Tumgik
#Jagat Prabowo
priangancom · 3 months
Text
Bukan Cuma Marshel Widianto, Ini Deretan Artis di Bursa Pilkada 2024
JAKARTA | Priangan.com –  Partai Gerindra membuat geger jagat politik dengan mengusung Marshel Widianto sebagai bakal calon wakil wali Kota Tangerang Selatan dalam pilkada 2024. Sejumlah kalangan menilai sumbang dengan keputusan partai besutan Prabowo Subianto itu. Pria kribo yang dikenal sebagai komedian itu tidak punya kapabilitas untuk menjadi orang nomor dua di Tangerang Selatan. Namun,…
0 notes
kbanews · 1 year
Text
Kurang dari Sepekan Lebaran 2023, Popularitas Anies di Jagat Maya Masih Menjulang
JAKARTA | KBA – Kurang dari sepekan perayaan Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah, popularitas Bacapres Koalisi Perubahan dan Persatuan, Anies Baswedan masih menjulang. Hasil penelusuran Google Trends memperlihatkan, Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 masih menempati urutan pertama dibanding dua pesaingnya Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Anies meraih total 31 persen (ditandai dengan kurva…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
bapakharyoso · 5 years
Link
Solopos.com, JAKARTA - 
Solopos.com, JAKARTA - Pengumuman hasil Pilpres 2019 oleh KPU memenangkan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin membuat heboh jagat maya pagi ini. Namun, siapa sangka, angka kemenangan Jokowi, sapaan Joko Widodo, sudah diprediksi Fadli Zon sejak tahun lalu. Kok bisa?
Pada hasil perhitungan KPU, Jokowi-Ma'ruf unggul 55,5%, sedangkan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno meraup 44,5% suara. Ternyata, Fadli Zon sempat memperkirakan hasil ini dari hasil polling yang dilakukannya di Twitter pada 2018. 
Fakta itu diungkap oleh Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya yang mengunggah gambar hasil polling Fadli Zon tersebut. Bahkan, dia menyebutkan politisi Gerindra itu melakukan polling tercepat dan terakurat. 
Yunarto juga menyoroti hasil pilpres yang tidak berbeda dengan hitung cepat yang dilakukan lembaga survei. Hal itu menegaskan cemoohan dari kubu 02 terkait hitung cepat yang dilakukan oleh lembaga survei tidak bisa dipercaya. 
Berdasarkan Quick Count Pilpres 2019 yang dilakukan Charta Politika, hasilnya menunjukkan Jokowi-Ma'ruf mendapatkan 54,32 persen suara, sedangkan Prabowo-Sandi mengantongi 45,68 persen suara dari 99,5 persen data yang masuk.
Sementara hasil Pemilu 2019 yang ditetapkan KPU RI, Jokowi-Ma'ruf dinyatakan menang setelah meraih 85.607.362 suara atau 55,50 persen, unggul 16.957.123 atau 11 persen dari Prabowo-Sandi yang mendapatkan 68.650.239 suara atau 45,50 persen.
Dengan kata lain, selisih antara quick count yang dilakukan lembaga survei dan hasil resmi Pemilu 2019 tidak sampai 5 persen.
Menyoal tipisnya perbedaan tersebut, Yunarto menyatakan kembali bahwa quick count dilakukan dengan kaidah-kaidah yang dapat dipertanggung jawabkan. "Terbukti Quick Count bukan Sihir Science dan tidak perlu bertemu penguin di antartika," tulis Yunarto di akun Twitter pribadinya, Senin (20/5/2019).
Pernyataan 'bertemu penguin di antartika' yang dilontarkan lulusan Hubungan Internasional tersebut seakan menyindir secara halus kubu 02 ketika Prabowo mengomentari hasil hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei.
"Mungkin kalian [lembaga survei] harus pindah ke negara lain. Mungkin bisa pindah Antartika. Hei lembaga survei bohong, kalian bisa bohongi penguin di Antartika," ungkap Prabowo dalam syukuran klaim kemenangan di depan kediamannya Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 19 April lalu.
Berselang beberapa jam kemudian, Yunarto juga mengunggah hasil tangkap layar cuitan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon yang melakukan polling di Twitter pada 3 Januari 2018 atau setahun lebih sebelum Pilpres 2019 digelar.
Yunarto menyebut bahwa hasil poling di akun Twitter pribadi Fadli Zon sebagai tercepat dan terakurat mengingat hasilnya yang persis sama dengan hasil resmi Pemilu 2019 yang dinyatakan oleh KPU RI.
Sejumlah warganet kemudian turut mengomentari cuitan Yunarto tersebut. Seperti akun @Upik_KR2 yang menulis, "Selamat atas keberhasilan, bang @fadlizon, atas surveinya."
Akun @indonesianpoli2 lalu ikut menimpali dan memberi saran kepada Fadli Zon agar membuka jasa quick count saja setelah nanti pensiun.
Ada juga akun @rizkicengir yang menyebut Denny JA, salah satu pendiri lembaga survei, masih kalah cepat jika dibandingkan dengan hasil poling Fadli Zon pada awal tahun 2018.
Bahkan ada warganet seperti akun @maskusumo yang menyebut bahwa polling Fadli Zon sebenarnya adalah doa yang terkabul.
Adapun terkait hasil Pemilu 2019 yang telah ditetapkan, KPU memberi waktu bagi para peserta pemilu yang hendak mengajukan gugatan sengketa hingga 3 hari ke depan. Gugatan sengketa tersebut dapat langsung diajukan peserta pilpres maupun legislatif ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Halaman Selanjutnya
1 note · View note
cafesukses-blog · 4 years
Link
Tumblr media
Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. (Foto: dok. detikcom)
Jakarta,Orchidmedianews.com - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sempat bertemu dengan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Ada apa di balik pertemuan Anies-Prabowo?
Perihal pertemuan Prabowo dan Anies ini dibenarkan juru bicara Prabowo, Dahnil Anzar Simanjuntak. Dahnil, saat dimintai konfirmasi pada Jumat (5/2/2021), menyebut pertemuan mereka itu terjadi pekan lalu.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra M Taufik berkata pertemuan berlangsung di kantor Prabowo. Tetapi dia tidak mengetahui isu pertemuan.
"Di kantor Pak Prabowo," kata M Taufik.
Lalu, Prabowo dan Anies bicara apa?
Ketua Harian DPP Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menegaskan tidak terdapat pembicaraan soal pilpres dalam pertemuan tersebut. Untuk diketahui, jagat politik Tanah Air tengah ramai isu jadwal Pilkada 2022 dan Pilkada 2023 yang tertera dalam revisi UU Pemilu. Jadwal pilkada ini disebut-sebut dapat menentukan peta Pilpres 2024, termasuk bagi Anies Baswedan, yang akan habis masa jabatannya dalam 2022.
"Nggak ada (soal pilpres). Saya pastikan tidak ada," ujar Dasco.
Dasco menyampaikan pertemuan Prabowo dan Anies Baswedan hanya sebatas silaturahmi. Terlebih Partai Gerindra adalah salah  satu kepala daerah yang diusung oleh Gerindra.
"Ya pertemuan biasa saja, silaturahmi, ya kan pertemuan yg mungkin agak berkala gitu dan menurut saya  bukan sesuatu yg aneh karena Pak Anies juga saat itu diusung oleh Gerindra. Dan silaturahmi itu kan sudah biasa," tegasnya.
"Ya, jikalau dibilang rutin, nggak juga, karena masing-masing kesibukan dari Pak Prabowo dan Pak Anies," sambungnya.
Baca juga: Terungkapnya Kasus Perselingkuhan Wakil Ketua DPRD Sulut Berbuntut Panjang
Senada dengan Dasco, Wagub DKI Ahmad Riza Patria menyebut pertemuan Anies dan Prabowo biasa saja. Keduanya, istilah Riza, yang juga asal dari Gerindra, memang sudah lama  tak bersua.
Riza menyebut Anies dan Prabowo berdiskusi santai. Dia menyebut inti pembahasan yg dilakukan seputar kedaulatan NKRI hingga pangan.
"Waktu dengan Pak Anies, pembicaraannya seperti itu juga, seputar program bagaimana membentuk kedaulatan bangsa, pangan, mempertahankan NKRI dan sebagainya. Itu sepengetahuan yang saya dengar menurut apa yg disampaikan Pak Anies pada saya. Pembicaraannya cair, nggak ada yg spesial  , nggak ada yg khusus," pungkasnya.
Politikus Gerindra itu menegaskan pertemuan antara Anies dan Prabowo tidak membahas seputaran pilkada. Riza berkata Gerindra belum membahas terkait pilkada.
"Nggak ada, nggak ada. Kan nggak ada pembahasan soal itu sejauh yang saya memahami. Kan waktu itu belum (ada pembahasan revisi UU Pemilu). Pertemuan itu belum ada wacana soal pilkada 22 (2022), 23 (2023), atau 24 (2024)," pungkasnya.
Untuk diketahui, hubungan Anies Baswedan dengan Gerindra sempat jadi sorotan karena Ketua DPC Gerindra Jakarta Timur Ali Lubis melempar kritik. Pangkalnya adalah Anies Baswedan meminta pemerintah pusat mengambil alih koordinasi penanganan COVID-19. Ali Lubis lalu meminta Anies mundur.
"Aksi spektakuler Anies Baswedan yang selama ini dipertontonkan buat melawan COVID-19 di DKI Jakarta mendadak hilang, lenyap, pada pemberitaan media nasional. Aksi spektakuler tadi terlihat dari beberapa pergub yg dikeluarkan, bahkan bersama DPRD mengeluarkan perda terkait penanganan penanggulangan penyebaran COVID-19 di Jakarta," ujar Ali Lubis pada keterangan seperti dikutip yang diterima detikcom, Senin (25/1) lalu.
"Terkait hal di mana Anies Baswedan meminta pemerintah pusat mengambil alih koordinasi penanganan COVID-19 di Jakarta menimbulkan pertanyaan besar  apakah Anies Baswedan nyerah melawan COVID-19? Apabila seperti itu, sebaiknya mundur saja dari jabatan gubernur," pungkasnya.
Belakangan, Gerindra menegur Ali Lubis karena pernyataannya itu. Gerindra menegaskan dukungan ke Anies dan Ahmad Riza Patria.
Source : Detik
0 notes
rmolid · 4 years
Text
0 notes
kadaryanto97 · 4 years
Photo
Tumblr media
Memahami Pancasila Penulis : Sri Handayani RW & Fais Yonas Bo'a Penerbit : Pustaka Pelajar ISBN : 978-602-229-975-2 Halaman : viii + 175 hlm Ukuran : 15,5 × 23 cm Tahun : 2019 Original Harga Rp40.000 diskon 10% Rp36.000 Sinopsis Tergerusnya keberadaan Pancasila dalam tatanan penghayatan dan pengamalannya dewasa ini, disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang Pancasila. Hal demikian, sangat terasa dengan mencermati realitas hidup bernegara yang penuh dengan sikap-sikap amoral, deskriminasi SARA (Suku, Agama, Ras dan Adat), hingga primordialisme. Sikap-sikap seperti ini tergambar jelas pada setiap interaksi sosial dalam keseharian hidup berbangsa baik yang sifatnya interaksi langsung maupun tidak langsung seperti melalui jagat maya (medsos). Buku ini ditulis bertujuan untuk memberi pemahaman yang komprehensif dan konkret tentang Pancasila dalam keutuhannya. Terutama, agar dapat menguatkan cara pikir dan cara tindak kita yang sesuai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Penuh harapan pula dari kami agar buku ini dapat menjadi salah satu rujukan bagi mahasiswa khususnya untuk memperdalam Pancasila secara komprehensif dan konkret dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila. Terutama pula, salah satu penulis buku ini merupakan pengajar aktif mata kuliah Pendidikan Pancasila di beberapa fakultas Universitas Janabadra Yogyakarta. ISI: Bab 1 - Pendahuluan Bab 2 - Pancasila dalam Sejarah Bab 3 - Sila-sila Pancasila Bab 4 - Fungsi dan Kedudukan Pancasila Bab 5 - Eksistensi Pancasila Bab 6 - Mengukuhkan Pancasila Bab 7 - Penutup #nkri #indonesia #nkrihargamati #pancasila #jokowi #tni #indonesiamaju #nusantara #pancasila #viral #nu #mahasiswa #polisi #islam #pramuka #santri #gerakanpramuka #nahdlatululama #bhinekatunggalika #abdinegara #polri #mta #politik #merdeka #pemuda #stophoax #pilpres #prabowo #indonesiaku #indostar_bookstore https://www.instagram.com/p/B_-huQ_jw45/?igshid=zjua6jesu8hl
0 notes
bilikopini · 5 years
Text
Fenomena Kampret Vs Kecebong
Tumblr media
Menarik tuk sikit diungkap. By Pak Raden. Berkenaan dengan Polemik Kepulangan Imam Besar Habib Muhammad Rizieq Syihab dan Negara tidak kunjung melindungi Hak Hak Warga negaranya. Kebiasaanya memang pemerintah ataupun siapapun yg menolak kepulangan atau memulangkan Beliau menjual suara Masyarakat seolah mulutnya Mewakili minimal 60% rakyat Indonesia. Rekonsiliasi di tingkat elit udah..Koalisi pun dalam persiapan Pilkada sampe Pilpres 2024 pun udah di sepakati. Mulut yg merasa mewakili rakyatpun udah mengklaim bahwa Rekonsiliasi ditingkat grassroot pun sdh mulai terjadi setelah bergabungnya Partai Oposisi ke dalam Pemerintahan. Terjadilah Fenomena Unik di Jagat Maya..bahwa Cebong tetap Solid dan Konsisten begitu kalau boleh dikata..namun Kampret terbelah menjadi 2 bagian. Tapi yg sebagian tadi tdk mau dikategorikan sebagai kecebong.
Tumblr media
Naah..mari kita Kupas Kelompok Cebong yg Konsisten dan Solid Menolak Kepulangan IMAM BESAR masih menghiasi layar maya bahkan nekat berkeliling jakarta dengan mobil pickup membawa Spanduk Tolak Kepulangan dan Bubarkan FPI .sepi pengiring..bahkan tdk ada yg jadi hore2nya pisan. Kalau dilihat..masih lebih rame mobil pickup Tahu Bulat yg keliling di kerubungin bocah2. Positifnya..mereka Konsisten.!!.yg dulunya pasti dan sangat Pasti sebagai pencoblos Jokowi dan memenangkan Pemilu 2019.versi KEPEU. Berdasarkan Survey..Pendukung Jokowi adalah yang Paling Konsisten. Walaupun tidak Militan. Konsisten dalam mendukung Jokowi dan Konsisten menolak Khilafah yaitu issue yg di bikin sendiri dan ditolak sendiri. Menariknya adalah.. Fakta lapangan hanya 19.5% masyarakat yg menolak Kepulangan IMAM BESAR. Artinya ada dua. Apakah Kecebong sudah tidak Konsisten lagi ? Atau sebagian besar dari mereka sdh Hijrah dan istiqamah menerima Islam secara Kaffah ?Apakah sesungguhnya Jumlah suara Jokowi yg di representasikan oleh kelompok Kecebong itu memang hanya 19,5% sj.? Lalu suara siapa yg membuatnya jadi menang ? Okey.. Yang lebih menarik lagi adalah. Yang Setuju IMAM BESAR dipulangkan juga Hanya 24,6%. Dimana pasti diklaim sebagai Representasi pendukung militan Prabowo yg di dorong keras tentunya oleh para Ulama. Ada 48% suara Prabowo (versi Kapeu) dan Militansi kepada Ulama tak diragukan lagi..tapi tiba2 merosot menjadi Separuhnya sj yg Setuju Beliau dipulangkan. Why ?? Apakah Kampret Militan sdh Hijrah ke Jalan Partai politik dan mengabaikan Sikap Ulama sehingga kampret terbelah dua ? Kampret masih mengaku Militan dalam mendukung..artinya..siapapun yg didukung akan selalu All Out. Mendukung Ulama ataupun Mendukung Prabowo terbukti merea All Out. Kesimpulannya adalah.. Konsistensi dan Militansi tdk menjadi jaminan keputusan yg akan di ambil kedepannya. Bisa sj Kecebong akan menjemput Hidayahnya untuk ikut Hadir di Reuni 212 senin esok dan merubah kehidupan pribadinya menjadi lebih baik dan Eksklusif serta religius. Atau Bisa juga Kampret yg selalu hadir di acara2 serupa namun sengaja Tak Hadir di Reuni 212. Karena tak sejalan lagi. Dan merubah kehidupan pribadinya menjadi Inklusive dan Liberal. Wallahualam bisshawab. Semua Hanya karena Kuasa Illahi Rabbi Semoga Negara bisa memenuhi Kepentingan Hak Hak Warga Negaranya sesuai amanah Undang Undang Dasar.Memulangkan IMAM BESAR. Aamiin. -PR- Read the full article
0 notes
Text
Tumblr media
Perspektif
Ini adalah pemandangan UI dari sudut pandang lantai 4 gedung Pusgiwa. Tampak seperti bangunan yang dikelilingi oleh hutan yang lebat. Lihat saja, kita bisa menghitung berapa gedung yang berdiri disana, tapi mungkin kita akan kesulitan untuk menghitung jumlah pohon yang tumbuh disekelilingnya. Setidaknya itulah penilaian yang kita peroleh dari sudut pandang ini.
Saya punya pertanyaan, apakah kita boleh menyimpulkan UI seluruhnya dengan mendasarkan pada sudut pandang ini? Misalnya kita simpulkan kalau UI itu cuma bangunan diantara hutan yang lebat. Boleh? Atau tidak boleh? Saya persilahkan anda untuk memikirkannya seraya membangun argumen untuk menguatkan jawaban anda.
Bagaimana? Sudah menemukan jawaban? Apa jawabannya? Apakah boleh atau tidak boleh? Kalau anda menjawab boleh, maka mohon maaf untuk kali ini saya harus berseberangan dengan pendapat anda, mengapa? Jadi begini:
Belakangan ini situasi politik-sosial sedang kurang stabil, setidaknya hitung-hitungan saya sekitar 6 bulan terakhir telah terjadi suatu kondisi yang mengarah kepada hal-hal yang destruktif; dimulai dari perseteruan pendukung Jokowi dan Prabowo pada pilpres 2019, penyerangan terhadap asrama mahasiswa Papua di Surabaya, penolakan keras terhadap RUU KUHP dan RUU KPK, gejolak massa di Papua, sampai oligarki batubara yang dinilai berbahaya untuk kehidupan bernegara. Namun untungnya satu demi satu kondisi destruktif itu bisa kita lalui meskipun nampaknya tidak pernah ada penyelesaian yang berarti.
Ada yang menarik dari masalah-masalah diatas, dan saya sudah sampai pada kesimpulan dimana untuk beberapa kasus, penyebab utamanya adalah miskin perspektif. Contoh bagus adalah gelombang aksi mahasiswa untuk menolak RUU KUHP pada September lalu. Kala itu jagat sosial media memanas, semua orang fokus pada pembahasan rancangan undang-undang KUHP yang dinilai ancur sekali dari sisi manapun. Yang menilai ancur ini terdiri dari ragam kalangan; ada awam, aktivis (kalau iya), ada mahasiswa dari berbagai jurusan, ada praktisi hukum, ada selebgram, dan golongan masyarakat lain dari berbagai lapisan tentunya. Dan rata-rata dari mereka bersepakat untuk menolak RUU tersebut. Tidak percaya? Silahkan anda cari dengan hashtag #reformasidikorupsi atau #ruukuhp di media sosial yang anda miliki.
Kenapa? Saat saya tanya kepada beberapa mahasiswa yang ikut aksi; jawaban mereka beragam, tapi nyaris dari semua jawaban yang saya dapatkan, saya tidak mendapatkan jawaban yang komprehensif dan memuaskan. Malah saya mendapatkan kejutan, yang paling menakjubkan sekaligus membuat saya bingung adalah;
Pertama, mereka tidak pernah membaca keseluruhan RUU tersebut, tidak pernah membaca buku I, tidak pernah membaca penjelasannya, tidak pernah membaca landasan fisolofis-sosiologis, tidak pernah membaca latar belakang sejarah dan tidak pernah membaca salah satu elemen paling penting; naskah akademik dari diadakannya rumusan undang-undang ini. Dari sini sebetulnya kita sudah bisa ambil kesimpulan, tapi yasudah lah kita ikutin dulu apa maunya;
Kedua, banyak sekali yang kena hoax. Bukankah ini sesuatu yang menakjubkan bukan? Komplotan mahasiswa--ingat ya 'maha'--yang sering diasosiasikan sebagai golongan intelektual, agen perubahan, mitra kritis pemerintah, cendekiawan-cendekiawan muda ini nyatanya mati kutu dan dikendalikan sepenuhnya oleh penulis berita bohong. Begitu mudah sekali mereka percaya, nampak tak ada proses mencerna isi berita, tidak ada proses untuk mengecek ulang keabsahan sebuah berita, dan ini tentunya sangat memalukan karena nyatanya berita-berita ini seharusnya sangat mudah sekali diidentifikasi sebagai berita bohong. Tak ada tipu muslihat didalamnya, tak ada pula tipuan yang terorganisir dan struktural yang bisa menghipnotis kita. Saat kita membacanya, kita hanya perlu membaca ulang pasal yang sebenarnya, yang mudah sekali kita cari di internet. Itu saja sebetulnya usaha yang perlu kita lakukan agar terhindar dari berita bohong itu, tapi hal mudah itu tidak kita lakukan. Setidaknya 3 mahasiswa mengatakan kepada saya di UNIVERSITAS INDONESIA, kalau ada orang yang sedang duduk lemas begitu di trotoar malam-malam bisa dipidana.. hahaha.
Ketiga, tidak pernah ingin merasakan menjadi orang lain. Padahal ini sangat penting dalam menetapkan suatu keputusan. Sebagian besar mahasiswa hanya ingin menang sendiri, hanya satu hal saja yang menjadi keinginan mereka; tidak mau tahu pokoknya RUU KUHP dibatalkan. Bukankah ini merupakan bentuk dari fasis sesungguhnya? Bukankah ini mengingkari prinsip negara demokrasi? Bukankah ini suatu bentuk kediktatoran ulung? KALAU A YA HARUS A!! Saya hanya ingin mengingatkan, sejarah pernah mencatat bahwa titah Adolf Hitler di Jerman adalah hukum tertinggi yang absolut dan tidak bisa dibantah organisme apapun apalagi hanya manusia. Mahasiswa hanya satu dari sekian banyak elemen yang ada di masyarakat. Ibaratnya suara mereka hanya satu banding sekian ratus atau ribu elemen masyarakat. Jadi apakah hanya kita-kita ini mahasiswa yang paling berhak bersuara di republik ini? Bagaimana dengan suara supir angkot? Suara buruh pabrik? Suara menteri hukum dan ham? Suara pedagang pasar? Suara petani? Suara pengacara? Suara presiden? Suara pegawai korporasi? Dan tolong ya, semuanya hanya dihitung satu-satu, sama seperti saat pemilu, dan itulah sistem demokrasi. Satu lagi yang berkaitan dengan poin ini--namun berbeda konteks--adalah mereka hanya menilai dari perspektif mereka. Saya diberitahu oleh salah seorang mahasiswa kalau dalam RUU ini ada pengaturan yang bisa memenjarakan orang cuma gara-gara hewan ternaknya masuk ke pekarangan orang lain. Begitu puasnya dia mendengar hal ini seraya tertawa terbahak-bahak melihat sebegitu sadisnya kekonyolan yang ada dalam RUU ini. Saya hanya tersenyum dan diam saja, karena itu adalah cara yang baik pada waktu itu. Anda ini mahasiswa dengan ragam privilese untuk bisa tinggal di kota besar (terlebih di ibukota negara) yang lebih beradab (semoga) dan mendapatkan banyak sekali akses terhadap apapun yang anda inginkan. Anda hidup di tempat dimana industri, pasar, dan jasa adalah sektor utama penghidupan masyarakatnya, artinya anda tidak akan menemukan sebuah hamparan padang rumput yang luas berhektar-hektar yang isinya cuma ada sapi, domba, kerbau, ilalang, ular, ayam, bebek, rusa, dan organisme liar lainnya, atau anda tidak akan menemukan tetangga yang secara bersamaan, disebelah kiri beternak ayam dan sebelah kanan punya kebun yang hendak panen. Anda hanya memandang dunia dari perspektif anda dan sialnya anda membuat keputusan dari situ pula. Logika ini tidak akan masuk kepada anda-anda yang tinggal di kota sebagaimana saya sebutkan diatas, tapi logika hukum ini akan sangat masuk akal di tempat dimana penghidupan masyarakatnya adalah pertanian dan peternakan. Dan jangan lupa, sebagian besar mata pencaharian masyarakat kita berada pada sektor ini, dan itulah mengapa kita dijuluki sebagai negara Agraris. Kita itu kecil tapi suka merasa besar. Selama kita masih diintervensi oleh keegoisan kita, selama itu pula kita tidak akan pernah mendapatkan sesuatu yang dinamakan sebagai objektifitas.
Keempat, ini sangat teknis sebetulnya, Sebagian besar yang protes, menyatakan menolak, mencaci maki pembuat RUU KUHP ini (yang isinya DPR, profesor ilmu hukum, praktisi hukum, guru besar hukum pidana, dan ilmuan-ilmuan yang telah saya baca bukunya) adalah mereka yang tidak mengerti ilmu hukum. Saya mengerti, tidak mungkin semua orang bisa paham hukum, ya buat apa juga belajar ilmu hukum, toh bukan bidangnya atau gak punya kepentingan apapun buat belajar hukum, jadi tidak penting juga buat dipelajari atau berusaha memahaminya. Saya tidak menyalahkan siapapun yang tidak mengerti ilmu hukum, tapi saya akan dengan tegas katakan kalau anda tidak mengerti ilmu hukum, tidak pernah mencoba mempelajarinya sedikit, tidak pernah ada usaha riset RUU KUHP, dan mengambil kesimpulan seenak jidat, maka anda adalah sampah. Dan sampah-sampah ini bertebaran sekali, sangat bertebaran di media sosial dan pada waktu aksi di depan gedung DPR September silam. Dan kadang, saya berpikir apakah ini menunjukan kualitas kita dalam memahami teks? Atau konteks? Semoga saja saya salah.
Pada akhirnya, ternyata semua ini tidak sederhana. Ternyata jauh, jauh, jauh lebih kompleks dari yang sebelumnya kita pikirkan. Apa yang saya tulis hanya satu banding milyar dari kompleksitas yang bisa kita bahas tentang perspektif, begitupun perspektif yang bisa kita ambil dari contoh kasus RUU KUHP.
Pada akhirnya saya berkesimpulan; kita tidak bisa menyimpulkan UI hanya dari perspektif ini. Terlalu prematur apabila kita simpulkan UI adalah bangunan diantara hutan yang lebat. Kita butuh perpektif lain yang mungkin bisa kita tinjau dari lantai 4 fakultas hukum, lantai 7 perpustakaan pusat, atau lantai 19 apartemen margonda residence. Banyak perspektif yang bisa kita ambil sebelum akhirnya kita mengambil keputusan.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes
adeirwansyah · 5 years
Text
ESAI FILM: Ada Apa dengan Ahok dan Hanum?
Tumblr media
JURNALRuang   Film | Esai
Ada Apa dengan Ahok dan Hanum?
Oleh Ade Irwansyah
17 Desember 2018, Durasi: 10 menit Di tengah kecamuk persaingan dua kandidat pemilihan presiden (pilpres) dan masing-masing pendukungnya, hadir film A Man Called Ahok  (Putrama Tuta) dan Hanum & Rangga: Faith in the City (Benni Setiawan) pada awal November 2018. Walau kontennya tak sama sekali menyinggung pilpres dan pileg (pemilihan legislatif) 2019, kedua film tersebut seperti ditakdirkan untuk terlibat dalam keriuhan tahun politik. Film A Man Called Ahok diasosiasikan sebagai film bagi pendukung Jokowi (akrab disebut kecebong atau cebong di lini masa media sosial),  sedangkan film Hanum & Rangga bagi pendukung Prabowo (biasa dipanggil kampret). Itu sebabnya, perbincangan soal dua film ini, terutama di dunia maya, tak menyinggung konten maupun estetikanya, tapi perpanjangan dari adu mulut (jari?) saling menjagokan pujaan dan menjatuhkan lawan masing-masing. Hal yang lantas ramai diperdebatkan adalah soal jumlah penonton dan mobilisasi penonton oleh masing-masing pihak. Tulisan ini tak berniat menambah keriuhan soal itu.  Namun, yang hendak saya bincangkan mengenai bagaimana dua film itu hadir dan apa yang direpresentasikan setiap film. Persoalan politik jelas tak terhindarkan dalam perbincangan ini, tapi saya janji akan melampaui debat cebong versus kampret yang tak bermutu.
Rasa Antagonistis Film A Man Called Ahok
Film A Man Called Ahok diangkat dari buku berjudul sama karya Rudi Valinka (pemilik akun Twitter @kurawa).  Buku itu bukan sebuah biografi politik yang ditulis dengan metodologi riset yang ketat, tapi sebuah reportase yang dilaporkan lewat Twitter lalu dibukukan. Fokus buku dan filmnya bukan seputar bagaimana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok membangun karier politik dari bawah, tapi pada nilai moral yang menjadi akar sikap anti-korupsinya. Setengah durasi film ini pun tak bicara soal Ahok, tapi ayahnya, Kim Nam (dimainkan Deni Sumargo ketika muda dan di masa tua oleh Chew Kin Wah), yang sejak muda tak bisa dibeli oleh birokrat korup.  Sifat ini menurun ke anaknya, Ahok (Daniel Mananta).  
Film berakhir saat Ahok terpilih jadi bupati Belitung. Seakan ingin menghindari kontroversi, filmnya tak menyinggung dua hal yang mengiringi nasib Ahok dalam dua tahun terakhir: soal kasus penistaan agama yang menyeretnya ke bui serta biduk rumah tangganya yang berujung perpisahan. Bahkan, saking menghindari persoalan pribadi Ahok itu, kisah cinta yang biasa jadi bumbu cerita pun absen dalam narasi film ini. Kendati tanpa Al-Maidah: 51 (Ahok dituduh menghina ayat Alquran ini) dan Veronica Tan (istri yang ia ceraikan), sosok Ahok dan ayahnya dalam A Man Called Ahok tetap layak dibincangkan. Semasa rezim Orde Baru, film semacam ini mustahil bisa dibuat. Bahkan, ada warga keturunan Tionghoa jadi bupati pun tak terbayangkan. Kita tahu, pada masa Orde Baru, warga etnis Tionghoa tak mendapat tempat di kancah politik lokal dan nasional. Mereka dibolehkan berkiprah di sektor ekonomi. Namun, keberadaan mereka seringkali jadi sapi perahan pejabat korup. Ada upeti yang harus dibayarkan untuk setiap konsesi bisnis yang mereka dapat. Muak akan praktek itu, Kim Nam meminta Ahok untuk kelak menjadi pejabat (bupati) agar bisa memberantasnya. Permintaan itu tentu saja melampaui zamannya. Buat saya, ada dua tafsir di baliknya. Pertama, meminta Ahok untuk menjadi bupati lahir dari ekspresi kemarahan pada praktik yang koruptif, bukan hasil permenungan mendalam tentang strateginya. Kedua, Kim Nam berharap di masa depan, Indonesia memberi kesempatan bagi warga etnis Tionghoa untuk berperan di politik. Kesempatan berpolitik praktis bagi warga etnis Tionghoa nyatanya baru terbuka pasca-1998. Ahok adalah produk dari era baru politik bagi etnis Tionghoa, termasuk juga filmnya. Seperti dicatat Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan (2015), warga etnis Tionghoa tak pernah diakui perannya di jagat film nasional.   Sejarah resmi perfilman nasional dimulai pada 1949, saat Usmar Ismail melakukan syuting film Darah dan Doa. Padahal, film di Nusantara telah dibuat sejak awal 1920-an oleh orang Eropa dan warga etnis Tionghoa. Namun, film-film yang mereka bikin dianggap tak mencirikan semangat kebangsaan. Sejarah resmi itu hingga kini diaminkan dan tak ada yang coba menggugatnya.   Pada masa Orde Baru, lagi-lagi warga etnis Tionghoa yang berkiprah di bidang film dicap sebagai pedagang. Film diposisikan sama dengan komoditas lain, seperti cengkeh, mobil, hasil tambang, dan sebagainya. Hanya satu-dua orang etnis Tionghoa yang berada di depan dan balik layar sebagai pemain atau sutradara pada masa Orde Baru. Salah satu yang menonjol adalah Teguh Karya alias Steve Liem atau Liem Tjoan Hok. Namun, ia tidak pernah dianggap sebagai sutradara karena latar belakang etnisnya. Film-filmnya juga tak secara khusus merepresentasikan etnis Tionghoa. Yang menarik, film-film yang narasinya berlatar tentang etnis Tionghoa pada era pasca-Orde Baru kebanyakan justru tidak dibuat oleh sutradara berlatar etnis sama. Sebut saja Ca Bau Kan (2002) yang dibuat Nia DiNata dan Gie (2005) karya Riri Riza. Film A Man Called Ahok pun digarap Putrama Tuta. Walau begitu, ada pula sutradara-sutradara dari etnis Tionghoa yang kiprahnya mencuat, seperti Edwin (Babi Buta yang Ingin Terbang, Posesif, Aruna dan Lidahnya) dan Ernest Prakasa (Ngenest, Cek Toko Sebelah, Susah Sinyal). Namun, baik Ernest maupun Edwin serta film-film tentang warga etnis Tionghoa yang mereka buat butuh ruang diskusi lain di luar tulisan ini. Saat para sutradara yang bukan dari etnis Tionghoa menggarap film tentang etnis Tionghoa, maka penggambaran ideal sosok Tionghoa muncul dalam narasi film mereka. Seolah, film tersebut dibuat sekaligus sebagai permintaan maaf bangsa ini karena telah puluhan tahun berlaku tak adil kepada warga etnis Tionghoa. Cacat mereka tak tampak di layar.
Hal itulah yang membedakan, misalnya, film A Man Called Ahok dengan film-film garapan Ernest. Di film-filmnya, Ernest seperti tidak ada beban untuk berani mengolok-olok ke-Tionghoa-annya. Sementara Riri dalam Gie atau Tuta dalam film A Man Called Ahok ogah lancang menyentil itu. Maka,  Ahok,  Kim Nam, dan Soe Hok Gie dalam layar lebar tampak setali tiga uang: sosok ideal yang layak jadi panutan. Mereka nyaris tanpa cela dan terlalu sempurna sebagai manusia. Sampai di sini, pencapaian film A Man Called Ahok tidak beranjak dari yang sudah disajikan Gie sekitar dua belas tahun lalu. Hal ini sedikit banyak juga menggambarkan sikap kita terhadap warga etnis Tionghoa. Dua puluh tahun setelah reformasi rupanya kita masih berjarak dengan saudara-saudara kita itu. Keengganan menggambarkan sisi kontroversi subjek yang difilmkan adalah cerminan sikap itu. Sikap semacam ini, menurut hemat saya, tak elok. Sebab, kita seolah menutup pintu untuk berdialog secara terbuka. Pada akhirnya, sikap tersebut berkontribusi untuk melahirkan situasi saat ini: Ahok dipuja pemujanya dan sangat tak disukai pembencinya. Film A Man Called Ahok berada di kubu pemujanya. Maka, sosok Ahok yang muncul serba baik. Pilihan kreatif ini membuat filmnya jadi terasa antagonistis bagi pembencinya. Film A Man Called Ahok pun jadi film untuk kalangan sendiri (baca: Ahokers). Lantas, bagaimana dengan film Hanum & Rangga: Faith in the City? Film Hanum & Rangga Tak Buka Pintu Dialog Bagi kebanyakan orang, terutama mereka yang larut dalam keriuhan media konvensional dan media sosial, rupanya baru mengenal nama Hanum Salsabiela Rais saat muncul hiruk pikuk kabar pemukulan terhadap aktivis Ratna Sarumpaet—kabar yang ternyata hoaks.  Hanum sendiri mengikuti garis partai Partai Amanat Nasional (PAN) dan ayahnya, Amien Rais, dengan berada di kubu capres Prabowo. Padahal, bagi penikmat film Indonesia, nama Hanum adalah sebuah franchise, persis James Bond atau Harry Potter. Hanum Rais menulis buku setengah fiksi berdasarkan kisah hidupnya saat tinggal di Eropa dan Amerika Serikat. Kisah itu lantas difilmkan jadi empat film panjang, yakni 99 Cahaya di Langit Eropa I dan II (2013, 2014) serta Bulan Terbelah di Langit Amerika I dan II (2015, 2016). Sementara Hanum & Rangga: Faith and the City merupakan sekuel terbaru dari film-film terdahulu. Hanum Rais selalu diperankan Acha Septriasa, sedangkan suaminya, Rangga, semula dimainkan Abimana Aryasatya, tapi di film teranyar digantikan Rio Dewanto. Untuk ukuran film Indonesia, franchise film-film Hanum terbilang laris. Film pertamanya saja ditonton 1,1 juta orang dan menjadi film terlaris nomor dua pada 2013. Buku Ariel Heryanto, Identitas dan Kenikmatan, bisa menjadi teman yang baik untuk memahami film-film Hanum. Di buku itu, Ariel meminjam konsep post-islamisme yang digagas Asef Bayat (1996). Bayat menganalisis kondisi sosial-politik di Timur Tengah pada pertengahan 1990-an. Menurut Ariel, apa yang terjadi pada kecenderungan konsumsi budaya populer islami di Iran, Mesir, dan banyak negara Timur Tengah lain juga paralel dengan yang terjadi di Indonesia sejak 1990-an sampai era 2000-an. Kita tahu pada 1990-an kelas menengah muslim mulai bangkit. Di saat bersamaan, sikap rezim Orde Baru terhadap Islam politik juga melunak. Sikap antagonistis yang berlangsung pada era 1970-an dan 1980-an berganti dengan sikap akomodatif. Islam politik diberi tempat, antara lain lewat pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Pada dekade itu pula Soeharto melakukan ibadah haji, yang kemudian dianggap menandai perubahan kebijakan rezim terhadap Islam politik. Di masyarakat, pendakwah pun kian popular. KH Zainuddin MZ dilabeli dai sejuta umat. Majelis-majelis dakwah tumbuh subur di kantor maupun kampus sekuler. Seminar keislaman berlangsung di hotel, alih-alih di masjid. Berjilbab tak lagi dianggap simbol radikalisme ekstrem kanan. Jilbab juga bisa dikawinkan dengan mode. Gaya hidup islami kian diakomodir dengan kehadiran bank syariah. Di jagat sastra lahir generasi penulis baru, misal komunitas penulis Forum Lingkar Pena (FLP), yang membedakan dari karya sastra Danarto, Kuntowijoyo atau Abdul Hadi WM. Di jagat budaya pop, musik nasyid—yang tadinya dilabeli musik kalangan sendiri—merambah ranah arus utama. Meskipun sebagai komprominya, nasyid jadi ditambahkan alat musik pengiring. Selain nasyid yang dibawakan Raihan dan Snada,  ada pula solois Opick. Lagu-lagu selawat dipopulerkan Haddad Alwi. Di televisi, sinetron religi hadir selama Ramadan dan juga bulan-bulan setelahnya. Di saat itu, film islami (religi) tinggal menunggu waktu. Penantian itu berakhir pada 2008 dengan dirilisnya film Ayat-ayat Cinta karya Hanung Bramantyo, yang berdasarkan novel Habiburrahman El Shirazy, eksponen Forum Lingkar Pena. Film tersebut menandai perubahan tema Islam yang diangkat ke layar lebar. Seperti dicatat Eric Sasono (Kompas, 4 April 2008), film islami biasanya tidak mengambil cinta sebagai tema utama. Sebab, tema cinta tunduk pada hal yang substansial dalam pandangan Islam. Ini terlihat pada film-film islami pra-1998, seperti Titian Serambut Dibelah Tujuh dan Nada dan Dakwah, yang menempatkan persoalan cinta tokoh-tokohnya hanya cerita sampingan. Dalam Ayat-ayat Cinta (AAC), persoalan cinta dirayakan sambil diberi pemecahan islami, seperti taaruf dan poligami. Eric lalu menyimpulkan bahwa tokoh utama AAC,  Fahri yang apolitis, adalah si Boy baru yang tersandera persoalan cinta. Tema begini masih berlanjut dengan Ketika Cinta Bertasbih I dan II hingga dua jilid Surga yang Tak Dirindukan. Lantas bagaimana dengan franchise film-film Hanum? Film-film Hanum mencoba melangkah dari cinta sebagai tema utama. Yang dirambah adalah persoalan besar umat Islam di tingkat global pasca-tragedi 11 September 2001 atau 9/11. Latar Eropa dan Amerika membawa tokoh-tokoh filmnya terseret persoalan Islam versus Barat, isu terorisme serta islamofobia pasca-9/11. Itulah yang tercermin dari masing-masing dua jilid film 99 Cahaya di Langit Eropa dan Bulan Terbelah di Langit Amerika. Di empat film pertamanya, Hanum terjebak dalam tesis benturan peradaban Huntington lantaran ia seolah mengamini tesis itu.  Yang tampak di layar justru adalah Barat yang kebanyakan menaruh curiga kepada Islam dan menempatkan Islam sebagai lawan. Hanum dan tokoh lainnya menjadi korban dan akhirnya keluar sebagai pemenang dalam benturan peradaban ini.   Kritik utama saya kepada film-film Hanum ialah filmnya tak hendak membuka dialog tentang Barat versus Islam, tapi justru menyiram api konflik semakin berkobar. Filmnya tampak ditujukan bagi umat Islam di negeri sendiri sambil bilang, "Begini lho, sikap orang Barat pada Islam." Adapun tema film kelima, Hanum & Rangga, sedikit bergeser. Persoalan global umat muslim berkelindan dengan persoalan pribadi (baca: cinta dan perkawinan) Hanum. Kendati demikian, dalam Hanum & Rangga, karakter Hanum masih harus berhadapan dengan stigma buruk terhadap Islam. Pihak Barat kali ini diwakili media yang mengeksploitasi isu terorisme dan Islam demi rating tinggi. Hanum kemudian berusaha mendobrak. Ia datang dengan konsep acara Punk'd yang ramah muslim. Acara yang ia percaya bisa mendatangkan rating sekaligus tak memojokkan Islam dan umat Islam. Jadi, kira-kira bayangkan Ashton Kutcher membawa wanita bercadar untuk mengerjai orang. Pada saat bersamaan, Hanum dibelit persoalan rumah tangga, yakni harus memilih antara karier atau keluarga. Lagi-lagi film Hanum yang terbaru ini juga tak hendak membuka dialog. Barat, diwakili medianya, digambarkan memusuhi Islam. Kita bisa mendengar tokohnya berkata sambil setengah berteriak, "The world would be a better place without Islam." Hanum melawan omongan itu. Ia membuktikan Islam memberi rahmat pada seluruh alam. Yang disayangkan semua disampaikan serba verbal lewat dialog perdebatan ketimbang bahasa gambar. Di sini filmnya melanggar kaidah "show don't tell." Namun, saya lantas berpikir, pilihan kreatif itu dilakukan dengan sadar karena target penontonnya. Film ini tampaknya menyasar umat Islam berpendidikan menengah ke bawah yang sudah menanam kecurigaan buruk pada Barat. Di sini Hanum & Rangga tidak memberi sumbangsih apa pun, kecuali memberi tontonan untuk kalangan sendiri. Jadi, mana yang Anda pilih, Jokowi atau Prabowo, eh film A Man Called Ahok atau film Hanum & Rangga? (*)
  Ade Irwansyah, wartawan. Bukunya, “Seandainya Saya Kritikus Film” diterbitkan penerbit indie di Yogyakarta, Homerian Pustaka pada 2009.
 Link asli: https://jurnalruang.com/read/1545046604-ada-apa-dengan-ahok-dan-hanum
0 notes
jokosusilonew-blog · 6 years
Photo
Tumblr media
• • • Bang @sandiuno menyapa masyarakat bima di lapangan Serasuba Kota Bima Nusa Tenggara Barat . Kita Penuhi jagat Media Sosial hari ini dengan kunjungan bang sandi dan Pak @Prabowo Supaya lembaga survey ndak hanya melakukan survey di Gorong-Gorong. . Terima Kasih Bima . 📷 @imam_xray . #sandiagauno #sandiuno #PrabowoSandi #IndonesiaMenang #lapanganserasuba #bima #NusaTenggaraBarat #NTB https://www.instagram.com/p/Bu-ZcLLBQw9/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=11lflr5uufusf
0 notes
malangtoday-blog · 6 years
Photo
Tumblr media
Soal Doa Mbah Moen, Benarnya Doakan Prabowo Atau Jokowi?
MALANGTODAY.NET - Jagat politik kembali diramaikan dengan beredarnya video Mbah Maimoen alias KH Maimun Zubair yang menyebut nama Prabowo dalam doanya. Hal ini kemudian menjadi viral lantaran doa tersebut diucapkan di samping Jokowi. Kabar simpang siur pun beredar. Kubu Prabowo banyak yang mengamini bahwa doa tersebut memang ditujukan untuk Prabowo. Terbukti dengan ucapan mantan anggota MPR RI tiga periode ini yang menyebut nama Prabowo dalam doanya. [irp] "Ya Allah, hadza ar rois, hadza rois, Pak Prabowo ij'al ya ilahana," begitu ucap Mbah Moen dilansir dari Tempo (2/2/2019). Jika diartikan dalam bahasa Indonesia, artinya adalah ‘ya Allah, inilah pemimpin, inilah pemimpin Prabowo, jadikan, ya Tuhan kami'. Menurut Waketum PPP, Arwani, ada pihak yang sengaja mem-framing video doa dari Mbah Moen. Menurutnya, jika disaksikan dalam versi penuh, doa tersebut memiliki makna Jokowi didoakan menjadi presiden untuk kali kedua. "Beliau menyebut jelas 'hadza rois (presiden ini) dan mendoakan untuk menjadi presiden kedua kalinya (marrah tsaniyah)'. Jelas di sini, siapa yang dimaksud menjadi presiden kedua kalinya, tentu merujuk Pak Jokowi. Beliau saat ini menjadi presiden di periode pertama. Kecuali doanya 'menjadi capres kedua kali', itu tentu ditujukan ke Pak Prabowo," terang Arwani dilansir dari Detik.com (2/2/2019). Kabar terbaru, beredar lagi potongan video berisikan klarifikasi Mbah Moen mengenai kepada siapa doanya ditujukan. Video ini bersumber dari Ketum PPP Romahurmuziy. [irp] "Hadza (ini) Pak Prabowo, laa (bukan) Pak Prabowo, ningo (bahasa jawa: tetapi) Pak Jokowi," ucap Mbah Moen. "Pak Joko Widodo ahlii ikhtiyari (dia pilihan saya)," sambung Pimpinan Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang ini. Usai doa, Mbah Moen juga mengutarakan mohon maklum jika salah ucap mengingat usianya yang tak lagi muda yaitu 90 tahun. "Jadi kalau saya luput (salah) sudah tua, saya umur 90 lebih," tegas Mbah Moen. (AL)
Source : https://malangtoday.net/flash/nasional/kontroversi-doa-mbah-moen/
MalangTODAY
0 notes
rmolid · 4 years
Text
0 notes
javaanggara · 7 years
Text
Romantika; Pilkada, dan Penistaan Agama.
Indonesia sedang asik dicumbu oleh kisruhnya politik dan agama dalam jagat maya maupun nyata. Bahkan celoteh kisah cinta anak muda pun kalah pamornya. Ya! Kini berita pilkada mungkin lebih menarik dari pada video skandal bercinta. Bagaimana tidak, layaknya drama daur ulang, isu politik seperti komunisme diangkat dan siap dipertontonkan. Tentunya dengan bumbu lama, kepercayaan dan agama. -Seperti "surga" di jakarta Kep. Seribu menjadi saksi bisu dari ucapan Ahok yang dinilai menistakan al-qur'an. Bukan dengan cara korupsi pengadaan al-qur'an, Ahok dianggap menistakan karena mengucapkan "dibohongin pake surat al-maidah". lewat tangan suci Bunni Yani, Ahok dilaporkan atas tuduhan penistaan agama melalui bukti video. Sontak, publik yang sangat sensitif pun langsung heboh. Dikomandoi sang imam besar yang gagah berani dan piawai dalam provokasi, puluhan ribu laskar permadani memanas sembari mengkafirkan apapun yang menghalanginya. -Bahkan seorang Allan Seiring drama itu berlanjut, datanglah kabar dari arah yang berbeda, baik gagasan dan sudut pandang. Tulisan Allan Nairn bertajuk "Ahok Hanyalah Dalih Untuk Makar" terbit di laman media online. Tulisan tersebut berisi tentang keterlibatan para jenderal mendongkel presiden Jokowi lewat kasus al-maidah. Didalamnya, Allan menulis nama Prabowo, Harri Tanoe, Fadli Zon, hingga jenderal aktif maupun pensiunan. Tulisan ini mendapat respon yang cukup menarik dari jenderal TNI yaitu Gatot. Ia berpendapat bahwa melayani Allan sama saja dengan berkelahi melawan orang gila. Meski pada akhirnya Gatot sendiri yang meminta seluruh anggota TNI untuk menyaksikan "perlawanannya" di salah-satu televisi swasta. Acara tersebut dihadiri juga oleh beberapa petinggi media, dan penulis buku. Beberapa diantaranya berpendapat bahwa Allan adalah jurnalis pemula. Sayangnya mereka tidak tahu bahwa Allan pernah dihadiahi penghargaan atas tulisan investigasinya. Putusan Ahok akhirnya ditentukan. Vonis 2 tahun penjara dijatuhkan padanya setelah ia gagal menjadi petahana di pilgub DKI. Tentunya, masyarakat memilih paslon lain yang menurutnya seiman. Uniknya, tensi laskar pun menurun seiring berakhirnya pemilihan gubernur DKI. Sebelumnya, dibawah pimpinan sang imam yang gagah berani, laskar permadani penuhi kota jakarta untuk menuntut si penista tersebut. Pada akhir jabatannya Ahok dihadiahi karangan bunga dan cahaya lilin dari relawan yang merasakan kejanggalan dari drama ini. Sementara Sang Habib sedang sibuk meminta perlindungan dari PBB atas kasus "chat sex" di media sosial. Miris, Sang Habib sendiri sempat "mengkafirkan" organisasi internasional tersebut. Front yang dipimpin oleh Sang Habib pun seakan tutup mata akan kasus pornografi yang menimpa pemimpinnya. Tidak seperti saat meneriaki Ariel Noah beberapa tahun lalu. Nilai kesucian agama justru nampak ternodai ketika hanya digunakan untuk misi politik. Miris, orang yang digadang-gadang sebagai imam besar nampak mencerminkan hedonisme, rasialisme dan arogansi. Ia pun memprovokasi orang-orang yang tulus, menjadi panas. Kita memang harus lebih jeli dan luas dalam berpikir. Disiplin verifikasi dan menggunakan hati nurani. Jangan mudah terprovokasi. Mari buktikan jika agama tidaklah arogan, melainkan penyebar kebaikan. Sesungguhnya Tuhan tak membutuhkan pembelaan dari umatnya, karena dialah sang maha segalanya.
1 note · View note
harianpublik-blog · 7 years
Text
Djarot dan Anomali Demokrasi: Menjadi Gubernur Tanpa Ikut Pilkada
Djarot dan Anomali Demokrasi: Menjadi Gubernur Tanpa Ikut Pilkada
Tumblr media Tumblr media
Jika ada anomali demokrasi, maka nama Djarot Syaiful Hidayat patut diapungkan. Tidak seperti orang kebanyakan, Djarot menduduki kursi gubernur DKI Jakarta tanpa perlu ikut pilkada. Durian runtuh itu dia dapatkan setelah Joko Widodo menjadi presiden dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menghuni hotel prodeo karena menista agama.
Saat publik heboh dengan slogan Jakarta Baru yang diusung Jokowi dan Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2012, tak sedikitpun ada nama Djarot terselip. Tiada yang mengenal sosoknya di jagat nasional kecuali masyarakat Blitar yang pernah dipimpinnya kurun 2000-2010.
Saat Jokowi-Ahok bertempur di Pilkada DKI Jakarta hingga putaran kedua, Djarot “jobless” dari jabatan publik usai menjadi walikota Blitar. Mungkin bisa jadi, ketika kemudian Jokowi-Ahok menang, tak pernah Djarot bermimpi menjadi orang nomor 1 di ibukota Indonesia.
Tapi putaran roda takdir bergulir cepat seiring dengan skenario menjadikan Jokowi sebagai pemimpin nasional. Tahun 2014 Jokowi meninggalkan Ahok untuk memperebutkan kursi presiden melawan Prabowo Subianto. Jokowi menang dan akhirnya tak lagi menjadi gubernur DKI Jakarta.
Ahok kemudian dilantik menjadi gubernur dan ditunjuklah Djarot sebagai wakilnya per tanggal 17 Desember 2014 atas rekomendasi Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Djarot yang saat itu menjadi anggota DPR RI periode 2014-2019 akhirnya resmi menjadi orang nomor 2 di DKI Jakarta.
Hingga kemudian peristiwa di Kepulauan Seribu, 2016 mengubah kembali takdir sejarah Djarot. Ahok di kepulauan itu menghina Islam saat menggunakan baju dinas.
“Jangan mau dibohongi pakai Al-Maidah 51,” katanya dihadapan warga kepulauan seribu.
Umat Islam bereaksi. Lahirlah Aksi Bela Islam berjilid-jilid dan yang paling melegenda adalah 212 yang dilaksanakan pada 2 Desember 2016. Agendanya mendesak pihak terkait untuk segera memproses hukum Ahok.
Ahok disidang di sela-sela mengikuti kontestasi pilkada. Dia pun akhirnya takluk dari Anies-Sandi dengan selisih suara signifikan. Dan pada 9 Mei 2017, hakim memutuskan Ahok bersalah dengan vonis dua tahun penjara. Hari itu pula Ahok harus dipenjara.
Sore harinya, Djarot dilantik menjadi Plt Gubernur DKI Jakarta oleh Mendagri Tjahjo Kumolo dengan alasan mengantisipasi kekosongan kekuasaan. Lalu puncaknya pada 15 Juni kemarin, Djarot, pria kelahiran Magelang 6 Juli 1962 itu dilantik menjadi gubernur.
Presiden Joko Widodo melantiknya di Istana Negara untuk sisa masa bakti 2012-2017. Pengesahan pengangkatan Djarot, dicantumkan ke dalam Keputusan Presiden (Kepres) RI Nomor 76 P Tahun 2017 tentang pengesahan pemberhentian gubernur dan wakil gubernur DKI sisa masa jabatan 2012-2017, serta pengesahan gubernur DKI Jakarta sisa masa jabatan 2012-2017.
Kepres ditandatangani tertanggal 13 Juni 2017. Djarot akan menjabat hingga Oktober 2017, sebelum peralihan ke Gubernur dan Wakil Gubernur DKI terpilih Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Usai dilantik, Djarot tampak sumringah. Bersama dengan Megawati Soekarnoputri, dia terlihat tersenyum bahagia. Djarot tentu saja tak salah, karena “naik kelas” nya Jokowi menjadi presiden dan mendekamnya Ahok dipenjara sama sekali diluar kuasanya.
Selamat bekerja Pak Djarot, Sang Gubernur “Anomali”.
Erwyn Kurniawan
Sumber : Source link
0 notes
mojokco · 8 years
Text
Warga Internet Indonesia, Berhentilah Merundung SBY
SBY telah kembali. Lagi.
Jokowi boleh jadi online shop darling berkat payung, sarung, sepatu, atau jaket bomber-nya, tapi cuma SBY yang membuat kita selalu ingat untuk tidak lupa berdoa. Masih dengan doa di Twitter, SBY membuat #IndonesiaBerdoa berkat twit berbunyi,
“Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar ‘hoax’ berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yg lemah menang? *SBY*”.
Twit ini muncul kurang dari 24 jam dari peristiwa Jokowi makan dan diskusi bersama Try Sutrisno dan B.J. Habibie. Pada saat Jokowi mem-posting pertemuan itu, netizen Indonesia yang haus keributan justru mengadu kepada SBY. Kok bisa SBY tidak diundang? Gitu-gitu Pepo sepuluh tahun lo jadi presiden, sedangkan Habibie cuma dua tahun. Dengan durasi yang 1:5 begitu, tahu apa Habibie soal pemerintahan dibanding SBY?
Para tukang nyinyir menebak-nebak, kira-kira apa yang akan dilakukan sang mantan setelah peristiwa ini? Sebab, sewaktu Jokowi mengundang Prabowo makan bareng, sang mantan sibuk berpidato ngalor-ngidul sambil berkeringat dingin membela diri (yang menghasilkan hari raya baru untuk Indonesia).
Begitu cintanya netizen Indonesia kepada SBY, belum sepenuhnya lebaran kuda surut, jagat Internet kembali riuh gara-gara Jokowi lagi-lagi mengundang hampir semua ketua partai (yang dianggap) besar, tapi minus SBY. Mengapa SBY tidak diundang lagi? Apakah karena yang diundang itu hanya partai besar saja, dan Demokrat tidak dipandang partai besar? Atau ia memang hanya khusus mengundang partai bukan oposisi? Entah apa maksud Jokowi itu.
Belum lagi pertanyaan itu terjawab, sekarang SBY malah mencuit tentang hoax yang dekat sekali selisih waktu cuitannya dengan pertemuan Jokowi bersama para mantan wapres dan presiden yang masih hidup. (Ya, kecuali sang mantan tersebut).
Soal cuitan hoax tersebut, betul-betul kejam netizen kita ini. Sebagian kecil sih ada yang membela, tapi tidak ada apa-apanya dengan yang merespons negatif. Setelah dianggap sebagai orang tua yang suka ngatur-ngatur anaknya, kini SBY justru dianggap kekanak-kanakan. Seperti anak kecil yang mengadu kepada netizen karena dizalimi Jokowi, begitu.
Sebagai netizen yang dewasa dan bertekad bersama TVRI menjalin persatuan dan kesatuan bangsa, saya ingin menyarankan agar kawan-kawan berhenti merundung SBY. Jangan pula kita menyebutnya Susilo Baper Yudhoyono, jangan sekali-sekali! Biar bagaimana pun beliau adalah presiden keenam kita (kedelapan kalau Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat dihitung). Sebaiknya kita prihatin ingat bahwa SBY pernah berjasa sepuluh tahun memerintah kita dengan stabil.
Sebaliknya, sudah cukup SBY prihatin dengan kita, rakyat jelata yang cuma bisa nyinyir di Internet lemah ini. Tahu apa kita soal lelah dan rasa sakit yang dialami SBY selama menjaga demokrasi di negara ini. Tahu apa kita soal betapa kerasnya SBY bekerja menyelamatkan kita dari krisis 2008 yang mengguncang dunia itu. Apakah kita pernah berpikir bagaimana jika kita ada di posisi SBY? Memerintah dua periode lewat pemilihan presiden langsung demokratis pertama di Indonesia. Dan kemudian diundang pun tidak oleh presiden yang terpilih berkat demokrasi langsung yang juga dibangun oleh SBY itu.
Pahit, saudara-saudara.
Tapi, saya tahu bahwa seruan saya mungkin cuma jadi angin lalu bagi netizen yang gairah hidupnya didasarkan pada fluktuasi konflik dan ejek-mengejek di Internet. Bila sudah demikian, saya bisa apa? Ya, mungkin saya hanya bisa berbagi tips untuk SBY agar bisa berjuang menghadapi warga Internet Indonesia yang tidak tahu balas budi.
Dalam kasus simbol politik, Jokowi ini memang cukup berbahaya. Bagai main tebak-tebakan, Jokowi mempersempit probabilitas untuk masyarakat menebak siapa yang dimaksud. Dengan bahasa tubuh dan simbol politiknya, Jokowi bagai menusuk tanpa pisau, menebas tanpa pedang. Jika Jokowi mengundang si anu dan si itu, maka yang tidak diundang itu titik-titik. Silahkan interpretasikan sendiri.
Dalam hal ini, SBY tidak bisa teriak-teriak Jokowi memfitnah atau melakukan hoax. Bagaimana mungkin? Wong Jokowi ngomong atau menuduh dengan frontal saja tidak. Dia hanya cengengesan saja. Jadi, jika SBY sampai menanggapi, mention maupun no mention, SBY justru terlihat seperti mantan yang terlalu defensif.
SBY seharusnya diam. Sebab, diam dalam politik itu nilainya platinum. Diam menunjukkan bahwa manuver Jokowi tidak ada pengaruhnya. Diam menunjukkan bahwa SBY bergeming menghadapi gosip ini itu.
Mau Jokowi cengengesan sampai koprol pun, jika SBY diam, masyarakat Indonesia yang memiliki amnesia akut ini juga akan segera lupa. Mereka akan beralih membicarakan hal remeh lainnya, seperti klakson bus atau klub malam.
Dan diam terbukti sudah menjadi trik yang sangat, sangat ampuh bagi dua figur publik lain: Megawati dan Dessy Ratnasari.
Yang tidak saya sarankan adalah stage diving menangis. Apalagi sampai membuat video seperti AwKarin. Cukuplah Ahok menjadi bapak air mata tingkat provinsi DKI Jakarta dan cukuplah Jokowi yang jadi Bapak Endorse Indonesia. Kiranya kita belum butuh Bapak Air Mata Nasional atau Bapak Endorse Indonesia Tandingan.
Demikianlah saran singkat saya. Besar harapan saya warga Internet Indonesia bisa lebih bijaksana dan tahu balas budi sehingga SBY tidak perlu mempraktikkan saran ini. Ya Allah, Tuhan YME, kabulkanlah doa ini.
0 notes
andiryansyah-blog · 5 years
Text
Menjadi Oposisi
Presiden dan wakil presiden sudah bersumpah dan dilantik. Mari kita terus kawal dan tagih janji-janjinya sampai bosan dan lunas! Sehabis pelantikan, perhatian kita tersedot dengan adegan antiklimaks berkoalisinya partai oposisi, Gerindra.
Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, yang dulu tampil sebagai pentolan oposisi, kini duduk di kursi empuk Menteri Pertahanan. Menjadi anak buah Jokowi. Yang ketika kampanye, gebrak-gebrak podium, kini ia tampak senyam-senyum. Kobaran api oposisinya akhirnya padam juga disiram jabatan.
Melihat kemesraan Jokowi dan Prabowo sekarang ini, maka adagium paling masyhur dalam jagat politik berlaku, “Tidak ada kawan-lawan yang abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan.” Tentu sah-sah saja sikap Gerindra ini. Namun, jadi tidak seru. Yang lima tahun kemarin kita melihat macan unjuk taring, lima tahun ke depan kita bakal melihat macan ompong.
Di saat makin sedikitnya partai politik yang beroposisi kepada pemerintah, maka kita, rakyat Indonesia, harus lebih banyak lagi yang peduli dan kritis terhadap jalannya pemerintahan. Agar makin banyak mata yang mengawasi. Biar demokrasi tidak berat sebelah. Supaya pemerintah tidak menyimpang. Bukan bermaksud su’uzhan atau tidak percaya kepada pemerintah.
Bagaimanapun juga yang menjalankan pemerintahan hanyalah manusia biasa, yang tak luput dari lupa, salah, dan dosa. Untuk itulah, kita bantu mengingatkan dan memberi masukan. Agar pemerintah insyaf dan kembali ke shirathal mustaqim.
Kalau semua hanya memuja-muji dan menjilat pemerintah, kita khawatir nanti ABS (Asal Bapak Senang). Kabar buruk disembunyikan. Pura-pura tidak melihat ada bopeng di wajah pemerintahan. Takut, ragu, dan tidak enakan mengkritik karena sudah berteman dekat dan dapat posisi enak. Jadinya, hanya sanjungan dan kabar gembira saja yang diutarakan. Bikin pemerintah terbang dan abai dengan kesalahannya.
Bung Hatta Vs Bung Karno
Menjadi orang yang kritis terhadap pemerintah bukan berarti memusuhi negara. Salah seorang pendiri bangsa kita pun, Mohammad Hatta, berlaku kritis terhadap pemerintahan Sukarno. Siapa yang meragukan kesetiaan dan kecintaan Bung Hatta kepada tanah air?
Saat tidak lagi menjabat wakil presiden, Bung Hatta sering melontarkan kritik-kritik kepada Bung Karno. Bukan lantaran ia melampiaskan dendam atau kebencian, melainkan ada kebijakan pemerintahan Sukarno yang dinilainya tidak beres dan merugikan bangsa ini. Salah satu kebijakan tersebut adalah pemotongan nilai uang (sanering) kertas Rp500 dan Rp1000. Kala itu, Rp500 nilainya jadi Rp50, dan Rp1000 nilainya jadi Rp100. Sanering ini dilakukan pemerintahan Sukarno demi mencegah inflasi makin tinggi.
Tapi menurut Bung Hatta yang paham betul ekonomi, sanering tidak bisa dilakukan ketika defisit anggaran belanja sangat besar. Karena di samping sanering, pengeluaran uang baru yang bermiliar-miliar jumlahnya juga dilakukan. Akibatnya, inflasi justru jadi meroket.
Memang benar, sanering ini membuat harga barang jadi turun kala itu. Tapi berlaku hanya sementara, menurut Bung Hatta. Harga barang turun, jelasnya, karena kurangnya daya beli. Nanti kalau uang kertas baru dicetak, harga itu akan naik dan semakin naik. Akibatnya, daya beli jadi kembali berkurang.
Produsen dan konsumen, kata Bung Hatta, paling dirugikan akibat sanering ini. Sedangkan saudagar besar kapitalis dan spekulan tidak terlalu kena dampaknya. Sebab uang mereka sebagian besar ada di barang. Yakni barang yang dibelinya dari produsen dengan uang Rp500 dan Rp1000 sebelum nilainya dipotong. Sekarang, uang yang dipegang produsen itu nilainya jadi kecil akibat sanering. Akibatnya, produsen seperti petani, peternak, pengrajin jadi miskin.
Konsumen pun jadi miskin. Bung Hatta mencontohkan dengan seorang pengarang yang menerima royalti bukunya setahun sekali dengan jumlah sekaligus besar. Royalti itu, tuturnya, dipakai pengarang untuk belanja setahun. Pengarang menyimpan royaltinya di rumah untuk belanja bulanan. Tapi akibat sanering ini, nilai uang belanjanya tiba-tiba dipotong. Ada yang kehilangan uang belanja 10 bulan, 8 bulan, 6 bulan dan seterusnya. “Dapatkah Saudara memikirkan betapa pahit rasa hatinya?” tanya Bung Hatta kepada Bung Karno lewat surat. Surat kritikannya ini bisa dibaca di buku “Hati Nurani Melawan Kezaliman:Surat-surat Bung Hatta kepada Presiden Soekarno 1957-1965” yang disusun Mochtar Lubis (1988).
Bung Hatta dalam suratnya itu, lalu membandingkan nasib pengarang dengan kapitalis yang menerima keuntungan dari harga barangnya sebesar Rp100.000 dengan uang kertas Rp100.000 satu lembar. Sementara pengarang yang susah hidupnya menerima honorarium bukunya sejumlah Rp9.000 dengan uang kertas Rp1.000 sembilan lembar.
“Dari jurusan mana juga ditinjau muslihat ini tidak adil dan pula anti sosial,” tulisnya. “Sebab itu sebaik-baiknya dicabut saja kembali selekas-lekasnya.”
Tidak hanya mengkritik, Bung Hatta juga memberikan tiga solusi untuk masalah ini. Yakni berhemat dan mengurangi perbelanjaan negara sampai jumlah yang bisa dipertanggungjawabkan, lalu menggiatkan produksi, dan mengefektifkan peredaran barang.
Mochtar Lubis membenarkan keadaan yang disampaikan Bung Hatta di atas. Rakyat, kata Mochtar, jadi korban utama kebijakan moneter pemerintahan Sukarno itu. Wanti-wanti Hatta akan terjadi peningkatan inflasi pun, tuturnya, kejadian pada tahun berikutnya. Perekonomian jadi makin mundur. Artinya, Bung Hatta tidak berbohong dan main-main ketika mengkritik.
Selain kebijakan sanering, Hatta juga mengkritik demokrasi terpimpin ala Sukarno. Kritiknya disampaikan lewat tulisan berjudul Demokrasi Kita yang dimuat di Majalah Pandji Masjarakat1 Mei 1960. Akibat tulisan itu, majalah yang dipimpin Buya Hamka ini dibredel oleh rezim orde lama.
Dalam tulisannya, Bung Hatta menilai demokrasi terpimpin makin jauh dari demokrasi yang sebenarnya, dan sangat menyimpang dari konstitusi. Sebab Bung Karno memilih kabinetnya secara sepihak, membubarkan Konstituante dan DPR, lalu membuat DPR baru dengan menunjuk semua anggotanya sendiri dengan menyingkirkan golongan oposisi.
Oleh Bung Karno, DPR dijadikan sekadar stempel yang memberi dasar hukum atas keputusan yang telah ditetapkan Pemerintah berdasarkan pertimbangan atau usul dari Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional. Dua badan ini pun orang-orangnya ditunjuk sendiri oleh Sukarno. Maka sempurnalah rezim otoriter! Alasan Bung Karno memakai cara ini agar segala perundingan dapat berlaku dengan cepat dan tidak bertele-tele.
Tapi, Bung Hatta menilai demokrasi macam ini tidak kenal batas kebebasannya, lupa syarat-syarat hidupnya, dan melulu menjadi anarki yang lambat laun akan digantikan oleh diktator. “… dengan perubahan Dewan Perwakilan Rakjat jang terdjadi sekarang, dimana semua anggota ditunjuk oleh Presiden, lenjaplah sisa-sisa demokrasi jang penghabisan. Demokrasi terpimpin Soekarno mendjadi suatu DIKTATUR jang didukung oleh golongan-golongan jang tertentu,” kritiknya. Bung Hatta sampai menulis kata “diktatur” dengan huruf besar.
Ia memprediksi demokrasi terpimpin tidak akan bertahan lama. “… sedjarah dunia memberi petundjuk pula bahwa diktatur jang bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnja. Sebab itu pula sistim jang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih pandjang umurnja dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistimnja itu akan rubuh dengan sendirinja seperti suatu rumah dari kartu,”tulisnya.
Dan benar saja, demokrasi terpimpin, tulis Himawan Indrajat dalam Jurnal Sosiologi, Vol. 18, No. 1 tahun 2016, gagal total. Sebabnya, Bung Karno terlalu menyederhanakan masalah dengan meyakini bahwa semua organisasi sosial politik bisa disatukan oleh pemimpin tunggal yang kuat. “Padahal mereka memiliki kepentingan yang berbeda dan pasti saling bersaing untuk memenangkan kepentingannya,” terang Indrajat.
Contohnya, kata dia, kompetisi antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Angkatan Darat (AD), yang akhirnya malah merobohkan demokrasi terpimpin itu sendiri dan menyingkirkan Bung Karno. Demokrasi terpimpin ini, kata Indrajat, bukannya melahirkan demokrasi, tapi malah membuat Sukarno sama sekali tidak terkontrol oleh rakyat. Sehingga Sukarno cenderung menyalahgunakan kekuasaan.
Bung Hatta dalam Demokrasi Kita, menjelaskan semangat demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial dan kolektif. Karena itu, kata dia, harus ada harmoni atau keseimbangan antara pemeliharaan dan politik pemerintah, yang dapat dikontrol setiap waktu oleh DPR yang dipilih oleh rakyat.
Demokrasi, lanjut Hatta, harus dijalankan dengan perbuatan yang berdasarkan kebenaran, keadilan, kejujuran, kebaikan, persaudaraan, dan perikemanusiaan. “Sjarat utama untuk melaksankan ini –jang djuga berlaku bagi segala demokrasi– ialah adanja keinsafan tentang tanggung djawab dan toleransi dan persediaan hati melakukan prinsip ‘the right man in the right place’ –orang jang tepat pada tempat jang tepat,” jelasnya. “Demokrasi dalam sistim Pantjasila bukanlah demokrasi-demokrasian atau ‘demokrasi’ sebagai topeng belaka. Ia adalah demokrasi jang harus diberkati oleh Tuhan Jang Maha Esa, sila pertama jang memimpin seluruh tjita-tjita kenegaraan kita, …”
Dari kritik Bung Hatta terhadap demokrasi terpimpin dan sanering ini, ada nilai-nilai yang bisa kita angkut sebagai syarat menjadi oposisi. Pertama, niat baik mengkritik. Bung Hatta ketika mengkritik sanering tujuannya agar inflasi tidak meroket dan wong cilik tidak dimiskinkan. Begitu juga ketika mengkritik demokrasi terpimpin. Ia ingin melihat hidup bangsanya demokratis. Jadi kritiknya demi kepentingan bangsa. Bukan untuk kepentingan golongan tertentu saja.
Kedua, benar-benar memahami masalah yang dikritiknya dan konstruktif. Berbekal wawasan dan pengalamannya yang luas, Bung Hatta bisa menunjukkan salahnya sanering dan demokrasi terpimpin, lalu ia analisis dampaknya dan terangkan baiknya seperti apa. Kalau kita tidak betul-betul paham suatu masalah secara dalam dan utuh, ada baiknya kita diam dan tak sok tahu berkomentar. Karena bisa menyesatkan masyarakat dan tentu saja mempermalukan diri sendiri.
Ketiga, objektif. Bung Hatta tidak menyerang pribadi Bung Karno. Yang dikritiknya adalah kebijakannya. Yakni sanering dan demokrasi terpimpin. Yang memang terbukti tidak baik untuk ekonomi dan demokrasi.
Keempat, kritik boleh setajam silet, tapi harus berdasarkan data dan fakta. Kurang tajam apa, Bung Hatta menyebut sanering sebagai muslihat dan demokrasi terpimpin sebagai diktator. Jangan kita tajam mengkritik, tapi dasarnya hoax dan kebencian. Nanti ada banyak laporan ke polisi.
Kelima, merdeka. Walau Bung Karno kawannya, tapi Bung Hatta tetap mengkritiknya ketika ia salah, demi tegaknya kebenaran. Kebenaran di atas segala-galanya. Jangan karena teman yang salah, lantas kita membela dan mencari pembenaran untuknya. Nalar jadi terbutakan.
Keenam —nilai ini tidak dikandung dalam tulisan di atas, tapi perlu dan penting penulis tambahkan— yakni kritik tidak sampai merusak nilai kemanusiaan dan persaudaraan. Tahukah kita, ketika Bung Karno terbaring sakit, Bung Hatta menjenguknya hingga meneteskan air mata. Ia tetap menganggap Bung Karno sebagai kawannya di luar politik.
Lima tahun ke depan, selamat menjadi oposisi, wahai rakyat Indonesia!
Dimuat di https://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2019/10/30/172790/menjadi-oposisi.html
0 notes