#Kami-Furano
Explore tagged Tumblr posts
gacougnol · 2 years ago
Text
Tumblr media
Shinzo Maeda
Kami Furano
Hokkaido, Japan, 1984
111 notes · View notes
sorezorenonihon · 7 years ago
Video
Asahino, early spring by threepinner Via Flickr:
13 notes · View notes
lets-take-a-break · 5 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media
かんのファーム KANNO FARM
北海道空知郡上富良野町 Kami-furano-cho, Sorachi-gun, Hokkaido, Japan
2019/07
18 notes · View notes
ejharawk · 4 years ago
Text
Arti bergaya dengan kaos musik
Tumblr media
Bermula dari hobi, siapa menyangka kaos band ternyata bisa menjadi investasi bagi pemiliknya. Pun menjadi bentuk dukungan nyata bagi kelangsungan hidup musisi.
“Saya mulai membeli kaos musik sejak masih SMA. Sekarang sudah punya tiga anak,” ujar Reland (37), salah satu kolektor kaos band saat kami temui di Rock Nation, sebuah toko penjual kaos musik/band lokal dan internasional yang beralamat di Jl. Anggrek Garuda, Slipi, Jakarta Barat, Selasa (3/7/2018) siang.
Rock Nation diprakarsai Ary Budiman bersama I Nyoman Satriawijaya. Duo ini mulai menyeriusi bisnis penjualan kaos musik sejak 2016 dengan mendirikan perusahaan bernama PT Memorabilia Musik Indonesia.
Reland siang itu sejatinya mau jajan rock. Ini istilah untuk menyebut kebiasaan membelanjakan uang untuk barang-barang yang berkaitan dengan musik rock. Kaos musik salah satunya.Niat berbelanja diurungkannya musabab tak menemukan kaos incaran sesuai ukuran badannya. “Saya langganan beli kaos di Rock Nation sejak dua tahun silam,” katanya. 
Di hadapan Reland berjejer kaos-kaos dari musisi lokal dan mancanegara. Harganya bervarisasi antara Rp160 ribu hingga Rp350 ribu.Mengenakan kaos resmi dari band atau musisi merupakan bukti kecintaan dan dukungan untuk keberlangsungan karier sang idola.
Hingga saat ini Reland mengaku jumlah kaos band koleksinya masih berjumlah puluhan. Tak sebanding dengan milik Ary yang saking banyaknya kemudian memenuhi lemari. Oleh sebab itu, Ary berpikir untuk menjual sebagian kaos-kaos miliknya.
Sebagai permulaan Ary menjajakan kaos-kaosnya di media sosial dan forum-forum daring seperti Kaskus.
Merasa potensi bisnis berjualan kaos band punya masa depan cerah karena bukan tren sesaat, lahirlah Rock Nation yang mengantongi lisensi resmi dari distributor merchandise besar seperti Bravado dan Live Nation Merchandise.
Berbelanja kaos band resmi band atau musisi merupakan salah satu cara mendukung perjalanan karier musisi, selain tentu saja dengan ikut membeli album asli dan tiket pertunjukan.
Dalam beberapa contoh, hasil penjualan kaos band tetap bisa memberikan benefit kepada personel --ataupun ahli warisnya-- sekalipun band bersangkutan telah bubar.
Beberapa band yang bisa dijadikan contoh, antara lain Nirvana, The Beatles, atau The Grateful Dead. Untuk lingkup nasional, kelompok Puppen dan Homicide juga bisa jadi rujukan. Penjualan aneka merchandise mereka tetap jalan meskipun tak lagi aktif berkarya.
Pemasukan dari hasil menjual album musik semata kini tak bisa lagi diandalkan. Mata pisau yang jadi pemangkasnya adalah versi unduh gratis alias bajakan dari karya musik mereka.
Bagi hasil dari layanan pengaliran musik juga belum terlalu signifikan, terutama bagi musisi atau band di kancah sidestream yang belum punya basis massa luas.
Tracy Lauren Marrow alias Ice T, rapper dan produser musik legendaris, dalam salah satu kicaunya melalui akun @FINALLEVEL menulis bahwa seorang seniman hanya menghasilkan sekitar 0,007 sen dari setiap lagunya yang terputar di Spotify.
Pada titik inilah hasil penjualan merchandise menjadi krusial. Terlebih dewasa ini kesadaran untuk mengenakan kaos asli terus meningkat. Para penggemar memafhumi bahwa membeli kaos bajakan atau berlisensi resmi tak membuat musisi idolanya mengantongi duit sepeser pun.
Semisal Reland yang selalu membeli kaos asli dari penjual yang mengantongi lisensi untuk menjual merchandise band.
“Pernah sih sekali beli kaos The Stone Roses versi bootleg (bajakan,red.) waktu nonton mereka konser di Jakarta, 2013. Itu juga terpaksa karena gue sudah kehabisan kaos aslinya. Dan rasanya memang beda kalau pakai kaos orisinal,” kata Reland beralasan.
Ada kebanggaan tersendiri ketika versi orisinal kaos band favorit menempel di badan. Sebagian malah menganalogikannya sebagai fashion statement.
“Memakai kaos band seperti sebuah pemberitahuan bahwa lo menyukai band tertentu. Kalau cuma mendengarkan albumnya kan susah bagi orang-orang mengetahui lo suka band apa,” ujar Soleh Solihun saat mengunjungi kantor Beritagar.id dalam rangka promosi film Mau Jadi Apa? (21/11/2017).
Mantan wartawan musik yang kini menjadi pemain dan sutradara film itu mengaku punya sekitar 300an koleksi kaos band. Semua tersimpan rapi dalam lemarinya. "Gue enggak ada niat menjual kaos-kaos gue itu," ujarnya.
Tumblr media
Saat menjadi salah satu pembicara dalam dikusi mengenai merchandise band di Archipelago Festival di Soehanna Hall, Sudirman Central Business District, Jakarta Selatan (15/10/2017), Arian Arifin --vokalis Seringai-- menyebut pemasukan bandnya dalam setahun dari penjualan kaos band mencapai Rp540 juta.
Dijelaskan Arian, dari rerata harga jual satu kaos yang dibanderol Rp135 ribu, Seringai yang bersiap meluncurkan album terbaru mendapatkan untung Rp56.250.
Setiap tahun mereka meluncurkan 24 desain --satu bulan dua desain-- yang masing-masing diproduksi sebanyak 400 lembar. Lantaran banyak peminat, sering kali dua item tersebut ludes sebelum dua desain baru berikutnya meluncur ke pasaran.
Beberapa band lain yang turut menikmati pemasukan dari hasil penjualan kaos, antara lain Deadsquad, Burgerkill, The Sigit, Kelompok Penerbang Roket, dan Endank Soekamti. Raisa yang notabene solis tak kurang juga ikut memproduksi sendiri merchandise-nya.
Laris manisnya penjualan kaos tentu saja berbanding lurus dengan kepopuleran band. Semakin luas basis massa yang dimiliki, kesempatan menangguk untung juga terbuka lebih lebar.
Walaupun demikian, seringkali memproduksi kaos juga dilakukan oleh band-band muda usia yang bahkan meluncurkan satu album pun. Dengan modal sendiri yang seadanya, kaos-kaos tersebut juga dimanfaatkan sebagai media promosi agar orang-orang mengetahui keberadaan band atau musikus bersangkutan. Istilahnya walking advertisement.
Dikisahkan Arian, kelompok Homicide termasuk yang mengadopsi cara ini. “Ucok (vokalis Homicide, red.) itu kerjaannya nyetak kaos terus walaupun belum rilis album.”
Alasan lain yang mendorong orang membeli kaos musik karena desainnya menarik perhatian. Kualitas bahan yang digunakan, kain maupun tinta sablonan, juga masuk dalam pertimbangan utama.
Beberapa jenama yang jadi langganan kaos band, antara lain Gildan, Fruit of the Loom, Tultex, Anvil, Delta Pro, Alstyle Apparel & Activewear, Wild Oates, dan Hanes.
Untuk jenis tinta sablon, plastisol masih menjadi favorit karena gambar yang dihasilkan bisa menyerupai aslinya. Maklum model desain kaos musik kebanyakan berasal dari gambar atau ilustrasi yang menjadi sampul album.
Sebagai band yang sangat memerhatikan pentingnya arti kaos band, mengingat semua personelnya juga doyan beli kaos band, Seringai tahu betul cara memanjakan penggemar loyalnya.
Saban beraksi di panggung, tim dari divisi merchandise akan hadir di sana menjajakan kaos eksklusif alias dicetak terbatas.
Desain kaos tersebut tidak tersedia di Toko Lawless Jakarta, daring maupun luring. Hanya bisa didapatkan ketika menyaksikan penampilan langsung Seringai.
Ekseklusifitas jadi salah satu alasan selembar kaos jadi primadona banyak orang, terutama kolektor.
Tak peduli berapa ongkos yang harus dikeluarkan, kaos jenis ini tetap saja jadi incaran. Hal yang membuat selembar kaos band kelak bisa menjadi investasi bagi pemiliknya. Tengok saja harga kaos-kaos beratribusi rare yang dijajakan melalui ebay, situs web berjualan daring.
Selembar kaos berwarna dasar putih milik grup The Rolling Stones bertuliskan “Stones at Knebworth 76” terjual dengan harga $1.500 atau sekitar Rp21,4 juta.
Harga itu belum seberapa dibandingkan banderol untuk kaos Led Zeppelin yang juga dari festival musik Knebworth.
Kaos berwarna hitam bersapu tulisan “LZ Knebworth” pada bagian depan dan “Led Zeppelin Back Stage Pass 79” di sisi belakang itu terjual $10 ribu (Rp142,9 juta). Padahal sang penjual mengaku membeli kaos tersebut hanya seharga $123 (Rp1,7 juta).
Tumblr media
Dalam perjalanannya, sebagian besar yang menjadi incaran kolektor memang kaos konser atau tur.
Faktor penyebabnya karena desain-desain kaos setiap rangkaian tur antara destinasi yang satu dengan lainnya kerap berbeda. Itu menjadikannya khas dan eksklusif. Seiring waktu, kaos tersebut bisa melesat jadi barang langka yang mahal harganya.
Jika melongok sejarah perjalanan musik, Grateful Dead pantas disebut sebagai band pertama yang serius menangani penjualan merchandise.
Kala band-band lain emoh melirik sektor ini karena penjualan album musik dinilai lebih menggiurkan, band bentukan 1965 di Palo Alto, California, AS, ini mulai menjajakan kaos-kaos setiap destinasi konser mereka.
Dituliskan Amber Easby dan Henry Oliver dalam buku The Art of the Band T-Shirt (Simon Spotlight Entertainment, 2007), musisi seperti Elvis Presley, The Beatles, atau The Monkees sebenarnya sudah punya kaos-kaos bertuliskan nama mereka.
Hanya saja tidak ada yang spesial dari penjualan kaos band tersebut karena pengelolaannya tidak dilakukan secara profesional.
Orang-orang bebas memproduksi sendiri kaos band-band tanpa harus membayar royalti. Sebagai misal, peredaran kaos-kaos The Beatles versi bootleg lebih banyak dibandingkan yang resmi.
“Pada era 70an, menjual kaos musik masih bukan sesuatu yang keren. Jadi kami harus sangat hati-hati saat memulai bisnis ini,” ujar Dell Furano (66), tokoh yang dianggap sebagai pionir penjualan kaos band.
Awal kisahnya terjadi saat Furano (66) masih bekerja di gedung pertunjukan Winterland Ballroom, San Francisco, AS, milik promotor musik Bill Graham. Suatu ketika, pacar Bill Kreutzmann (drummer Grateful Dead) mendatangi Graham dan mengutarakan niat menjual kaos-kaos band pacarnya sepanjang konser berlangsung.
Graham menyuruh Susila, nama kekasih Kreutzmann, untuk membicarakannya kepada Furano yang ternyata menyambut dengan baik ide tersebut.
Percobaan pertama menjual kaos the Dead --sebutan lain untuk Grateful Dead-- yang bercorak ikat celup alias tie dye khas generasi bunga ternyata cukup berhasil.
"Semula saya enggan menyetujui usulan tersebut sebab khawatir kami tidak akan mampu bersaing dengan dengan popcorn dan Coca-Cola," kenang Furano. "Ternyata banyak yang berminat dengan kaos-kaos yang kami jual.”
Tak hanya menjual kaos-kaos dengan desain unik dan berbeda pada setiap konser, mereka juga bergerilya menitipkannya ke toko-toko musik di sekitar San Francisco.
Berangkat dari momen tersebut, Ferano dan Graham lalu mendirikan Winterland Productions pada 1974 yang khusus menjual merchandise band.
Dari awalnya hanya coba-coba, kini bisnis penjualan merchandise meningkat pesat dan melintasi berbagai benua. Memasuki berbagai ruang dan kondisi.
Menemukan orang yang memakai kaos band saat mengikuti car free day, antrean nonton di bioskop, belanja di pusat perbelanjaan, terlebih saat berlangsungnya festival atau konser musik adalah kelaziman.
Menurut hasil survei Licensing Industry Merchandisers Association (LIMA), pada 2016 pemasukan dari penjualan merchandise secara global menembus angka $3,1 miliar AS (Rp44,5 triliun). Meningkat dari capaian tahun sebelumnya yang mencetak $2,83 miliar AS. Sungguh menggiurkan.
Sekarang bahkan ada sebuah acara khusus tempat penjual dan pembeli/kolektor kaos band berkumpul.
Acara bernama “Band T-Shirt Day Indonesia” pertama kali diselenggarakan pada 2016 di Rooftop Plaza Semanggi (18/12). Setahun berselang, acara dipindahkan ke Mall Kuningan City (16-17/12). Tahun ini acara serupa juga sudah mulai dipersiapkan.
Membeli kaos band bukan hanya berlangsung di toko-toko yang mengantongi lisensi resmi, tapi hingga ke lapak-lapak yang menjual pakaian impor bekas alias second.
Jika beruntung, terkadang menyempil satu kaos band produksi lawas alias rare yang bisa ditebus dengan harga miring. Tak peduli jika kaos tersebut sudah belel, asal tetap orisinal biasanya akan tetap terangkut dalam kantong belanjaan.
“Musik sudah menjadi bagian dari budaya populer. Sekarang orang-orang yang berbelanja (barang-barang terkait musik) tidak terbatas pada penggemar musik saja,” ujar Marty Brochstein, Vice President LIMA.
Demikianlah, kaos musik kini bukan sekadar untuk bergaya agar tetap mengetren. Lebih dari itu, ada sumbangsih kepada musisi dari tiap lembar kaos yang dibeli. Jika ingin menjualnya kembali, pemilik malah bisa menjadikannya investasi seperti halnya Ary Budiman.
0 notes
kyama · 6 years ago
Photo
Tumblr media
上富良野駅。 #上富良野駅 #jr富良野線 #ローカル線 #富良野 #北海道 #北海道旅行 #1998年 (Kami-Furano Station) https://www.instagram.com/p/BvysIVajGGx/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=1dtu4lb4ysujq
0 notes
thehikingviking · 6 years ago
Text
Tokachi-dake and Furano-dake Lavender Loop
Tumblr media
We had one last big hike on our Japan trip. Tokachi-dake is one of the Famous 100 Japanese Mountains and is also a P2k (peak with 2,000 ft of topographic prominence). That was enough to get my interest. We spent the night near Furano, which is the lavender capital Japan. After waking up at our nice country lodge, we drove to Tokachi-dake Ravine Onsen  十勝岳温泉峡. At the trailhead, there was a public restroom and a large parking lot.
Tumblr media
In my research, I noticed Furano-dake was nearby, further south on the ridgeline. I wanted to combine the two peaks if possible for no other reason than Furano-dake looked prominent and interesting. Upon reading the map at the trailhead, it seemed possible to combine the two with a loop.   
Tumblr media
I found the other trailhead sign entertaining, specifically the part instructing people to “avoid barbecue or similar food with strong smells.” As funny as this was, it was a stark reminder that there are brown bears in the area and we needed to be careful. We didn’t have bells or bear spray, which made me a little nervous. I’ve seen many news articles of Japanese people being killed by brown bears. I just hoped my larger stature would be enough to intimidate the local predators.
Tumblr media
We started off up the trail into the volcanic gorge. The area had a Jurassic Park feel to it. I spent the first 20 minutes thinking about what I would do if we ran into a brown bear.
Tumblr media Tumblr media
After one mile of hiking, we came to a dry creek crossing where the trail switched back towards the southwest. Up the canyon we could see fumaroles and the rock coloration indicative of recent volcanic activity.
Tumblr media
A sign translates to Ansei Kakou (crater) to the left and Furano-dake to the right.
Tumblr media
We followed the trail as it climbed out of the gully.
Tumblr media Tumblr media
While there was a clear trail, the Japanese don’t do a very good job of making the trail smooth and easy for walking at a brisk pace. They seem content to just clear the vegetation. This rocky trail put us at a slower pace than I anticipated. After hiking around the mountain’s contour we could see Furano-dake in the distance.
Tumblr media Tumblr media
After 1.5 miles, we reached a junction in the trail and took the right path heading south.
Tumblr media Tumblr media
The fog came in and out as we wound our way along the west facing mountain slopes. While the trail looks generally flat on a map, there are a lot of unnecessary ups and downs that again slowed our pace.
Tumblr media Tumblr media
Shortly after we dropped into another gully with another dry creek bed. 
Tumblr media
There was the occasional steep flight of stairs that almost unnecessarily popped up from time to time.
Tumblr media Tumblr media
I kept an eye out for bears as this seemed like prime habitat.
Tumblr media Tumblr media
As we approached the end of our third mile, we reached the key saddle between Tokachi-dake and Furano-dake. The sub peak of Miune-dake stood to the east.
Tumblr media
At the next trail junction, we continued right up the east facing slopes of Furano-dake.
Tumblr media
Again we followed some needless stair cases which climbed above the saddle.
Tumblr media Tumblr media
The trail crossed through a tundra as clouds dissipated above our heads.
Tumblr media Tumblr media
The last stretch was steep and tired me out. We recovered with a long rest once we reached the top. 
Tumblr media
The trail continued down towards Maefurano-dake, but this summit would be the farthest west we would hike that day.
Tumblr media Tumblr media
Towards the east was the ridge we would follow back down towards Tochachi-dake.
Tumblr media
We still had time to complete our loop, so we descended back down towards the saddle. This time we took a right at the fork in the trail and stayed high along the ridge. 
Tumblr media
The trail climbed upwards again, heading in the direction of Miune-dake, which was a sub peak along the way to Tokachi-dake.
Tumblr media Tumblr media
Furano-dake was engulfed by shape shifting clouds behind us.
Tumblr media
There were several possible high points for Miune-dake. I found the one marked on Google Maps to be slightly lower than what I assumed to be the real Miune-dake. The trail basically went along the very top of the ridge, so whichever was the true Miune-dake was climbed one way or the other.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
With a break in the clouds, Tokachi-dake was now visible to the northeast.
Tumblr media
We expected the traverse to be tedious with all the ups and downs along the way, and it was.
Tumblr media Tumblr media
To the north we spotted another trail cutting through the vegetation. We planed to hike down this trail later to complete our loop.
Tumblr media
The surrounding views were constantly being altered with the ever changing clouds.
Tumblr media
Down below was Ansei Crater.
Tumblr media
The trail split; one fork headed down towards the mountain hut  上ホロカメットク山避難小屋, while the other climbed over the sub peak of Kami-horokamettoku-san. We took a left and climbed a steep trail to claim the bonus peak.
Tumblr media
The Ansei Crater below was very beautiful and photos cannot do it justice.
Tumblr media
There seemed to be fumaroles shooting out of the top of the crater to the northwest.
Tumblr media
Furano-dake and Miune-dake stood to the southwest.
Tumblr media
Tokachi-dake and the mountain hut were to the north. The main objective seemed to be close now, but the clouds were increasing making me concerned with the weather. 
Tumblr media
As we descended down to the hut we got more great views of the crater.
Tumblr media
The sub peak of Kami-horokamettoku-san stood sharply behind us.
Tumblr media
We continued following the volcanic ridgeline towards the peak.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
The fumaroles across the crater were shooting volcanic gasses into the air. The wind was blowing the fumes into our direction, and I could taste the residue on my tongue. 
Tumblr media
As we continued climbing, the taste in my mouth grew stronger and stronger. I wondered if continuing would be safe. I figured that the Japanese were probably the most cautious people on the planet, and if there was any danger to be had, they would close the trail. I continued climbing, breathing through my shirt.
Tumblr media
As we neared the top the vegetation disappeared. I felt as if I was hiking in Mordor. The last few tenths of a mile went very slowly.
Tumblr media
We both reached the top alive and breathing. 
Tumblr media
To the northeast was Biei-dake. We spotted a lone climber hiking towards us along the barren volcanic ridge. It felt good knowing we weren’t the only ones on the mountain.
Tumblr media
The southeast was covered with clouds. 
Tumblr media
To the southwest was Furano-dake, Miune-dake and Kami-horokamettoku-san blocked by clouds.
Tumblr media
To the west was the main source of the fumaroles.
Tumblr media
We wanted to get away from the gasses, so we started back down the volcano.
Tumblr media
As we followed the ridge, the fumes became replaced with clouds. Breathing was no longer an issue, but it quickly became damp and cold.
Tumblr media Tumblr media
Rather than re-climb Kami-horokamettoku-san, we walked by the mountain hut and took the alternate trail back.
Tumblr media Tumblr media
There was a patch of snow here feeding a creek, so we refilled our water bottles.
Tumblr media
Visibility was limited so we continued with GPS. I was a little disappointed because the trail dropped considerably, just for it to climb back up to the ridge.
Tumblr media
We broke through the clouds, reappearing on the other side of Kami-horokamettoku-san. Miune-dake and Furano-dake were visible once more.
Tumblr media
We reconnected with the trail junction we spotted earlier, at what I believe was another sub peak called Kami-furano-dake.
Tumblr media
From here we followed the trail down a rideline in the northwest direction.
Tumblr media
The trail was very steep, as it was mostly just a long staircase. This made the descent very fast, and we dropped over 1,000 ft in elevation very quickly.
Tumblr media Tumblr media
We followed the lonely trail to a dried up creek bed, where we eventually reconnected with the trail from earlier.
Tumblr media
The weather had completely changed since the morning, but we were fine with it so long as it didn’t rain. The climate was much cooler and more comfortable as we hiked out the final mile and a half back to the car.
Tumblr media
We again passed by the base of the Ansei Crater, which we were on top of only a couple hours before.
Tumblr media
We arrived at the car and were very happy to not have suffocated from volcanic fumes nor attacked by a brown bear. As we were driving out, I spotted a set of eyes in the brush.
Tumblr media
It was a Kita Kitsune, also known as a red fox. Asaka thought such a sighting was very rare, but after a quick Google search we learned that the are quite common.
Tumblr media
The following day we headed back to Sapporo where we regained lost calories.
Tumblr media Tumblr media
We spent our last day mostly eating, but we took some time to climb Mt Moiwa as well. This was a very touristy mountain and had a rope way to the summit. We walked to the top, but the summit had a huge building full of desert shops and restaurants. At least the views of Sapporo was nice.
Tumblr media
We then visited Asaka’s home town of Utsunomiya where we enjoyed a fireworks festival. We also ate raw deer meet at a restaurant with live monkeys running around. I’m still alive as I write this, so I’m glad we went there and got to experience something different.
Tumblr media
0 notes
tranpedia-blog · 8 years ago
Link
via TranPedia
0 notes
sorezorenonihon · 7 years ago
Video
Rizing cloud
flickr
Rizing cloud by threepinner Via Flickr:
14 notes · View notes
chin-chin-daisuki · 12 years ago
Photo
Tumblr media
Sunflowers cover the hill by threepinner on Flickr.
4 notes · View notes
sorezorenonihon · 7 years ago
Video
Looking up Furikosawa by threepinner Via Flickr: Mt.Sandan, Kami-Furano, Hokkaido. 
12 notes · View notes