#Journey BaduyDalam unforgetable seru
Explore tagged Tumblr posts
Text
Unforgetable Journey : Menjejakkan kaki di tanah Baduy Dalam.
Pertama ditawarin buat ikut main ke Baduy itu cuma jawab Insya Allah, padahal dalam hati langsung “iya pak, iya. Ikut.” Baduy itu salah satu tempat yang pingin di kunjungi sejak SMA. Padahal waktu masih SMA tinggal naik elf ke Ciboleger dan melanjutkan perjalanan, sayangnya tidak ada teman yang berminat. Tau kenapa.
Well, perjalanan dua hari menjejakkan kaki di tanah Baduy Dalam itu jadi salah satu perjalanan yang nggak bakalan disesali seumur hidup. Walaupun harus merelakan acara ulang tahun SMA, tapi pengorbanannya terbayarkan dengan keinginan buat balik lagi ke Baduy Dalam, someday. Karena kalau sekarang duitnya udah seret :D
Pergi sama siapa? Pergi sama kebanyakan orang yang belum dikenal sama sekali tepatnya, selain dua orang. Pak Dedih- Bapak besar dikantor, dan Ka (Ib)Noe – pernah ketemu sekali waktu dulu pernah main ke Curug Panjang bulan Juli lalu. Selain mereka berdua,sisanya baru ketemu dan kenal hari itu, 18 November 2017 di stasiun Rangkasbitung. Ada ka Haidi yang berangkat dari Depok, ka Aliyah dari Bekasi, pasangan keren Bumil Ka Chacha dan suami (KaReza). Dan ada Bang Pena, dari Medan yang kini di Jakarta. Waktu pertama kali liat Bang Pena itu takut buat nyapa duluan. Selain “tidak menemukan celah untuk ngajak kenalan”, orangnya juga sibuk sama Hpnya sendiri. Jadi, cuma bisa berakhir ngira-ngira, ini Ka Pena bukan sih? Kaya mirip yang di foto, tapi kok beda. Lebih terlihat sangar-dikit. Hahahha peace, Bang ^^v.
Selain mereka ada rombongannya ka Noe yang berangkat dari Bogor. Agak apes juga sih sebenernya, karena pas kereta dari Bogor sampai ke Tanah Abang, kereta dari Tanah Abang ke Rangkas langsung berangkat, jadilah kita nunggu sampai sekitar 1,5 jam. No problem-lah ya, mau gimana lagi.
Sekitar jam 10.00 kita semua udah ready buat berangkat ke Baduy. Sewa elf tujuan Ciboleger kapasitas 16 orang. Perjalanan dari Rangkas ke Ciboleger memakan waktu 1,5 jam. Sampai sana kita semua istirahat, sholat dan makan. Iya makan. Karena sebelum pergi belum sempet sarapan. Walaupun udah makan roti enak harga 4500an tetep kurang, hehehe (kapasitas perutku memang ekstra sepertinya).
Jadi selama istirahat, makan, dan nunggu sekitar jam 1 untuk berangkat kita disamperin sama Kang Emen - temennya Bapak besar, dan beberapa orang Baduy dalam. Wow! why? Karena mereka ganteng. Swear! Mungkin kalian bakalan ngatain Chintya mah semuanya aja dibilang ganteng. I dont care, dude. Tapi gantengnya mereka itu versi yang berbeda. Aku kira orang-orang Baduy itu mukanya “buluk” (sorry) tapi ini benar-benar berbeda dari perkiraanku di awal. Wajahnya bersih (apa karena mereka mandi nggak pakai sabun ya? Hahha. FYI, di Baduy itu mandinya nggak pakai sabun yang banyak KOHnya kaya kita gini. Sikat giginya juga nggak pakai pasta gigi. Jadi kalau mau ganteng mandinya jangan pakai sabun hehe), dan mereka ramah. Serius! Really really friendly. Kalian bisa buktikan sendiri.
Diantara orang Baduy Dalam yang nyamperin itu ada yang namanya Kasdi. Kasdi ini menurutku sih anak umur 7 atau 8 tahunan. Anak-anak Baduy nggak tau dengan jelas umur mereka itu tepatnya berapa. Yang tau umur mereka dengan jelas yaa orang tua mereka. Kasdi ini cerita kalau dari rumahnya (Baduy Dalam) sampai ke Ciboleger jalan dan lari cuma butuh waktu 1,5 jam. Keren guys, keren! Ini sih bisa karena biasa, wong mau gimana lagi. Mereka nggak pernah naik kendaraan umum, coy. Waktu ngobrol sama Kasdi, Bapak Besar nimbrung. Ngasih challange gitu, katanya kalau aku sanggup ngobrol sama si Kasdi 15 menit aja, itu jago. HAHAHA – ku terima tantanganmu, pak.
(Ini Kasdi, si Anak sekiat 7-8 tahunan yang cuma butuh waktu 1,5 jam jalan kaki dari rumahnya sampai ke Ciboleger)
Dan, you know. Aku sama ka Aliyah ngobrol sama Kasdi bisa sampai sekitar 15 menitan kira-kira. Tapi ya gitu. Obrolan yang irreversible kalau bahasa reaksi kimianya (hahha songong). Karena, ya kaya wawancara aja gitu. Aku tanya di jawab. Kadang-kadang singkat pula. Tapi untung dia ramah, dan tidak ngeselin, jadi walau obrolannya begitu jadi seneng-seneng aja.
Finally, jam 12.45 karena semua udah siap dan mulai gerimis akhirnya kita memulai perjalanan. Selangkah demi selangkah, dengan happy tentunya. Awalnya aku sama ka Aliyah, ka Haidi, jalannya barengan. Tapi, karena akunya yang mulai capek jadi mulai tertinggal hehhe. Perjalanan panjang, kalau capek bilang, nanti berhenti buat istirahat, jadi tidak perlu dipaksakan. Jadi walaupun sempat tertinggal tapi masih terus dan terus jalan.
Hujan yang semakin deras bikin khawatir. Yang pertama dikhawatirin bukan karena jalannya yang pasti bakalan licin, becek, tapi lebih khawatir takut sakit disana. Maklumlah, aku tak bisa berteman begitu baik sama air hujan. Jas hujan plastik yang di pakai makin bikin produksi keringat lebih banyak, padahal hujan, dan mulai basah, tapi keringatnya naudzubillah banyak. Dan tentunya bikin cepat haus. Ditambah lagi, bawaan didalam tasku yang sangat-sangat padat. Huuwwwh, punggungnya panas, coy!.
Ditempat istirahat pertama akhirnya nyerah. Bukan, bukan nyerah karena pingin pulang. Tapi nyerah buat bawa tas sendiri. Selain sayang sama tulang belakang yang yaaa... begitulah, khawatir sama diri sendiri juga kalau maksa bawa nanti malah nggak bakalan dateng kesana (sumpah ini alasan wkwkwk). Porter tasku ternyata yang punya rumah di Baduy Dalam. Namanya “Kang” Sapri. Pas tau cuma bisa bergumama sendiri “nggak sopan banget gue, ya Allah. Yang punya rumah malah bawain tas yang isinya tak seberapa tapi sangat padat dan berat itu”.
Perjalanan berlanjut dong. Bagian lucunya adalah Bang Pena. Setelah pemberhentian pertama udah nggak liat Bang Pena lagi. Padahal pas berhenti pertama, mukanya keliatan capek. Parah pokoknya. Dan ternyata dia jalan duluan, nyampe duluan. Dan sialnya tasnya dibawa porter yang jalannya bareng sama kita (selain Bang Pena). Entah dia jalannya sama guide yang mana. Tapi based on ceritanya dia, si guide ini “seakan-akan” nggak ngizinin dia buat istirahat, jalannya cepet pula. Sungguh itu antara lucu pingin ngetawain Bang Pena dan kasian juga karena dia jalan tanpa perbekalan. Mesakne pokok’e. Ditengah perjalanan, dia dikasih minum sama orang Baduy Dalam yang (sepertinya) memang disediakan buat pengunjung. Langsung doong, dia minum sekenyangnya,memuaskan dahaga yang telah bersarang di tenggorokannya entah berapa lama. Keren kali kau bang, sungguh tekad dan semangatmu kemarin sangat membara, Bang! Salyuuut. Syukurnya sih, walau Bang Pena jalan duluan entah berjarak berapa meter atau kilometer dari kita, tapi ternyata dia juga nyampe di desa yang bakalan kita tinggali. Alhamdulillah. Coba kalau nggak, makin mesakne pol-polan dia, hohoho.
Bang Pena yang jalan duluan, kita mampir lagi, masih di desa Baduy Luar. Baduy Luar ini sudah mulai terlihat seperti kita, pakaiannya sudah mulai sedikit trendy, dan sudah pegang Hp. Waktu perjalanan pulang dan mampir istirahat di Baduy Luar pun lihat sendiri,kalau mereka sudah pakai Hp, touchscreen pula – lagi streaming youtube, liat berita artis. Pengaruh zaman modern yang sudah sampai di baduy luar sih disebabkan karena jarak mereka ke Ciboleger masih dekat, dan banyak pengunjung yang datang ke Baduy kebanyakan cuma sampai di Baduy Luar. So, wajarlah kalau mereka sudah terkontaminasi modernisasi (opo toh iki). Bedain orang Baduy Luar dan Baduy Dalam itu dilihat dari iket yang di pakai. Iketnya orang Baduy Dalam itu warna putih, kalau orang Baduy Luar warna biru. Sambil istirahat sejenak. Beres-beres diri, buka jashujan karena intensitas hujan yang sudah berkurang juga. Selain rombongan kita, ketemu rombongan lain yang juga ke Baduy Dalam. Ada ibu-ibu gaul 2. Umurnya sih terlihat 40an, lebih tua dari ibuku. Tapi keren dia, bisa jalan sejauh itu. Sayangnya, sebelum berangkat lagi dia meninggalkan sampah botol air minum. Ckkckckck. Jangan ditiru ya guys. Terlepas dia lupa buang atau memang terbiasa akan itu, tapi membuang sampah pada tempatnya itu wajib. Apalagi di desa orang, yang masih terjaga kebersihannya.
Lanjut perjalanan lagi lahyaa. Bener-bener kaya soundtrack-nya Ninja Hatori – mendaki gunung, lewati lembah, (melewati) sungai (pakai jembatan) mengalir indah ke Samudra.( Jangan sambil nyanyi gitu bacanya ^^v). Ditengah perjalanan hujan lagi. Karena jas hujan yang ditas akhirnya milih hujan-hujanan. Lebih seger sih rasanya, sambil berdoa “jangan sakit selama di Baduy Dalam nanti, jangan merepotkan orang lain pokoknya”, dan Alhamdulillah sehat-sehat saja sampai sekarang hehe. Jalan makin licin, makin rame ketemu rombongan anak sekolah yang banyak itu, yang pakai jas hujan. Sempet pingin lari buat ngejar rombongan sendiri yang ada di depan mereka – walau agak jauh, tapi karena kaki yang mulai berkurang kecepatannya, napas yang terengah-engah dan ketutupan sama mereka yang banyak dan warna-warni (karena jas hujan) akhirnya lebih milih menikmati perjalanan. Jalan pelan dan cepat hahha (tergantung kondisi kaki dan jalan) – percaya bahwa bakalan ketemu didepan, atau bakalan ditunggu juga pastinya. Jadi selow aee hoho.
Keadaan yang hujan bikin perjalanan harus ekstra hati-hati. Takut kepleset, dan lainnya. Udah nggak mikir kaki sama celana yang kotor, basah kuyup, yang jelas perjalanan tetap berlanjut. Terima kasih untuk tekad dan semangat yang membara, uluran tangan yang megangin biar nggak jatuh, yang “narik” buat terus jalan. Saat hujan gini, liatnya ke Ka Chacha. Iya, dia sedang hamil euy. Tapi masih kuat terus jalan, menanjak, licin, dan sebagainya. Masa ka Chacha yang lagi hamil aja bisa, tapi aku yang tidak hamil (hahaha) nggak bawa tas di gendong (cuma di slempang dan itu ringan-walau isinya ternyata padat) nggak bisa. So, perjalanan terus dan terus berlanjut.
Akhirnya sampai di Baduy Dalam jam 5an. Sudah ada Bang Pena yang sedang merokok entah batang rokok yang keberapa. Di Baduy Dalam para pengunjung itu diizinkan buat merokok, tapi orang Baduy Dalamnya nggak ngerokok. Hebat ya mereka. Pantes lah sanggup jalan kaki, jauh kemanapun, ya karena salah satunya paru-paru mereka sehat (dengan tidak merokok).
Di Baduy mandi nggak? Jawabannya, Nggak. HHAHHA. Seriusan. Setelah kehujanan, kaki kena lumpur, ya cuma mandi bebek aja gitu. Bersih-bersih seadanya. Ngapain mandi coba? Nggak bisa sabunan juga. Hahaha. Disana itu mandinya di sungai. Sungai besar. Belum banyak sampah. Atau bisa dibilang nggak ada sampah kaya di sungai-sungai kita kebanyakan. Sekilas mata memandang ya sampahnya cuma sampah daun aja gitu. Tapi sempat sih, nemu sampah waktu dipertengahan perjalanan. And i guess that trash come from visitor, ckckck. Dan sungainya masih sangat terbuka. Kalau mau mandi perlu pake sarung, kain atau apapun itu buat basah-basahan. Tapi karena nggak memungkinkan yaa, terima aja apa adanya. Selain sungai, disana sebenarnya ada “kamar mandi seadanya” yang udah ada penutupnya gitu. Memungkinkan sih buat dipake mandi. Tapi, kemarin ngantri parah. Jam-jam segitu orang-orang juga baru dateng, dan udah mau magrib. So, nggak mandi wkwkwk.
Gerah? Nggak. Karena emang udah sempet bersih-bersih seadanya, dimandikan dengan air hujan sepanjang perjalanan, cuma pakai minyak kayu putih. Dan, bisa diakalin pakai bedak tabur- bedak bayi. Selain karena hal-hal itu, cuacanya, anginnya yang sepoi-sepoi lewat celah-celah bambu rumah jadi tetap bikin nyaman.
Waktu magrib, orang Baduy mulai tutup pintu rumah. Sampai “magrib berlalu”. Nanti boleh dibuka lagi. Beda sama kebanyakan orang. Mungkin lupa menutup pintu, atau malah sengaja baru pergi waktu magrib-magrib tiba. Terlepas percaya akan mitos atau kepercayaan, ku fikir magrib-magrib tutup pintu itu sebuah kebiasaan yang baik pula. Magrib, saat hari mulai gelap,saat itu pula urusan hingar-bingar dunia yang sempat membuatmu pusing kau tinggalkan (barang sejenak). Saatnya kembali kepada Tuhan.
Pas semua udah kumpul, its time to, MAKAAAAAAAN!! Makannya gimana kalau di Baduy Dalam? Ya, makan aja. Tinggal di kunyah, hhahah. Jadi, kemarin kita makan hasil dari perbekalan kita sendiri. Bawa beras, mie goreng, dan sarden. Semuanya dimasakin sama “Kang” Sapri dan keluarganya, plus dikasih ikan asin sama jengkol. Xoxoxo. Ternyata, pas lagi sholat cium bau jengkol itu masakan yang punya rumah. Dikirain punya tetangga. Hahaha. Sebenarnya kuingin makan jengkol waktu itu. Tapi karena keadaan, dan pasti kalau makan jengkol pinginnya minum terus, jadi ku tahan. Hahaha besok aja kalau pulang kerumah :D.
Rencananya, setelah makan mau ngobrol-ngobrol. Diskusi,cerita dan lain-lain. Tapi karena banyak yang capek, dan yang mpunya rumah waktu itu sedang mandi,jadi beberapa udah ada yang tidur duluan. Ada yang masih ngobrol-ngobrol dan sedetik kemudian ikutan tidur juga hahaha. Tidurnya dimana? Tidurnya semacam di ruang tamu/ruang tengah/ apapun itu sebutannya. Bersebelas!
Dingin nggak sih? Menurutku nggak. Dinginnya pas shubuh aja, kaya biasanya. Buktinya ka Noe baru klusak-klusuk kedinginan pas shubuh-shubuh. Hahaha. Karena isi tasnya yang sepertinya banyak yang kebasahan, jadi dia tidak pakai sleeping bag. Mesakne ya. Hihi.
Walaupun nggak sempet ngobrol-ngobrol waktu dirumah, tapi i will share some information, yang kudapatkan dari “temannya kang Sapri (aku lupa namanyaa hehehe)”. Walau informasinya bakalan ngacak (hanya bergantung dari daya ingatku saja haha). Jadi, mereka mau kok dibilang orang Baduy. Beberapa cerita bilang kalau mereka nggak mau disebut orang Baduy, tapi orang Kanekes. Kanekes itu nama desa aja sebenernya. Orang Baduy itu menikah dengan “keluarganya”. Mereka nyebut orang-orang, tetangga pokoknya yang masih masuk dalam lingkup orang Baduy Dalam, mereka sebut dalam satu keluarga. Yang menikahkan siapa? Puun. Ketua Adat. Menikahnya umur berapa? Yang perempuan mulai dinikahkan umur 13 tahun, dan yang laki-laki umur 18 tahunan. Sayangnya, seperti yang pernah aku tulis sebelumnya, bahwa mereka nggak tau secara pasti umur mereka berapa selain orang tua mereka. Jadi ya, orang tua mereka yang tau secara pasti kapan mereka menikah. Pernikahan mereka itu semacam di jodohkan gitu. Dan ada tiga tahapan. Tahap pertamanya (sayangnya aku nggak denger jawabannya apa, hiks hiks), tahap kedua itu tunangan, dan tahap ketiganya itu ya nikah. Dan orang Baduy Dalam itu tidak bercerai. Jumlah Kepala Keluarga mereka selalu tetap. Karena, setelah mereka menikah, mereka bakalan pergi keluar desa, dan wajib kembali saat orang tuanya meninggal, apalagi kalau sang ayah yang meninggal, dan itu wajib. Di Baduy itu nggak ada hewan ternak selain ayam. Sepanjang perjalanan juga nggak liat sawah. Tapi kata Bang Pena, sawah mereka itu sawah tadah hujan. Mereka nanam padi ditanah-tanah miring gitu. Yang awalnya ku pikir itu hanya rumput biasa. Sayangnya, disana kemarin nggak bisa ketemu sama Puunnya. Kenapa? Karena harus janjian. Puunya nggak bisa ditemuin sembarangan. Mau ketemu juru bicaranya juga susah. Karena kemarin kata “Kang” Sapri, jubirnya lagi ada wawancara entah sama siapa. Oh iya, orang Baduy Dalam nggak naik kendaraan. Mereka ke Jakarta aja jalan kaki, tanpa sendal. Ke Jakarta cuma perlu jalan kaki sehari dua hari. Mereka juga berdagang. Dagang madu, asli. Sarung hasil tenunan mereka sendiri, dan lain-lain. Dan yang paling penting, di Baduy Dalam, nggak boleh foto-foto. Sudah aturan adat mereka, dan sepatutnya kita menghargai itu, kan?
Besok paginya, minggu 19 November 2017, kita semua pulang. Lewat jalan yang berbeda. Aku pikir, memang itu aturannya, ternyata alasannya karena ada jalan yang terlalu berbahaya buat dipake pulang karena menurun-banget, dan bekas hujan kemarin, jadi takutnnya masih licin. Untungnya selama perjalanan pulang tidak hujan. Kita mampir ke Jembatan Akar. Salah satu iconnya Baduy. Buat sampai ke jembatan lewat jalan yang terasering, cuma bisa dilewati satu orang, perlu hati-hati pokoknya. Di bawah jembatan akar ada sungai yang lumayan deras. Bikin pingin mandi- tapi itu hanya ingin haha.
Setelah dari jembatan akar, kita melanjutkan perjalanan pulang, sesekali mampir isitrahat dan juga buat foto-foto. Setelah 5 jam perjalanan, akhirnya jam 1.30 siang semuanya sudah kumpul dengan lengkap dan siap buat pulang. Sampai di Rangkas lagi jam 3 sore. Rombongannya ka Noe dan Ka Chacha plus suami langsung pulang naik kereta jam 3.10 sore. Sedangkan aku, Ka Aliyah, Pak Dedih, Ka Haidi dan Bang Pena naik kereta sejam kemudian.
Ah, nggak nyesel. Malah pingin lagi buat kesana. Sayangnya, kemarin waktu kesana udah nggak musim Durian. Perjalanan yang menyenangkan. Unforgetable journey. Bener-bener liburan yang menyehatkan, dan tentu sangat menyenangkan.
Perjalanan yang juga jadi challage buat diri sendiri. Makin mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Makin sadar buat mengapresiasi diri sendiri. I learn so many thing with this journey.i have no more words to describe about this journey. You must feel it by your self, gimana keren dan nagihnya main ke Baduy.
Fyi, Baduy Dalam tidak bisa di kunjungi bulan Januari – Maret, karena mereka ada acara adat. Jadi masih punya waktu panjang buat nabung buat prepare main kesana (lagi).
Terima kasih untuk perjalanan yang menyenangkan, teman baru, keluarga baru. Love love.
Sampai bertemu di perjalanan seru selanjutnya :D
1 note
·
View note