#Cara Mengelas Yang Bagus
Explore tagged Tumblr posts
Text
Cara Mengelas Yang Baik Dan Benar Untuk Pemula
Cara Mengelas Yang Baik Dan Benar Untuk Pemula
Cara Mengelas Yang Baik Dan Benar Untuk Pemula| Las menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), ” adalah penyambungan besi dengan cara membakar. Pengelasan (welding) adalah salah salah satu teknik penyambungan logam dengan cara mencairkan sebagian logam induk dan logam pengisi dengan atau tanpa tekanan dan dengan atau tanpa logam penambah dan menghasilkan sambungan yang kontinyu. Pengelasan…
View On WordPress
#Cara Mengelas Yang Bagus#Cara Pakai Las Listrik#Contoh Teknik Mengelas#Teknik Dasar Mengelas#Teknik Pengelasan
0 notes
Text
Bengkel Las Jakarta Teramat Top dan Bernas
Jasa pengelasan logam bisa Anda peroleh di bengkel las. Las sendiri mempunyai pengertian yaitu ikatan metalurgi di sambungan logam. Paduan logam hal yang demikian dikerjakan ketika situasi logam cair. Umumnya orang-orang banyak memerlukan bengkel ini untuk membuat pagar, teralis, tangga, canopy dan lain-lain masih banyak lagi. Bagi Anda warga Jakarta Anda bisa membuat benda yang diharapkan di Bengkel Las Jakarta. Di bengkel las, Anda bisa melihat pekerja yang mengelas logam dengan berjenis-jenis cara dan model. Lazimnya pengelasan Bengkel Las Jakarta dilaksanakan secara manual adalah memakai las listrik, kemudian bisa juga menggunakan las karbit. Pengelasan juga bisa menggunakan las babet, las argon, las assetalin dan ada juga las yang memakai laser. Untuk bengkel las sendiri memiliki ragam yang banyak. Anda dapat menemukannya di Bengkel Las Jakarta. Bermacam keperluan las dapat Anda selesaikan di bengkel las. Anda dapat membuat dipan kamar dari logam, teralis dan lain sebagainya. Keuntungan mengaplikasikan las ialah hasil yang berkualitas serta harga yang terjangkau. Seperti yang telah dikenal bahwa logam yang diterapkan yakni logam yang kuat yang tidak dapat mempunyai sifat keropos seperti kayu. tersebut membikin sifatnya awet. Belum lagi komponen luar dikala selesai pengelasan dijalankan pengecatan sehingga membuatnya tahan lama.
Bagi Anda warga Jakarta dan sekitarnya yang mau membuat teralis, tangga, pagar rumah atau yang lainnya karenanya Anda dapat mendapatinya di Bengkel Las Jakarta. Di bengkel hal yang demikian Anda bisa mengamati sendiri pekerja yang menyambungkan dua besi dalam situasi panas. Panas membikin besi lumer dan bisa disatukan dengan besi lainnya dengan gampang.
Las sendiri terdiri beberapa tipe, ada las karbit, las listrik dan ada pula tanur busur listrik. Untuk menjadikan benda yang bagus, keterampilan dari pekerja las benar-benar diperhatikan. Sementara itu sekiranya metode pengelasan buruk, karenanya walhasil fatal. Operator las telah sepatutnya berpengalaman dan mahir untuk mendapatkan hasil las yang bermutu. isu mengenai bengkel las, Anda dapat menjumpainya di Jakarta. Terima beri.
0 notes
Text
Sinopsis Novel Kubah
Judul : Kubah
Pengarang : Ahmad Tohari
Tahun terbit : 2011 November
Cetakan : Kedua
Penerbit : Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Jumlah hlm : 192
Tebal buku : 18 cm
Novel kubah menceritakan tentang seorang aktivis politik yang sempat terjerumus ke jalan yang salah. Berawal dari pembebasannya dari pulau B, ia bermaksud pulang ke kampung halamannya, Pegaten. Namun, keraguan menghinggapi dirinya sehingga ia urung pulang kembali ke kampung halamannya.
Sewaktu kecil, hidup Karman sangat sederhana setelah ditinggal ayahnya untuk selamanya. Hidupnya serba susah. Sampai-sampai ia hanya bisa menamatkan sekolah SMP, itupun atas bantuan dari Hasyim—pamannya. Semasa kecilnya ia sudah diajarkan bekerja keras. Untuk makan sehari-harinya ia harus bekerja membantu setiap pemanen yang hendak memanen sawahnya. Ia juga bekerja pada Haji Bakir, ia disuruh menjaga dan menemani Rifah anak bungsu Haji Bakir bermain.
Ketika dewasa ia dikenal sebagai sosok yang cerdas dan sangat berpotensi dalam bidang politik. Meskipun demikian, ia memiliki sifat mudah terpengaruh oleh orang lain. Hal tersebut menjadikannya terjerumus kejalan yang salah. Ia menjadi salah satu anggota PKI. Setelah kejadian G30S/PKI, dimana para anggota PKI menculik dan membunuh perwira-perwira tinggi negara, Indonesia mengadakan pembersihan paham komunis. Siapapun yang bergabung dan berhubungan dengan PKI ditangkap dan dijebloskan ke penjara, termasuk Karman.
Di dalam penjara Karman benar-benar mengakui kalau selama ini dia telah masuk ke dalam faham yang salah. Ia mulai mengerti bahwa ajaran PKI itu salah. Setelah keluar dari penjara, ia tidak lagi hidup bersama istrinya. Karena istrinya sudah menikah lagi dengan laki-laki lain. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlangsung lama, Marni—mantan istri Karman—akhirnya kembali kepelukan Karman. Mereka menjalani hidup normal. Hingga pada suatu ketika, Karman melihat masjid milik Haji Bakir telah usang dan terlihat sangat tua. Ia ingat dengan pendidikan keterampilan bertukang saat dia berada dipenjara. Ia lalu menemui Haji Bakir, dan menawarkan diri untuk membangun kubah asalkan materialnya disediakan, dan Haji Bakir menyetujuinya. Dan akhirnya proses pembuatan kubah dan perbaikan masjid itu selesai. Karman beserta yang lainnya sangat puas sekali. Setelah itu, Karman menjadi sangat dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hingga akhirnya ia menadi rajin beribadah.
A. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik yaitu unsur yang terdapat dalam karya sastra yang bersifat membangun. Unsur intrinsik yang terdapat pada novel Kubah ini yaitu :
1. Tema
Tema dari novel Kubah karya Ahmad Tohari adalah meyakini adanya Tuhan (taubat) dapat dilihat dari kehidupan tokoh Karman.
2. Tokoh dan Penokohan
a. Karman :
Kurang percaya diri, terlihat pada kutipan :
“Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak-geriknya serbakikuk sehingga mengundang rasa kasihan. Kepada komandan, Karman membungkuk berlebihan. Kemudian dia mundur beberapa langkah, lalu berbalik. Kertas-kertas itu dipegangnya dengan hati-hati, tetapi tangannya bergetar. Karman merasa yakin seluruh dirinya ikut terlipat bersama surat-surat tanda pembebasannya itu. Bahkan pada saat itu Karman merasa totalitas dirinya tidak semahal apa yang kini berada dalam genggamannya.” (Kubah : 5)
Memiliki sifat rendah diri, terlihat pada kutipan :
“Dari depan gedung kodim, Karman berjalan ke barat mengikuti iring-iringan orang banyak. Karman, meski ukuran tubuhnya tidak kecil, saat itu mersa menjadi rayap yang berjalan diantara barisan lembu. Ia selalu merasa dirinya tak berarti, bahkan tiada. Demikian, pada hari pertama dinyatakan menjadi orang bebas, Karman malah merasa dirinya tak berarti apa-apa, hina-dina. Waktu berjalan ke barat sepanjang gili-gili itu Karman sebenarnya amat tersiksa. Tatapan mata sekilas orang-orang yang kebetulan berpapasan terasa sangat menyiksa. Oh, andaikan ada secuil tempat untuk bersembunyi, mungkin Karman akan menyembunyikan diri karena pembebasan dirinya belum mampu mengembalikan dia dari keterasingan.” (Kubah : 9)
Sosok laki – laki yang cerdik, terlihat pada kutipan :
“Banyak cara bisa dilakukan agar Karman bisa bermain dengan gadis kecil itu. Untuk Rifah, Karman harus punya sesuatu yang menarik hatinya. Misalnya mainan baling-baling yang terbuat dari daun kelapa. Tanpa dipancing-pancing, jika Rifah melihat mainan itu, pasti dia akan memintanya. Rifah yang agak dimanjakan biasa memperoleh apa saja yang dikehendakinya.” (Kubah : 62)
Pintar dan teliti
“Tanpa terasa akhirnya Karman seakan menjadi anggota keluarga Haji Bakir. Ia sering terlihat mengiringkan gerobak yang mengangkat gerobak yang baru dipanendari kebun Haji Bakir. Petani kaya itu merasa puas, karena kalau menyangkut panen kelapa, Karman selalu teliti. Sering anak yang pintar itu melapor, “Panen kelapa hari ini berjumlah 836 buah. Sejumlah 43 buah rusak dimakan tupai. Dalam perjalanan, anak-anak nakal naik ke atas gerobak dan membawa lari 3 buah. Jadi sampai ke gudang tinggal 790 buah.”” (Kubah : 64-65)
Pengertian
“Karman tidak melihat jalan lain kecuali menuruti nasihat pamannya. Karman pun maklum, anak pamannya banyak dan dua diantaranya sudah mulai bersekolah di kota. Jadi Karman mengerti bahwa beban pamannya sudah cukup berat.” (Kubah : 82)
Sosok Karman berubah menjadi tokoh antagonis, saat Karman mulai membenci Haji Bakir karena Haji Bakir telah menolak lamaran Karman. Dengan bukti:
”Karman memulai dengan enggan bertemu, bahkan enggan menginjak halaman rumah orang tua Rifah. Sembahyang wajib ia tunaikan di rumah. Dan ia memilih tempat yang lain bila menunaikan sembahyang Jumat. – Apa yang diperbuat Karman adalah balas dendam. Ia merasa disakiti, dinista. Dengan meninggalkan masjid Haji Bakir, ia pun bermaksud membalas dendam. Bahkan ketika ia mulai sekali-dua meninggalkan sembahyang wajib, ia juga merasa sedang membayar kesumat. Haji Bakir mempunyai masjid, dan bagi Karman, orang tua itu adalah tokoh agama. Dan wujud nyata agama di desa Pegaten adalah Haji Bakir itulah! Maka makin sering meninggalkan peribadatan, Karman merasa semakin puas.” (Kubah : 101)
Memiliki sifat perasa, mudah terpengaruh, sewaktu – waktu bisa marah
“Karman memiliki sifat terlalu perasa. Juga sedikit gampang terpengaruh, dan sewaktu-waktu bisa marah.” (Kubah : 113)
Orang yang ingin berperan dalam suatu kegiatan dan mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya
“Tanpa membentuk sebuah panitia, pekerjaan itu dimulai. Semua orang mendapat bagian menurut kecakapannya masing-masing. Karman memberanikan diri meminta bagiannya. Ia menyanggupi membuat kubah yang baru bila tersedia bahan dan perkakasnya. Ketika tinggal dalam pengasingan Karman pernah belajar mematri dan mengelas.” (Kubah : 208-209)
Tanpa pamrih
“Tetapi Karman menganggap pekerjaan membuat kubah itu sebagai kesempatan yang istimewa. Se-sen pun ia tak mengharapkan upah. Bahkan dengan menyanggupi pekerjaan itu, ia hanya ingin memberi jasa. Bagaimana juga sepulang dari pengasingan ia merasa ada yang hilang pada dirinya. Ia ingin memperoleh kembali bagian yang hilang itu. Atau setidaknya Karman bisa membuktikan bahwa dari seorang bekas tahanan politik seperti dia masih dapat diharapkan sesuatu!” (Kubah : 209-210)
b. Marni
Tabah , dibuktikan melalui kutipan :
“Marni tidak menghiraukan bujukan sanak-saudara yang menghendaki dia menikah lagi. Akibatnya, mereka mulai mengambil jarak. Bantuan berupa kebutuhan hidup sehari-hari mulai jarang diterima oleh perempuan beranak tiga itu. Namun dengan tabah Marni menghadapi semua kesulitan hidupnya. Dicobanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri bersama ketiga anaknya yang masih kecil. Marni pernah bersekolah di Sekolah Kepandaian Putri, SKP, meskipun tak tamat. Maka ia bisa menjahit pakaian. Tetapi Marni memang kurang beruntung. Upayanya untuk hidup mandiri, gagal. Marni anak-beranak makin menderita.” (Kubah : 12)
Penyayang
“Ditatapnya wajah Tini dengan matanya, dengan hatinya, dengan seluruh perasaannya. Dari sosoknya, Marni melihat Tini adalah titisan Karman. Bentuk hidung dan alis Tini itu. Juga rona kulitnya. Dan dari segi keberadaannya; Marni tidakhanya melihat Tini sebagai titisan ayahnya. Gadis yang sedang lelap dalam kedamaian itu adalah buah dan makna kebersamaan yang total antara dirinya dengan Karman. Mendadak mata Marni terasa menyesak. Air matanya berjatuhan. Dalam isaknya, Marni mengeluh. “Oh, Tini anakku. Kamu tidak tahu siapa sebenarnya orang yang paling merindukan ayahmu.”” (Kubah : 53)
c. Haji Bakir
Baik, bijaksana
“Ternyata keluarga Haji Bakir tidak pernah memperlakukan Karman sebagai pembantu rumah tangga yang sebenarnya. Anak itu diberi kesempatan menamatkan pendidikannya di sekolah rakyat yang sudah dua tahun ditinggalkannya. Pekerjaan yang diberikan kepada Karman adalah pekerjaan sederhana yang bisa diselesaikan oleh anak seusianya; mengantarkan makanan bagi orang yang sedang bekerja di sawah, menyapu rumah dan halaman, memelihara ikan di kolam, dan melayani si manja Rifah. Si bungsu bertambah ceira. Sekarang dirumahnya tinggal seorang anak yang harus mau disuruhnya mencari bulu jagung untuk membuat boneka, mengumpulkan buah saga untuk bermain pasar-pasaran. Atau terjun ke air jika bola Rifah masuk ke kolam.” (Kubah : 65-66)
Dermawan
“Tini, untuk bekal hidupmu bersama Jabir, kuberikan sawah kepadamu yang terletak di sebelah utara Kali Mudu itu. Luasnya satu setengah hektar. Peliharalah baik-baik pemberianku ini. Barangkali engkau tidak tahu bahwa dahulu sawah itu adalah milik nenekmu.” (Kubah : 207)
d. Tini
Cepat gugup dan mudah tersinggung
“Hanya orang yang teliti dapat menemukan kekurangan pada diri Tini. Bukan pada matanya yang teduh atau bentuk hidungnya yang bagus, tetapi pada penampilannya. Perangainya tenang, namun dalam ketenangan itulah Tini sebenarnya menyimpan rasa rendah diri. Akibatnya gadis remaja itu cepat gugup dan mudah tersinggung.” (Kubah : 40)
e. Triman, Margo, Gigi Baja
Mereka adalah tokoh antagonis dalam novel ini. Mereka berwatak licik dan jahat.
3. Latar
Latar waktu
Oktober 1965. Pada saat itu terjadi kegegeran. Hal itu dapat dibuktikan dalam paragraf:
“Geger Oktober 1965 sudah dilupakan orang juga di Pegaten. Orang-orang yang mempunyai sangkut paut dengan peristiwa itu, baik yang pernah ditahan atau tidak, telah menjadi warga masyarakat yang taat. Tampaknya mereka ingin disebut sebagai orang yang sungguh-sungguh menyesal karena telah menyebabkan guncangan besar ditengah kehidupan masyarakat. Bila ada perintah kerja bakti, merekalah yang palin dulu muncul. Sikap mereka yang demikian itu cepat mendatangkan rasa bersahabat diantara sesama warga desa Pegaten.” (Kubah : 38)
Latar waktu selanjutnya yaitu pada permulaan tahun ajaran baru, tahun 1950. Hal ini dapat dibuktikan dengan:
“Karman menjadi anak yang paling berbahagia di dunia. Pada permulaan tahun ajaran baaru tahun1950, Karman sudah menjadi murid SMP di sebuah kota kabupaten yang terdekat. Karman menjadi anak Pegaten pertama yang menempuh pendidikan sampai ke tingkat menengah.” (Kubah : 81)
Latar waktu selanjutnya adalah awal tahun enam puluhan. Hal ini dapat dibuktikan dalam paragraf berikut:
“Yang terjadi di Pegaten pada awal tahun enam puluhan, sama seperti yang terjadi dimana-mana. Boleh jadi orang-orang tidak senang mengingat masa itu kembali karena kepahitan hidup yang terjadi waktu itu.” (Kubah : 146)
Latar waktu selanjutnya adalah bulan Agustus tahun 1977. Pada tahun ini, nama Pegaten tidak mengalami perubahan. Hal ini dapat dibuktikan dalam:
“Dari dulu, desa itu bernama Pegaten juga pada bulan Agustus 1977 dan entah sampai kapan lagi. Tadi malam ada hujan walaupun sebentar. Cukuplah untuk melunturkan debu yang melapisi dedaunan. Tanah berwarna coklat kembali setelah beberapa bulan memutih karena tiada kandungan air.” (Kubah : 186)
Latar tempat
Cerita-cerita yang terdapat dalam novel ini pun, seringkali menceritakan tentang keadaan desa Pegaten dan masyarakat yang hidup di dalamnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan:
“Desa Pegaten yang kecil itu dibatasi oleh Kali Mundu di sebelah barat. Bila datang hujan, sungai itu berwarna kuning tanah. Tetapi padaa hari-hari biasa air di Kali Mundu bening dan sejuk. Di musim kemarau Kali Mundu berubah menjadi selokan besar penuh pasir dan batu. Orang-orang Pegaten yang memerlukan air, cukup menggali belik di tengah hamparan pasir. Ceruk yang dangkal itu akan mengeluarkan air minum yang jernih.” (Kubah : 38-39)
Latar suasana
Latar suasana yang pertama adalah gembira dan bercampur dengan kepedihan. Hal ini terjadi ketika Marni mengirimkan surat kepada Karman, saat Karman berada di Pulau Buru. Berikut kutipannya:
“Waktu menerima surat dari Marni itu, di Pulau Buru, mula-mula Karman merasa sangat gembira. Surat dari istri yang terpisah ribuan kilometer adalah sesuatu yang tidak ternilai harganya bagi seorang suami yang sedang jauh terbuang. Sebelum membaca surat itu, sudah terbayang oleh Karman lekuk sudut bibir Marni yang bagus; suaranya yang lebut, atau segala tingkah lakunya yang membuktikan Marni adalah perempuan yang bisa jadi penyejuk hati suami. Tetapi selesai membaca surat itu, Karman mendadak merasa sulit bernapas. Padang datar yang kerontang dan penuh kerikil seakan mendadak tergelak di hadapannya. Padang yang sangat mengerikan, asing, dan Karman merasa seorang diri. Keseimbangan batin Karman terguncang keras. Semangat hidupnya nyaris runtuh.” (Kubah : 13)
Latar suasana berikutnya adalah mendebarkan. Hal ini terjadi ketika Karman berusaha melindungi Rifah dari serangan kambing. Dan dapat dibuktikan dengan:
“Kambing Pohing tidak bertahan lama. Kibas berbulu putih itu lari. Kambing Haji Bakir penasaran, lalu mengamuk. Matanya jalang. Tiba-tiba ia mengambil ancang-ancang hendak menyerang seorang gadis kecil yang berbaju putih. Mungkin binatang itu mengira Rifah adalah lawannya yang telah lari. Karman maju melindungi Rifah yang menjerit dengan muka biru. Kedua tanduk binatang itu ditangkapnya. Karena tenaganya kalah kuat Karman terayun-ayun oleh empasan binatang yang marah itu. Tapi Karman bertahan sampai beberapa orang dewasa bertindak. Rifah masih menggigil ketakutan ketika diangkat oleh Haji Bakir.” (Kubah : 66-67)
Selanjutnya adalah menegangkan. Hal ini terjadi ketika lamaran Karman ditolak oleh Haji Bakir, hingga akhirnya Karman merasa dendam kepada Haji Bakir. Terbukti dengan:
“Rasa kecewa, marah, dan malu berbaur dihati Karman. Akibatnya, ia mendendam dan membenci Haji Bakir. Karman memulai dengan enggan bertemu, bahkan enggan menginjak halaman rumah orang tua Rifah. Sembahyang wajib ia tunaikan di rumah. Dan ia memilih tempat yang lain bila menunaikan sembahyang Jumat.” (Kubah : 101)
Latar suasana yang berikjutnya adalah menyeramkan. Hal ini terjadi ketika Karman menemui Kastagethek yang sedang menangkap ikan. Kemudian mereka berbincang-bincang dan Kastagethek menceritakan tentang pengalaman menyeramkannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan:
“Ah terserah sampean yang jelas kemarin malam saya melihatnya. Kemarin ada sesuatu yang tiba-tiba melompat dari air dan mendarat di rakit ini. Saya kira ikan gabus karena ikan itu memang biasa melompat-lompat seperti itu. Eh, Pak Karman ingin tahu ternyata apa,” “Apa?” “Potongan kaki manusia. Darah masih menetes pada bekas potongannya.” (Kubah : 173)
Selanjutnya, latar suasananya adalah mengharukan. Hal ini terjadi ketika Marni menjenguk Karman di rumah Bu Mantri. Dan dapat dibuktikan dengan:
“Orang tak usah mencari kata-kata yang berlebihan, karena yangg kemudian terjadi memang sulit dilukiskan dengan bahasa. Perempuan-perempuan yang menahan isak. Lelaki-lelaki yang tiba-tiba jadi gagu. Dan suasana mendadak bisu tetapi penuh haru-biru.” (Kubah : 196)
4. Alur
Alur yang terdapat pada novel Kubah karya Ahmad Tohari menggunakan alur campuran, tahapannya yaitu :
Pengenalan cerita : Dimulai dari pengenalan tokoh Karman yang mengalami konflik batin karena dia merasa rendah diri dihadapan masyarakat. Hal ini disebabkan karena ia adalah mantan tahanan politik di Pulau Buru. Terlihat pada kutipan :
“Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak-geriknya serba kikuk sehingga mengundang rasa kasihan. Kepada komandan, Karman membungkuk berlebihan. Kemudian dia mundur beberapa langkah, lalu berbalik. Kertas-kertas itu dipegangnya dengan hati-hati, tetapi tangannya bergetar. Karman merasa yakin seluruh dirinya ikut terlipat bersama surat-surat tanda pembebasannya itu. Bahkan pada saat itu Karman merasa totalitas dirinya tidak semahal apa yang kini berada pada genggamannya.” (Kubah:5).
Konflik awal. Konflik awal yang terjadi pada novel ini adalah ketika Marni, memutuskan untuk menikah lagi dengan Parta, teman sekampung Karman. Hal ini dapat ditemukan pada:
“Yang sedang menguasai seluruh lamunan Karman adalah Parta, seorang teman sekampung. Tujuh tahun yang lalu, ketika Karman masih menjadi penghuni pulau buangan, Parta menceraikan istrinya dan kemudian mengawini Marni. Meskipun sudah punya tiga anak, Marni memang lebih cantik dari istri Parta yang diceraikan. Hal ini tidak akan dibantah oleh siapa pun di Pegaten, tidak juga oleh Karman. Juga, semua orang percaya bahwa kecantikan Marni adalah sebab utama mengapa Patra sampai hati melepas istri pertamanya” (Kubah:11).
“Sepeninggal ayahnya, Karman hidup dengan ibu dan seorang adik perempuan yang masih kecil. Sebenarnya Karman punya dua kakak lelaki. Tetapi keduanya meninggal dalam bencana kelaparan pada zaman penjajahan Jepang. Keadaan keluarga Karman amat menyedihkan. Apalagi setelah terjadi kekerasan oleh tentara Belanda di Pegaten tahun 1948. Bersama ibu dan adiknya, Karman mengungsi jauh ke pedalaman. Belanda lalu membuat markas pertahanan di Pegaten.” (Kubah:61).
Klimaks
Tahapan alur selanjutnya yaitu klimaks. Pada novel ini, klimaks terjadi pada saat pemberontakan Karman terhadap Haji Bakir sudah memuncak. Dapat dibuktikan dengan:
“Hanya setahun sejak perkenalannya dengan kelompok Margo, perubahan besar terjadi pada diri Karman.ia menjadi sinis. Segala sesuatu apalagi yang menyangkut Haji Bakir selalu ditanggapi dengan prasangka buruk. Karman pun mulai terang-terangan meninggalkan masjid, karman sudah pandai mengutip kata-kata Margo, bahwa agama adalah candu untuk membius kaum-kaum tertindas.” (Kubah:103).
Serta pada kutipan :
“Namun puncak perubahan kepribadian Karman terjadi dekat sumur dibelakang rumah. Siang itu Karman berdiri di belakang rumah. Tangannya memegang sebuah parang. Kelihatannya ia agak ragu-ragu. Alisnya turun naik beberapa kali. Namun akhirnya ia maju mendekati padasan bambu itu dan langsung membelahnya. Penampang air wudhu itu dibuatnya menjadi serpihan bambu kecil-kecil. Karman tidak hanya menghancurkan tiga ruas bambu yang tampak tak berarti itu. Tetapi itulah perlambang nyata atas pergeseran nilai yang telah melanda dirinya.” (Kubah:103-104).
Tahapan alur selanjutnya adalah antiklimaks. Antiklimaks dalam novel ini adalah tertangkapnya Karman dalam keadaan sakit parah. Hal ini diceritakan dengan
“Dan tamat sudah kisah pelariannya, karena sorang gembala kerbau melihat segala gerak-geriknya. Di siang itu beberapa orang pamong desa datang ke Astana Lopajang. Karman ditangkap dalam keadaan sakit payah. Boleh jadi karena keadaannya itulah orang tak tega menghabisi nyawanya.” (Kubah : 184-185)
Tahapan akhir alur ini adalah ending. Ending ini menceritakan tentang Karman yang merasa dirinya hidup kembali dan diterima oleh warga Pegaten. Seperti yang diceritakan pada kutipan berikut:
“Tetapi Karman menganggap pekerjaan membuat kubah itu sebagai kesempatan yang istimewa. Se-sen pun ia tak mengharapkan upah. Bahkan dengan menyanggupi pekerjaan itu ia hanya ingin memberi jasa. Bagaimana juga sepulang dari pengasingan ia merasa ada yang hilang pada dirinya. Ia ingin memperoleh kembali bagian yang hilang itu. Bila ia dapat memberi sebuah kubah yang bagus kepada orang-orang Pegaten, ia berharap memperoleh apa yang hilang itu. Atau setidaknya Karman bisa membuktikan bahwa dari seorang bekas tahanan politik seperti seperti dia masih dapat diharapkan sesuatu.” (Kubah : 209-210).
Dan yang terakhir :
“Karman mendengar pujian-pujian itu. Rasanya dia yakin bahwa dirinya tidak berhak menerima semua pujian itu. Tetapi wajah-wajah orang Pegaten yang berhias senyum, sikap mereka yang makin ramah, membuat Karman merasa sangat bahagia. Karman sudah melihat jalan kembali menuju kebersamaan dan kesetaraan dalam pergaulan yang hingga hari-hari kemarin terasa mengucilkan dirinya. Oh, kubah yang sederhana itu! Dalam kebisuannya, mahkota masjid itu terus mengumandangkan janji akan memberikan hak asasi kepada setiap manusia yang sadar kemanusiaannya. Dan Karman merasa tidak terkecuali.” (Kubah : 211)
Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan dalam novel ini adalah orang ketiga pelaku utama. Hal ini dapat dibuktikan dengan cara penulis menceritakan tokoh-tokoh yang terdapat dalam novelnya dengan menyebutkan nama-nama tokoh. Seperti Karman, Rifah, Marni, Haji Bakir, dan lain-lain.
Gaya Bahasa
Penulisan pada novel ini menggunakan gaya bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca, sehingga pembaca terbantu pemahamannya melalui gaya bahasa yang digunakan oleh penulis.
Amanat
Kita harus memaafkan kesalahan orang lain, karena orang yang bersalah tersebut telah menyadari kesalahannya
Apabila kita memiliki kesalahan, maka sadarlah dan perbaiki perilaku kita agar tetap diterima kembali oleh masyarakat
Ketika kita melakukan kesalahan, sesalilah karena dengan begitu dapat belajar memperbaiki kesalahan pribadi
Janganlah mudah terpengaruh oleh omongan orang lain
Tuntutlah ilmu dengan sungguh – sungguh, kelak akan berguna
Jadilah istri yang setia
Hormatilah orang tua dan selalu mengabdi padaNya
Mulailah meningkatkan rasa iman melalui hal – hal kecil
B. Unsur Ekstrinsik
1. Latar Belakang Pengarang
Ahmad Tohari lahir tanggal 13 Juni 1948 di Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Bangumas, Jawa Tengah dari keluarga santri. Ayahnya seorang kiyai (pegawai KUA) dan ibunya pedagang kain. Dari segi ekonomi, keluarganya tidaklah kekurangan. Namun lingkungan masyarakatnya mengalami kelaparan.
Ahmad tohari menikah tahun 1970 dengan Siti Syamsiah. Istrinya bekerja sebagai guru SD. Dari perkawinannya itu, mereka dikarunai lima orang anak. Ahmad tohari sangat menyayangi keluarganya. Dalam mendidik anak-anaknya, Ahmad Thohari menanamkan pendidikan keagamaan sejak dini. Menurutnya, agama merupakan satu-satunya laku utama untuk mewujudkan kecintaan manusia kepada Tuhan dan kepada manusia lainnya. Ahmad Thohari selalu mengajak keluarganya unuk shlalat berjamaah dan dia sebagai imamnya.
Pendidikan formalnya ia tempuh di SMAN II Purwokerto, kemudian ia melanjutkan di Fakulta Ekonomi Unsoed Purwokerto selama tahun 1974 ampai 1975. Kemudaian ia pindah ke fakultas Sosial Politik yang dijalaninya selama setahun, kemudian pindah lagi ke Fakultas Kedokteran YARSI, Jakarta tahun 1967-1970, samapi ia memutuskan untuk berhenti dan memilih tinggal di desanya dan mengasuh Pondok Pesantren NU Al Falah.
Dalam dunia jurnalistik, Ahmad Tohari pernah menjadi staf redaktur harian Merdeka, majalah Keluarga, dan majalah Amanah. Sastrawan yang memiliki darah kyai ini memiliki hoby memancing pada tahun 1990 mengikuti International Writing Programme di lowa City, Amerika Serikat dan memperoleh penghargaan The Fellow of The University of Iowa
1. Unsur Sosial
Unsur sosial yang terdapat dalam novel yaitu adanya toleransi yang tinggi antar warga serta adanya kesadaran yang kuat untuk saling memaafkan sesama manusia yang telah mengalami kesalahan. Hal itu didasari oleh rasa ikhlas. Ahmad Tohari menampilkan tokoh – tokoh yang selalu menerima kesalahan orang lain karena pada dasarnya Ahmad Tohari memiliki jiwa sosial yang tinggi serta memiliki kepedulian sosial yang tinggi, walaupun sebenarnya hidupnya telah berkecukupan dimana ayahnya sebagai pegawai KUA, juga sebagai kyai, namun ia senantiasa menengok kepada masyarakat di sekitarnya yang mengalami kesusahan.
2. Unsur Politik
Unsur politik yang tergambar dalam novel sangat berperan penting, karena adanya unsur politik tersebut maka dapat menggambarkan secara nyata jalannya pemerintahan pada masa PKI. Ahmad Tohari yang berlatarbelakang pernah mengenyam pendidikan di fakultas sosial politik di Unsoed Purwokerto mampu memotret perjalanan politik pada masa itu melalui karyanya , salah satunya yang berjudul Kubah.
3. Unsur Moral
Nilai moral yang terkandung dalam novel tampak jelas, dimana Ahmad Tohari menampilkan tokoh Karman sebagai seorang santri yang patuh, taat, bertanggungjawab, ikhlas, berakhlak mulia, berbudi pekerti, walaupun pada puncaknya tokoh Karman murtad dari Islam. Penggambaran pribadi Karman tergambar detail oleh penciptaan karya Ahmad Tohari, dimana beliau berlatarbelakang santri, selain itu ayahnya juga seorang kyai, sehingga Ahmad Tohari mampu menggambarkan pribadi Karman sebagai seorang santri yang patuh dan taat.
4. Unsur Ekonomi
Perekonomian pada novel tersebut menggambarkan kemiskinan yang dialami oleh warga Pegaten karena dijajah oleh Jepang. Bahan makanan, barang – barang yang ada, serta kekayaan alam ditarik oleh Jepaang, sehingga terjadi kemiskinan yang melanda. Dampak dari adanya kemiskinan yaitu kriminalitas meningkat, yaitu munculnya banyak pencurian yang melanda desa Pegaten. Ahmad Tohari melukiskan keadaan ekonomi yang sebra kekurangan pada novelnya berdasarkan apa yang ia lihat di sekitarnya masa itu, walaupun Ahmad Tohari tidak mengalaminya karena ai berasal dari keluarga berkecukupan, namun ia mampu merasakan kepedihan itu dari lingkungannya.
5. Unsur Budaya
Unsur budaya yang terdapat pada novel sangat dominan, dimana budaya yang paling menonjol yaitu budaya Jawa. Hal itu dikarenakan Ahmad Tohari berlatarbelakang budaya Jawa, sehingga banyak budaya Jawa yang diusung seperti perihal nama. Nama tokoh yang digunakan pada novel cenderung menggunakan nama Jawa, seperti Karman, Marni, Tini, Bakir.
Selain penggunaan nama, budaya Jawa yang senantiasa menerima “ nrimo “ itu juga tampak pada novel Kubah ini, dimana tokoh Karman yang telah melakukan kesalahan masih diterima dengan baik oleh masyarakat Pegaten. Selain kedua hal tersebut, adanya sopan santun, tata krama berjabat tangan ketika bertemu, saling menghormati antara atasan dan bawahan juga menjadi budaya dalam novel Kubah ini, sehingga unsur budaya yang tergambar dalam novel ini sangat kental.
Kritik Sastra Novel Kubah Karya Ahmad Tohari
Novel Kubah karya Ahmad Tohari, menurut kritik penilaian ( yudical crrriticism ), termasuk ke dalam kritik sastra sosial ( sosioloical criticism ), yaitu kritik sastra yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan sosiologi, artinya suatu karya sastra ditelaah segi – segi sosial kemasyarakatannya yang berada pada sekitar lahirnya karya tersebut serta sumbangan yang diberikan pada kehidupan masyarakat.
Terlihat pada novel yaitu terbitnya novel tersebut didasari oleh adanya peristiwa G 30 S/PKI, dimanapengarang menggunakan pendekatan sosiologi, menelaah peristiwa – peristiya yang kemudian dimasukkan dalam suatu karya sastra, baik dari segi sosial, politik, ekonomi, maupun budaya yang ada pada masa itu.
Apabila ditinjau dari jenis kritik sastra bersadarkan pendekatan terhadap karya sastra menurut Abrams, novel Kubah termasuk ke dalam kritik mimetik dan kritik pragmatik. Kritik mimetik yaitu kritik yang bertolak pada pandangan bahwa karya sastra merupakan tiruan dari penggambaran dunia dan kehidupan manusia. Sedangkan kritik pragmatik yaitu kritik yang disusun berdasarkan pandangan bahwa karya sastra dibuat untuk mencapai efek – efek tertentu pada pembaca, seperti kesenangan, estetika, dan pendidikan.
Terlihat bahwa novel Kubah termasuk dalam kritik mimetik yaitu Ahmad Tohari mampu menggambarkan desa Pegaten yang dilanda kemiskinan, mampu menggambarkan Lubuk Waru ( makam untuk bersembunyi Karman ketika menjadi buronan ), Astana Lopajang ( makam keramat yang mengerikan untuk bersembunyi Karman ), mampu menggambarkan kubah yang megah dengan hiasan ukiran yang unik yang dibuat oleh Karman.
Terlihat bahwa novel Kubah termasuk kritik pragmatik yaitu pengarang mampu menciptakan suasana sedih yang diterima Karman karena menjadi orang baru setelah diasingkan. Mampu memberi efek trenyuh, haru ketika Karman meminta maaf kepada Haji Bakir yang telah dilukai hatinya. Mampu memberi efek kesal ketika Karman terpengaruh oleh anggota PKI.
Menurut paham penilaian dari pendapat Pradopo, novel Kubah ini termasuk dalam penilaian perspektivisme, yaitu paham yang mengakui adanya suatu karya sastra yang dapat diperbandingkan sepanjang masa, berkembang, berubah, dan penuh kemungkinan. Kelebihan dan kebaikan moral bersifat abadi. Demikian pula dengan kekurangan – kekurangan yang ada di dalamnya akan menjadi sesuatu yang tetap dapat dipertimbangkan dalam penilaian.
Menurut tingkatan dalil J Elena, novel ini sudah sampai pada tahap religius, tahapannya yaitu :
a. Niveau Anorganis, merupakan tingkatan terendah yang berupa gaya bahasa. Novel Kubah ini sudah menggunakan gaya bahasa yang indah, mudah dipahami sehingga sudah masuk dalam niveau anorganis.
b. Niveau Vegetatif, yaitu tingkatan dimana sebuah karya sastra memiliki suasana yang tergambar, seperti suasana menegangkan, menyenangkan, mengharukan, seperti terlihat pada kutipan :
“Begitu Haji Bakir masuk ke rumah Bu Mantri itu, Karman berlari menjemputnya, lalu menjatuhkan diri. Dengan bertumpu pada kedua lututnya, Karman memeluk orang tua itu pada pinggangnya. Ia menangis seperti anak kecil. Haji Bakir yang merasa tidak bisa berbuat apa-apa membiarkan Karman memuaskan tangisnya. “(Kubah : 194-195)
Suasana yang tergambar pada kutipan tersebut yaitu mengharukan, dimana Karman meminta maaf kepada Haji Bakir karena merasa bersalah terhadap perlakuan Karman yang pernah semena – mena terhadap Haji Bakir.
c. Niveau Animal, yaitu adanya nafsu naluriah jasmani seperti makan, minum, nafsu seksual, nafsu melawan, seperti pada kutipan :
“Namun puncak perubahan kepribadian Karman terjadi dekat sumur dibelakang rumah. Siang itu Karman berdiri di belakang rumah. Tangannya memegang sebuah parang. Kelihatannya ia agak ragu-ragu. Alisnya turun naik beberapa kali. Namun akhirnya ia maju mendekati padasan bambu itu dan langsung membelahnya. Penampang air wudhu itu dibuatnya menjadi serpihan bambu kecil-kecil. Karman tidak hanya menghancurkan tiga ruas bambu yang tampak tak berarti itu. Tetapi itulah perlambang nyata atas pergeseran nilai yang telah melanda dirinya.” (Kubah:103-104).
Kutipan tersebut menggambarkan adanya kemarahan yang membara, nafsu ingin melawan , termasuk dalam niveau animal.
d. Niveau Human, yaitu tingkatan yang dicapai oleh manusia berupa konflik batin, konflik pada lingkungan, maupun konflik pada orang lain.
Terlihat pada kutipan :
“Pengecut atau bukan, kini bukan saat yang pantas untuk memikirkannya. Aku, Karman, adalah manusia seperti manusia-manusia lain di dunia. Selain punya keyakinan ideologis, aku juga unya rasa, punya ikatan keluarga, punya naluri dan akal budi. Ya, akal budi. Kini aku ingin mendengar suara akal budiku sendiri.
“Kini jelas, kamu seorang kader partai yang munafik.”
“Aku tidak peduli.”
“Tetapi sejarah terlanjur mencataat, kamu adalah pengikut Margo. Kenapa bisa begitu?”
“Pertama, karena sakit hati. Aku jengkel karena Haji Bakir tak rela anaknya kukawini. Kedua, aku jengkel karena sawah orangtuaku dikuasai oleh haji Bakir dengan cara yang tidak adil. Dengan masuk ke lingkaran Margo, aku bermaksud membalaskan sakit hatiku. Atau kalau bisa, aku mendapatkan kembali sawah itu. Ah, aku tidak mengerti bahwa akhirnya aku harus terbawa dakan situasi-situasi yang sangat menakutkan ini. aku tak mengerti. Atau kamu bisa menerkanya?” (Kubah: 160-161)
Kutipan tersebut menggambarkan perasaan Karman yang kalut akibat ia masuk menjadi anggota Margo dan PKI. Percakapan antara suara hati dan dirinya itu adalah konsekuensi terhadap nilai-nilai agama Islam yang telah ia lupakan.
e. Niveau Religius , yaitu tingkatan pengalaman jiwa tertinggi, apabila tertuang dalam karya sastra berupa renungan vertikal mengenai hakekat hubungan manusia dengan Tuhan. Terlihat pada kutipan :
( kutipan 1 )
“Tidak gampang menemukan kalimat yang pantas untuk melukiskan perasaan Karman ketika ia melihat pemandangan di dalam sana. Seorang perempuan muda sedang duduk berdoa di atas sajadah yang digelar di lantai. Rifah masih dalam pakaian sembayang. Wajah itu dibatasi oleh kain putih yang melingkari wajahnya dengan ketat. Mata itu setengah terpejam. Bibir kecil itu meruncing di kedua ujungnya, bergerak-gerak menggetarkan doa. Wajah yang damai, alami, nyaris tanpa eksperis apa pun. Tetapi ada sepasang intan airmata yang membiaskan sinar lampu di depannya” (Kubah: 126)
Pada kutipan tersebut, tokoh Karman sedang melihat Rifah yang tengah menjalankan sholat malamnya. Dan Rifah pun juga memohon doa pada Allah usai melalukan sholat. Dalam Islam, sholat merupakan wujud ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya. Dan ibadah yang dilakukan Rifah itu pun sangat khusus karena Rifah melakukannya di sepertiga malam terakhir-Nya.
( kutipan 2 )
“Tetapi Karman mendadak berhenti gagap. Termangu. Dua-tiga orang yang hendak sembahyang melewatinya tanpa peduli. Namun akhirnya seorang lelaki tua sambil berjalan menepuk pundak Karman. “Mari, Pak, sudah hampir ikamah.”
Dan seperti ada sesuatu yang mendorongnya, Karman ikut melangkah memasuki halaman masjid.”(Kubah: 30)
Pada kutipan tersebut menjelaskan tentang Karman yang akan melakukan ritual sholat. Padahal ia telah lama meninggalkan salah satu rukun Islam tersebut. Sejarah kelamnya yang menjadi antek PKI membuatnya melupakan Tuhan-nya. Tapi ketika terbebas dari Pulau Buru ia pun melaksanakan sholat kembali.
( kutipan 3 )
“Demikian sumur masjid itu selalu ramai oleh gurau anak-anak selagi fajar merekah di timur. Hiruk-pikuk baru berakhir apabila sembahyang subuh sudah di mulai. Dan ketika jamaah yang tua-tua masih berzikir, anak-anak sudah bubar berhamburan. Mereka kembali ke rumah masing-masing gurauan gembira.”(Kubah: 70)
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa dalam novel Kubah telah mengenal adanya Tuhan, meyakini, dan melaksanakan ajaran agama dengan baik.
Kelebihan dan Kelemahan Novel
Kelemahan novel ini adalah kurangnya konflik pada ceritanya. Novel ini mungkin akan lebih menarik dan realistis jika ada konflik pada saat Karman kembali ke masyarakatnya. Usaha Karman membuat kubah masjid Haji Bakir perlu mendapatkan porsi penceritaan yang lebih. Supaya makna mahkota masjid itu benar-benar terasa selama membaca novel yang sudah diterbitkan dalam bahasa Jepang ini.
Kelebihan dari novel ini adalah pengarang menggambarkan setiap setting dengan jelas. Penggambaran tokoh yang dibuat pengarang juga kuat dan lengkap. Bahasa yang digunakan tidak terlalu berbelit – belit sehingga mudah dipahami. Pengarang berani mengangkat isu yang mungkin sangat sensitive pada masa itu. Novel ini menghadirkan sesuatu yang bermoral dan patut dicontoh.
Novel ini mengingatkan kita untuk berhati –hati pada setiap tindakan yang kita ambil. Mudah memaafkan orang lain, sejahat apapun dia, karena pada dasarnya setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua saat dia mau berubah. Dalam novel tersebut menunjukan bahwa siapapun orangnya akan menyesal dan menyadari akan kesalahan yang telah dilakukan. Sambutan masyarakat Pagetan harus dipahami sebagai bentuk simpati dan pemanfaatan terhadap orang yang telah melakukan kesalahan dan menderita karena kesalahannya itu, bukan sambutan terhadap paham yang pernah dianutnya.
Melalui novel Kubah ini, Ahmad Tohari memberikan pelajaran kepada pembaca agar bisa memahami dam memberi maaf terhadap pribadi yang telah menyadari kesalahan atau ketersesatanya untuk mendapatkan kembali harkat kemanusiaannya. Disisi lain novel ini juga memberikan pelajaran bahwa pribadi yang besangkutan juga harus dapat membuktikan kesadaranya bahwa ia telah berubah dan kembali ke jalan yang benar. Hal ini ditunjukkan oleh keberanian tokoh Karman meminta bagian untuk membangun masjid milik Haji Bakir yang sudah mulai rapuh dengan menyangipinya membuat kubah yang baru. Kesangupan Karman didasari pengalamannya belajar mematri dan mengelas ketika berada di pengasingan.
Kesanggupan Karman membuat kubah masjid tersebut untuk membktikan bahwa dirinya telah membuktikan kalau dia sudah beruhah. Sambutan dan pujian terhadap hasil karya Karman menunjukkan bahwa Karman benar-banar telah diterima kembali di desanya dan telah mengembalikan harkat kemanusiaanya yang telah pudar.
Kemampuan pengarang dalam novel ini sangat bagus apabila dibandingkan dengan novel-novel yang lain, karena di dalam novel yang berjudul Kubah ini mengandung nilai-nilai budaya yang sangat kental. Hal yang paling menarik lagi yaitu tentang permainan alurnya. Pengarang menggunakan alur campuran dan penempatannya berkesan acak, akan tetapi permainan alur tersebut tidak membuat ceritanya melebar. Novel ini menggunakan open ending yang membiarkan pembaca memikirkan sendiri akhir dari cerita ini.
Penerapan Novel dalam Pembelajaran di SMA
Novel yang berjudul Kubah ini bagus apabila diterapkan dalam pengajaran sastra di Sekolah Menengah Atas ( SMA ), karena dalam novel ini mengajarkan tentang keyakinan terhadap Tuhan. Selain itu, novel ini mengajarkan tentang arti pentingnya pendidikan. Melalui sebuah pendidikan, kemampuan seseorang akan lebih tampak. Bukan hanya pendidikan, seorang yang telah selesai menamatkan pendidikannya diajarkan untuk menempati posisi dalam sebuah hierarki pekerjaan. Melalui lembaga pekerjaan tersebut, kualitas seseorang akan lebih terlihat dalam kesehariannya bekerja.
Novel ini mengajarkan tentang nilai sosial masyarakat yang mengedepankan kasih – mengasihi, saling memaafkan, tidak memiliki prasangka buruk terhadap seseorang dimana seseorang tersebut telah bertaubat menuju jalan yang lebih baik lagi. Novel ini menunjukkan adanya sikap toleransi terhadap seseorang yang pernah mengalami kesalahan, dan memberikan kesempatan kembali untuk membenahi diri bagi orang yang bersalah.
Melalui novel Kubah ini, pembaca diharapkan mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dalam novel ini, tergambar jelas seseorang yang pandai namun imannya masih goyah karena terpengaruh ke jalan yang sesat. Dengan membaca novel ini, pembaca diharapkan dapat membentengi dirinya agar tidak mudah terkena pengaruh, tipu daya yang dapat menjerumuskan manusia. Agar tidak mudah terjerumus tersebut, kunci utamanya yaitu beriman dan bertaqwa kepadaNya.
Novel ini cocok diterapkan pada taraf SMA karena pada usia anak – anak SMA, kondisi psikisnya belum stabil. Siswa seusia SMA lebih mudah terpengaruh, terprovokasi menuju hal – hal yang negatif. Selain itu, siswa seusia SMA belum memiliki kematangan cara berpikir yang sempurna, artinya mereka masih mudah berubah pikiran, berubah ideologi, cara pandangnya, sehingga dikatakan belum stabil. Oleh karena itu, agar siswa memiliki cara pandang yang lurus menurut ajaran Islam, maka novel ini merupakan rujukan bahasa ajar yang berkualitas yang dapat diberikan kepada siswa. Disamping menyajikan akibat – akibat yang dialami tokoh karena penyimpangannya, novel juga mengupas tentang kebaikan, keramahan, kelapangan hati yang ditunjukkan dengan sikap pemaaf, serta adanya toleransi yang dapat mempererat hubungan kemanusiaan. Selain itu, novel ini mengajarkan bahwa seseorang yang akan bersungguh – sungguh memperbaiki kesalahan, pasti akan diterima oleh lingkungan sosialnya, mengingat penyesalan itu hadir belakangan. Jadi, novel ini sangat cocok diterapkan pada pembelajaran sastra di tingkat SMA.
Daftar Pustaka
Katrini, Yulia Esti. 2016. Diktat Kritik Sastra.
Tohari, Ahmad. 2001. Kubah. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
0 notes
Text
Cara Mengelas Besi Tipis Dengan Las Listrik
Bagaimana untuk mengelas pelat tipis sebenarnya dapat dipelajadi dengan teknik tertentu. Cara mengelas besi tipis dengan las listrik , prosedurnya sebenarnya ya biasa saja. Maka itu, hal pertama yang Anda digunakan untuk menyiapkan peralatan dan bahan yang Anda ingin menghubungkan atau Anda mengelas. Untuk materi pelatihan silahkan mempersiapkan bahan-bahan untuk pengelasan dan hasil las listrik yang baik berikut: Travo berdaya sebesar 900 watt, kawat las dengan ukuran kawat las berdiameter 2 mm, mata / pelindung (penting bahwa mata Anda tidak terganggu las cahaya memukul sangat tajam), peralatan lainnya yang mungkin diperlukan dan pastinya plat besi sebagai bahan yang ingin dilakukan pengelasan.
Cara mengelas besi tipis dengan las listrik pada langkah selanjutnya adalah , bersihkan permukaan pelat yang ingin Anda untuk mengelas dari kotoran, ini penting karena akan mengurangi kualitas sambungan nantinya. setelah kami membersihkan bahan berikutnya pasca las kawat 2mm stang untuk mengelas, menetapkan ukuran ampere dalam mesin las di 30-40ampere, kemudian bergabung plat besi yang ingin Anda hubungkan. Hati-hati saat pengelasan, tidak terlalu lama karena pengelasan yang terlalu panjang akan membuat media berlubang / meleleh, sehingga cara yang baik untuk mengelas pelat tipis adalah dengan mengambang antara media dan kawat las.
Cara mengelas besi tipis dengan las listrik bila hasilnya kurang bagus masalahnya mungkin ada pada faktor : terlalu rengang ketika di tig, faktor listrik tidak stabil dan faktor lain. Selain itu mengelas dengan tehnik mengambang, kurang lebih 1mm di atas permukaan bahan kita dapat menghindari gaya kalor pada busur api. Api tidak terfokus,sehingga hal ini dapat me-minimalisir kerusakan atau kebolongan. Selain gaya kecepatan tangan juga sangat lah penting, dimana sistematis pada tehnik pengelasan dengan bahan tipis kita melakukan nya secara keridit atau tek dengan gaya lingkaran mengambang. Namun, anda harus mengulangi pengelasan dengan jarak 3mm pada tempat pengelasan awal, karena hal ini tuk mencegah kebolongan dan juga untuk membentuk permukaan las agar rata dan rapi, jadi masih terlihat prefesional.
0 notes