#Chairil Anwar
Explore tagged Tumblr posts
Text
self mutilation in the name of god
speeches for dr. frankenstein, margaret atwood / resignation, taner ceylan / black telephone, richard siken / jesus, chairil anwar / midnight mass / in the pines, alice notley
#web weaving#religion#midnight mass#richard siken#chairil anwar#margaret atwood#alice notley#taner ceylan
428 notes
·
View notes
Text
Me by Chairil Anwar
When my time comes No one's going to cry for me. And you won't, either.
To hell with all those tears!
I'm a wild beast Driven out of the herd
Bullets may pierce my skin But I'll keep coming,
Carrying forward my wounds and my pain Attacking Attacking Until suffering disappears
And I won't give a damn
I want to live another thousand years.
4 notes
·
View notes
Text
Haji Her Diprediksi Bakal Dukung Pasangan Tauhid untuk Redam Politik Pilkada Pamekasan
PAMEKASAN, MaduraPost, – Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Pamekasan 2024, H. Khairul Umam atau yang dikenal dengan Haji Her, tokoh besar sekaligus juragan tembakau, menjadi sorotan publik. Fotonya mulai digunakan oleh beberapa pasangan calon, seperti Pasangan Berbakti (Ra Baqir dan Taufadi) dan Pasangan Kharisma (Kholilurrahman dan Sukriyanto), sehingga memicu polemik di…
#Chairil Anwar#Dukungan politik#Fattah Jasin#Haji Her#Juragan tembakau#Kholilurrahman#Logistik kampanye#Mujahid Anshori#Pasangan &039;Berbakti&039;#Pasangan &039;Kharisma&039;#Pasangan Tauhid#Pengaruh politik Madura#Pilkada Pamekasan 2024#Polemik politik Pamekasan#Prediksi politik#Ra Baqir#Stabilitas politik#Sukriyanto#Sultan madura#Taufadi
0 notes
Text
I just told ChatGPT to write a poem about TikTok in the style of Chairil Anwar. It’s definitely a poem.
0 notes
Text
Lagi, untuk apa aku menanti pesawat kertas dengan logo biru itu. Seakan-akan tiada lagi kesibukan yang ada selain itu.
1 note
·
View note
Text
In my whole life in the BSD Fandom, I have NEVER EVER FOUND ANYONE WITH A DUTCH OR INDO OC.
WHERE ARE THEY????
#bsd#bungo stray dogs#bsd analysis#WHERE ARE THEY#Atp im making my own#And make it as a fic#In a chatfic format#I am searching for another people with Chairil Anwar as their oc
5 notes
·
View notes
Text
Rekam Jejak Restorasi, Kerja dan Jasa 'Sepatu Anies'
JAKARTA | KBA — Seorang politikus Partai Nasional Demokrat (NasDem) Moch. Eksan nampak kuat hendak merekam jejak restorasi salah satu putra terbaik bangsa Indonesia di era digital yang penuh dengan algoritma komunikasi politik, Anies Rasyid Baswedan. Eksan merekam dan menuangkan jejak restorasi tersebut lewat buku yang diberi judul “Kerikil di Balik Sepatu Anies”. Berisi kumpulan hasil refleksi…
View On WordPress
0 notes
Text
(Genazo spoilers)
"I want to live a thousand more years!"
Based on the poem, "Aku" by Chairil Anwar
107 notes
·
View notes
Text
QAIS DAN LAIL
"Sebuah kalimat I Love You sebelum pernikahan adalah omong kosong belaka!".
Begitu ucapnya padaku. Qais menyeka pelipisnya
"Kau tahu apa yang membuat gadis itu berbicara begitu padamu?"
"Tidak. Tapi aku meyakini dirinya bahwa penantiannya tidak akan sia-sia, aku pasti akan datang padanya"
"Jangan bodoh kau Qais! Jelas saja kau tertolak. Kau tahu? Gadis itu, Lail. Dia pernah menunggu seseorang dengan tulus tapi harus berakhir melepaskan, tentu saja hal itu tidak ingin terulang kedua kalinya"
"Tapi itu tidak akan terjadi lagi. Aku akan datang padanya. Tidak bisakah ia percaya?"
"Qais, kau tidak tahu seberapa dalam sakit yang ia rasakan, sampai sampai kini ia sulit percaya pada orang lain. Lagipula cinta itu fluktuatif, Qais. Bisa naik bisa turun. Apa kau yakin selama masa penantiannya kau akan terus menyayangi, mencintai, dan tetap menginginkannya? Bagaimana jika kau bertemu seseorang yg jauh lebih menarik darinya? Atau bagaimana jika ditengah jalan kau merasa bosan dengan hubunganmu dan dirinya? Kau masih yakin bisa datang padanya?"
Qais terdiam sejenak
"Lalu, apakah cinta habis di orang lama itu benar adanya?"
"Tidak ada yg tahu pasti. Tapi aku yakin, Lail hanya butuh waktu untuk membersihkan sisa sisa puing yg masih berantakan tertinggal penghuni lamanya, hanya butuh waktu bukan kembali berharap"
"Tapi bukankah Lail yg mengucapkan kata selamat tinggal pada lelaki terdahulunya?
"Ya memang. Tapi sebenarnya hati lelaki itu telah terlebih dahulu meninggalkannya"
Kalau puisi Chairil Anwar berkata:
Mampus kau dikoyak koyak sepi!
Sedangkan Lail mungkin Mampus didera perasaannya sendiri. Jangan dikira melepaskan seseorang yg pernah menghuni hatimu dan teramat kau cintai itu hal yg mudah, Qais!
Luka tidak bisa sembuh hanya karena diplaster dengan plaster dan merek yg baru!
Erl,
Kebumen 12 Juli 2024
8 notes
·
View notes
Text
Refleksi Asal-asalan Soal Cinta
Sedikit berkaca di masa awal remaja hingga sekarang, mungkin saja aku bisa menyebut diriku pujangga amatiran; yang sesekali saja membaca karya sastra para pujangga senior Indonesia sekaliber Sapardi, WS Rendra, Chairil Anwar, hingga sesepuh para pujangga dunia seperti Nizami Ganjavi, atau novel-novel romansa ringan punya Tere Liye.
Sesekali timbul pertanyaan nyeleneh, yang tak jarang akhirnya ‘menemukan jawabannya sendiri’. Ya, diri bertanya dan menjawab sesukanya, pikiran berkecamuk — pikiran sendiri yang menenangkannya. Sekilas tampak seperti orang gila(?). Namun bukan pujangga namanya jika cinta tak pernah mampir dalam banyolan-banyolan gilanya😅😂. Tapi tak perlu-lah se-merana Majnun untuk mendefinisikan cintanya kepada Layla. Cukup sedikit meramu kecamuk pikiran, bisa-lah kita sebut tadabbur cinta, haha.
Salah satu pertanyaan yang pernah mampir dan ‘terjawab sendiri’ adalah:
“Mengapa tercipta diksi ‘belahan jiwa’?”
Jawabannya:
“Mungkin saja karena jiwa selalu mencari ‘potongan dirinya yang lain’. Maka jika memang tak sejiwa, tak akan pernah bersatu pada akhirnya, karena sejatinya dia bukan-lah ‘potongan jiwa’ nya”.
Seperti dosis obat yang tak sesuai malah justru akan menambah sakit penderitanya. Seumpama donor darah; antara pendonor-penerima harus-lah ada kecocokan, jika tidak maka akan terjadi masalah–komplikasi yang lebih berat jika akhirnya dipaksakan. Maka ke-sejiwa-an itu memang ibarat puzzle, ia harus serasi, mesti-lah cocok, agar terbentuk pola yang sempurna (atau biasa kita sebut saling menyempurnakan).
Maka cobalah untuk tak berhenti mencari potongan jiwa kita, jika memang belum kita temukan. Dan jangan patah, jika akhirnya memang tak searah. Karena jiwa, akan selalu mencari–dicari ‘potongannya’ di bagian bumi manapun ia berada. Pun, pasrahkan pencarian kita pada pemilik jiwa itu sendiri, karena Dia yang akan dengan mudah mempertemukannya. Dengan namaNya, dengan keagungan rahasiaNya, dengan sifat-sifatNya yang Maha Cinta.
Selamat dan semoga selalu berbahagia, para pecinta!
50 notes
·
View notes
Text
Kerjakan tanpa tapi Lakukan tanpa nanti Dan usahakan tanpa henti.
Nah itu yg cocok, SEKALI BERARTI LALU MATI. kaya kutipan chairil anwar.
33 notes
·
View notes
Text
PUISI EKOLOGIS DAN POPULIS ATAS PENCARIAN KEBARUAN DALAM ANTOLOGI PUISI PERCAKAPAN DI DASAR SUNGAI
Oleh: Muhammad Irwan Aprialdy
Lahirnya buku antologi Percakapan di Dasar Sungai sejatinya memang tidak lepas dari tradisi penyelenggaraan tahunan Aruh Sastra Kalimantan Selatan yang tahun ini berumur 20 tahun. Tahun ini, penyelenggaraan diadakan di Kota Banjarmasin, setelah sebelumnya diadakan di kota yang sama pada tahun 2012 lalu. Lokalitas masih menjadi tema sentral penyelenggaraan acara dari tahun ke tahun. Dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan tahun ini, sungai yang menjadi trademark Kota Banjarmasin diangkat sebagai tema besar acara. Dapat ditebak karya-karya sastra, baik karya peserta lomba maupun puisi-puisi dalam antologi ini, banyak membicarakan wacana ekologis yang menyaran pada keberadaan hati nurani penduduknya di tengah duka tangis bukit, gunung, hutan, laut, sungai atau penduduk lokal yang kehilangan tempat di tanah lahirnya sendiri oleh oknum-oknum tertentu. Selain subtema lokalitas yang telah disebutkan, mistisisme masyarakat Banjar, baik di kota maupun di pedalaman, serta puisi-puisi bernapas islami atau sufisme kerap menjadi alternatif.
Sebelum dilakukan pembedahan atas puisi-puisi yang terhimpun dalam antologi puisi Percakapan di Dasar Sungai, pembedah merasa perlu untuk menegaskan pengertian puisi dari sudut pandangnya sebagai pengamat dan tujuan dikumpulkannya 200 sekian puisi dalam antologi bersangkutan. Namun puisi, sebelum ditegaskan makna atau ditinjau-tinjau isinya, perlu dirujuk pula pengertian dari kerja seorang penyair itu sendiri: seseorang yang menulis puisi atau sajak, begitu sederhananya. Puisi atau sajak itu sendiri merupakan jenis sastra tertua yang terikat baris, bait, rima, irama, matra, dan unsur-unsur fisik atau batin lainnya. Namun, pada praktiknya dewasa ini, puisi atau sajak ditemukan dalam bentuk-bentuk yang beragam: terlampau panjang atau pendek; tipografi yang ikut menegaskan unsur batin/fisik puisi dengan beragam pola; penggunaan slang, penggunaan istilah asing, penggunaan bahasa lokal atau bahkan penggunaan bahasa denotatif di seluruh baris puisinya. Penggunaan bahasa-bahasa kasar atau umpatan juga sesuatu yang kian hari kian lumrah digunakan dalam puisi sebagai penanda pada dunia yang jungkir balik. Lalu, apa kerja penyair memang mengotak-atik piranti bahasa dan kemungkinan estetika yang segar dan baru dalam puisi?
Fakta tentang tren puisi hari ini yang sudah berani menanggalkan perangkat bahasa estetik untuk berusaha mencapai level kebaruan seperti halnya Chairil Anwar di era Pujangga Baru semakin menciptakan kesenjangan pada pengertian konkret puisi (yang secara awam dianggap sebagai bentuk penulisan yang indah dengan segala teka-teki artinya). Hal ini tidak lantas menyebabkan pengukuran kualitas antara puisi baik dan buruk sulit untuk dikejar ketika sekian juta penyair telah menawarkan beragam tema dan bentuk dalam tubuh kekaryaan masing-masing, teori puisi diperbaharui, dan selera terhadap suatu karya selamanya subjektivitas yang dipersenjatai pengalaman membaca.
Apabila ada tulisan serupa percakapan daring dan penulisnya menyatakan itu adalah puisi, maka jadilah ia puisi. Hal itu sah, seperti yang diterangkan Sapardi Djoko Damono dalam pengantar buku puisi Melihat Api Bekerja karya M. Aan Mansyur. Licentia poetica menjadi dalih yang membebaskan penyair melakukan bermacam eksperimen sastrawi di laboratorium puitikanya. Pertanyaannya, sejauh mana licentia poetica mampu mengakomodir kebebasan penyair atas bahasa, bila bahasa adalah piranti yang digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu, bahkan dalam puisi?
Apabila dipahami pengertian bahwa penyair adalah man speaks to men, menurut William Wordsworth, penyair era Romantik Inggris, atau, pembakar utama menulis puisi adalah keputusasaan, merujuk pada penjabaran penyair dan esais peraih Nobel 2020, Louise Glück, maka, apa para penyair dalam antologi Percakapan di Dasar Sungai telah berhasil membicarakan apa yang ingin dibicarakan lewat puisi atas dasar keputusasaan? Apabila digugat balik pertanyaan tersebut, apakah puisi harus selalu berhasil membicarakan sesuatu? Dan betapa kusamnya puisi apabila dasar penulisannya selalu berawal dari keputusasaan atau perasaan-perasaan nelangsa yang tak diangkat atau dibicarakan dalam konvensi komunikasi sehari-hari? Atau jangan-jangan topik wicara puisi diutarakan karena keharusan atau rasa penasaran untuk mengejar kebaruan? Seolah suatu topik bicara tidak dapat dikomunikasikan dalam bentuk-bentuk lain dan penyair mengidap sindrom Fear of Missing Out atas tema-tema segar dan bentuk baru sebagai respons atas hidup modern dalam tren berpuisi hari ini?
Berdasarkan keresahan pada wacana kebaruan dan kesegaran pada variasi tema, bentuk, dan jenis puisi yang semakin beragam pilihannya sekarang ini, dengan segala keterbatasan, pembedah melakukan pembacaannya atas Percakapan di Dasar Sungai dengan harapan menemukan kesegaran pada tema lokalitas yang pasti dominan dalam antologi ini.
Seperti yang telah diungkapkan, dari tahun ke tahun, penulisan antologi puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan awet dengan tema-tema lokalitas. Apabila ini dipandang sebagai upaya pemertahanan budaya dan menumbuhkan semangat lokalitas dalam diri penyair, maka, upaya yang dilakukan dianggap lebih dari cukup. Upaya tersebut juga memiliki efek samping yang menimbulkan kemandekan dalam menggarap tema-tema lain dan pemberontakan dalam memandang dominasi tema lokalitas sebagai penyirat identitas kelahiran para penyair. Apa bedanya penyair sebagai agen promotor kebudayaan dan lingkungan hidup?
Mudah ditemukan nama-nama penyair yang akrab bertutur dengan tema dan istilah lokal dalam antologi ini. Mudah pula ditemukan nama-nama penyair yang menolak sama sekali konsep lokalitas dan membicarakan perihal lain, yang bisa dipandang remeh atau bentuk karya romantisasi atas kontemplasi berkehidupan sehari-hari. Bisa juga puisi-puisi dipaksakan menyaran pada tema agar ikut termaktub dalam antologi ini. Man speaks to men. Apa penyair bicara lewat sastra atau atas nama sastra atau karena acara Aruh Sastra ia bicara (menulis)?
Penghayatan atas sungai, alam atau kota sebagai bagian tak terpisah dari ruang hidup masyarakat di Kalimantan Selatan sebagian besar memang hanya dilukiskan. Apakah dalam pelukisannya yang purna dan keluar-masuk antara lanskap alam atau kota yang jadi bermacam analogi memang dibarengi penghayatan hidup serupa yang dilukiskan dalam puisi?
Saya membayangkan para penyair yang karya-karya masuk dalam antologi ini sebagai seorang flaneur yang melakukan plesiran ke berbagai tempat di tanah lahirnya dan membaca banyak wujud konkret yang ditandai sebagai kata atau frasa yang keluar masuk dalam sensor puitikanya untuk dimodifikasi lalu memberi tawaran perspektif atau dimensi baru dalam memandang kota atau alam. Dalam arti lain, tidak menjadikan lanskap semata objek lukisan atau topik dalam wacana populis atau ekologis, yang hanya dijejali fakta dan berita mentah tanpa diolah lewat puisi yang sejatinya mampu menawarkan dimensi yang mencerahkan pembaca dalam memandang kenyataan, pun dalam konteks lokalitas. Kalimantan Selatan sendiri dalam perkembangannya telah menjadi melting pot beragam kultur, sistem, dan warna hidup yang berbeda-beda. Percakapan di Dasar Sungai harusnya mampu memuat puisi-puisi yang memberi warna yang berbeda-beda atas ekspektasi untuk menemukan kesegaran dalam penulisan puisi di tahun 2023, di provinsi ini.
“Kapan Sungaiku Benar-benar Merdeka” karya A. Rahman Al-Hakim menjadi puisi pembuka. Puisi ini tak hanya mengembuskan suara yang terus terang dari seorang penduduk Banjarmasin yang kecewa sungai-sungai di kotanya digusur oleh jalan-jalan aspal, bangunan beton, dan bentuk pembangunan infrastruktur lainnya. Puisi ini menampilkan suara yang menuntut pengembalian citra kotanya yang dikenal sebagai kota seribu sungai. Penjejeran nama-nama sungai di Banjarmasin yang sepertinya dikumpulkan dengan cukup cermat dan tekun cukup menambah wawasan indeks nama-nama sungai di Banjarmasin. Namun, daya tarik pengumpulan nama-nama sungai itu menggusur pula ciri utama puisi sebagai medium sastra berdaya ungkap tak langsung.
Setelah puisi “Kapan Sungaiku Benar-benar Merdeka”, seperti biasa ditemukan puisi-puisi lain yang sebagian besar menyiratkan keprihatinan penduduk pada ekosistem sungai dan alam lainnya. Bolak-balik satu penyair ke penyair lainnya menjadikan objek alam tersebut sebagai modal personifikasi dan depersonifikasi dalam puisi mereka.
Pengulangan tema ekologis dan populis tadi menyebabkan kegembiraaan ketika akhirnya ditemukan dua puisi yang menandakan jejak lintas kultur dalam ranah media atau seni yang memengaruhi suasana batin dalam puisi “Hujan, Sihir, Malam, dan Trompet Armstrong” karya Dewi Alfianti dan “Bulan Larut di Sungai Kerokan yang Kusebut Zafri Zamzam” karya Munir Shadikin.
Hujan lesap di daun jendela, sementara aku membayangkan tawamu yang serupa/ denting piano di kafe yang sepi pengunjung, begitu enggan, begitu acuh./ Namun, tak ada yang lebih menawan daripada ritme suaramu yang menghentak/ mengalahkan improvisasi Amstrong./ Bagiku kau lebih memukau dari alunan jazz di antara hujan/ yang menaklukkan sepi. Demikian Dewi menampilkan ruang puitika yang tidak berkelindan sama sekali dengan sungai, seperti yang diharapkan. Puisi “Hujan, Sihir, Malam, dan Trompet Armstrong” ini menyatakan selera referensi musik yang tak harus sejalan dengan laku tradisi. Puisi ini juga menyiratkan suara bahwa di 2023 sangat mungkin nama Ella Fitzgerald dan Neil Armstrong dipuja-puja di daerah buncu Pulau Kalimantan.
Atau perhatikan bagaimana Munir menuliskan: Bulan tersenyum mendengarku, Angelina/ kami beranjak menjadi Jesse & Julie/ Entah bulan sedang apa/ dan aku kembali larut dalam pasang sungai/ “Before Sunrise” dengan diriku sendiri. Seperti Dewi, Munir menyiratkan generasi yang terpapar oleh pengaruh globalisasi pada distribusi industri hiburan Barat ke tanah Banjar. Apa itu salah? Indeks Fitzgerald, Armstrong, Jesse dan Julie, Jazz, Before Sunrise memunculkan kesan bahwa kota ini memang tidak setertinggal itu. Masih ada oknum-oknum yang mengejar pemaknaan estetika dengan referensi-referensi luar, tidak menjadikannya sekadar catatan kaki belaka, namun substansi yang akrab dengan imajinasi dan penghayatan hidup yang terasa remeh-temeh namun terjadi sehari-hari. Meski, penggunaan piranti bahasa dalam dua puisi tersebut belum diramu dengan matang. Atau, jangan-jangan upaya melawan konvensi terhadap bunga kata-kata puisi warisan Pujangga Baru?
Kejutan muncul dari puisi Maria Roeslie yang memberi suara yang jarang diangkat dalam gelanggang puisi Kalimantan Selatan, yaitu perspektif warga peranakan Tionghoa tentang sungai:
Sesuatu meronta-ronta dalam jiwa mengumandangkan rindu
Rindu mentari pagi yang menghidupi cermin anak sungai tepekong
Bertalu-talu rinduku mengiang menggelitik dada
Tak mampu lagi mengukur dalamnya riak gelombang jukung tiung
Walau kuteropong dari ketinggian jembatan ulin yang semampai
Sirna
Tiang-tiang rumah bahari yang berbaris rapi
Oleh sang empunya si taci si engkoh si encim dan si encek
Perlahan sirna
Akar pohon jingah yang menggurita di tepian
Dan tali-temali akar gantung beringin yang menggelayut
Serta manis getir buah kasturi yang mewarnai subuh
Telah pula sirna
Mungkinkah suatu saat nanti kita akan bertemu kembali
Tuk menguraikan isak tangis air dan udara di seputaran jalan veteran
Semoga angin terus bertiup
Dan bumi mengijinkan
Entahlah
Banjarmasin, 24 Agustus 2023
(Puisi “Sungai Tepekong” karya Maria Roeslie)
Kehadiran puisi “Sungai Tepekong” memberi suara pada the other yang akrab kita beri label chindo, mengesampingkan fakta bahwa mereka telah hidup berdampingan dengan penduduk lokal selama ratusan tahun dan memiliki suara asli mereka sebagian dari populasi; bahwa suara mereka ada dan valid untuk berbicara tentang rindu dan juga sungai.
Cara Diang Anggrek mengambil Pantai Jodoh yang bukan pantai, melainkan tepian sungai dalam puisi “Pantai Jodoh Tak Jodoh” juga menarik. Kehadiran puisi ini menjadikan buku antologi ini tak terasa baku. Tema yang bisa jatuh dikritisi sebagai karya picisan ini memberi kelenturan dan contoh bagaimana fragmen kehidupan sehari-hari digubah menjadi puisi. Ia memberi sorotan pada latar tempat nongkrong yang dijadikan titik kencan muda-mudi Kota Banjarmasin. Terkesan remeh untuk diangkat jadi puisi? Pembedah memandang Diang memberi gambaran yang abai tentang potongan kehidupan kota ini. Diang juga menambahkan deskripsi kehidupan sehari-hari lewat baris-baris: motor biru kita dorong/ lorong kampus hingga kayu tangi ujung/ duhai pujaan hati yang tak rendah hati. Puisi Diang tak hanya jujur, ia juga dekat.
Selain pendekatan pada sesuatu yang jarang diliput lampu spot puisi lokal, pengenalan lanskap kota dan alam sebagai sosok ibu juga muncul pada antologi ini, seperti Micky menulis dalam puisi “Banjarmasin”: Banjarmasin,/ kehilanganmu sebagai ibu/ tak lagi kusesali// juga mesti berulang kutangisi/ kutulis sajak ini untukmu/ sebagai isyarat aku makin menyayangimu/ tersebab kau adalah surga bagi cintaku.
Pengandaian alam sebagai ibu juga muncul dalam puisi “Sungai Adalah Rahim Ibu” karya Rahmat Akbar: Sungai ialah rahim Ibu, mengalirkan doa leluhur/ Sesekali batu bertafakur/ Menyimpan sakit bercampur/ Bahwa gemercik air yang melebur kini telah kabur.
Kekerabatan intelektual pada sosok alam atau kota yang diumpamakan ibu sebenarnya kerap terjadi, seperti pada cerpen pemenang Aruh Sastra terdahulu “Rahasia Sedih Tak Bersebab” karya Harie Insani Putra atau yang paling anyar buku puisi Kekasih Teluk karya Saras Dewi. Tak jemu-jemu konsep Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi muncul dalam karya sastra, menganalogikan tiap kerusakan alam sebagai aksi durhaka yang melukai suwung nurani ibu, yang tanpa pamrih melahirkan dan membesarkan jiwa-jiwa yang melukainya.
Kerusakan alam yang kerap menjadi tema favorit para penyair yang karyanya tampil dalam buku-buku puisi bertema lokalitas menyaran pada fakta bahwa kondisi alam Kalimantan yang kaya dan tak henti-henti dibulangkir isinya. Di sini peran sastra sebagai media aktivisme para penyair mengambil tempat untuk menyuarakan atau setidaknya mencatat masalah hari ini yang tak kunjung menemu jalan tengah atau solusi. Selain itu, tradisi yang mulai kikis dan adab yang tumpang tindih dengan suara-suara sinis dan individualis juga mengisi halaman demi halaman di buku antologi ini. Namun, bukan berarti puisi-puisi berisi harapan dan doa redup digusur puisi bernada sinis. Simak puisi “Sungai Purba” karya Ratih Ayuningrum berikut ini:
Sungai di mataku
Mengalir purba
Sungai-sungai yang kujaga sejak lama
Hingga mata berkerut nyata
Tak tercemar, mengalir ke cabang-cabang kehidupan
Udara memanas
Sesekali deru pickup berhenti di sungai utama
Membawa ke kota-kota, ke rumah-rumah
Kini tak hanya sesekali
Puluhan kali deru pickup menggema
Membawa sungai-sungai hilir mudik masuk ke rumah-rumah
“Semua mulai tak lagi mengalir”
Sungai di mataku tetap setia
Tak tercemar
Meski banyak deru pickup bertamu dan membawa serta
alirannya pergi
Ke kota-kota, memasuki rumah-rumah
Kotabaru, 30 Agustus 2023
Sungai yang dibawa mobil pick up. Sungai yang memasuki rumah-rumah. Sungai yang menolak dikira tercemar. Puisi Ratih ini bisa menandakan kedigdayaan sungai sebagai subjek yang mampu memilih aksinya sendiri di tengah ancaman deru mobil pick up, yang entah membawa tanah untuk menimbun dan membawa sungai sebagai sisa dongeng rumahan. Atau menghadirkan sungai sebagai banjir bah yang masuk rumah atas hasil dari hilir mudik mobil pick up yang datang membawa substansi-substansi penting si Sungai yang telah defect fungsinya dalam ekosistem sebagai penampung air serapan. Dalam ambiguitas yang terjaga hingga akhir, Ratih berbicara tentang harapan yang cenderung gelap.
Tema mistik khas Banjar tentang hantu banyu juga tak luput tercatat, dihadirkan dalam puisi “Nyanyian Hantu Banyu” karya Aluh Srikandi. Selain menggambarkan dengan deskripsi suasana muram tentang mitos masyarakat Banjar pada hantu banyu, “Nyanyian Hantu Banyu” cukup menghentak dengan bait penutupnya yang berbunyi:
…
Ah,
Aku si Hantu Banyu sang penunggu tumbukan banyu
Kini hanya bisa bernyanyi pilu
Mendendangkan lagu-lagu rindu
Akan indahnya masa dahulu
Sembari menunggu waktu
Kembali ke hadapan Tuhanku
(“Nyanyian Hantu Banyu”)
Hantu yang bertuhan. Religiusitas yang jadi subtema yang khas dalam gubahan penyair lokal tampil tanpa untaian doa yang ditulis indah berbunga kata-kata. Dengan sederhana, Aluh menyandingkan hantu banyu dengan Tuhan, seperti kerap puisi religius ditulis penyair lokal. Bait terakhir ini efektif memberi tawaran tentang asumsi lain yang mampu digarap dan dibicarakan dalam puisi: gelap yang menjunjung Tuhan.
Cukup banyak sebenarnya yang dapat dibahas mengenai Percakapan di Dasar Sungai sebagai sebuah produk pencatatan para penyair Kalimantan Selatan tentang masyarakat, hidup mereka masing-masing, dan ekosistem yang melingkupinya. Meski pengulangan tema adalah siklus yang pasti terjadi dan kesegaran dalam segi bentuk dan tema masih menjadi pekerjaan rumah yang tak pernah selesai di ranah puisi Kalimantan Selatan maupun nasional, namun, yang dapat disyukuri: puisi masih ditulis; penyair-penyair baru lahir kembali.
Sebagaimana saya membaca keluguan dalam pemilihan diksi para penyair muda yang karyanya tampil dalam buku antologi ini, muncul harapan bahwa puisi dari penyair-penyair Kalimantan Selatan mampu berbicara banyak di kancah nasional atau internasional, mewakili dirinya sendiri atau khalayak sastra sekalian. Tentunya harapan itu disematkan pula pada para sepuh penyair yang puisinya terbaca sebagai kematangan tutur puitik, yang tentunya dicapai dari usia sepak terjang pembacaan mereka atas sastra dan jejak kepenyairan mereka.
Berbicara mengenai pembacaan, tentunya penulisan puisi dalam Percakapan di Dasar Sungai merefleksikan seberapa dalam para penyair menyelam ke sungai sastra untuk muncul ke permukaan, menulis tentang sastra sungai di buku ini. Muncul pertanyaan: apa sungai itu selamanya berwarna kecoklatan saja?
Puisi-puisi yang judulnya disebut pada penjabaran di atas barangkali adalah riak-riak lain, di samping banyak juga puisi-puisi yang tak disebutkan dan menjadi gelembung-gelembung yang muncul dari dasar pembacaan yang cukup dalam. Kapan sungai itu berwarna bening? Barangkali ketika kita memutuskan untuk menyisihkan sampah-sampah yang tak perlu dan membiarkan sungai pembacaan mengalir dan surut sebagaimana mestinya cuaca tak selamanya menyaran pada hujan atau panas semata.
Puisi adalah media dengan berbagai kemungkinan daya ungkapnya untuk berbicara tentang sesuatu. Apa sesuatu itu? Saya teringat alasan mengapa Jon Fosse dihadiahi Nobel Sastra tahun ini: untuk upayanya memberi suara pada hal-hal yang tak terucapkan. Bagaimana hal itu mungkin? Mari sama-sama mengingat bagaimana kita dulu mengumpulkan patahan fonologi sebagai produk suara di sudut-sudut mulut untuk membentuk kata, kata jadi susunan kalimat, kumpulan kalimat membentuk wacana merujuk pada bermacam tema dan stilistika. Penemuan pada hal-hal tak terkatakan itu tentunya dilakukan bertahap, tanpa paksaan, dan terus dilakukan. Seperti dulu kita belajar bicara, penyair sebaiknya memang terus belajar agar puisinya mampu terus berbicara pada sesama.
Sejatinya membaca dan menulis puisi adalah siklus yang berulang, namun juga tak pasti. Melalui Percakapan di Dasar Sungai dan penghelatan Aruh Sastra Kalimantan Selatan yang sudah menginjak usia dua puluh, ia menjadi bukti puisi masih terus digeluti dan ditulis lagi, pekerjaan rumah literasi dan meja kerja puitika yang tak pernah selesai dan selalu beregenerasi. Tentang kebaruan yang dicari-cari dalam antologi ini? Menurut hemat saya, hal itu akan terjadi ketika membaca dan menulis puisi mencapai kulminasi titik jemu, namun tak redup atau memutuskan mati.
4 notes
·
View notes
Text
aku membisik namamu pada angin sore.
aku pernah menulis, bahwa angin sore masih terasa dingin.
bahkan setelah lama berselang. bahkan saat hikayat itu harusnya disegel.
aku masih menatap imajimu di padang-padang bukit-bukit tempat sanctuary kita.
pada angin sore kuhirup bisik-bisik kita berbagi rahasia dan lagu yang judulnya entah apa.
kau membaca hoeda manis aku mereguk rekam segenap kesempurnaan-ketidaksempurnaanmu.
kita hidup tambah terasing dari cinta sekolah rendah,
dan surat-surat kata-kata dan doa-doa yang tetap tidak diucapkan,
sebelum pada akhirnya aku menyerah, aku membisik namamu pada angin sore yang perlahan menghangat.
kau adalah favourite incomplete wish ku.
9.45 pm
Sangihe, 19 Oktober 2023
Laut, Matahari dan Hujan.
Prompt dari : Derai-derai Cemara — Chairil Anwar, 1949
3 notes
·
View notes
Note
11 for the country ask game? 👀
11. fav writer/poet
the same as everyone and their whole family: Sapardi Djoko Damono. huge inspo to me in middle school mostly because my favorite teacher introduced me to "Aku Ingin." It has its own song which I really love. One time I also made a whole song for "Hujan Bulan Juni" (which. at the time already had its own song. but i did not like it).
Chairil Anwar is a close second, "Aku" and "Karawang Bekasi" changed the trajectory of my life (for the better!). out of the old gen Indonesian poets (pre-independence), I got into Chairil Anwar first, so his works are more embedded in my mind. When I write I feel like his spirit is peering over my shoulder.
4 notes
·
View notes
Text
rules: tag 9 people you want to know better and/or catch up with, then answer the questions below! — tagged by @kraniumet
Last Song: paramore - figure 8. i love when a song is about walking and walking infinitely
Three Ships: currently abnormal about vashwood (trigun) they r so.. i want to share a future with you... (restraining myself from talking further). when u trace it back you find ginzura i think. another one is probably yoohankim i love my doomed by narrative trio
Currently Reading: the one im actively reading and will probably finish soon is life ceremony by sayaka murata. a few poems are on backburner (orkestra pemakaman aslan abidin, hujan bulan juni (novel) sapardi djoko damono, aku ini binatang jalang chairil anwar). also have a few books i started a while back and havent touched again (devotion of suspect x keigo higashino, memory for forgetfulness mahmoud darwish, kagepro 4th novel) now that i write it down what a crazy list
Last Movie: cant think of the last movie i purposefully put on and managed to sit through. probably the day after tomorrow from the last time i hung out with friends. if u count anime movies then badlands rumble
Craving: I WANT AN ELECTRIC GUITAR SOOO. BAD. saving up is such a pain.. but someday...
Tagging: @huginsmemory @birdmenmanga @rusquared @wehavecometoanend--maybe @nullians @sasukeless @averagelonelypotato @vernedip @pearthery
7 notes
·
View notes
Text
In first glance Chairil Anwar looks like someone who doesn't give a shit and also I will hate his guts
3 notes
·
View notes