Tumgik
#DocumentingJanuary
bungajurang · 2 years
Text
Hari ini aku minum dua gelas kopi. Dua-duanya kopi susu dengan kandungan gula normal. Sekelebat rasa bersalahku muncul, sebab hari ini aku mengonsumsi terlalu banyak gula dan pemanis buatan. Roti tawar, pisang, susu, nasi, es jeruk, buah jeruk dan kopi susu. Lalu caraku menghilangkan rasa bersalah itu adalah dengan makan tomat. Demi kucing-kucingku yang aku sayang, aku tidak suka tomat. Aku benci tomat. Supaya lebih jelas lagi, aku benci tomat utuh. Warnanya, kulitnya yang mengilap dan licin, aromanya, bijinya, kandungan airnya... ack :( aku masih bisa makan olahan tomat seperti saus tomat dan saus spaghetti. Tapi tidak dengan tomat utuh, atau tomat yang diolah dan bentuknya masih jelas bahwa itu adalah tomat. <Maafkan aku wahai orang-orang penyuka tomat. Aku enggak bermaksud menjelekkan tomat, aku hanya enggak suka dengannya...>
Suatu kali aku diajak makan soto betawi. Karena itu kali pertama makan soto betawi, aku enggak tahu bagaimana bentuk dan isinya. Pikirku, ya sama seperti soto pada umumnya. Setelah mangkuk soto betawi diantar ke mejaku... innalillahi, seketika aku menyebut nama Tuhan di dalam hati. Isi mangkuk di hadapanku membuatku merinding. Hanya ada kuah, beberapa irisan kentang goreng, taburan seledri, and here comes the scariest part... tomat. Sangat banyak tomat. Potongan tomat di mangkuk itu kelihatan masih segar dan aku bisa melihat bentuknya sangat jelas. Demi menghormati orang yang mengundang dan mentraktirku, aku tetap memakan soto itu. Meski pada akhirnya aku menyisakan beberapa potong tomat. Untunglah orang yang mentraktirku enggak tanya mengapa enggak aku habiskan tomatnya. Fiuh.
Menghukum diri sendiri hanya dengan memaksanya makan tomat, sekilas terdengar enggak berbahaya. Itu hanya tomat. Buah/sayur, tergantung bagaimana kamu menganggapnya. Tapi kalau dipikir, kejam sekali, ya, diri ini. Memang kesalahan seperti apa, sih, yang membuatku sampai menyiksa diri dengan mengonsumsi sesuatu yang aku enggak suka? Apa bedanya sama perbuatan self-harm dalam bentuk lain? Aku enggak ngomong mewakili siapapun: saat aku masih sering melakukan self-harm, aku menganggap perbuatan itu sebagai bentuk hukuman untuk diriku sendiri.  Karena aku enggak becus, karena aku bodoh dan karena aku terlalu sering melakukan kesalahan. Sekarang, aku merasa telah menyakiti diriku, dengan memaksanya menerima sesuatu yang enggak aku sukai, bahkan benci.
Mengapa aku merasa perlu menghukum diri sendiri karena berbuat salah? Mengapa aku berpikir bahwa kesalahan itu akan terbayar dengan hukuman seperti ini? Ridiculous.
Ngomong-ngomong, dunia twitterku hari ini sempat ramai membahas jabatan kepala desa dan turunannya di desa. Ada satu institusi yang mengatakan bahwa jabatan kepala desa, kepala dukuh, ketua RW dan RT, itu enggak politis. Institusi itu bilang bahwa di Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, enggak ada itu kalimat yang bilang bahwa kepala desa dan jabatan di bawahnya merupakan jabatan politik. Mungkin definisi "jabatan politik" yang mereka pahami itu berbeda denganku. Tapi, kira-kira orang-orang di institusi itu tahu enggak ya, kalau jabatan di tingkat desa itu ada melalui pemilihan dan posisinya diperebutkan banyak orang. Kampanye mahal, nyogok sana sini, lobi-lobi warga. Jabatan setingkat RT saja, di tempat tinggalku, menjadi rebutan. Itu menunjukkan bahwa jabatan-jabatan tersebut sebetulnya politis.
Orang-orang yang berebut menduduki jabatan ketua RT berkata demikian: gengsi dong sudah naik haji kok tidak jadi ketua RT. Duitku banyak, sawahku luas, sekolah tinggi, masa enggak terpilih jadi ketua RT. Keluarga turun temurun jadi takmir masjid (baca: menguasai masjid beserta aset fisik dan uangnya), masa cuma jabatan ketua RT saja enggak dapat. Mereka ingin berkuasa karena mereka telah memiliki kuasa sebelumnya. Dalam kata lain, mereka sudah berkuasa dan merasa menguasai banyak hal, sehingga mereka berani adu kekuasaan buat menunjukkan siapa yang paling pantas menjadi ketua. Jadi mereka ingin menambah lagi kuasa (power) yang dimiliki.
Ketua RT yang saat ini menjabat di tempatku, pusing. Suatu malam ia datang rapat RT seperti biasa, tahu-tahu dicalonkan menjadi ketua RT. Pemilihan dilakukan secara voting menggunakan kertas suara. Malam itu juga ia terpilih. Tiga tahun menjabat, tiga tahun pula ia mendengar cibiran dan sindiran dari orang-orang yang gagal terpilih malam itu. Seharusnya aku, aku lebih pantas. Selain itu, ia pusing menerima laporan warga soal lampu jalan padam, jalan desa rusak, bau kotoran sapi milik seorang warga peternak, anak tetangga yang berantem, tetangga yang hamil di luar nikah, tetangga yang mau cerai, anak tetangga yang mencuri uang jimpitan... ah, uang. Aku yakin dia juga pusing soal uang, karena gaji ketua RT itu sangat sedikit dan ia harus mengikhlaskan uang itu agar tidak dikira serakah oleh warga. Ia memasukkan uang gaji ketua RT ke dalam infaq. Ya, ini sungguh terjadi.
Anyway, semua ini adalah akibat dari minum dua gelas kopi dan konsumsi gula berlebih. Energiku jadi berlebih dan kepalaku penuh. Tapi kondisi ini justru membuatku enggak bisa tenang dan berpikir jernih. Alhasil, aku enggak bisa menggunakan energi ini untuk mengerjakan sesuatu yang "lebih penting" seperti laporan. Kalau dipikir lagi, sudah pantaslah tadi aku menghukum diri dengan makan sebutir tomat.
4 notes · View notes
bungajurang · 2 years
Text
Hampa dan beku yang kurasa mendorongku untuk mencari hobi baru, musik baru, gim baru, dan tontonan baru. Mungkin aku bosan, jenuh dengan hidupku yang rasanya begini-begini saja. Meski kalau aku bertanya ke diriku di masa lalu, diriku di masa ini adalah versi aku yang dulu ia dambakan. Tentu, masih banyak yang belum bisa tercapai, masih banyak yang mau aku coba dan upayakan. Mungkin aku depresi, butuh bantuan profesional lagi tapi aku terlanjur enggan bertemu dengan mereka. Aku sedang enggak mau membuka diri pada orang asing, apalagi dipaksa menceritakan masa lalu. Diantara keinginanku merasakan dan menemui hal baru, orang bukanlah salah satunya. Mungkin aku enggak kenapa-kenapa, aku hanya enggak punya semangat hidup. Ke manapun aku pergi, aku selalu bertemu dengan setidaknya satu orang yang bilang padaku: kamu terlihat enggak punya semangat hidup. You right, mate! Itu juga salah satu alasanku mencari hal baru.
Bulan ini adalah bulan penuh percobaan. Aku mencoba nonton anime dan serial Jepang lain. Awal bulan ini aku beli dua video gim yang lagi diskon nataru, dari yang totalnya bisa mencapai 300-an ribu hanya jadi 80-an ribu. Aku mencoba mendengarkan musik yang jarang aku putar secara sengaja. Aku mencoba lebih selektif saat mau nonton video di YouTube, menghindari video bertema Kpop dan memperbanyak video memasak, rangkuman film atau esai. Aku mencoba makan secara lebih teratur. Aku mencoba. Aku masih malas membaca buku, meski sebenarnya ingin. 
Tapi, bisa menemukan hal baru dan menikmatinya, tuh, sangat menyenangkan, ya? Apalagi kalau sampai nanti-nanti masih bisa cocok, dan akan dibawa ke manapun kita pergi. Rasanya seperti membangun pulau baru di dalam kepala, isinya adalah hal-hal yang bisa membawa kesenangan dan semangat hidup. Pulau itu juga yang akan menyimpan memori tentang semua kesenangan itu. Persis seperti yang ada di film Inside Out.
Salah satu percobaan yang cukup berkesan sejauh ini adalah nonton serial horor Junji Ito Maniac: Japanese Tales of the Macabre. Aku belum menamatkan serial ini, tapi dari beberapa kisah yang sudah kutonton, Four Heavy Walls atau Four x Four Walls yang bisa membuatku merinding. Souichi si adik yang kesepian mengusili kakaknya yang mau fokus belajar untuk ujian. Tiap si kakak belajar, Souichi membuat suara-suara berisik di dekat kamar kakaknya. Si kakak kesal dan memarahi Souichi. Orangtua mereka memanggil jasa pembuatan dinding kedap suara agar si kakak bisa belajar dengan tenang. Hasil dindingnya:
Tumblr media
Souichi sempat membantu proses pembuatan dinding itu, sampai-sampai ia dipuji keluarganya atas bantuannya. Ini adalah bagian yang membuatku merinding. Anak ini begitu kesepian dan butuh kasih sayang. Ia terus mengusik kakaknya agar dimarahi, sebab dimarahi artinya diberi perhatian. Souichi, kamu adalah aku, minus gangguin kakak pas belajar karena aku anak pertama. Kalau kisah lainnya, menurutku enggak horor dalam artian bikin takut, paling hanya disturbing atau meninggalkan kesan aneh padaku. 
Ngomong-ngomong, aku suka serial ini. Belum selesai, sih, tapi aku suka. Apakah ini pertanda untuk eksplor karya Junji Ito yang lain? 
2 notes · View notes
bungajurang · 2 years
Text
Kemarin (22/01) aku jalan-jalan bersama seseorang. 
Pukul 1 siang dia sampai di rumahku. Setelah memakai sandal dan pamit, aku menghampirinya yang menunggu di depan rumah. Kami berencana makan siang bersama, tapi kami belum menentukan mau makan apa. Sebelum keluar dari gang rumah, dia mengatakan ingin makan sesuatu yang pedas. Sampai di jalan raya, dia mengusulkan makan ayam geprek. Kami sepakat. Baru 5 menit berlalu, aku mengetuk bahunya dan bilang, “Gimana kalau makan di Waroeng Yanto? Kita udah lama enggak ke sana.” Ia menaikkan kaca helmnya, berseru, “Oh iya, ya, aku lupa ada tempat makan namanya Waroeng Yanto.” Kami tertawa. Mumpung belum terlalu ke selatan, aku mengarahkannya untuk lewat jalur hijau saja.
Jalur hijau atau jalur alternatif adalah caraku menyebut jalan di luar jalan raya dan jalan utama. Selain itu, jalur ini punya lebih banyak pepohonan di sisinya. Jadi, sepertinya enggak salah kalau menyebutnya jalur hijau. 
“Nanti pertigaan Pasar Rejodani belok kiri ya.” “Aku belum pernah lewat sini.” “Oh ya?” “Iya. Belum pernah.”
Setelah itu kami menyusuri Jl. Plumbon. Mengikuti jalan. Sampai tahu-tahu tembus Jl. Kaliurang. 
“Oalah, tembusnya sini ya. Aku baru tahu.” “Haha, baguslah, jadi tahu jalur baru.”
Waroeng Yanto bakal ramai, deh, soalnya ini hari Minggu, ujarku. Kami sudah mewanti-wanti sejak di jalan, memikirkan opsi lain kalau-kalau enggak dapat meja. Ia berhenti di area parkir motor tanpa mematikan mesinnya, lalu aku masuk duluan dan mencari meja kosong. Setelah memastikan masih ada tempat kosong, aku mengabarinya. Kami duduk di dekat pintu menuju dapur belakang. Semua meja sudah penuh. Biasanya, kami duduk di luar--lokasi paling strategis. Bayangkan ini: duduk di samping area masak, sambil menunggu makanan datang kami bisa melihat para chef sekaligus mencium aroma masakannya. Selain itu, kami enggak perlu merasa bersalah kalau merokok, karena ini di luar. 
Kami pesan menu kesukaan masing-masing. Sayang, kerang sudah habis. Padahal kami berniat pesan kerang saus padang. 
Pengalaman makan di Waroeng Yanto kali ini terasa lebih menyenangkan dari biasanya. Duduk di bagian dalam membuatku bisa memperhatikan pelanggan yang sedang makan, pelanggan yang kelaparan dan hampir bosan menunggu pesanannya datang, pegawai yang sibuk bolak-balik mengantarkan pesanan, Pak Yanto dan chef lain yang sibuk di depan kompor...driver ojol yang memenuhi area kasir, denting piring, sendok, garpu, dan gelas, serta asap dan api yang mengepul dari bawah kompor. Sesekali aku membagi perhatianku pada cerita orang di depanku. Ia menceritakan hari-harinya yang sedang berat. Aku tenggelam dalam suasana ini. 
Pesanan kami datang. Kami sudah kelaparan banget. Setelah mengucapkan selamat makan ke satu sama lain, kamu fokus pada makanan di depan kami. Satu hal yang aku sayangkan adalah nasinya keras, sepertinya kurang air. Ini kali pertama kami dapat nasi yang keras, biasanya selalu lembut dan pas. Yah, nggak apa-apa, toh, masakannya tetap enak. Pada akhirnya kami enggak merokok ketika sebetulnya bisa. Sewaktu kami selesai makan, ada satu keluarga yang membawa bayi duduk di seberang kami.
Aku mengajaknya jalan-jalan ke sebuah mall yang belum lama ini direnovasi dan berganti nama. Saat akan mengambil karcis parkir, kami melihat area keluar parkir yang macet. Antrian motornya panjang banget, sampai menutupi jalan bagi motor yang baru datang dan mencari tempat parkir. Bagian dalam mall juga ternyata sangat ramai. Banget. Suasana Lunar New Year sangat terasa. Warna merah ada di mana-mana! Ada beberapa panggung yang mengadakan pentas seni dan perlombaan untuk anak-anak. Sangat... lively. Kami enggak ada niat beli sesuatu atau menuju ke tempat yang spesifik, jadi kami hanya jalan-jalan mengitari mall. 
Masuk ke toko baju dan melihat-lihat, sambil menggosipkan selera baju masa kini yang aneh-aneh. Aku yang cenderung suka baju dengan model aneh-aneh (hanya belum ada kesempatan memakainya), sangat berbeda dengannya yang lebih suka baju model normal. Tiap aku menunjukkan satu model baju yang menurutnya aneh, ia akan geleng-geleng kepala. Hhh, anak muda zaman sekarang, ujarnya. Melihat responnya, aku jadi semakin jahil mengajaknya melihat model baju aneh lainnya. 
“Liatttt, kalau aku pakai ini gimana?” kataku sambil mengangkat baju crop top dengan tali serut di bagian perut, yang membuat panjang baju ini bisa disesuaikan. Mau sampai menutupi perut, atau digulung sampai bawah dada pas. “Hmm...” hening sesaat, sambil ia mengerutkan dahi dan mengelus dagunya, “...bagus.” 
Lalu kami melihat tag harganya, sama-sama kaget dan melotot, kemudian meletakkan kembali baju itu dan pergi melihat baju-baju model aneh lainnya. 
“Dengan harga segitu, aku bisa dapat dress cantik dengan model yang lebih lucu dan bisa dipakai ke mana saja karena modelnya normal.” “Iya. Tapi tadi bagus juga. Hehe.”
Sesekali kami menilai outfit orang lain. Kami mengapresiasi perpaduan baju yang dipakai seorang perempuan. Ia memakai pleated school skirt warna-warni, tank top dan cardigan, dan sepatu boots serta kaos kaki berwarna karamel. Kami juga mengapresiasi seseorang yang pakai dress bunga-bunga lengan pendek, yang menjuntai sepanjang mata kakinya. Rambutnya digerai. Cantikkk, kataku. Iya, balasnya. 
Kami terus mengobrol sambil jalan-jalan di dalam mall sampai sore. 
2 notes · View notes
bungajurang · 2 years
Text
Pagi-pagi Minum Kopi
Ada satu kebiasaan yang kulakukan hampir setiap hari: minum kopi. Kebiasaan ini mulai berkembang sejak pertengahan tahun 2020. Waktu itu pandemi masih sangat mengkhawatirkan. Karena enggak bisa dengan bebas keluar rumah, aku jadi menghabiskan banyak waktuku di rumah--lebih banyak dari sebelumnya. Jendela rumah yang kecil hanya membiarkan sedikit cahaya masuk, membuat rumahku redup, lembab dan dingin. Apabila enggak melakukan sesuatu, aku  bisa mengantuk (lebih baik, sih, daripada mati kebosanan). Awalnya aku bikin kopi hanya untuk menggunakannya sebagai teman. Rasanya juga lebih lengkap melihat ada segelas minuman di meja belajar, selain botol minum berisi air putih. 
Aku suka kopi dengan gula yang sedikit. Aku suka rasa pahit dan asam yang tertinggal di mulutku sehabis minum kopi. Baru akhir-akhir ini saja aku menambahkan susu (plain milk atau full-cream) ke dalam kopiku. Ternyata enak, rasanya jadi lebih creamy dan dreamy. 
Seperti biasa, pagi ini aku juga minum kopi. Aku pergi ke satu kafe yang buka 24 jam. Dari sekian banyaknya kafe di kabupaten ini, rasanya hanya sedikit yang bisa dikunjungi pagi hari pukul 7 atau 8. Setahuku, minum kopi itu idealnya minimal 2 jam setelah bangun tidur dan maksimal 10 jam setelah bangun tidur. Kalau aku bangun pukul 5, maka waktu idealku minum kopi adalah sekitar pukul 8 pagi sampai 3 siang. Tapi aku lebih suka minum kopi di pagi hari. Anyway, ya, kafe ini buka 24 jam. Jadi bisa dikunjungi di pagi hari. Kafe ini juga punya diskon khusus untuk pelanggan early bird yang datang diantara pukul 6 pagi sampai 10 pagi. Harga normal kopi yang biasa kupesan di sini adalah 21 ribu, setelah dapat diskon jadi 15 ribu. Less sugar, tentu saja. 
Kalau manusia bisa memilih jenis makanan dan minuman apa yang akan dikonsumsi selama hidupnya, tanpa mendapat efek samping, aku akan memilih kentang goreng dan kopi. 
1 note · View note