereka (Sayyidina Hasan dan Husein), dan Sayyidah Fathimah."
Dengan adanya wabah covid 19 ini, sudah sepatutnya kita sebagai umat muslim untuk senatiasa selalu berdoa meminta kepada Allah SWT demi keselamatan kita bersama. Selain berdoa kita pun harus tetap waspada dan beikhtiar selalu dimanapun dan kapanpun.
17 notes
·
View notes
Text
Upaya Revitalisasi Ponpes Lutih Martapura, Pesantren Tua yang Tebengkalai
Upaya Revitalisasi Ponpes Lutih Martapura, Pesantren Tua yang Tebengkalai
Pondok pesantren Lutih, Martapura adalah lembaga pendidikan Islam yang dikelola dibawah manajemen Yayasan Hidayatul Mubtadi’ien, sebuah yayasan yang dirintis oleh KH Ali Hasyim sejak tahun 1996. KH. Ali Hasyim sendiri adalah seorang tokoh agama yang berasal Kediri, Jawa Timur, seorang kiai kharismatik dan sekaligus Mursyid Thoriqoh Kholidiyah Naqsabandiyah. Selama ini Ponpes Lutih, Martapura…
View On WordPress
#donasi untuk ponpes Lutih Martapura#Gus Damas#Kiai Abdul Hamid#pesantren di OKU Timur#pondok pesantren Lutih Martapura#ponpes Lutih Martapura#revitalisasi pesantren
0 notes
Text
Wirid-Wirid Kiai Hamid Pasuruan
1. Membaca "Hasbunallah Wani'mal Wakil" sebanyak 450 kali sehari semalam. Lalu ditutup dg "Ni'mal Maula Wani'mannashir". Fadhilahnya, murah rizki, tercapai segala hajat dunia akhirat.
2. Membaca sholawat 1000 kali. Fadilahnya dibimbing hidupnya oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan tidak akan dimatikan kecuali sesudah mendapat bisyarah dg diperlihatkan surga kepadanya.
3. Membaca shalawat Nariyah 11 kali setiap selesai sholat fardhu. Rahasianya apa saja yg dikehendaki diadakan Allah...dan dalam mengarungi samudra kehidupan selalu mendapatkan pertolongan, rohmat, maghfiroh, barokah, ketenangan, keselamatan, dan jauh dari fitnah dan bala’ dhohir bathin...
4. Membaca kitab Dalailul Khoirot sehari satu hizb. Fadilahnya ruhnya washil / tersambung ke hadirat Nabi saw... mendapatkan bagian dari akhlaq, ilmu dan sirr beliau saw...
5. Membaca Wirdullathif dan Rotibul Haddad. Orang yg rutin membacanya maka dijamin husnul khotimah.
6. Membaca surat alFatihah 100 kali setiap hari. Fadilahnya bahagia dunia akhirat. Ujar Kiai Hamid, "Orang yang membacanya bakal mendapatkan keajaiban-keajaiban yang tidak terduga". Bisa dibaca sekaligus dalam satu kali duduk 100 kali. Bisa pula dicicil setelah sholat Shubuh 30 kali, selepas shalat Dhuhur 25 kali, setelah Ashar 20 kali, setelah Maghrib 15 kali dan setelah Isya’ 10 kali. Diawali dg membaca "Ala niyyati Syaikh Abdul Qodir al Jilani rodiyallahu anhu al Fatihah"
Semoga bermanfaat
0 notes
Text
Islam Kejawaan (Taddaburan/maiyahan) di Indonesia.
Alhamdulillah, akhir-akhir ini orang merasakan manfaatnya Nahdlatul Ulama (NU). Dulu, orang yang paling bahagia, paling sering merasakan berkahnya NU adalah keluarga orang yang sudah meninggal : setiap hari dikirimi doa dan tumpeng. Hari ini begitu dunia dilanda kekacauan, ketika Dunia Islam galau: di Afganistan perang sesama Islam, di Suriah perang sesama Islam, di Irak, perang sesama Islam. Semua ingin tahu, ketika semua sudah jebol, kok ada yang masih utuh: Islam di Indonesia. Akhirnya semua ingin kesini, seperti apa Islam di Indonesia kok masih utuh. Akhirnya semua sepakat: utuhnya Islam di Indonesia itu karena memiliki jamiyyah NU. Akhirnya semua pingin tahu NU itu seperti apa. Ternyata, jaman dulu ada orang Belanda yang sudah menceritakan santri NU, namanya Christia Snouck Hurgronje. Dia ini hafal Alquran, Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu’in , tapi tidak islam, sebab tugasnya menghancurkan Islam Indonesia. Mengapa? Karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda. Sultan Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri. Sultan Agung, santri. Mbah Zaenal Mustofa, santri. Semua santri kok melawan Belanda. Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini remuk. Snouck Hurgronje masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya Syekh Abdul Ghaffar. Dia belajar Islam, menghafalkan Alquran dan Hadis di Arab. Maka akhirnya paham betul Islam. Hanya saja begitu ke Indonesia, Snouck Hurgronje bingung: mencari Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu. Ternyata Islam yang dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje itu tidak ada. Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya Pangeran. Ketemunya Gusti. Padahal ada pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Ada Gusti namanya Gusti Kanjeng. Mencari istilah shalat tidak ketemu, ketemunya sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun , tidak ketemu, ketemunya kiai. Padahal ada nama kerbau namanya kiai slamet. Mencari mushalla tidak ketemu, ketemunya langgar. Maka, ketika Snouck Hurgronje bingung, dia dibantu Van Der Plas. Ia menyamar dengan nama Syekh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa Indonesia, bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa. Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung, strees. Orang disini makanannya nasi (sego). Snouck Hurgronje dan Van Der Plas tahu bahasa beras itu, bahasa inggrisnya rice, bahasa arabnya ar-ruz . Yang disebut ruz, ketika di sawah, namanya pari, padi. Disana masih ruz, rice. Begitu padi dipanen, namanya ulen-ulen, ulenan. Disana masih ruz, rice. Jadi ilmunya sudah mulai kucluk , korslet. Begitu ditutu, ditumbuk, digiling, mereka masih mahami ruz, rice , padahal disini sudah dinamai gabah. Begitu dibuka, disini namanya beras, disana masih ruz, rice . Begitu bukanya cuil, disini namanya menir, disana masih ruz, rice. Begitu dimasak, disini sudah dinamai sego , nasi, disana masih ruz, rice. Begitu diambil cicak satu, disini namanya upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang, disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan hancur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice. Inilah bangsa aneh, yang membuat Snouck Hurgronje judeg, pusing. Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam Indonesia dengan tiga hal. Pertama, kethune miring sarunge nglinting (berkopiah miring dan bersarung ngelinting). Kedua, mambu rokok (bau rokok). Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit). Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) Snouck Hurgronje di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang lain sudah biasa. Maka, jangankan Snouck Hurgronje, orang Indonesia saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan di tanah Arab. Lihat tetangga pujian, karena tidak paham, bilang bid’ah . Melihat tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid’ah. Padahal itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia, jadi tidak paham. Masuk kesini sudah kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi dengan sebutan “Muhammad” saja. Padahal, disini, tukang bakso saja dipanggil “Mas”. Padahal orang Jawa nyebutnya Kanjeng Nabi. Lha , akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia. Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam dunia, Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini saripati (essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia. Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di Arab. Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga makanan Arab. Budayanya budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke Indonesia. Kalau Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi Rp 20.000 atau mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang berpendidikan, sulit, dikasih uang Rp 10 juta belum tentu mau. Islam datang ke Eropa juga dalam keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa di Nusantara ini sedang kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian ini bukan bangsa kecoak. Ini karena ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai 2/3 dunia, namanya Majapahit. Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum politik terbaik dunia yang menjadi rujukan adanya di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya Sutasoma. Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar dan kaya-raya. Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu (dalam penggambaran Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya mengalir), seperti kali. Kata orang disini: “mencari air kok sampai surga segala? Disini itu, sawah semua airnya mengalir.” Artinya, pasti bukan itu yang diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya banyak juga tidak, karena disini juga banyak buah. Artinya dakwah disini tidak mudah. Diceritain pangeran, orang Jawa sudah punya Sanghyang Widhi. Diceritain Ka’bah orang jawa juga sudah punya stupa: sama-sama batunya dan tengahnya sama berlubangnya. Dijelaskan menggunakan tugu Jabal Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni. Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya peringatan hari raya kedri. Sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda, orang Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa pada waktu itu beragama hindu. Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia. Dibawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang Gubernur atau Bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia. Dibawah itu ada kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama. Di bawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra . Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa dterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh bicara soal agama. Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya, bingungnya memahami Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta paria, yang hidup dengan meminta-minta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet, namanya kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta Mlecca. Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala. Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini. Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini mau memakan manusia. Namanya aliran Bhirawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa atau murco. Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha ini terus menjadi jenglot atau batara karang. Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa. Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah, namanya ilmu ngrogoh sukmo . Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajar dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan Pancamakara. Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan dikenyangi, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus. Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau muncul orang-orang macam Sumanto. Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, ketika sukmanya pergi di ajak mencuri namanya ngepet . Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet. Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet. Ada 1.500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh orang Jawa pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka Khalifah Turki Utsmani mengirim kembali tentara ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa. Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Di Jawa ini di duduki bala tentara Syekh Subakir, kemudian mereka diusir. Ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro. Karena Syekh Subakir sepuh, maka pasukannya dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak, melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik. Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan. Kalau ada orang banyak komentar mem-bid’ah -kan, ceritakanlah ini. Kalau ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. Ini perlu diruntutkan, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian. Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di Semarang dan menetap di daerah Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh Jumadil Kubro. Disana dia punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan Padjajaran. Maka kemudian ada Rara Santang, Kian Santang dan Walangsungsang. Nah , Syekh Jumadil Kubro punya putra punya anak bernama Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas mengislamkan Majapahit. Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu, pohon pisang anda bisa ditebang. Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan : ".... masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar’in ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladza fastawa ‘ala sukıhi yu’jibuz zurraa, li yagidza bihimul kuffar………” Artinya: “…………Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………” Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya, kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya hamil? Jawabannya adalah padi. Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi. Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah, kalau diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus. Mau menanam Allah, disini sudah ada istilah pangeran. Mau menanam shalat, disini sudah ada istilah sembahyang. Mau menanam syaikhun, ustadzun, disini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun , disini sudah ada shastri, kemudian dinamani santri. Inilah ulama dulu, menanamnya tidak kelihatan. Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: kalimat syahadat, jadi kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten. Mushalla, jadi langgar. Sampai itu jadi bahasa masyarakat. Yang paling sulit mememberi pengertian orang Jawa tentang mati. Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak kembali ke dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip. Prinsip inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan dengan reinkarnasi. Bagaimana caranya? Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun kemudian di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi. Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang begitu, mudah hafal dengan tembang. Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi, tapi nyanyi: ndang baliyo, Sri, ndang baliyo . Lihat lintang, nyanyi: yen ing tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek, nyanyi: bebek adus kali nyucuki sabun wangi. Lihat enthok: menthok, menthok, tak kandhani, mung rupamu. Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang jadi pelajaran. Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: … ndemok silit, gudighen. Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit, berat, itu ditembangkan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk tembang bernama Macapat . Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup harus bisa membaca perkara Empat. Keempat perkara itu adalah teman nyawa yang berada dalam raga ketika turun di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia. Produk dunia makanannya dunia, seperti makan. Yang dimakan, sampah padatnya keluar lewat pintu belakang, yang cair keluar lewat pintu depan. Ada sari makanan yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini penuh, bapak akan mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur dan dititipkan di rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia. Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil. “Dul, turun ya,”. “Iya, Ya Allah”. “Alastu birabbikum?” (apakah kamu lupa kalau aku Tuhanmu?). “Qalu balaa sahidnya,” (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang nyawa,. ”fanfuhur ruuh” (maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka daging itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A’raf, 7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu’min: 67, ed. ) Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya, yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuanya: kalau orang tuanya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya ya mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya ganteng dan cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng. Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup harus membaca perkara empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia, ada di dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas menyesatkan, dan dua malaikat yang bertugas nggandoli, menahan. Jin qarin dan hafadzah. Itu oleh Sunan Ampel disebut Dulur Papat Limo Pancer. Ini metode mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai dulur tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya Rahimu tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta. Tidak mau dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Jaran Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa, kalau memakai kanan yang dipakai kalimah La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim . Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Bondowoso, kemudian bisa perkasa. Mau kaya kalau memakai jalan kanan ya shalat dhuha dan membaca Ya Fattaahu Ya Razzaaqu , kaya. Kalau tidak mau jalan kanan ya jalan kiri, membawa kambing kendhit naik ke gunung kawi, nanti pulang kaya. Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau tirakatnya kuat. Kiai yang ‘alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang. Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang rumah terbakar. Satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya utuh; sedangkan yang satu mencari dengan blarak (daun kelapa kering yang dibakar), ayamnya ketemu, hanya blarak-nya habis terbakar. Itu bedanya nur dengan nar. Maka manusia ini jalannya dijalankan seperti tembang yang awalan, Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo , sabut ngapati, mitoni , ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk imunisasi. Maka menurut NU ada ngapati, mitoni, karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu. Setelah Mijil, tembangnya Kinanti. Anak-anak kecil itu, bekalilah dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan ke TPQ, ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah main layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah mancing, potong saja kailnya. Anak Kinanti ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali dengan agama, akhlak. Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang Sinom: bakal menjadi anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, bandel. Apalagi, setelah Sinom, tembangnya asmorodono , mulai jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat. Tidak bisa di nasehati. Setelah itu manusia disusul tembang Gambuh , laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah tangga, rabi, menikah. Setelah Gambuh, adalah tembang Dhandanggula. Merasakan manis dan pahitnya kehidupan. Setelah Dhandanggula , menurut Mbah Sunan Ampel, manusia mengalami tembang Dhurma. Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon mangga setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa untuk makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu mana? Ilmumu mana yang didarmabaktikan untuk orang lain? Khairunnas anfa’uhum linnas , sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya. Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi tidak darma bakti, kesusul tembang Pangkur. Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi sudah copot, kaki sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk masjid kesusul tembang Megatruh : megat, memutus raga beserta sukmanya. Mati. Terakhir sekali, tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi, kalau Islam Pucung . Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok, dimasukkan pintu kecil. Makanya orang tua (dalam Jawa) dinamai buyut, maksudnya : siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil). Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia? Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: “Man rabbuka?” , dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir apa karena tidak bisa mengucapkan Allah. Ketika ingin disaduk, Malaikat Rakib buru-buru menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah Jawa”. Tidak punya alif, ba, ta, punyanya ha, na, ca, ra, ka . “Apa sudah mau ngaji?”kata Mungkar – Nakir. “Sudah, ini ada catatanya, NU juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal”. “Yasudah, meninggalnya orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal yang dimaafkan oleh Allah.” Maka, seperti itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, “Man rabbuka?” , menjawab, “Ha……..???”. langsung dipukul kepalanya: ”Plaakkk!!”. Di- canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng , takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di- udek oleh malaikat, di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti tarangan bodhol , ajur mumur seperti gedhebok bosok. Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah – mbah buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan bodol – gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya! Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok : nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang, gung . Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya disana); ya disini ngaji, ya disana mencuri kayu. Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti disini ini: kelihatannya disini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow!. Sudah hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank. Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke Sanghyang Agung. Fafirru illallaah , kembalilah kepada Allah. Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan Bonang. Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air bunga: mawar, kenanga dan kanthil. Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah). Lho , ini piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga, yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja. Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu: tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir Ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo, ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanopo lambang shalat. Disini itu, apa-apa dengan lambang, dengan simbol: kolo-kolo teko , janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping gunung. Blimbing itu bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing . Tidak cah angon ayo memanjat mangga. Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Disana, shalat 'imaadudin, lha shalat disini, tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun. Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil jam segitu masih disawah, di kebun, angon bebek, masih nyuri kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin, orang yang adzan. Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang. Padahal tugas Imam adalah menunggu makmum. Ditunggu dengan memakai pujian. Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana , – sambil tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna lanakunanna minal khasirin. Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk. Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro….. . Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di urugi anjang-anjang……. , langsung deh, para ma'mum buruan masuk. Itu tumbuhnya dari situ. Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama. Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allahu Akbar , matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor, ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya membaca surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah shalat diajak dzikir, laailaahaillallah. Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek, geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho, sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang sini, di ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan dengan keras, agar ma'mum tahu apa yang sedang dibaca imam. Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan dikenalkan nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair: kanjeng Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah, dinone senen, rolas mulud tahun gajah. Inilah cara ulama-ulama dulu kala mengajarkan Islam, agar masyarakat disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil ‘aalamiin ; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya dimiliki orang Jawa. Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir. Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari’ terbaik dari Gresik. Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang mendengarnya malah bikin kepala pusing. Sistem pembelajaran yang seperti ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai paham Islam. Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya. "Urusanmu kan bukan urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan agama, mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya. Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai dan tidak menerima Islam di uber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian: Gundul-gundul pacul, gembelengan. Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan. Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x Gundul itu kepala. Kepala itu ra’sun. Ra’sun itu pemimpin. Pemimpin itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar. Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar rakyat. Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan. Kalau kepala memangku amanah rakyat kok terus gembelengan, menjadikan wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja Gundul-gundul pacul. Inilah cara orang dulu, landai. Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi. Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru Sulawesi. Khatib Dayan belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika kembali ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan. Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan, menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera. Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda. Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya tinggalan para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa kita ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati. Maka di mana di dunia ini, yang menyebut daerahnya dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: kullukum raa’in wa kullukum mas uulun ‘an ra’iyatih ; bahwa Rasulullah mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan ada sesuatu yaitu pertanggungjawaban. Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggung jawabkan disebut ra’iyyah. Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan ra’iyyah atau rakyat. Begini kok banyak yang bilang tidak Islam. Nah, sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran wa baatinan, akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang menyelamatkan Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul Ulama. Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama, orang tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya muridnya ulama. Meski, nama ini tidak gagah. KH Ahmad Dahlan menamai organisasinya Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi, namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Alquran, gagah namanya. Lha ini “hanya” Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di desa juga ada yang hutang rokok. Tapi Nahdlatul Ulama ini yang menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari ini hanya muridnya ulama. Yang membawa Islam itu Kanjeng Nabi. Murid Nabi namanya Sahabat. Murid sahabat namanya tabi’in . Tabi’in bukan ashhabus-shahabat , tetapi tabi’in , maknanya pengikut. Murid Tabi’in namanya tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikut. Muridnya tabi’it-tabi’in namanya tabi’it-tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikutnya pengikut. Lha kalau kita semua ini namanya apa? Kita muridnya KH Hasyim Asy’ari. Lha KH Hasyim Asy’ari hanya muridnya Kiai Asyari. Kiai Asyari mengikuti gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya namanya Kiai Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron murid Kiai Abdul Halim, Boyolali. Mbah Abdul Halim murid Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul Wahid itu murid Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah Jabbar murid Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran Benowo, murid Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng. Sunan Geseng hanya murid Sunan Kalijaga, murid Sunan Bonang, murid Sunan Ampel, murid Mbah Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil Kubro, murid Sayyid Ahmad, murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid Abdul Malik, murid Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib Mirbath. Kemudian murid Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir, murid Sayyid Isa An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja’far Shodiq, murid Sayyid Musa Kadzim, murid Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir hanya murid Sayyid Zaenal Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain, murid Sayiidina Ali karramallahu wajhah . Nah, ini yang baru muridnya Rasulullah saw. Kalau begini nama kita apa? Namanya ya tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjang sekali. Maka cara mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami. Rasulullah itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari menulis Alquran. Maka tidak ada mushaf Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran. Untuk siapa? Untuk para tabi’in yang tidak bertemu Alquran. Maka ditulislah Alquran di jaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman. Tetapi begitu para sahabat wafat, tabi’in harus mengajari dibawahnya. Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit tidak bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah diberi tanda “titik” oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca. Tabiin wafat, tabi’it tabi’in mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak cukup, kemudian diberi “harakat” oleh Syekh Kholil bin Ahmad al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 hijriyyah. Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga Alquran semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras. Orang Andalusia diajari “ Waddluha” keluarnya “ Waddluhe”. Orang Turki diajari “ Mustaqiim” keluarnya “ Mustaqiin”. Orang Padang, Sumatera Barat, diajari “ Lakanuud ” keluarnya “ Lekenuuik ”. Orang Sunda diajari “ Alladziina ” keluarnya “ Alat Zina ”. Di Jawa diajari “ Alhamdu” jadinya “ Alkamdu ”, karena punyanya ha na ca ra ka . Diajari “ Ya Hayyu Ya Qayyum ” keluarnya “ Yo Kayuku Yo Kayumu ”. Diajari “ Rabbil ‘Aalamin ” keluarnya “ Robbil Ngaalamin” karena punyanya ma ga ba tha nga. Orang Jawa tidak punya huruf “ Dlot ” punyanya “ La ”, maka “ Ramadlan ” jadi “ Ramelan ”. Orang Bali disuruh membunyikan “ Shiraathal…” bunyinya “ Sirotholladzina an’amtha ‘alaihim ghairil magedu bi’alaihim waladthoilliin ”. Di Sulawesi, “’ Alaihim” keluarnya “’ Alaihing ”. Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250 hijriyyah, seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran , namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang orang tidak paham pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut. Murid ulama itu beda dengan murid Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika dzikir dan diam, hatinya “online” langsung kepada Allah SWT. Kalau kita semua dzikir dan diam, malah jadinya tidur. Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran. Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka’bah. Muridnya ulama dibangunkan Ka’bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus, namanya manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang se-kampung. Yang mau haji diantar ke asrama haji, yang mengantar pulangnya belok ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran. Ini sudah murid ulama. Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai dengan hukum pelajarannya ulama. Anda sekalian disuruh dzikir di rumah, takkan mau dzikir, karena muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan saja lama kelamaan tidur. Ini makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak berdzikir. Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak dzikir, tetapi, pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir. Nantinya, di akhirat ketika “wa tasyhadu arjuluhum ,” ada saksinya. Orang disini, ketika disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca Alquran. Maka diadakan semaan Alquran. Mulut tidak bisa membaca, mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa mendengarkan lantunan Alquran. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya kosong, di telinga ada Alqurannya. Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti Islam Indonesia. Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para ulama dulu tidak serius dalam menanam. Sahadatain jadi sekaten. Kalimah sahadat jadi kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu. Ini terkesan ulama dahulu tidak ‘alim. Ibarat pedagang, seperti pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak dari Indonesia. Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti grosir: islam kaaffah, begitu diikuti, mencuri sapi. Dilihat dari sini, saya meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan benih teroris. Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada ceritanya Banser kok ngebom disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban, tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang. Saya yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada Panglima TNI. Maka, anda lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun anak warga jamiyyah Nahdlatul Ulama. Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi organisasi terbesar di dunia. Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta, sekarang di kisaran 120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta. Kita santai saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup kecuali matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pas nderep di sawah bagaimana. Jadi kita santai saja. Kita tidak pernah melupakan sanad, urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad saw. sumber : Agus Sunyoto Lesbumi #Maiyah #NU
3 notes
·
View notes
Link
Keyakinan dan Kekuatan is developed from a Ph.D. dissertation, originally entitled (in French) “La foi et la force: L’art Silat martial de Banten en Indonésie,” written by Gabriel Facal. Facal is an ethnographer and a martial artist who has been practicing in various silat (traditional martial art) schools (paguron) in Banten, Indonesia. Nicely translated by Arya Seta, it was first published in Indonesian to target Indonesian readers.
As its title suggests, there are two unique aspects of the Bantenese Martial Arts: faith (“keyakinan”) and force (“kekuatan”). Facal argues that the interweaving of these two aspects has differentiated Bantenese Silat from other kind of martial arts, even within Indonesia’s regional martial arts traditions.
Strengthening faith is considered the first step to learn silat rituals. After this first step, faith is instrumental to be integrated in the fighting techniques/the forces of the silat. Faith and fighting techniques complement each other in order to gain physical, mental, and moral power, at the same time. Thus, in Bantenese martial arts, both religion and ritual practice are blended and in turn strengthen each other to perfection.
The first part of Keyakinan dan Kekuatan discusses the roots and spread of Bantenese Silat. There was an interplay between silats from different parts of Indonesia: Lampung, Sunda, and Betawi with Silat in Banten. This interplay could be observed from the silat rituals, movements, and breathing techniques. This part also explains the historical development of martial arts in Banten. It was developed by some prominent jawara (silat practitioners) and Kiai (local Islamic leaders) as a tool to defend themselves against the Dutch colonial forces. During the New Order period (1967-1998), many of its jawara and kiai were organized as part of the regime’s quasi-Praetorian guard in the local scene. This pattern still continues, however. In this part, Facal concludes that various rituals in Bantenese silat were influenced by Islam as adapted in local culture. As a result, for the Islamic religious men, it has become a form of devotion.
The second part of Keyakinan dan Kekuatan discusses five main silat schools in Banten: TTKDH (Tjimande Tarikolot Kebon Djeruk Hilir), Terumbu, Bandrong, Haji Salam, and Ulin Makao. These five schools are selected based on the number of its practitioners, geographical coverage, number of branches, and their roots in Banten society.
TTKDH is the most important silat school because of the strong documentation of its techniques, structure and rituals, wide dissemination and its engagement with the world of politics. The story of the TTKDH makes the largest chunk of this second part, that readers can even get a very detailed explanation of its techniques. It is because Facal is one of its members and has trained this school for over 15 years.
Two other schools, the Terumbu and the Bandrong, are the two oldest silat schools in Banten, both are traceable and claim their roots back to the Banten sultanate period. The Haji Salam school is described as a comprehensive submission martial practices and its secret activities. Lastly, the Ulin Makao school is considered as a blend between Silat and Chinese martial art. In his description, Facal explains the history (mostly, based on oral history), techniques, rituals and socio-political aspects of each silat school in Banten.
The differences between each silat school form an interesting comparison to understand its historical roots and also, institutional affiliation. For example, the TTKKDH’s annual ritual of “Keceran” (the dripping of betel water in the eyes of all students, poured through the master’s knife) is the main ritual where all members, regardless of their social class, congregate. A similar ritual is also performed in the Bandrong school, with a different name (known as popobanyu) and the water is poured through a special two-bladed knife that belongs to the Kopassus (Komando Pasukan Khusus/ Indonesian Army Special Forces). It shows the close relationship between some silat schools with the Kopassus.
The third part of Keyakinan dan Kekuatan discusses the characteristics of Bantenese Silat, including the issue of equality among the different schools. It analyzes the spatial and temporal dimensions in technique, the relationship between gender, and also on seniority, and some technical aspects of the silat fight.
The most interesting parts are the social and political aspects of the martial arts itself. The organization of the various schools, within the hierarchy of national, regional and local, has caused some social-political impacts. On the one hand, it brings uniform to all the different silat techniques. On the other hand, it has attracted various schools to build alliances with political parties, religious groups, civil militia, or those who are economically in power. During the New Order period (1967-1998), various silat schools were drawn to support the regime as their patron, so that they could gain benefits from the central government. In the current Reformasi situation, this relationship depends more on the political and economic power of the local patron.
As an anthropological study, Keyakinan dan Kekuatan has offered a deeper understanding on the subject that is important for the studies of contemporary Banten. Studies of contemporary Banten mainly discuss the social and political aspects of the life in Banten, with emphasis on local politics and its political leaders (see for example: Tihami (1992); Okamoto and Hamid (2008)).
Keyakinan dan Kekuatan locates the silat practitioners (jawara) in a cultural context that makes them understood in a more fair and positive perspective. As an ethnographer, Facal has undertaken excellent research that documented valuable information of the Bantenese Silat. Undoubtedly, Keyakinan dan Kekuatan is a must-read reference for any Indonesian who wants to study the rich culture of Banten.
Reviewed by Abdul Hamid Lecturer at Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, Indonesia
REFERENCES
Okamoto, Masaaki and Abdul Hamid. 2008. Jawara in Power, 1999-2007. Indonesia 86: 109-138. Tihami, MA. 1992. Kiyai and Jawara di Banten, Studi tentang Agama, Magi dan Kepemimpinan di Desa Pasanggrahan, Serang, Banten. Master thesis. Jakarta: University of Indonesia.
20 notes
·
View notes
Text
Kiai Khos KH Abdul Hamid Mannan Apresiasi Penyelenggaraan Pemilu 2019 di Pamekasan, Begini Pesannya
Carina Payue Kiai Khos KH Abdul Hamid Mannan Apresiasi Penyelenggaraan Pemilu 2019 di Pamekasan, Begini Pesannya Artikel Baru Nih Artikel Tentang Kiai Khos KH Abdul Hamid Mannan Apresiasi Penyelenggaraan Pemilu 2019 di Pamekasan, Begini Pesannya Pencarian Artikel Tentang Berita Kiai Khos KH Abdul Hamid Mannan Apresiasi Penyelenggaraan Pemilu 2019 di Pamekasan, Begini Pesannya Silahkan Cari Dalam Database Kami, Pada Kolom Pencarian Tersedia. Jika Tidak Menemukan Apa Yang Anda Cari, Kemungkinan Artikel Sudah Tidak Dalam Database Kami. Judul Informasi Artikel : Kiai Khos KH Abdul Hamid Mannan Apresiasi Penyelenggaraan Pemilu 2019 di Pamekasan, Begini Pesannya Pengasuh Pondok Pesantren Sabilul Ihsan Pamekasan, KH Abdul Hamid Mannan, apresiasi TNI/Polri, KPU, dan Bawaslu Pamekasan http://www.unikbaca.com
#Carina Payue Kiai Khos KH Abdul Hamid Mannan Apresiasi Penyelenggaraan Pemilu 2019 di Pamekasan#Beg
0 notes
Text
Biografi Kiai Abdul Hamid Ahmad Mahfud Zayyadi Pengasuh Pondok Pesantren Bata Bata
Biografi Kiai Abdul Hamid Ahmad Mahfud Zayyadi Pengasuh Pondok Pesantren Bata Bata
Kiai Abdul Hamid Ahmad Mahfud Zayyadi
Merupakan sosok pribadi yang soleh alim wara’ riyadunnafsi yang kuat.
Kiai Abdul Hamid Ahmad Zayyadi merupakan putra dari Kiai Ahmad Mahfud Zayyadi dan merupakan putra sulung yang ada waktu itu, karena lora Abdul Wafi wafat muda.
Dalam mencari ilmu Kiai Abdul Hamid sapaan akrabnya. Pernah dipesantren Sidogiri Pasuruan Jawa timur yang merupakan pesantren…
View On WordPress
0 notes
Quote
Suatu ketika Mbah Hamid memondokkan putranya, Gus Nu'man, di Pesantren Darul Hadis Malang yang diasuh oleh Ulama Besar pakar Hadis Prof Dr Habib Abdulloh Bilfaqih.Namanya juga anak muda, pasti ada nakalnya. Begitu juga dengan Nu'man. Nampaknya kenakalannya terdengar sampai ke telinga Habib.Lalu Nu'man dipanggil oleh sang pengasuh. Dia diberi pengarahan dan nasihat agar dia tidak nakal lagi, tapi tidak sampai dita'zir.Satu dua kali dia dipanggil tetap saja belum ada perubahan. Akhirnya untuk yang ketiga kalinya dia dihukum langsung oleh sang pengasuh. Nu'man di pukul berkali-kali dengan penjalin (bambu kuning yang masih muda).Hingga pada suatu malam Habib Abdullah di tegur Abahnya (Al Qutb al Habib Abdul Qodir Bilfaqih) lewat sebuah mimpi dengan berkata "Nak koen ndak wero tah ana'e sopo seng koen tandangi iku? Iku putrone kyai Hamid, kyai seng dadi wali abdal, opo koen gak wedi kualat?" (Nak, kamu tidak tahu? Anak siapa yang kamu pukuli itu? Itu adalah anak kyai Hamid, kyai yang menjadi wali abdal, apa kamu tidak takut kualat?).Dan selang beberapa hari beliau juga mimpi bertemu dengan kyai Hamid sedang menuju pintu surga. Sang Habib berusaha menggapai kyai Hamid tapi tidak bisa. Mimpi itu datang sampai beberapa hari.Setelah mendapat teguran dari sang ayahanda dan bermimpi bertemu kyai Hamid, beliau merasa sangat bersalah kepada kyai Hamid. Beliau lalu mendatangi kediaman kyai Hamid untuk meminta maaf.Kebetulan waktu itu bertepatan hari Ahad, ada pengajian umum rutinan di ndalem Kiai Hamid. Begitu Kiai Hamid melihat kedatangan Habib, beliau menyongsong dan mempersilakan Habib untuk memimpin pengajian rutin tersebut.Tak dinyana, dalam pengajiannya, Sang Habib justru menceritakan apa yang beliau perbuat kepada Gus Nu'man dan mimpi-mimpinya kepada para jamaah pengajian yang puluhan ribu jumlahnya. Mendengar apa yang dituturkan oleh Sang Habib, tanpa terasa air mata Mbah Hamid mengalir deras.Menurut sumber, kyai Hamid tidak pernah menangis sampai parah seperti itu sebelumnya. Beliau malu kalau kelebihan beliau diceritakan di muka umum.Allahumma Sholli A'laa Sayyidina Muhammad Wa A'laa Aali Sayyidina Muhammad SEJARAH ULAMA DAN KAROMAHNYA Di tulis ulang dari grup / halaman facebook :M Fatah Ilahii ke SEJARAH ULAMA DAN KARAMAHNYADi dalam grup tersebut tulisan ini di publikasikan oleh : M Fatah Ilahii ke SEJARAH ULAMA DAN KARAMAHNYA Semoga Allah memberikan kebaikan dan manfaat atas tulisan ini bagi kita semuanya, Amin...
http://www.masdull.com/2020/01/kisah-romo-kh-abdul-hamid-pasuruan-dan.html
0 notes
Text
Wajib Tahu, Berikut Pahlawan Nasional dari Kalangan Pesantren
Indonesia dengan segala elemen kemajemukannya ternyata memiliki banyak Pahlawan Nasional berlatar belakang santri. Namun tak banyak orang mengetahui mereka. Hal tersebut karena sosialisasi pendidikan yang tak merata. Peran pejuang muslim dalam membangun Indonesia sangat besar, baik sebelum atau pasca kemerdekaan. Berikut beberapa yang dapat kami rangkum dari sekian banyak pahlawan muslim yang telah berjasa besar terhadap bangsa.
KH Hasyim Asyari
Pahlawan nasional dari kalangan pesantren yang pertama adalah KH Hasyim Asyari. Beliau adalah pendiri dari Nahdatul Ulama (NU) yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada tanggal 17 November 1964 berkat jasanya yang berperan besar melawan penjajah dari Surabaya. Beliau dikenal dengan resolusi jihadnya pada tanggal 22 Oktober 1945. Selain menjadi pendiri NU, KH Hasyim Asyari juga mendirikan pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang pada tahun 1899.
2.KH Idham Chalid
Tokoh NU lain yang bergelar pahlawan nasional yakni KH Idham Chalid. Idham merupakan sosok yang sulit dilepaskan dari dunia pesantren. Meski sempat mencecap ilmu di Sekolah Rakyat (SR), Idham memilih melanjutkan pendidikan di Madrasah Ar Rasyidiyyah.
Pria kelahiran Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921, ini kemudian melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Lulus dari Gontor pada 1943, Idham menempuh pendidikan di Jakarta.
Beliau kemudian bergabung dengan Partai NU dan memulai karir melalui jalur GP Anshor. Kariernya di NU cukup cemerlang. Idham pernah mengampu sejumlah jabatan di partai itu, yang kemudian menjadi Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali Sastroadjojo jilid II, meski hanya berjalan selama satu tahun.
Idham juga memimpin Partai NU hingga mendulang sukses pada Pemilu 1971. Rezim Soeharto kemudian membuat penyederhanaan partai politik menjadi tiga yaitu Golkar, PDI, dan PPP. NU tergabung dalam PPP dan Idham kembali terpilih sebagai Ketua Umum.
Usai pemilu itu, Idham ditunjuk menjadi Ketua MPR/DPR hingga tahun 1977. Dia lalu dipercaya kembali menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) hingga 1983.
Gelar Pahlawan Nasional disematkan kepada KH Idham Chalid bersama enam tokoh lainnya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011. Idham Chalid menjadi putra Banjar ketiga yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional setelah Hasan Basry dan Pangeran Antasari.
KH Ahmad Dahlan
Pahlawan nasional dari kalangan pesantren yang kedua adalah pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Kyai yang lahir di Yogyakarta ini sangat berjasa dalam membangkitkan semangat umat islam dalam menyadari statusnya sebagai bangsa yang terjajah. Dengan gagasan Muhammadiyahnya tersebut, kyai yang juga dikenal dengan Muhammad Darwisy ini ditetapkan sebagai pahlawan Nasional pada tahun 1961.
KH Wahid Hasyim
Pahlawan nasional dari kalangan pesantren selanjutnya K.H. Abdul Wahid Hasjim. Beliau adalah ayah dari presiden Indonesia yang ke-4 yaitu K.H. Abdurrahmann Wahid. K.H. Abdul Wahid Hasjim merupakan salah satu anggota Badan Penyidik Usaha- Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Beliau berasal dari Pondok Pesantren Tebuireng. Beliau juga yang mempelopori masuknya ilmu pengetahuan ke dunia pesantren. Dari jasa-jasanya tersebut beliau ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada tanggal 17 November 1960.
KH Zainal Mustafa
KH Zainal Mustafa adalah salah satu pahlawan Indonesia yang secara terang-terangan dalam melawan para penjajah. Karena tindakan-tindakannya yang bersebrangan dengan kolonial Belanda. Tak jarang Kyai yang lahir di Tasikmalaya ini diturunkan dari mimbar oleh para Kyai yang pro dengan Belanda. Ketika Belanda lengser dan diganti oleh Jepang, K.H. Zainal Mustafa tetap menolak kehadiran Jepang di Indonesia. Menurutnya Jepang lebih berbahaya daripada Belanda, oleh karena itu dia dan santrinya mengadakan perang dengan Jepang. Berkat jasanya membangkitkan semangat para santrinya untuk jihad membela negara, K.H. Zainal Mustafa dianugerahi sebagai pahlawan nasional pada tahun 1972.
Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro adalah anak sulung dari sultan Hamengkubuwana III yang lahir pada 11 November 1785. Beliau adalah pemimpin perang Jawa yang tercatat memakan korban paling banyak di Indonesia. Menggunakan taktik perang Gerilya yang terkenal dan ditakuti oleh Belanda. Belanda kewalahan dalam melawan taktik Pangeran Diponegoro yang keluar masuk hutan dan muncul dimalam hari untuk melakukan serangan secara tiba-tiba. Banyak uang yang dikeluarkan Belanda pada saat itu untuk menangkap pangeran Dipenogoro namun tidak membuahkan hasil. Akhirnya Belanda menangkap pangeran Diponegoro dengan cara licik yaitu dengan mengajak berunding namun perundingan gagal. Pada saat itulah pangeran Diponegoro akhirnya ditangkap oleh Belanda. Pada tahun 1973 Beliau diakui sebagai pahlawan nasional berkat jasa-jasanya. Untuk mengenang jasa-jasanya tersebut, banyak kota di Indonesia yang menamai jalan, stadion, universitas dengan nama Diponegoro.
7.KHR As’ad Syamsul Arifin
Pada tahun 2016 lalu, Presiden Jokowi melalui Keputusan Presiden RI Nomor 90/TK/Tahun 2016 tanggal 3 November menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada salah satu tokoh dari pesantren,KHR As’ad Syamsul Arifin. Ulama berdarah Madura yang lahir di Mekah ini berperan besar terhadap perjuangan berdirinya Republik Indonesia.
KHR As’ad kecil merupakan santri di Banyuanyar di bawah asuhan Kiai Abdul Majid dan KH Abdul Hamid. Saat usia 16 tahun, As’ad dikirim ayahnya belajar ke Mekah, Arab Saudi. Pada 1924, As’ad kembali ke Tanah Air. Meski lama belajar di Mekah, As’ad masih saja merasa ilmu yang dia kuasai masih sangat kurang. Dia memutuskan untuk menimba ilmu di sejumlah pesantren di Tanah Air.
Dibawah asuhan KH Hasyim Asy’ari, As’ad tumbuh di lingkungan santri pejuang. Dia berteman baik dengan para tokoh perjuangan seperti KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Abbas Buntet, KH Wahid Hasyim, dan beberapa lainnya.
Inilah yang dapat kami rangkum dari sekian banyak pejuang muslim Indonesia. Para pejuang di seluruh penjuru tanah air, bersatu bahu-membahu. Mereka merajut ukhuwah dan memupuk semangat perjuangan tanpa kenal menyerah. Sehingga tak sedikit diantara para pejuang tersebut yang memekikkan semangat juang dengan ruh keislaman yang membara di dalam dada. Sebagian pahlawan yang telah gugur dalam melakukan perjuangan tersebut, mengartikan bahwa perjuangan merebut kemerdekaan adalah bagian dari jihad di jalan Allah.
Sebagai generasi penerus bangsa, kita wajib bangga dan senantiasa mengingat jasa pahlawan yang telah merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Bangsa yang besar ialah bangsa yang paham akan hakikat penghargaan kepada para pejuang. Para pahlawan tersebut telah membantu kita hari ini menghirup udara segar, yang dengannya kita bisa mendapatkan kebebasan pula utuk beribadah kepada Allah Ta’ala.
Mereka, para pejuang bangsa ini telah melakukan suatu amal kebaikan yang semoga Allah Ta’ala menerima amal ibadah mereka. Bagaimana tidak? Sebab mereka telah menyatukan seluruh elemen bangsa ini baik secara ekonomi, politik, budaya, dan kehidupan sosial masyarakat negeri ini.
Facebook WhatsApp Twitter
from WordPress https://ift.tt/2NzYrJl via IFTTT
0 notes
Text
KH Hasyim Asy’ari, Pahlawan Pemersatu Umat
Di saat ikatan tali ukhuwah kita mengendur: dai yang tak sama pandangan dicurigai, divonis, ditolak, dan diatur-atur. Sementara, oknum dai lainnya provokatif dalam bertutur. Kasar, merendahkan, dan menyalah-nyalahkan yang tak selajur. Lalu, kita ribut berebut pengaruh demi eksistensi kelompok semata dan masih saja kita terjebak dengan isu-isu pertentangan wahabi dan khilafiyah.
Maka, dalam momen peringatan hari pahlawan ini, sangatlah penting dan relevan kita membicarakan kiprah salah satu pahlawan republik ini. Ia tiada lain adalah Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari.
Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini seakan hadir untuk ditakdirkan menjadi sosok ulama pemersatu umat. Bahwa berukhuwah yang benar bukan sekadar jargon-jargon, gembar-gembor, dan kata-kata manis di bibir, melainkan satunya kata-kata itu dengan perbuatan. Dan Kiai Hasyim telah membuktikannya.
Kala terjadi pertentangan antara kaum modernis dan kaum tradisionalis–kaum modernis menuduh kaum tradisionalis taqlid buta (menuruti suatu pendapat tanpa merasa perlu menuntut dalil), sedangkan kaum tradisionalis menuding kaum modernis sesat langkah daripada jalan ahlussunnah wal jama’ah, Kiai Hasyim bersikap. Ia mengeluarkan dan menyiarkan semacam surat edaran bernama Al-Mawaa’izh di kongres NU yang ke-11 di Banjarmasin pada tahun 1935. Al-Mawaa’izh ini berisi nasihat yang mendalam tentang persatuan umat Islam. Buya Hamka dalam Panji Masyarakat (15/8/1959) menerjemahkannya untuk kita.
Dalam Al-Mawaa’izh, Kiai Hasyim mengingatkan agar tidak mencaci kaum yang mentaqlidi imam-imam yang memang boleh ditaqlidi, sekalipun pendapat imam tersebut tidak kuat. Berilah arahan yang halus kepada mereka, pesan beliau. Namun, bila mereka tidak mengikuti arahanmu, jangan musuhi mereka. “Kalau kamu berbuat demikian, samalah kamu dengan orang yang membangun sebuah istana, dengan menghancurkan terlebih dahulu sebuah kota,” ujarnya.
Kiai Hasyim juga melarang fanatik terhadap satu mazhab dan ribut-ribut masalah furu’ (cabang agama) yang dalam kalangan ulama sendiri memang terjadi perbedaan pendapat/perkara ijtihadi. "Kamu berkeras membicarakan perkara furu’, yang dipertikaikan oleh ulama," kata Kiai Hasyim. ”Tetapi kamu tidak ingkari perbuatan haram yang dilakukan orang, yang ijma’ (kesepakatan, red) sekalian ulama atas haramnya sebagai zina (pelacuran), riba (rente), minum-minuman keras dan lain-lain. Tidak ada cemburumu melihat yang demikian itu. Kamu hanya cemburu untuk Syafii dan Ibnu Hajar.”
Kiai Hasyim juga menegaskan, janganlah bercerai-berai, berpecah-belah, dan bermusuh-musuhan. Sebab, itu melanggar hukum Allah dan dosa yang sangat besar. “Itulah yang menyebabkan runtuh-leburnya bangunan suatu bangsa, sehingga tertutuplah di hadapannya setiap pintu kepada kebajikan,” terangnya. Padahal, lanjut Kiai Hasyim, agama kita semua sama: Islam, daerah kita sama: Indonesia, semuanya ahlussunnah wal jamaa’ah, dan mazhab kita satu, yaitu Imam Syafi’i (Hasib di Jurnal Islamia Republika 20/8/2015 menjelaskan maksudnya jangan mengabaikan mazhab mayoritas di Indonesia yakni mazhab Syafi’i.
Sikap kompromi seperti ini, menurut Deliar Noer (1982), memanggil Kiai Muhammad Dahlan dan Kiai Wahab Hasbullah dari NU, Kiai Mas Mansur dari Muhammadiyah, dan Wondoamiseno dari Sarekat Islam, untuk sama-sama membentuk sebuah wadah persatuan perhimpunan-perhimpunan Islam di Surabaya pada 21 September 1937. Wadah ini kemudian diberi nama Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI).
Dalam anggaran dasarnya, tujuan MIAI antara lain menggabungkan seluruh organisasi Islam untuk bekerja sama dan mendamaikan manakala terjadi pertikaian di antara golongan umat Islam (Aboebakar, 2011).
Setelah MIAI dibubarkan oleh Jepang dengan sewenang-wenang, muncul Partai Islam Masyumi. Kiai Hasyim duduk sebagai Ketua Majelis Syuro di situ. Beliau menginginkan umat Islam bersatu di partai itu. Pernah penulis mewawancarai salah satu cucu Kiai Hasyim yang sekarang mengasuh Pesantren Tebu Ireng, Salahuddin Wahid atau yang lebih akrab disapa Gus Solah. Gus Solah bercerita, sang kakek pernah berpesan agar umat Islam tetap bersatu dalam satu partai yaitu Partai Masyumi. Karena pesan itu, sejumlah ulama NU seperti KH Abdul Madjid (ayah dari Cak Nur) dan KH Abdullah Syafii (ayah dari Tuti Alawiyah) tetap bertahan di Partai Masyumi. Cerita ini Gus Sholah dengar dari kakak iparnya, Hamid Baidhowi, yang mendengar langsung dari KH Abdul Madjid. Rupanya, Kiai Hasyim tak hanya ingin umat Islam bersatu dalam gerakan keagamaan, tapi juga dalam politik. Ini menunjukkan bahwa Kiai Hasyim tidak memisahkan urusan agama dengan politik. Kiai Hasyim tak sekular.
Kiai Hasyim memang benar-benar mendambakan persatuan. Ia seperti tidak percaya jika umat ini bisa pecah. Sering ia sampaikan, “Bagaimana bisa kaum muslimin berpecah-belah, sedangkan kitab mereka Alquran satu; nabi mereka Nabi Muhammad SAW satu; kiblat mereka Ka’bah satu. Tidak ada sesuatu yang patut dijadikan alasan mereka berpecah belah; apalagi sampai saling mengkafirkan satu sama lain. Perpecahan ini hanyalah menguntungkan musuh-musuh kaum muslimin.” (Syihab diterjemahkan Bisri, 1994). Ya, musuh kita bukan sesama kaum Muslimin. Musuh kita sebenarnya adalah kemiskinan, kesenjangan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Di mata Kiai Hasyim, persatuan adalah syarat mutlak mewujudkan kebahagiaan, kemakmuran secara merata, serta memajukan dan memperkuat negara dan Tanah Air (Zuhri, 2010).
Upaya Kiai Hasyim dalam mempersatukan umat Islam berlanjut dalam kongres NU yang ke-12 di Malang pada tahun 1937. Kiai Hasyim mengundang kalangan Islam di luar NU untuk hadir membicarakan persoalan umat Islam. Bunyi undangannya, “…Kemarilah tuan-tuan yang mulia; kemarilah, kunjungilah permusyawaratan kita [=kami], marilah kita bermusyawarah tentang apa-apa yang menjadi baiknya Igama (agama, red) dan umat; baik pun urusan Igamanya, maupun dunianya; sebab dunia ini tempat mengusahakan akhirat dan kebajikan tergantung pula atas beresnya peri keduniaan. …” (Noer, 1982).
Kita bisa merasakan begitu hangatnya ajakan itu. Ramah. Sejuk. Sangat terasa ukhuwahnya. Dialog dikedepankan demi kepentingan semua kalangan. Subhanallah!
Dalam Muktamar NU ke-12, Kiai Hasyim turun tangan menengahi perselisihan antara generasi muda dan generasi tua NU. Ia berusaha menjembatani jarak di antara keduanya dengan menyampaikan, generasi tua seharusnya mencintai yang muda, dan yang muda seharusnya menghormati yang tua.
Setelah itu, Muktamar memutuskan untuk membentuk badan otonom untuk pemuda NU. Nasihat lembut Kiai Hasyim berhasil menyatukan para pengurus NU. Pada muktamar ini, Kiai Hasyim juga berjasa menjembatani jarak antara santri dan abangan dengan mengajak umat Islam berdakwah pada abangan dengan penuh kelembutan dan kedamaian (Khuluq, 2000). Kita bisa melihat betapa piawai, penuh kasih sayang, dan bijaknya dakwah Kiai Hasyim ini!
Contoh kearifan Kiai Hasyim lainnya diceritakan oleh mantan Imam Besar Masjid Istiqlal, almarhum Profesor Kiai Ali Mustafa Yaqub di Republika (13/4/2015). Kiai Ali mendapat cerita ini dari murid Kiai Hasyim yang bernama Kiai Abdul Muhit Muzadi. Ceritanya, waktu itu, ada masyarakat yang bertanya kepada Kiai Hasyim soal kapan waktu lebaran.Kiai Hasyim menjawab, "Lek melok Maksum, yo mene, lek jare aku, yo nunggu rukyat se (Kalau ikut Maksum, lebarannya besok, tapi kalau menurut saya, kita menunggu rukyat dulu)". Maksum yang disebut oleh Kiai Hasyim adalah murid dan menantu beliau sendiri. Nama lengkapnya Maksum bin Ali, seorang Kiai yang ahli falak/astronomi. Ia menulis kitab falak berjudul al-Durus al-Falakiyyah (Pelajaran Ilmu Falak) tiga jilid dalam bahasa Arab.
Dari cerita Kiai Ali ini, kita bisa melihat bahwa dalam urusan furu’, Kiai Hasyim tampak tidak memaksa yang bertanya untuk mengikuti pendapatnya, dan juga tidak menyalah-nyalahkan Kiai Maksum yang berbeda pendapat dengannya. Kiai Hasyim toleran dalam perbedaan yang sifatnya khilafiyah. Ini tidak mungkin dilakukan kecuali oleh insan yang dadanya lapang, rendah hati, berpikiran terbuka, toleran, tidak fanatik, bijak, berwawasan luas, dan tidak gila hormat. Itulah jasa-jasa besar dan mulia Kiai Hasyim dalam mempersatukan umat Islam di negeri ini. Betapa teladan pemimpin menjadi kunci dalam mengencangkan ikatan tali ukhuwah islamiyah. Di saat mengendurnya ikatan tali itu sekarang ini, kita teramat rindu dan mencari-cari di mana sosok pemimpin seperti Kiai Hasyim? Di mana?
Dimuat di https://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/11/15/ozgqcq396-kh-hasyim-asyari-pahlawan-pemersatu-umat dengan sedikit suntingan
1 note
·
View note
Text
Mengenal Kiai Marogan, Kisah Hidup Karomah dan Amalan Zikirnya yang Terkenal
Ayoe Seksina Mengenal Kiai Marogan, Kisah Hidup Karomah dan Amalan Zikirnya yang Terkenal Artikel Baru Nih Artikel Tentang Mengenal Kiai Marogan, Kisah Hidup Karomah dan Amalan Zikirnya yang Terkenal Pencarian Artikel Tentang Berita Mengenal Kiai Marogan, Kisah Hidup Karomah dan Amalan Zikirnya yang Terkenal Silahkan Cari Dalam Database Kami, Pada Kolom Pencarian Tersedia. Jika Tidak Menemukan Apa Yang Anda Cari, Kemungkinan Artikel Sudah Tidak Dalam Database Kami. Judul Informasi Artikel : Mengenal Kiai Marogan, Kisah Hidup Karomah dan Amalan Zikirnya yang Terkenal Kyai Marogan terlahir dengan nama Masagus H. Abdul Hamid bin Masagus H. Mahmud. Ia memiliki Karomah dan Berprofesi Sebagai Pengusaha http://www.unikbaca.com
0 notes
Text
Dampak Maklumat Kiai Nawawi-Putra Mbah Hamid Buat Gus Ipul – Pilkada Serentak 2018
TheSunIndonesia , PASURUAN – Maklumat dari ulama karismatik, KH Nawawi Abdul Jalil dan KH Idris Hamid dari Pasuruan terkait Pilgub Jatim, bakal berdampak luas untuk calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur, Saifullah Yusuf dan Puti Guntur Soekarno atau Gus Ipul – Mbak Puti. Hal itu diungkap Wakil Wali Kota Pasuruan, Raharto Teno Prasetyo. Menurut dia, […] The post Dampak Maklumat Kiai Nawawi-Putra Mbah Hamid Buat Gus Ipul – Pilkada Serentak 2018 appeared first on The Sun Indonesia. http://dlvr.it/QVRRBg #BeritaIndonesia
0 notes