#DONG ABAY
Explore tagged Tumblr posts
Text
Muhasabah diri
Kita semua pasti tau Allah itu rajanya manusia, tuhannya manusia. Yang namanya raja pasti memiliki tempat atau sebuah kerajaan. Kerajaannya Allah meliputi langit dan bumi. Dan didalam sebuah kerajaan pasti adanya sebuah aturan, aturan Allah adalah Al-Qur'an. Al-Qur'an bukan karangan ataupun editan manusia melainkan firman Tuhan yang tak pernah lekang oleh zaman. Setelah kita menyadarinya bahwa Allah adalah raja, Allah mempunyai kerajaan, Allah juga punya aturan. Maka disitulah kita akan mengetahui posisi kita sebagai apa? Jika kita adalah rakyatnya maka tugas Kita adalah tunduk dan patuh pada aturannya. Dan jika kita tidak tunduk dan patuh kepada aturannya, maka raja tidak akan mengakui kita adalah rakyatnya. Kita cuma ngaku-ngaku rakyatnya/karyawannya tapi tidak di akuinya.
Cobalah banyangkan jika hari ini Allah mengusir kita dari kerajaannya, kira-kira kita mau pindah kemana?
Sedangkan kerajaannya Allah meliputi langit dan bumi. Semuanya kepunyaan Allah Rabb semesta. Itulah mengapa susunan Al-Qur'an diawal dari surat Al-Fatihah dan di akhir surat An-Nas itu semua tanda sayang dan cintanya Allah pada makhluknya. Ngga bosan-bosannya Allah mengingatkan kita agar kita tunduk dan hanya patuh kepada aturannya, dari awal sampai akhir. Cuma kita nya seolah-olah ngga butuh sering abai. padahal Al-Qur'an yang kita baca isinya cuma dua yaitu perintah dan larangan.
Maka Al-Qur'an itu ngga cukup hanya di baca/tadarus
Ngga cukup hanya di pelajari/tadabbur
Ngga cukup hanya di pahami/tafakur
Harus di praktekan/tabayun.
Allah tidak melihat manusia dari raut dan penampilannya, bukan dari merdunya/fasih suara baca Alquran. Tapi dari hati dan perbuatannya. Karena hati itu nurani tak bisa bohong, sedangkan perbuatan itu bukti.
Sebab definisi iman itu harus di yakini dalam hati, di ucapkan dengan lisan lalu di buktikan dengan perbuatan.
Andaikan jika Allah menilainya dari merdunya panjang pendeknya dari bacanya. Itu artinya Allah pilih kasih. Karena menilainya dari fisik. Lantas gimana nasibnya orang yang gagu, yang sumbing dan yang mempunyai kekurangan lainnya yang menyebabkan suaranya atau perkataannya ngga jelas? Berarti tidak berhak masuk surga dong kalau gitu.
Itulah alasan aku lebih suka mendengar terbata-batanya seseorang disaat membaca Kalam ilahi, dari pada mendengar semerdu apapun itu seseorang sedang bernyanyi.
Itulah mengapa banyak dari kalangan ahli kitab orang yang paham, orang yang mengerti dengan isi Qur'an tidak di pandang sedikitpun oleh Allah beragama, kamu tau kenapa? Itu karena dirinya tidak mempraktekan isi Qur'an di bumi/di kerajaannya. Sebab Al-Qur'an itu adalah aturan dan aturan itu adalah sebuah sistem.
قُلْ يٰۤـاَهْلَ الْـكِتٰبِ لَسْتُمْ عَلٰى شَيْءٍ حَتّٰى تُقِيْمُوا التَّوْرٰٮةَ وَا لْاِ نْجِيْلَ وَمَاۤ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ ۗ وَلَيَزِيْدَنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ مَّاۤ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ طُغْيَا نًا وَّكُفْرًا ۚ فَلَا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ
"Katakanlah (Muhammad), "Wahai Ahli Kitab! Kamu tidak dipandang beragama sedikit pun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan (Al-Qur'an) yang diturunkan Tuhanmu kepadamu." Dan apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu pasti akan membuat banyak di antara mereka lebih durhaka dan lebih ingkar, maka janganlah engkau berputus asa terhadap orang-orang kafir itu."(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 68)
Cobalah banyangkan andaikan kita punya temen dekat ketemu di jalan pas udah berhadapan eh dianya malah buang muka, apa yang akan kita rasa? Pasti hati kita akan bertanya-tanya, dia kenapa ada apa dan salah kita apa. Begitu juga dengan Allah, Allah empet Allah en'nek Allah males ngeliat orang yang ngga mau nurut kepada aturannya, padahal Kita di ciptakan oleh Allah, di kasih rezeki oleh Allah, dll sampai numpang makan tidur, modol di buminya Allah.
Tapi tetap Allah tak henti-hentinya mengingatkan kita. Karena Allah maha pengampun, pemurah penyayang. Agar kita bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa. Taat sebenar-benarnya taat dan takut sebenar-benarnya takut. Jangan sampai ngakalin kalau ada maunya baru taat dan takut. Bukankah orang yang taat itu pasti takut dan orang yang takut pasti akan taat.
Kalau begitu berarti masih banyak orang yang ngga takut kepada ancaman yang Allah sudah janjikan yaitu hari pembalasan. Saking maha pengampun_Nya Allah, Allah mengingatkan kembali janganlah kita mati kecuali sudah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah.
Lalu kapan kita untuk angkat tangan di hadapan Allah? Mengakui bahwa aturan Allah lah yang berhak kita ikuti, bukan aturan-aturan yang lain.
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَ نْـتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim."
(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 102)
16 notes
·
View notes
Text
Hilang Arah?
Apa sih sebenernya yang dicari? Berkali-kali gue dibilangin, jangan terlalu tinggi buat kriteria. Iya ini prolog nya perkara jodoh emang. Di umur 26 ini yang temen-temen gue udah banyak punya anak 2😂 rasa nya udah kebal kalau ditanya kapan nikah. Senyam senyum aja minta doain, Allah yang tau, gue juga sendiri bingung. Kalo jodoh nya udah keliatan juga mau nya cepet gasi wkwk.
Sampai seminggu yang lalu, gue merasa kriteria yang gue masukin cv itu adalah bentuk minimal dari wujud calon suami. Dibanding waktu lulus kuliah kriteria gue udh jauh lebih mending padahal, tapi tetep aja, kata umi gue 1 banding 1000 laki-laki kaya gitu di Indonesia. Dibilangin sama umi kaya gitu jawaban gue sama, "aku cuma satu juga di dunia kok". Nah minggu lalu, gue dibilangin, apa yang kita cari di masa nyari jodoh itu ya yang akan jadi ujian di perjalanan pernikahan. Gue gatau ya asli nya gimana, tapi karena yang ngomong orang soleh jadi shohih dong.
Kata beliau, "maka itulah cari yang paling baik agamanya, karena ujian agama itu lebih mudah dilalui dibanding ujian dari faktor lain yang berat dunia nya". Ihiy, apa tidak telak wkwk. Poin utama nya, ya perbaiki dulu niat nya. Sebelum melangkah lebih jauh lagi.
Kenapa jodoh harus sekufu? Ya supaya fiid dunya wal akhirati hasanah. Tapi menggapai kufu yang sama, perlu proses panjang. Gue langsung ngerunut, apa-apa yang gue sebutkan jadi kriteria nyatanya akhir-akhir ini di gue sendiri abai. Terutama sunnah-sunnah yang sering banget kelewat. Poin utama itu jelas lurusin niat, tapi gue bener-bener lupa sama sekufu agama yang perlu gue usahakan saat ini. Ustadzah nya teh bilang, perbaiki dulu ibadah nya. Klise kan, tapi ya emang makin kesini bukan makin bener ibadah gue malah ngalor ngidul. Tilawah ramadhan aja ga sampe setengah capaian tahun kemarin, what a shame😂
Siapa yang hilang arah? Gue. Punya banyak pinta dan harapan tapi lupa mengetuk pintu langit. Merasa cukup karena hidup ini tidak sejungkir balik tahun-tahun kemarin. Ngga bersyukur banget kan? Tahun ini Allah uji dari sisi yang jauh berbeda dari sebelum-sebelumnya.
Most of part of this notes emang curhat sih wkwk. Ini gue kasih aji-aji dari ustadzah supaya tulisan ini ada berkah nya yakan. Beliau bilang, perhatikan 4 waktu. Apa aja tuh, solat kan 5 bukan 4. Iya ini baru juga buat gue, dan waktu searching susah nyari pembahasan nya. So here's the details :
Sebelum subuh
Setelah subuh sampai terbit matahari
Sebelum maghrib
Maghrib ke isya
Kata nya, manusia cuma diminta waras di 4 waktu itu aja. Waras in terms of kodrat manusia sebagai hamba Allah yang diciptakan untuk beribadah ya. Sisa nya sak karepmu, mau kejar dunia, sok mangga kejar. 4 waktu itu penting karena menandai pembuka dan penutup hari. Dibuka dengan yang baik, ditutup dengan yang baik. Sebelum subuh diisi dengan sholat tahajud dan perbanyak istighfar. Setelah subuh jangan tidur, tilawah plus baca arrahman alwaqiah. Sebelum maghrib banyakin memuji Allah. Rentang maghrib ke isya, mengusahakan untuk sholat isya dengan baik sebagai tanda sudah menutup hari ini dengan baik.
Terakhir, ditambah dengan total rakaat sunnah 40 rakaat, ustadzah bilang insyaAllah khawatir nya hilang. Lho bukan jodoh nya dateng? Iya bukan. Khawatir nya yang hilang. Keraguan akan masa depan dan berbagai kekhawatiran urusan dunia yang sudah digariskan.
At last, semoga yang hilang arah kembali ke jalan yang lurus dan diberkahi Allah. Semoga dijauhkan dari apa-apa yang buruk dan selalu didekatkan kepada kebaikan. Barakallah fiikunna😊😊
12 notes
·
View notes
Text
exhibit ni Jez Aznar
pic galing kay Dong Abay
2 notes
·
View notes
Text
Hari Tanggal : Senin 29 Juli 2024
Yeaaaay hari ini hari ke-12 tantangan zona 3.
Masih semangat dong pastinyaa, karena setiap hari punya kisah yang selalu unik dan berbeda.
Gimana yaaa cerita jurnal hari ini ....? Apa stimulus yang ku lakukan untuk anaaaaku di hari ke-12 ..
Inilah jejak insightku...
Hari ini aku full timer worker di Madrasah.
Sangat padat merayap. Aku menggunkaan waktu untuk monitoring dan pembinaan.
Tibalah menuliskan jurnal menstimulus anak hari ini.
Siang tadi sempat merencanakan untuk memberikan stimulus kepada Syakiera. Cerita hari ini aku fokuskan kepada Syakiera, karena dyza hari ini ikut abbinya ke Kopo.
Kegiatan menstimulus perkembangan dilakukan dengan mengikuti mood anak. Hari ini mood syakiera kurang bagus karena ia banyak berteriak.
Hari ini Syakiera diberikan stimulasi perkembangan pada aspek keagamaan dengan mengajaknya Sholat Maghrib namun ia tidak mau.
Stimulasi Aspek bahasa hari ini antara lain aku menstimulnya supaya ia mengucapkan salam bila masuk ke dalam ruangan, meskipun reaponnya cuek, mudahnudahan ini menjadi amalan yang dicatat oleh Alloh dalam mendidik anak.
Sesungguhnya yang memiliki kehendak untuk merubah seseorang adalah Alloh. Hidayah yang memberikan Alloh. Maka sudah semestinyalah aku bertawakal kepada Alloh.
Dari segi aspek sosial , ia bermain dengan teteh Syahida di kantor.
Aspek emosi ku menstimulus ia untuk memahami perasaan yang dia rasakan dan orang lain rasakan.
Sementara itu aspek nutrisi hari ini tidak terlalu banyak asupan. Ia makan 2 kali dalam hari ini. Asupan buah hanya salak. Semoga tidak sembelit aamiin.
Kali ini Aku akan mencoba untuk mendeskripsikan motorik nya dengan belajar memasak telur ceplok. Meskipun ada tragedi panas terkena pipi, namun sejauh ini ia amat senang.
1. Aspek Motorik
💜 Kegiatan yang dilakukan :
Menggoreng telur ceplok
💜Alat & Bahan :
Kompor, wajan, telur, garam, spatula
💜Strategi pelaksanaan :
Memberikan sounding kewaspadaan terhadap api.
💜Respon :
Responnya alhamdulillah sangat baik, meskipun heboh sambil pam pam cuap
Dalam jurnal ini ingin ku sampaikan bahwa kapasitasku sebagai manusia adalah berikhtiar dan berdo'a.
Menyaksikan anak-anak yang belum patuh dan abai terutama dalam melaksanakan sholat tentunya ada perasaan khawatir yang teramat bilamana kondisi ini stagnan secara terus menerus.
1 tahun terakhir waktu nya menumbuhkan kecintaan dan membiasakan sholat. Sebelum usia 7 tahun pada tahun depan.
Strategi : berdo'a yang khusyu dan khidmat, bertaubat siang dan malam, meminta dido'akan kepada orang-orang sholeh
Ya Alloh berikanlah petunjuk...
#ibuprofesional#institutibuprofesionalbandung#ip4id2024#sinergiwujudkanaksi#tahapanperkembangananak#bundasayangbatch9#jurnalharike-12
0 notes
Text
Sebelum Lepas Landas
Prosedur keselamatan di saat pesawat mengalami kondisi gawat darurat adalah hal yang terus dilakukan awak pesawat mana pun. Baik diperagakan langsung maupun via video. Hal yang sama, tak ada yang berbeda dari jaman ke jaman. Mungkin membosankan, atau sudah hafal, sehingga ketimbang menyimak, banyak orang memilih tidur, memotret pesawat di luar jendela, mengirim pesan di detik-detik terakhir, main game. Dulu, itu semua saya lakukan juga. Apa pentingnya? Kalau terjadi sesuatu, masak sih nggak ingat harus melakukan apa saja? Pasang pelampung, kembungkan, pasang masker, ikuti lampu…. Gitu aja, kan?
Tetapi itu berubah pada tahun 2012, ketika saya bergabung dengan Total EP Indonesie, perusahaan migas asal Prancis. Di sini, sejak hari pertama, saya belajar bahwa urusan keselamatan bukan hal kecil. Meleng sedikit, ngantuk sedetik, meleset semili: fatal akibatnya. Berkunjung ke lapangan, melihat pekerjaan yang dilakukan, saya belajar bahwa abai, lalai, tak peduli akan membawa bahaya buat diri sendiri dan orang banyak.
Di kantor ini, kami harus mengikuti training keselamatan. Salah satunya berjudul HUET: Helicopter Underwater Escape Training. Di sini kami belajar seperti apa kondisi gawat darurat di udara itu, apa yang harus dilakukan ketika helicopter jatuh ke air. Apa yang harus dilakukan ketika air mengepung, pintu mana yang harus dibetot, keluar ke mana. Kurang dari 15 detik sudah harus mumbul, kalau nggak SELESAI hidup kita.
Pelatih terus mengingatkan, “Jangan panik. Tenang. Nanti semua akan terselesaikan dengan baik.” Siap!
Saya masuk tiruan helicopter yang pelan-pelan digerek naik. Pada ketinggian tertentu, tanpa aba-aba, kami dihempaskan, masuk air dengan dahsyat. Seketika itu juga, semua yang diajarkan tadi HILANG! Melepaskan seatbelt mendadak jadi hal yang tak dikenal. Posisi jendela entah di mana. Dan ketika berhasil keluar jendela, ini permukaannya ada di mana siiiiih? Begitu kepala berhasil muncul dari air, secara teori, saya sudah mati. Kelamaan di dalam sana! Terpaksa ulang sekali lagi. Saya panik. Nggak tenang. Dan semua tidak terselesaikan dengan baik. Betapa berbedanya teori dan praktek itu, Saudara-saudara!
Di kali kedua, saat dihempaskan, saya tetap kaget, hanya jauh lebih tenang, sehingga seatbelt bisa dilepas, jendela tampak, dan berhasil molos keluar. Nggak jadi mati! Dapat kartu yang mengijinkan saya duduk di bangku deretan pintu emergency karena saya telah dinyatakan mampu mengatasi keadaan darurat. Horeee!
Tetapi kartu itu saya dapatkan setelah sempat dinyatakan “mati” di percobaan pertama, dan saat latihan, kan? Dalam kondisi sebenarnya, mana bisa diulang sampai lancar? Begitu gagal, ya mati beneran dong ah.
Kegagalan di percobaan pertama HUET –yang membuat saya dinyatakan “mati” karena telat keluar dari air—adalah titik saya memutuskan untuk tidak pernah lagi mengabaikan penjelasan awak pesawat menjelang lepas landas. Saya hanya perlu beberapa menit saja untuk menyimak, mengingat kembali hal-hal penting (yang pernah saya dengar berkali-kali) itu sekali lagi. Beberapa menit itu bisa jadi akan membuat saya lebih tenang ketika kondisi gawat darurat benar-benar melanda. Nggak lupa-lupa amat lah. Kan baru dijelasin tadi. Ya, kan?
Saya tidak tahu dengan yang lain, tetapi buat saya, beberapa menit sebelum berangkat itu penting. Saya perlukan.
0 notes
Text
JALAN BERSAMA
Aku masih kesulitan membuka mata, ada lem yang kuat di antara kedua kelopak mataku. Tak bisa kupaksakan untuk terbuka. Psikolog memahami kondisiku yang kesulitan, dia memanggilku dan meminta untuk fokus mendengar suaranya. Tak mudah untuk kukerjapkan mataku, namun perlahan-lahan mataku bisa kubuka. Pertama kali yang kulakukan ketika membuka mataku adalah tersenyum. Senyuman yang begitu lebar, dibalas senyuman juga oleh psikologku.
“Luar biasa yaa, hari ini dirimu sudah berani melepas yang sepatutnya kamu lepas. Kerelaanmu sudah mulai membuahkan hasil. Senyuman di wajahmu sudah sangat jauh lebih lega daripada ketika pertemuan pertama kita. Tak ada sedikitpun senyuman pada wajahmu. Kondisi yang patut untuk disyukuri. Keberanianmu memutuskan untuk pergi ke profesional, menjadikan dirimu memiliki progres yang jauh lebih baik dan lebih cepat. Pencapaian yang wajib kamu apresiasi yaa.”
“Iya, Kak. Aku juga tidak menyangka bahwa langkah kecilku ini sudah membawaku menjadi lebih baik. Aku juga menyadari memang baru sedikit yang kuurai dan kubuang. Aku memiliki ruang untuk menumbuhkan kebahagiaan. Beda rasanya, Kak. Aku sendiri tidak menyangka akan bisa selega ini. Ini jauh dari bayanganku, Kak. Terima kasih atas kesediaan Kakak menemaniku yaa.”
“Berterima kasihlah pada dirimu sendiri juga ya. Sekian tahun kamu memberanikan diri, memupuk keberanian yang kebanyakan orang tidak peduli dan abai pada dirinya sendiri. Dirimu sudah mau meluangkan waktu untuk bisa hidup lebih tenang.”
“InsyaAllah, Kak. Kak, emb. Gimana ya, aku bingung untuk menyampaikannya. Akuuu-aku sepertinya belum siap untuk menjurnal tentang keluargaku.” Kutundukkan kepala, memegang pena dan mencoret-coret di jurnalku.
“Nggak apa-apa. Nggak semuanya harus selesai dengan sekali duduk. Bahkan sangat mustahil jika menuntaskannya malam ini. Energimu juga sudah terkuras kan? Takkan kubiarkan dirimu sampai tumbang dalam proses terapimu ini. Bukannya semakin sehat, nanti kamu menjadi sakit fisik pula.”
“Baik, Kak. Bener banget, badanku sudah sangat lelah rasanya. Lelah, namun lebih lega, Kak.” Ucapku sambil kembali memberikan senyuman.
“Kita cukupkan sesi hari ini ya.”
“Iya, Kak. Aku ingin segera istirahat.”
“Sebelum kita akhiri, apa pembelajaran yang bisa kamu ambil dari sesi ini?”
“Emb,” otakku rasanya kosong, tak ada kata-kata yang dengan spontan bisa kuucapkan.
“Apa kira-kira yang bisa kamu ambil?”
“Aku belajar menghargai pencapaian kecilku, Kak. Aku yang baru menguraikan sebagian kecil kerumitan di kepalaku saja, sudah memberikan dampak yang baik untuk diriku. Nggak usah jauh-jauh, Kak. Hal kecil yang kulakukan ini, insyaaAllah akan memberikan dampak lebih besar, aku yakin itu. Aku mau terbuka dengan Kakak, merupakan pencapaian yang sangaaaat besar menurutku, Kak. Melepaskan, tidak selamanya menyakitkan, Kak. hehehe. Melepaskan dan membuang hal tidak penting dalam hidupku, melegakan.”
“Semoga proses selanjutnya, kamu bisa menjalaninya yaa. Apa yang akan kamu lakukan setelah sesi ini?”
“Aku mau istirahat, Kak. Untuk aktivitas harian, aku akan belajar mengapresiasi mulai dari hal-hal kecil pencapaianku sendiri, Kak. Dan aku akan melanjutkan menjurnal.”
Aku tiba-tiba terpikirkan untuk mengklarifikasi tulisan jurnalku yang terakhir. Apakah aku sudah benar-benar tuntas untuk hal itu? Atau masih belum selesai dalam menguraikannya.
“Kak, boleh aku bertanya satu pertanyaan sebelum sesi ini berakhir?”
“Boleh dooong. Mau tanya apa?”
“Hehehe, apa boleh aku memutuskan untuk tidak lagi berkomunikasi dengan Mas Rendra, Kak? Nggak hanya komunikasi sih sebenarnya, jika aku memutuskan untuk tidak mau bertemu dengan dia boleh kah?”
“Ouh sungguh sangat boleh dong. Kamu punya hak untuk terus menjaga kesehatan mentalmu. Jika salah satunya dengan tidak melakukan pertemuan dengan dia. Itu BOLEH BANGET. Nggak usah takut bersalah. Kesehatan mentalmu jauh lebih penting untuk dijaga. Toh dia tidak pernah berkomunikasi lagi denganmu kan? Kamu takut memutus hubungan silaturahim? Ingat, dia sudah berkeluarga dan dirimu juga akan menuju jenjang itu. Saat ini, fokuslah pada dirimu sendiri, itu bukan untuk memutus silaturahim. Jika dirimu terus memaksakan untuk bertemu dia, bukan relasi sehat yang terjadi, Justru akan bisa menjadi kondisi yang saling menyakiti. Atau sebenarnya dirimu ada rasa pada dia?”
“Beberapa hal yang Kakak sampaikan benar. Ada ketakutan dalam diriku. Namun,aku sudah tenang. Aku tak pernah sedikitpun ada niatan untuk memutus silaturahim. Aku lebih sayang diriku sendiri, maka aku berhak memilih prioritas yang bisa membuat diriku lebih sehat. Benar begitu Kak?”
“Iya, benar. Untuk pertanyaanku yang terakhir bagaimana?”
“TIDAK!!! TIDAK, KAK. AKU TIDAK MEMILIKI RASA SEDIKITPUN KE DIA.”
“Tenaaang, tenang. Tidak usah pakai nada tinggilah.”
“Maaf ya Kak. Ada orang lain yang sudah mengisi hatiku, Kak. Bukan dia.” Kataku, kemudian menutup mulut dengan telapak tangan kananku ketika menguap.
“Baiklah. Kita cukupkan sesi ini ya. Sehat-sehat dirimu, dijaga pola tidur dan makannya. Sampai jumpa di sesi berikutnya. Selamat malam.” Senyum manis terlihat di layarku dan menjadi penyemangat diriku.
Aku letakkan gawaiku di meja kerja, kemudian kuambil cangkir yang masih ada isinya setengah. Kuteguk perlahan, nikmat. Jauh lebih nikmat daripada tadi yang susah payah untuk kutelan.
***
Hari ini, kuputuskan untuk melanjutkan proses menjurnalku. Aku menyadari bahwa proses ini merupakan kebaikan untuk diriku sendiri. Tak ada yang bisa menjadikan lebih baik, selain kuasa Tuhan dengan upaya diri yang terus mengupayakan. Hari ini aku mau melanjutkan perjuanganku. Perjalanan panjang. Namun aku bosan jika harus kulakukan di kamarku saja. Sepertinya akan menyenangkan jika aku melakukan di taman bunga. Sekalian aku liburan, memberi asupan hijau pada mataku.
Aku mengambil jurnal, kumasukkan kedalam ransel bersamaan dengan alat tulis, minuman dan camilan. Tak lupa aku membawa payung, jaga-jaga ketika nanti cuaca terik atau sebaliknya, hujan. Aku memilih pergi ke taman bunga, karena aku sangat senang ketika melihatnya, dan mataku selalu berbinar jika melihat bunga, apalagi jika ada beragam jenis dan warna. Aku segera berangkat sendirian. Iya, sendiri. Aku masih menikmati masa-masa ini. Perjalanan sendiri yang akan menyenangkan. Perjalanannya memang tak jauh, namun aku akan menikmatinya tanpa gangguan dari suara gawai. Aku tidak benar-benar mematikan gawaiku, namun aku memutuskan untuk menyalakan mode senyap.
Aku keluar, menuju sepeda motor bututku. Kunci sepeda motor kumasukkan pada lubang kunci, kuputar perlahan hingga searah dengan tulisan on. Tombol stater kupencet perlahan, mesin langsung berderu. Walaupun sepeda motorku butut, namun tetap kurawat dengan sangat baik. Tak kubiarkan kendaraan kesayanganku sampai mati akibat kehabisan oli, tak ada dalam sejarahku sejauh ini. Sebelum kulajukan kendaraan, aku mengecek barang bawaanku lagi. Aku pastikan barang-barang yang kuperlukan tidak ada yang tertinggal. “Bismillah,” kuucapkan usai semua barang sudah terbawa, kuinjak porseneling, dan gas kutarik perlahan.
Jalanan hari ini tak terlalu padat, para karyawan sudah asik di kantor mereka masing-masing. Pemandangan anak-anak sekolah dasar berlarian di lapangan sekolahnya, sekilas nampak ketika melewati SD tempatku dulu sekolah. Tak banyak perubahan di gedung maupun lingkungannya, hanya pepohonan yang kian rindang dan tambahan pagar dengan warna oren menyala, kontras dengan warna bangunan. Tiba-tiba aku teringat masa SD yang sangat nyaman, tak perlu memikirkan banyak hal seperti saat ini. Bermain, lari-larian, jajan, dan sedikit porsi belajarnya. Sungguh jauh porsi belajar siswa SD pada zamanku dibandingkan dengan saat ini.
Kulajukan sepeda motorku menuju taman bunga, yang sudah lama tidak aku kunjungi. Wah iya ya, aku sudah lama tidak memberikan hiburan untuk mataku sendiri. Aku terlalu berfokus mencapai pencapaian di perusahaan, hingga terlewat melakukan kebiasaanku bersama orang tuaku, pergi ke taman bunga. Kebiasaan sejak aku kecil hingga aku dewasa, yang berakhir di tiga tahun lalu. Sudah, tak usah risau. Kali ini aku bisa pergi ke taman bunga walau sendirian. Terlalu asik pikiranku berkelana, 200 meter lagi aku akan sampai tujuan.
Tampak dua orang lelaki memakai rompi berwarna biru bertuliskan jukir, yang membantu pengunjung untuk memarkirkan kendaraan ketika datang dan membantu mengelurkan. Aku memilih parkir dekat pintu masuk, tak mau jalan terlalu jauh dan menghindari bingung ketika mencari. Tak langsung kusejajarkan dengan sepeda motor lain, hari ini aku sedang dalam mode malas untuk menata motor ketika parkir. Tidak hanya itu alasan sebenarnya, namun hanya ada satu tempat kosong yang sangat pres. Jika kupaksakan parkir sendiri, mungkin akan menyenggol dua kendaraan di kanan dan kiri. Aku turun dan mencabut kunci, tanpa mengunci setir.
Masuk area taman, aku langsung membidik salah satu pojok yang kosong. Aku jalan dengan santai, menikmati bunga-bunga yang bermekaran. Alhamdulillah, nikmat yang tiada bisa kuabaikan. Nikmat yang luar biasa. Aku mengeluarkan gawai, sesekali mengambil foto bunga, untuk kujadikan koleksiku pribadi. Koleksi foto, bukan tanaman bunga aslinya, hehehe.
Sudah puas mengambil beberapa foto, aku melanjutkan menuju tujuan awalku, menulis jurnal. Aku duduk di kursi dengan ornamen ukiran sederhana yang membuat nampak gagah. Sebenarnya kursi yang kududuki cukup untuk dua orang, tapi kali ini aku isi sendiri saja. Tidak sendiri, aku bersama diriku dan ranselku. Aku meletakkan ransel di bagian kursi yang kosong. Jurnal kukeluarkan bersama alat tulis dan sebotol kecil teh chamomile. Aku awali dengan minum teh.
0 notes
Video
instagram
Dong Abay Music Organization x @_counterflow #counterflow https://www.instagram.com/p/ComQQr6rA1g/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
Text
Aktor nakal yang merengek pada Tuhannya
Ah,
Mungkin lama rasanya tidak jatuh cinta. Sekali jatuh cinta sepertinya aku terasa berlebihan. Anjing!
Aku tidak tahu. Tapi rasanya cukup membuat sakit hati ketika dia hanya membalas dengan sikap yang terlalu dingin. Benar kata kawanku.
“Kamu terlalu sering menjadi sutradara, sampai-sampai kamu lupa bahwa kamu harus bisa memerankan dirimu sendiri. Siapa sutradaranya?...Kamu sepertinya masih tidak mau disutradarai. Dan benar kata gurumu tidak semua sutradara bisa bermain peran dengan apik, kamu salah satunya”
ANJING BABI!
Hari ini aku sadar, bahwa aku terlalu sering mengurusi kepribadian orang dan bagaimana cara mengubahnya agar bisa menjadi tokoh yang apik di atas pentas. Naasnya, aku lupa bagaimana memerankan diri sendiri di panggung yang sebenarnya..kehidupan. Sepertinya aku harus menurunkan ego.
Sepertinya aku harus mau kembali menjadi aktor.
Sepertinya aku harus berlatih menjadi aktor yang baik.
Aktor yang patuh pada sutradaranya.
Aktor yang patuh pada Tuhannya.
Tuhan, aku tahu aku sering mengabaikan-Mu. Selalu berimprovisasi ke sana ke mari,. Kadang bahkan memutar balikkan fakta-fakta-Mu. Bodohnya, aku masih belum patuh terhadap naskah karangan-Mu. Menjalankan perintah-Mu saja aku abai.
Tuhan, maaf aku nakal selama ini.
Aku tahu Kau menciptakan aku sebagai salah satu ciptaan-Mu yang kreatif, tapi kreativitasku mungkin sudah berlebihan sampai-sampai lupa akan naskah buatan-Mu. Tuhan, kata orang-orang jatuh cinta itu indah, tapi kenapa ketika aku baru saja memulai jatuh cinta (lagi), perempuan yang aku cintai berubah menjadi sosok yang lain? Aku belum selesai membaca naskah-Mu. Kau sungguh medit akan naskah ciptaan-Mu sendiri kepada aktornya. Kamu seperti Arifin dan Putu yang merasa karya tulisnya selesai ketika pementasan usai. Ia tinggal menulis dialog-dialog liar yang dilontarkan aktor dalam improvisasinya. Gusti, haruskah aku berimprovisasi (lagi)? Improvisasiku terlalu liar, Gusti! Aku takut!
Aku bahkan sudah mencoba merangkai peristiwa yang aku kira itu akan menakjubkan. Naasnya, itu malah bertepuk sebelah tangan.
Gusti, tolong beri tahu aku bagaimana cara untuk mencintai perempuan. Aku selalu gagal berimprovisasi pada peristiwa ini. Tak ada penonton yang bertepuk tangan, menertawakanku yang sering. Aku tahu aku sering bertindak sebagai badut sosial, tapi...jangan jadi badut di peristiwa percintaan dong. Sesekali aku ingin merasakan bagaimana dicintai seorang perempuan. Banyak juga boleh. Tapi tidak, aku bukan orang seperti itu. Iya kan? Di lembar kedua naskah-Mu aku tidak kau tuliskan seperti itu kan? Tuhan, perasaan seperti ini sungguh tidak menyenangkan. sungguh. Aku berani bertaruh aku akan kesusahan memejamkan mata tiap malam. Mimpiku akan berlangsung bahagia. Kata orang-orang jika mimpi kita bahagia itu adalah pertanda kebalikan di dunia nyata. entahlah aku tidak cukup percaya dengan bunga tidur. Gusti, anggap saja ini adalah perbincangan intim antara aktor dengan sutradara. Aku tahu Kau bisa datang kapan saja ke dalam hati ini. Mumgkin malam ini ... eee mungkin sejak sore tadi Kau hadir begitu dekat. Malam ini aku ingin curhat panjang tentang bagaimana peranku selama ini, utamanya pada persitiwa percintaan yang aku merasa selalu bermain jelek di hadapan lawan mainku.
Hari ini aku meminta maaf atas permainanku yang terlalu banyak improvisasi.
Hari ini aku meminta maaf atas kesombonganku
Hari ini aku meminta maaf atas kebodohanku sebagai aktor-Mu
tapi, hari ini juga aku meminta petunjukmu tentang bagaimana menjadi manusia dalam adegan percintaan yang Kau tulis. Aku bodoh gusti. Sungguh.
Gusti, semoga hari ini adalah hari dimana aku akan memulai menikmati permainanku sebagai aktor dalam babak-babak naskah-Mu. Aku akan berusaha mentaati dramaturgi-Mu.
Tuhan, terima kasih aku sudah Kau libatkan sebagai salah satu aktor dalam perunjukan-Mu, menjadi badut di lingkungan sosial sekaligus figuran di lingkar percintaan.
Tuhan, aku akan kembali berlatih sebagai aktor. Tolong bilangi aku kalau Kau rasa aku sudah siap sebagai aktor utama dalam kisah cinta-Mu.
0 notes
Text
Nakakainip ang ganitong buhay
Nakakainis ang ganitong buhay
1 note
·
View note
Text
[DANAS MUSIKA] Linggo ng Musikang Pilipino 2019: Ang paghubad ni Dong Abay sa katotohanan
[DANAS MUSIKA] Linggo ng Musikang Pilipino 2019: Ang paghubad ni Dong Abay sa katotohanan
Dong Abay
[PAGLILINAW Hindi ito isang rebyu ng konsiyerto. Isa itong pamamahagi ng aking danas na may kinalaman sa musika. Para sa akin, lahat ng uri ng sining, napapanood man, nakikita o naririnig, ay hindi nirerebyu kundi dinadanas.
Matinding nostalihiya ang naidulot sa akin ng panonood ng tugtugan nina Wency Cornejo, 52, Cooky Chua, 46, Dong Abay, 48, at Barbie Almalbis, 41, noong…
View On WordPress
0 notes
Text
out of context quotes from rico blanco, widely known as one of the best songwriters of the ph:
i was being punk by not being punk
i dont get poetry
im gonna write a song about a stupid....dog. a stupid dog
#this talk is rlly good it's still ongoing. we are overtime but nobody wants to leave#dootdootdoot#so rico blanco wrote lipat bahay because he was inspired by dong abay's messy fucking house xhbdhdjjd
12 notes
·
View notes
Text
"Woi a*u"
Kata seorang anak kecil, kira2 umuran 3 SD memanggil temannya yang sedang naik sepeda.
Tak lama dia mendekatinya, lalu menyapanya dari dekat.
"Eh, anj*ng"
Mereka lalu sedikit bercanda. Sampai akhirnya si teman yang naik sepeda itupun ngacir. Dikejar si bocah 3 SD.
"Bonceng, gobl*k!!!
Merekapun berlalu sambil tertawa.
***
Saya yang lagi nemenin Ben dan Ranu main di teras rumah langsung tercekat. Nelen ludah. Istighfar.
Beginikah potret pergaulan anak-anak akhir zaman😔😢
Dan dari situ saya mulai paham, betapa sangat sulit dan menantangnya jadi orangtua.
Di satu sisi perlu mendorong anak bersosialisasi, bergaul dengan teman, bermasyarakat. Dengan tujuan akhir bermanfaat untuk sesama. Tapi di sisi lain, lingkungan kita hari ini --pada kenyataannya, sudah sangat tidak sehat.
Dulu, sebelum punya anak... Saya pernah mempertanyakan peran para orangtua. Harusnya bisa dong, bikin anak agar "selesai" di rumah. Ajari dia agar punya prinsip yang kuat. Terutama agama. Jadi ketika keluar rumah, dia nggak terbawa pergaulan yang aneh2.
Tapi kenyataannya....Nggak semudah itu, Bund.
Ya meski saya belum berpengalaman punya anak yg besar, yang mana di usia itu pengaruh teman sangat signifikan, tapi dari sekarangpun saya udah bisa ngebayangin betapa sulitnya perjalanan mengasuh kedepan.
Saya punya dua anak laki2. Meski 22nya masih bayi dan batita, tapi saya paham betul betapa mereka sangat cepat dalam mencontoh.
Pernah suatu hari, Beben main sama teman2 komplek. Itupun saya temani. Ketika sampai rumah, dia jadi senang bilang "Woi orang jelek!" Sambil ketawa2.
Saya kaget. Tapi berusaha meresponnya dengan biasa aja. Supaya dia nggak makin2 mempraktekannya. Tau kan karakter toddler, apa yang heboh kita larang, itulah yg mereka lakukan :)))
"Nak, semua orang itu ciptaan Allah. Nggak ada yang jelek. Kalau dikatain begitu, orangnya jadi sedih"
"Tapi kenapa teman2 Aa yang di mesjid bilang orang jelek? "
"Mungkin mereka belum tau kalau itu nggak baik"
Alhamdulillah dari situ nggak diulangi ngomong2 orang jelek lagi.
Dari pengalaman diatas, saya jadi lumayan belajar. Bahwa dalam perjalanan pengasuhan yang seumur hidup ini, harus ada hal prinsip yg perlu kita pegang. Agar ngasuh nggak sekedar membesarkan anak secara lahiriah, tapi imbang secara batin juga. Lebih2 spiritual.
Pertama dan utama, selalu doakan anak. Doakan semoga Allah selalu memberikan hidayah pada kita dan anak2 kita. Berdoa agar Allah selalu senantiasa memberi kita petunjuk, jalan yang lurus.
Kedua, usahakan bangun bonding yang kuat. Dengan cara membangun kebiasaan berdialog antara anak dan orangtua.
Mulai dari tanya aktivitas apa yang dilakukan, sampai bagaiamana perasaanya.
Jangan gengsi minta maaf kalau memang orangtua ada salah.
Penuhi janji apabila berjanji.
Dan hal2 sejenis lah...
Nah tujuan utama dari itu semua adalah kita mendapatkan hatinya. Karena kalau udah dapetin hatinya, insyaAllah akan lebih mudah untuk memberinya masukan2 dan arahan2. Mereka akan tumbuh sebagai orang yang mempertimbangkan pendapat dari kita, orangtuanya.
Lepas dari itu, balik ke poin pertama.
Berdoa, serahkan kepada yang Maha Mencipta. Karena kita ini hanya dititipi. Makan menjadi orangtua jangan membuat kita terlampau obsesif. Tapi jelas juga jangan abai. Secukupnya saja..
Yang mana rumusnya sederhana : lakukan apa yang Allah suruh kita lakukan, praktekkan apa yang Nabi SAW ajarkan.
InsyaAllah, kita bisa jadi orangtua yang lebih tenang :)
50 notes
·
View notes
Text
Sesekali, kasih jeda...
Kita hidup di dunia nggak cuma diam aja, setiap orang punya kesibukan tersendiri. Ada yang sibuk bekerja, sibuk perbaiki diri, dan masih banyak kesibukan lainnya. Saat kita melihat ke sekeliling, setiap orang punya kadar lelah yang berbeda-beda. Ada yang nggak dirasa namun ada juga yang baru ngerjain sedikit udah ngeluh.
Ayo dong semangat, bentar lagi nyampe nih ke puncak. Semangat!
Iya bentar ya, aku pengen istirahat dulu. Aku nggak terbiasa aktivitas kaya gini jadi minta rehat dulu ya.
Oke deh, istirahat dulu ya kumpulin dulu tenaganya. Tanggung bentar lagi udah mau nyampe puncak. Yuk semangattt!
Sip makasih ya udah mau nemenin aku rehat dulu. Oke deh bentar lagi ya nyampe puncak, yuk lanjut aku udah gak kuat liat sesuatu yang indah.
Percakapan dua orang pendaki gunung tersebut memberikan arti bahwa apapun yang kita lakukan kalau dirasa berat izinkan raga untuk rehat. Gak semua aktivitas yang kita jalani harus kita ladeni hingga lupa waktu. Timbul sakit nyalahin ini itu, sebenarnya sakit itu anugerah dari Tuhan. Hadiah yang Tuhan kasih berupa cobaan. Kalau gak dikasih reminder kaya sakit, kita akan terus-terusan abai pada diri kita sendiri. Aktivitas apapun kalau dipaksakan bergerak dan berpikir secara terus menerus tanpa memperhatikan kesehatan itu kesalahan besar. Yang ada bukan menyehatkan tapi bikin raga kita sakit.
Semakin banyak yang kita kerjakan semakin banyak pula beban yang harus kita singkirkan. Memang rasanya ingin menumpahkan beban tersebut dengan air mata, ya sah-sah saja namun lebih baik sewajarnya saja. Setelah dikasih jeda, tarik napas lagi lalu lanjutkan apa yang belum diselesaikan.
Kadang kala kita dihadapkan sebuah pilihan, pilihan itu datang dengan cepat juga bisa datang secara lambat. Tatkala, kosongnya hati dan pikiran bisa jadi memperbolehkan siapa saja masuk dalam hidup kita. Tanpa disadari mereka masuk menjelajahi kehidupan kita dan membuat hidup kita jadi berwarna. Nah, disaat itulah kita harus bisa memposisikan diri menjadi versi yang terbaik. Menjadi seseorang yang sebenarnya dan apa adanya. Terima semua pesan masuk dan saring aroma positif menjadi motivasi terbaru.
Namun, gak semua bisa mewarnai hidup kita. Ada waktunya kita di fase datar aja, tak ada yang ingin diutarakan cuma diserap aja sama diri kita sendiri. Semua masalah yang hadir ditelan dengan baik sama diri sendiri. Dan saat terbaik untuk menenangkan diri adalah kasih jeda. Kasih jeda ke raga kalau dirasa lelah luar bisa, tentu kita hidup bukan benda mati. Oleh karena itu, sesekali kasih jeda karena gak semua harus dipaksa menerima yang hendak datang.
Umur semakin tua, segalanya tidak serba mudah. Tidak semudah kita ingin ini itu dengan langsung ada di depan mata. Hidup kita bukan dunia magic yang satu kali kedip bisa menyajikan apa yang kita inginkan. Bukan, bukan begitu. Semuanya gak bisa instan, jadi dijalani perlahan-lahan karena lewat langkah kecil yang kita pijak itu akan akan jadi pilihan kemana raga kita akan menemukan mimpi-mimpi kita menjadi nyata.
Lelah memang bikin kita malas melakukan apa-apa, cuma ingat lagi apa yang harus kita lakukan jika terus mendiamkan raga dengan tatapan mata yang kosong. Bukan, itu langkah yang salah. Seharusnya, jika raga sudah dirasa terlalu lelah kasih jeda. Waktu yang baik akan selalu dimanfaatkan oleh orang yang mampu mempergunakannya dengan baik. Waktu dan lelah memang menyatu padu. Pada akhirnya, waktu juga yang akan mengingatkan kita jika kita merasa lelah terlalu lama kita akan kalah pada keadaan.
Lelah itu wajar dan waktu gak akan pernah lupa dengan orang yang terlalu lama lelah. Sesekali mengingatkan, kasih jeda pada raga karena mereka bukan benda mati.
@diksimelancholic
27 notes
·
View notes
Text
Teguran!!
Sore ini emang lagi ngga buka bareng mas, aku buka bareng anak SUKI lama jadinya ngga buka bareng sama mas kan. eh pulang-pulang aku uda setengah 9 malem, dan aku mampir ke kantor dulu kan. iseng aja vidcall kan, ekspektasiku karna aku dah pergi lamaa, otw nya juga mayan lamaa kan aku pulang itu mas udah bersih ganteng udah sholat kan. taunya pas nyampe kantor aku vidcall mas masih pake seragam kerja udah gegoleran di kasur dong. rasanya kaya ibarat ada alat pengukur emosi uda lewat batas atas kali ya asli muntabbb banget rasane nek boso jowone. sampe-sampe ngga bisa marah lagi akunya kaya “ya yaudahlah ya” udah ngga selera lagi mau ngomel a-z.
aku udah minta tolong nih sama mas mbok ya nek pulang ngga langsung mandi kan paling ngga ganti baju dulu terus gegoleran terserahmu. udah beeerkali-kali sih emang aku ngingetin ini, mas tuh kaya iyain aja tapi buktinya sampe sekarang masih terulang lagi. emosinya tuh, mas ini sengaja apa gimana sih bikin aku marah? mas ini sengaja bikin aku kesel apa gimana sih? mas nantangin aku buat marah apa gimana sih? kemaren-kemaren juga aku bilang mas kkan bajunya kotor buat di luar seharian, ketemu banyak orang, apalagi lagi kondisi pandemi begini. ntah, mungkin cuman lewat aja nih omongan. maksud aku bilang buat langsung mandi atau minimal ganti baju dulu kan juga buat kebaikan mas juga, buat ngejaga mas juga bukan karena keegoisanku yang nuntut mas harus begitu. semuanya juga buat mas, kalo aja aku ngga sayang sama mas kan aku juga ngga akan ngomel-ngomel kan. pasti ya yaudah sanaa terserahmu mau ngapain aku ngga peduli. kan gitu ya.
ntah, mungkin mas belum kepikiran sampe segitu kali ya. tapi yaudahhhh
trus, uda diingetin dibilang minta tolong mbok langung ganti baju
eh mas masih bisa ngejawab alesan abis telfonan sama mbak. telfonan sama mbak yang jadi alesan, ngga lama kemudian abis ngemil jeruk yang jadi alesan juga makanya ngga ganti baju. seberapa berat ih lepas baju tuh, nggausah ganti deh dilepas doang itu baju yg luar kalo males ambil baju ganti. ya Allah kebangetan tenan emang..
abis itu langsung dibalik dong sama mas, krna mas sering ngingetin aku sarapan tapi akunya suka ngga sarapan. trus akunya yang suka ga baca chatnya mas kalo itu uda chat terakhir ngga mau chat an lagi.
aku akuin, aku salah aku bandel memang kalo soal urusan sarapan aku suka abai soal sarapan. dengan cara mas menegur aku dengan itu bikin aku sadar aku juga banyak bandelnya, tapi mas ngga sepemarah kaya aku yang dikit-dikit langsung marah. kesabaran mas masih banyaaaak banget kaya dipendem dulu, nanti kalo timingnya udah pas baru deh ditumpahin ngga kaya aku yang langsung bar-bar saat itu juga. aku orangnya ngga bisa mendem perasaan, kalo aku suka aku bakal langsung bilang makasih dll juga kalo ngga suka aku pasti cepet-cepet bilang. kalo sampe aku berusaha mendem perasaan ngga suka, efek sampingnya malah lebih jelek. kaya yang aku sempet diem beberapa waktu itu saalah satu contoh ada perasaan ngga suka yang aku pendem. itu salah satu efeknya mengakibatkan kaya gitu. aku sendiri juga sebenernya ngga suka, tapi juga ga setiap ada yang aku ga suka, sikonnya memungkinkan buat nyampein perasaan itu. jadi ada kalanya aku mendem dulu, ya resikonya ada efek sampingnya.
aku minta maaf banget ya mas, aku masih suka bandel juga, mungkin itu juga yang bikin mas nyepelein apa yg aku sampein ke mas, karna aku sendiri juga masih bandel. makasih juga sama mas, mas negur dengan cara yg baik-baik kali ini ngga pake emosi juga. aku makasih banget, makasih udah mau bicara baik-baik..
semoga selanjutnya, kita bisa saling lebih menghargai apa yg disampaikan pasangannya biar ngga muncul perkara demikian. sepele tapi bisa jadi bahan berantem.
jadi pelajaran yang bisa diambil adalah, belajar lagi buat menghargai maksud dari apa yang disampaikan pasangan kita.. pasti ada hal baik di balik itu semua. :)
5 notes
·
View notes
Text
Rivera : Chapter 5 (END)
2018.
Aku sudah hampir selesai mengeja mundur cerita kita satu-persatu. Apakah sudah boleh kumulai untuk menulis tentangmu yang kini berbeda? Aku rasa, selama ini kita hanya butuh waktu untuk mendinginkan suasana. Berpisah memang sejeri itu. Kita hanya mengambil cara yang paling sehat dan masuk akal untuk menyembuhkan perasaan yang terluka dengan membiarkan waktu yang menguapkannya sedikit demi sedikit.
Sudah bolehkah aku mencatatkan sesuatu yang paling kuingat tentangmu? Kurasa, sudah terlampau jauh jalan kita yang tempuh. Kau dan aku bahkan sudah tak lagi memalingkan muka untuk sekadar mencari sedikit peduli. Sudah bukan waktunya lagi kita untuk bersama, sehingga aku sudah bebas menulis apa saja dan menginterpretasikan bagaimanapun bentuk dari bayang kenangan itu. Semenjak malam yang hampir membara itu, aku menangkap bayang kecewa di pelupuk matamu. Binar yang kurasa tak lagi sama dalam menilaiku.
Rivera,
Kita bermula dari sebuah entah. Kalau tidak salah, kita memang bertemu dengan tak sengaja lalu menjalin kontak seadanya. Aku pikir, kau memang satu dari sekian komplementer sosialku. Ada yang menarik padamu, dan kubutuhkan dalam relung benakku. Menjajal halamanmu, aku ternyata membutuhkan waktu. Kalaulah memang manipulatif rasanya, ah, kuakui kau memang seorang yang reaktif. Tapi tak apa, aku memang butuh seseorang yang seperti kau. Perjuanganku melompati hati demi hati yang keras dan dingin sudah banyak teruji.
Baiklah. Kumulai mundur sedikit saja sejak waktu terbaru ketika kita berbincang di sebuah tempat di belakang gedung ikonik kampusmu, berupa taman hijau dengan tangga berundak-undak yang nyaman dan asri. Centrumnya ada si sebuah kursi panjang di pinggir sebuah kolam yang entah seberapa dalam. Parterre, kau tentu ingat kan?
Doakan aku, memulainya berat, memikirkannya sesak. Akan kususun ia dari paragraf demi paragraf.
*
“Lu dimana, Vera?” ketikku terburu-buru.
“Masih ada kelas nih ama pembimbing,” balasnya. “Parkir dimana?”
“Di Gymnas. Mau nunggu di depan departemen, tapi rame banget. Malu gue,”
���Lah ngga usah malu kali. Ga ada yang godain lu juga, Nan,”
“Idih apa urusannya deh,” ujarku mengirimkan emot sewot.
“Yaudah tunggu. Gue bentar lagi kelar,” balasnya lagi. “Nunggu dimana?”
“Di perpusnya aja paling. Di dalem,”
“Okay. Baca-baca dulu aja,”
“Iya ntar dicari dulu judulnya,” jawabku. “KTM bawa kan?”
“Bawa dong,” balasmu, dengan emot jemari melingkarkan O.
…
Aku memang semudah itu masuk dalam hidupmu, seperti air hujan yang turun lalu meresap ke permukaan tanah. Apa sebab? Karena kau memiliki celah, meski tembokmu terlihat tak gampang terbelah. Tugasku mudah, karena seperti tanah yang tampak keras dan kering, ternyata yang dibutuhkan air tak perlu berlagak untuk memecah, cukuplah baginya untuk masuk dan menyerap pasti. Ternyata, kau juga sebegitu lalai untuk menyadari bahwa tiap kali mata bertemu itu bukanlah untuk menaklukkanmu, cukuplah ia untuk mengisi hari-hari biasamu.
Dan bila kau membaca ini, yang paling membuatku mudah untuk masuk ke dalam relung sanubarimu ialah aku datang tanpa setumpuk ekspektasi. Bilapun ada, maka itu tak lebih dari segala sensasi yang sengaja tak kusimpan. Barangkali, bagiku, memang ada pertemanan antara sepasang lawan jenis yang ternyata dapat sejalan dengan jarak tertentu. Merasakan bukan mainnya pertahananmu terhadap cinta -pula mencintai, tak sulit bagiku untuk memperkirakan bahwa kau takkan tumbang seketika bilapun aku selalu nyata di setiap matamu melihatku ada.
Tapi, semenjak peristiwa aneh malam itu, kau jadi berubah drastis menjadi Rivera yang tak kukenal sebelumnya. Apakah kau kecewa karena sikap penolakanku? Atau, apakah kau merasa bersalah atas sikapmu yang tak bisa kau kontrol itu? Entahlah. Seperti angin muson yang berputar ganjil di atas khatulistiwa, kau menjadi sosok yang tak berwarna tegas seperti biasanya. Apakah peristiwa itu menghempaskanmu ke titik nadir? Atau, ini adalah sebentuk titik tolak dari arah kebaikanmu? Aku bertanya-tanya dalam jarak tertentu yang kau atur agar kita tak sedekat dulu. Aku memahami, bila itu luka maka biarlah waktu dan jarak yang mengobati.
Hei, aku tak berniat menggembosimu sama sekali. Lagipula, kau sendiri yang pernah bercuap dan seakan sesumbar bahwa kau takkan mencintai siapapun -lelaki, yang menurutmu takkan pernah kaubutuhkan dalam perjalanan sepimu. Terlihat, kau sendiri yang mengagungkan kesendirianmu, merasa bahwa itulah kendi air sucimu yang kau tak ingin ia ada setitik pasirpun yang larut di dalamnya. Bukankah sudah kauputuskan sendiri di dalam hening pikirmu?
Tugasku, hanya semudah daun gugur yang jatuh di dalam kendimu itu. Barangkali tidak ada arti, selayaknya hanya perkara kecil yang cuma mengambang di permukaan airmu yang tenang. Tak ada perkaraku untuk masuk lalu tenggelam hingga sampai di dasar hatimu. Aku justru kagum akan keegoisanmu menjaga segalanya tetap dalam riak yang kau sangkakan ia tenang, seperti segalanya yang terjadi sebelum sesuatunya kau perkirakan.
Sekarang, sudah kuangkat diriku dari muka airmu. Tapi justru riakmu tak kuat kau atasi sendiri. Mengapa? Aku hanya sehelai daun yang ringan dan dapat kauhela dengan abai ; bukan sebatang tongkat, atau sepalang palu godam yang menghantam ukir-ukiran bentuk rasamu. Apakah aku berukuran sebesar itu untuk nantinya membuatmu teraduk-aduk bak gelombang dari hulu yang bertemu muara? Entah.
Tetapi aku rasa, kau sedang resah. Terlalu pandir bila aku menyangkakan musababnya karena diriku. Tapi sepertinya, itu terjadi kini. Semoga aku salah. Karena bila itu benar, maka telunjuk sebabnya padakulah ia akan mengarah.
*
Memundurkan lagi pintasan waktu, rasanya tak ada yang benar-benar spesial diantara kita. Meski kita adalah dua orang yang pernah kenal lama, banyak sekali yang jadi jurang pembeda. Kita tidak pernah satu sekolah, tidak pernah satu kampus, tidak berasal dari daerah dan budaya yang sama, juga juta-juta alasan lain yang membuatnya seperti jemaring yang membatasi. Betul semua itu bisa diterima, tapi rasanya tak ada lagi yang membuatnya lebih dari biasa. Kita sebenarnya hidup dengan atmosfer masing-masing, hanya sama-sama berputar pada satu orbit bernama ketertarikan. Kau tahu, apa nama bintang yang jadi sumbu edarnya? Ia adalah kebermaknaan. Aku memang mencari makna lain dengan menjadi temanmu selama ini, yang kira-kira mampu memenuhi puzzle kosong dalam labirin benakku.
Bisa terhitung jari aku menyempatkan berkunjung ke kampusmu, pun mengajak diskusi sembari meminjam buku sesekali. Sejak malam itu juga, aku jadi jatuh cinta betulan pada buku-buku psikologi koleksimu. Aku sekarang paham kenapa ilmu jiwa itu begitu rumit sekaligus menyimpan banyak lika-liku. Lewat buku-buku itu, aku banyak menemukan kosakata penting yang kuanggap itu hanyalah peristiwa hidup yang tak memiliki istilah. Kenapa segalanya terasa terlambat? Aku baru mulai mengerti dirimu, ketika kau memutuskan untuk memberi jarak diantara kita. Jendela pikiranmu, ternyata lewat buku-buku yang mungkin diam-diam kau baca ketika senyap. Kau sebetulnya cerdas, hanya aku saja yang dulu tak paham bagaimana menanggapimu.
Ah. Tapi segalanya sudah jauh berbeda, kau sekarang menjadi orang yang pandai bersembunyi dibalik kerangkeng bernama kesibukan. Kau mungkin tidak menghindar padaku, tetapi betul rasanya kita sudah bukan lagi orang yang sama.
…
“Udah cuma satu aja?” kata Rivera, sambil menakar hologram digit buku di inframerah peminjaman.
“Iya itu aja, masih belum kelar lagian,” ucapku, mengedarkan pandangan.
“Udah sampe mana?”
“Carl Gustav Jung. Psyche.”
“Ah, yang arketipe? Alam bawah sadar?” ujarnya, tersenyum.
“Iya hehe, menarik sih.” ujarku, memasukkan buku itu. “Gue langsung balik ya, takut kesorean ntar macet,”
“Seriusan, Nan?” Rivera seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi kulihat dengan cepat air mukanya berubah.
“Iya yaudah. Gue juga kayanya balik ke departemen,”
“Oke deh. Bye, Vera!” ucapku. Tak bersambut gayung, Rivera melepasku dengan senyum getir.
*
Dalam pada itu, yang kuingat satu persatu adalah gedung-gedung tinggi tempat dimana kita memandang karena tak sanggup untuk beradu mata. Seringkali pembicaraan kita hanya beruntas dengan aspal jalan, atau batang-batang kayu rimbun di sepanjang pedestrian yang kita jajal. Kita jadi terlalu sungkan untuk duduk tenang untuk saling menyimak.
Aku, bukannya tak bisa. Tapi aku tahu, gelagatmu itu yang selalu ragu. Setidaknya, aku paham bagaimana memperlakukan hatimu yang begitu rawan. Kedatanganku, hanya untuk jadi kawan. Katamu, kau juga butuh seseorang teman. Pun, aku tak membawa satupun niat untuk menyelewengkan. Selebihnya, kuyakinkan diriku sendiri bahwa kau sudah meyakinkan diriku pula bahwa sejauh ini takkan pernah ada suatu perasaan yang membanjiri jarum tertinggi di pintu air hati.
Mulanya, kau yang rikuh. Tapi, aku tetap kukuh. Hingga akhirnya kita terbiasa untuk saling mengeja langkah yang sama ketika melewati ruas utama kampusmu yang rindang dan seringkali dipenuhi gadis-gadis cantik. Hampir tiada lagi halangan yang kukira dapat menjadikan semua ini jadi aneh, ternyata kaupun menyesuaikan diri dengan begitu baik. Aku rasa, aku menang. Aku rasa, aku pandai membuat teman. Aku rasa, aku berhasil memecundangi mitos tanpa dasar yang menyebutkan bahwa ‘tak ada kata teman bagi laki-laki dan perempuan dewasa’. Buktinya, kita kan?
…
Handphoneku bergetar, dan seketika detak jantung itu berubah irama.
“Nan, gue mau ngomong,” katamu, lewat pesan pendek.
“Ngomong apa? Udah tanggung ini di parkiran,” jawabku. “Dari tadi, kek.”
“Bentar aja.” Balasmu cepat. “Tau Parterre, ngga?”
“Hah? Dimana tuh?”
“Belakang Isola,”
“Oh, kayak pernah lewat. Yang taman ada kolamnya itu kan?” Jawabku. Aku memang senorak itu, setelahnya baru tahu kalau arti ‘parterre’ adalah taman.
“Iya, disana aja. Enak,”
“Yaudah. otw,”
Aku mencabut kunci Piaggio-ku, dan berjalan ke arah tenggara. Merasakan ada degup lain yang merubah air muka. Ada apa?
*
Kau tahu lembayung, tidak? Kala itu jatuh persis kuning kejinggaan dibalik pohon besar dan tua tempat aku duduk menunggumu disana, entah itu batang mahoni atau ara. Singsut, karena ada bekas hujan di permukaan kursi semen memanjang yang hanya beberapa yang kosong. Anehnya, meski ramai, taman itu seperti menyerap nada-nada ucap yang terhanyut oleh semilir udara. Tak terdengar suara-suara kendaraan yang sedang merayap di penghujung jalan. Ambiensinya bagus, sepertinya pendiri taman ini paham betul bagaimana menyelaraskan akustika alam.
Ternyata di belakang gedung putih berpepat bak kue tart kolosal ini, ada taman hijau berundak-undak yang tak pernah kusadari adanya. Tersembunyi diantara lalu-lalang mahasiswa yang sibuk, dipermadanikan oleh jalan kecil namun rindang yang kadangkala tak bisa kubedakan dengan hijaunya rimba. Katamu, disinilah tempatmu sesekali menyejukkan kepala ; lebih tepatnya menyendiri, bila dari banyak tempat sejuk di seantero kampus ini kurasa ini bagian paling utara yang bisa dijangkau kaki.
Aku sampai lebih dulu dan mulai meraba-raba kemana arah percakapan ini nanti. Beberapa kali pernah bersamamu dalam beberapa kesempatan, rasanya tak ada yang perlu kupersiapkan. Diskusi kita mengalir sebagaimana adanya, dan akan mulai dari aku terlebih dulu. Beberapa bayangan soal psikologi dapat kau jawab mafhum dengan beberapa teori dan rekomendasi judul buku. Tanpamu, mana aku tahu siapa itu Freud, Jung, atau Erikson. Segalanya menarik dan hampir sudah khatam kubuka. Tetapi hari ini, kau yang ingin memulai bicara ; Aneh, sepenuhnya aku merasakan intensi berbeda.
…
“Sorry, telat,” Rivera menghampiriku dari sebelah kiri.
“Oh ngga apa-apa,” ujarku. Singsut, basah. “Mau ganti kursi?”
“Disini aja, disitu suka banyak tahi burung, Nan.”
“Oh, iya?” Aku jadi paham, kenapa beberapa kursi yang tampak kering itu kosong. “Mau ngomong apa, Ver? Tumben,”
“Em… bentar,”
Melihatmu mengedarkan pandang, aku jadi ikut-ikutan. Dalam radius lima meter, tak ada orang lain yang dapat mendengar pembicaraan berfrekuensi rendah ini. Selebihnya, kau memang tak ingin ada orang yang mencuri dengar.
“Lu ngerasa ngga sih, kalau…”
Kata kamu kembali muncul. Tandanya Rivera sedang ingin berbicara serius. Aku mendekatkan telinga.
“Iya, gimana?”
“kalau kita itu..”
Apa? Kita? Maksudmu, apa?
*
Ternyata, dalam cipta karsamu itu, sudah kau ciptakan istilah “kita”. Sejak beberapa bulan terakhir kita menjaga jarak, rasanya aku sudah datang kepadamu sebagai seorang lelaki ‘asing’ yang kausambut dengan setengah hati. Meski rikuh, aku mencoba menjadi teman bicaramu soal minat tentang psikologi. Mungkin niatmu juga untuk membantuku dengan akses ke perpustakaan kampus, agar aku tak senantiasa menghabiskan waktumu lewat chat-chat panjang yang tak mampu satu-persatu kau balas.
Aku sendiri sadar bahwa ada “kita” yang sedekat itu, tapi itu dulu. Berpikir keras, aku seperti sedang melompati pedestrian yang berlubang. Bukankah selama ini aku mendengar sendiri ceracaumu soal lelaki? Apakah menurutmu aku tidaklah sama seperti sosok yang sudah kau rajam dalam persepsi? Aku seringkali tertawa, kalau kau bilang bahwa tak ada lelaki yang kau percayai. Oh, aku sudah kebal akan umpatan kalau lelaki itu ‘brengsek, bajingan’ karena sepertinya itu tak menjadikan marwahku sebagai kaum adam terpijak. Bagimu, kau hanya miskin diksi. Aku mengartikannya sebagai lelaki yang ‘dominan, proaktif’. Sisanya, masih bisa kutanggung dalam nalar karena memang begitulah naluri lelaki bekerja.
Lalu, aku terkejut ketika kau mendefinisikan apa itu “kita” darimu, Rivera. Seorang perempuan yang beberapa waktu lalu tampak ceria dan menyenangkan, kini tampak pendiam dan menutup diri. Tak ubahnya sekarang kau seperti seorang dosen yang mestinya kusegani, dan memang betul kusegani. Tapi, dengan tegarnya kau bicarakan suatu hal yang tak kumengerti. Selama ini, kau anggap aku lebih dari siapamu? Aku bahkan tak melakukan apa-apa, tak mulai menyapamu di setiap pagi dan tak mengantar ucapan tidur di setiap malam. Kebutuhanku sederhana, hanya menjadi teman semata. Tidakkah aku tepat bertemu denganmu yang skeptis soal cinta-mencinta? Apa pedulimu soal itu, lalu kau sekonyong-konyong sampai berbicara sebegini mendentum di telingaku?
…
“Lu ngerti, ngga?” ujarmu, seketika hening. “Selama ini ternyata kira udah berlebihan,”
“Ngga. Ngga ngerti. Emangnya aku ngapain?”
“Lebih tepatnya gue sih, yang mandang elu lebih. Maaf ya,”
Aku gusar. Seperti orang yang tetiba ditangkap paksa. Melawan.
“Elo ngomong apa sih, Ver? Elo yang udah beda sekarang-sekarang, tau ngga?”
Rivera hanya diam, menekuri bebatuan yang ada di pinggir kolam. Hening. Sementara, aku mencoba membuang muka dan menunggu penjelasannya.
“Elu tuh.. pura-pura ngga ngerti perasaan perempuan ya, Nan?”
Deg.
Kau seperti sedang mengujiku. Aku seperti sedang bermain dengan biduk papan catur yang putih-hitam, dimana secara tiba-tiba kau langsung mendetumkan artilerimu untuk menyerang rajaku. Gila, aku salah langkah. Pionku ternyata sudah hilang satu-persatu. Di depanmu, aku bak lelaki tolol yang baru belajar soal cinta kemarin sore. Tak mengerti perasaan perempuan, katamu? Cih. Selama ini mungkin aku keliru, tak merepresentasikanmu sebagai perempuan yang semestinya kikuk dan malu-malu. Karena kau berbeda, itu saja alasanku. Lalu sepagi inikah petir itu bermula, Vera?
…
Aku mengernyitkan dahi. Kau sungguh tak memberiku alasan untuk menyerang, tapi tak membiarkanku bertahan di tepian jurang. Menurutmu siapa yang salah, apakah itu aku? Katakanlah, bahkan aku sudah biasa putus cinta dengan cap lelaki pemberi harapan. Aku tak peduli bila memanggung nama buruk dengan apa yang tak kusemai, bila itu memang perisai yang kaugunakan untuk menambal perasaanmu yang kadung bocor tapi harga dirimu seakan masih kau ingin bela. Lakukanlah! Asal jangan Tuhan yang kausalahkan, meski memang Ia yang memegang seluruh skenario tak terduga ini.
“Jadi ini, salah aku ya? Padahal aku cuma pengen berteman…”
Aku menyela gemerisik angin. Hening.
“Kenapa diam aja? Elu beda banget semenjak malam itu, Ver.. Bingung gue, siapa sih yang sebenarnya salah?”
Aku sedang tak ingin membela diri, tapi aku juga terkejut dengan mengeluarkan kalimat tanya nan ofensif itu. Berharap naluri bengis lelakiku tak keluar sembarangan ketika saat seperti ini.
“Ngga gini caranya nolak gue, Nan” ucapnya sambil beringsut, memalingkan muka.
“Gue makin bingung sama sikap lu, Ver. Emang kapan lu nyatain….”
Rivera langsung menyambar, membuatku bergidik. “Nyadar ngga sih, kalau elu tuh terlalu baik?”
“Hah?”
…
Anjing. Bagiku, kata-kata ini sudah tak asing. Epilog yang sama pernah kudengar dari beberapa perempuan yang pernah memutuskan hubungan denganku, dengan kalimat seperti ‘kamu itu terlalu baik buat aku,’ dan bla-bla-bla yang lain. Sarkasme tingkat tinggi yang sebenarnya padu dengan ucap ‘kita sudah tidak cocok’ yang malu-malu keluar dari celah bibir. Halah!
Lain kasus, perempuan terakhirku bernama Alya yang membuatku tidak nyaman dan akhirnya mengandaskan hubungan ialah ketika ia berkata bahwa
‘Aku ngga suka kamu baik sama banyak cewek’
Ambiguitas apalagi ini? Lalu, apa yang harus aku lakukan, masa aku harus berlaku jahat pada mereka?
‘Ya ngga gitu juga, cuma ya bedain dong sama aku’,
itulah sanggahan yang membuatku kadang sedikit naik pitam karena sifat posesif yang membuatku terpenjara. Yang membuatku masih dipandang baik hanyalah kebengisanku tak kutunjukkan secara nyata. Setidaknya, aku bukan lelaki yang akan mudah murka dan melayangkan tangan di depan wanita.
*
Aku dengan sadar telah memajukan kuda-kudaku, memelintirnya menjadi langkah ‘L’ yang langsung menyasar pada kedudukan rajamu. Aku ingin lihat reaksimu seperti apa, sifat dominanku ingin menguasai biduk hitam-putih ini.
“Oh, jadi kalau mau dekat dengan elo, harus pacaran dulu ya baru sah?” ucapku. “Kita kan udah lama temenan, Vera! Kok kamu berubah gini?”
Kembali, Rivera hanya menekuri sepi. Kolam air di hadapanku entah kenapa berubah rentang menjadi seluas samudera. Aku migrain, lebih karena logikaku berat sebelah memandang perempuan ini.
“Ngga! Gue ngga suka pacaran, apaan sih,” gusarnya.
“Ya terus gimana? Pacaran salah, temenan ngga bisa. Mau elo apa?”
Artileriku akhirnya berdentum, nafas ini sudah terlanjur berurai dengan amarah. Harga diriku sudah terluka karena diombang-ambingkan percuma. Menyakitkan, sebab logikaku sudah kautundukkan dalam ketidakmengertian.
“Gue tahu, elo baper kan sama gue, Ver? Jadi gue harus gimana?”
Aku seakan sedang menyerahkan diri dengan paksa. Tak ada opsi lain selain itu. Logikaku yang mengendalikan semua ini.. dan hey, apakah betul aku memang terlalu mengerdilkan perasaanku sendiri?
*
Aku sudah mengeluarkan tombak terakhirku, berharap menumbangkan segala tembok yang menghalangi kejujuranmu. Katakan saja kalau kau suka padaku, Rivera. Aku sudah mampu merajut masainya benang merah pembicaraan ini, kau hanya enggan bilang pengakuan. Selalu berharap padaku yang menyadari sendiri bak cenayang.
“Elu jahat yah, Nan.” tangkisnya, membuat dehamku tertahan.
Ternyata kuda-kudaku dalam masalah. Aku tergugu karena kau mengucapkan kata itu seperti bau busuk yang terendus hidungku. Mual.
“Elu tuh selama ini terlalu baik, ngebuat gue jadi terlalu nyaman sehingga gue bingung elu tuh siapanya gue sebenarnya…”
“…. Gue mikirin dalam diam, ada ngga sih orang yang seengganya mirip ama elo, Nan? Yang diluar status teman, udah pasti jadi pacar gue. Gue ngga neko-neko lagi sekarang. Cuman itu masalahnya, kenapa sih elo cuma jadi teman gue? Jawab, Nan!”
Lidahku tercekat. Sementara, sembulan air mata tampak menggenang di pelupuk mata Rivera.
“Temenan itu ngga kaya gini. Gue maunya kita itu lebih dari ini, Nan … Ngerti kan? Perlahan, penolakan gue soal definisi pertemanan makin nyiksa batin gue. Bullshit lah pertemanan, sementara kalau gue takut kehilangan elo…”
Aku berontak. “Kehilangan apa? Gue disini, di depan elo, masih sama kaya dulu!”
“Gue bisa kehilangan elo kapan aja, Nan! Kalau elo tetiba punya cewek, gue mau lu jadiin apa? Sementara, status teman ini menghalangi gue buat lebih dari itu. Mikir dong!!”
Suara Rivera sengau. Sementara, aku hampir muntab. Tak ada yang bisa kulawan, segala ucapnya benar. Tapi, perasaan pengasihku tak muncul jua. Masih saja dikelola oleh logika.
“Iya, gue emang pecundang, Ver! Gue sendiri masih ngga ngerti ama perasaan gue. Selama ini, gue masih percaya kalau pertemanan kita itu baik-baik aja. Mungkin gue cuma takut kalau...”
“… jatuh cinta? iya, kan?” sergahnya paksa.
“Bangsat!” aku refleks membuang muka.
Meski tak sengaja, rasanya suaraku terdengar juga oleh Rivera yang kini semakin terisak-isak. Aku membenamkan hanya bisa membenamkan muka, malu pada sisi arogan diriku sendiri.
*
Sial. Keadaan jadi berbalik. Situasi menuntutku untuk menghamba meminta maaf atas segalanya, seperti kebanyakan laki-laki yang kutahu melakukannya tanpa melakukan salah yang sebenarnya. Kuberitahu satu hal, hai kalian perempuan, bahwa laki-laki yang meminta maaf itu sebenarnya hanya enggan memperpanjang masalah, bukan karena selalu berbuat salah. Lelaki sering terlihat salah ketika kalian seringkali menyudutkan dengan perisai kelemahan yang kalian punya. Ombak amarah kami sebagai lelaki, tak ingin tertukar dengan banjir tangis kalian para perempuan. Sadarilah, jangan terlalu mempermainkan ambiguitas ini. Biarkan kesadaran kami sendiri yang akan meminta maaf bila memang kami salah, bukan karena kami sudah lelah dipersalahkan oleh keadaan.
“Maafin gue, Ver . Tadi ngga sengaja,” helaku, dengan nafas panjang.
“Udahlah, pikirin aja sendiri. Semoga elo ngerti kalau ketakutan itu bikin elo ngga kemana-mana, Nan..”
“…Lo trauma, Nan. Gue lupa, kalau elo emang belum sembuh. Maaf, gue juga barangkali egois. Tapi ya gini, gue juga punya perasaan. Kita ngga akan bisa gini terus. Sorry, gue pergi duluan..”
Tetiba ia pergi tanpa aba-aba. Sementara, beberapa detik sebelum Rivera pergi, aku menyadari bahwa ada sebentuk sesal yang tak dapat kubahasakan.
“Ver!…”
“Rivera! ……”
Percuma, kau sudah tak menoleh. Menjelaskan segalanya, bagimu sudah tak boleh. Aku takut bila air matamu semakin meleleh.
Silakan pergi. Aku toh bukan siapa-siapamu untuk menghalangi.
*
Tanpa kau beritahu, kau lenyap ibarat ujung musim penghujan ditengah mentari pukul dua. Tampaknya, kau yang mengambil langkah mundur tanpa memberi aba-aba. Sudahlah, kupikir memang kau saja yang tak ingin definisi ini ada. Berita baiknya, aku rasa bahwa segalanya ini takkan diketahui siapa-siapa, aku sedang tak ingin disalahkan tanpa karena.
Jendela media sosialmu sudah kau tutup, sehingga untukku bisa mengetahui apapun tentangmu seperti awan redup. Seperti umumnya laki-laki, aku tak terlalu ambil peduli. Hanya benar, aku merasakan kehilangan yang begitu terasa sebelumnya, membuatnya ada yang terhapus dengan paksa, dan ada yang lebur dengan nanar. Bukan berarti aku tak terbiasa kembali sendiri, tetapi bersamamu sudah kuparkirkan perasaan sentimentilku sejak lama. Mengarang-ngarang pada dunia, bahwa persahabatan lelaki dan perempuan itu memang ada.
Tetapi, kisah itu pendek. Sependek emosi yang kausimpan dalam sikapmu yang terburu-buru. Aku tidak kenyang dengan memikirkan alasan, aku justru lapar akan penjelasan. Tapi kau tak datang-datang. Sialan, kau kali ini yang berhasil mengerjaiku, mengambil sela-sela waktu renungku. Hingga akhirnya, aku jadi berpikir bahwa apakah aku salah mengambil langkah, apakah Tuhan memang menjadikan kita sia-sia? Sudahlah, aku sudah lelah terus mengira, sedangkan kau sendiri sudah tak mau diajak bicara.
Kucoba untuk berpuasa dalam penasaran, tentang apa saja yang kau lalui tanpa segala yang kuketahui. Aku yakin, kau akan kembali menjadi perempuan yang sama ketika dahulu wajah dan mata ini saling berjumpa, menjadi sedingin dinihari, menjadi sekeras akar kayu yang menua. Beriringan musim demi musim berganti, ratusan hari terlampaui, malah kita jadi seperti ini yang dulunya pernah mengenal dan kini menyengaja untuk kembali tidak saling kenal.
Kubiarkan riak itu tenang. Seperti kolam Parterre yang ada di kampusmu, yang luasnya ribuan jengkal jari itu dapat membuat gelombang yang berbeda ketika melihatnya sendirian. Ya, sendirian. Karena siapa lagi temanku, bila bukan kau. Merupa sebuah daun yang tetiba gugur dari pepohonan disamping kolam, jatuh dengan dingin menuju tempias ke permukaan, hingga air itu akhirnya memeluknya tanpa banyak gumam. Menyedihkan, tapi begitulah dunia dalam senyapnya mengajarkan. Ada yang harus dimengerti matang-matang, agar kita jadi mengerti bahwa kedatangan sekaligus kepergian adalah kenyataan yang berulang-ulang.
Aku pergi dari Parterre dengan hampa, seperti sudah mengucapkan kata pisah yang tak berhingga.
Antara Lelaki dan Perempuan
“Terkisah, ada seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang telah lama berteman. Cukup lama mereka membina hubungan, seperti tanpa batas dan berbagai singgungan. Kata orang, mana ada lelaki dan perempuan yang akan selamanya jadi teman? Meski memang, mereka tak percaya.
Tapi pada saatnya, mereka jatuh juga di lubang yang sama. Tak pelak, hati tak bisa dibohongi juga, keduanya diam-diam memendam rasa. Memang belum jadi cinta, karena tak ada pengakuan dan pengorbanan disana. Keduanya sadar namun tetap diam tanpa kata, seakan membiarkan alunan rasa itu mengalir seperti biasa.
Mereka berjalinan, tapi rasanya ada perasaan yang terasingkan. Mereka tetap tertawa bersama, namun rasanya seperti menertawakan ketidakyakinan mereka untuk jadi lebih dari sekedar teman. Batasan memang tak ada sebagai kawan, namun justru ada jarak persepsi yang jauh sekali untuk dibayangkan. Mereka bertanya-tanya, namun tetap tak yakin kalau itu memang cinta.
Hingga akhirnya mereka memilih untuk tetap seperti sediakala, seperti teman biasa. Pada akhirnya, hati kecil yang berkata jujur itu tak mendapat tempat di sudut jiwa. Terlanjur terbuang, karena apabila dipelihara, mereka akan kesakitan selama-lamanya. Begitulah kiranya, tak ada kata cinta yang tersampaikan, tetapi ada kejujuran hati yang begitu saja ditelantarkan dan…. hilang.”
THE END
Bandung, 5 Mei 2020.
70 notes
·
View notes
Text
Bagaimana Perasaanmu, Nona?
Secuil chat di grup SMK tadi. Dan boom! aku berada ditengah chat Mas R! *eh ketauan dong nama asli Mas R wkwk >,< ((lagi mikir lanjutin nulis gak nih wkwk))
oke lanjutin. At this point aku merasa:
lucu ya, dulu kita yang pernah sedekat mata, sekarang saling abai seolah tidak pernah ada cerita.
How was I doing? I was fine tho, sedikit shaking aja karena udah lama ngga dalam situasi begini wkkw. dan masih bernafas walau tadi sempet beberapa detik nahan nafas wkkw.
Nottingham, 1 February 2021 || 13:03 GMT
3 notes
·
View notes