#BungaOnTheField
Explore tagged Tumblr posts
Text
Bagaimana Caranya Membesarkan Nyala Api yang Hampir Padam
Malam ini aku membuka kembali catatan lapangan yang aku tulis pada Maret-April lalu. Berantakan. Tulisan tanganku tidak konsisten, kadang bisa dibaca, kadang tidak, kadang terlalu besar, kadang terlalu kecil. Beberapa halaman penuh dengan bermacam-macam informasi, sementara beberapa halaman lainnnya hanya terpakai setengah. Malam ini pula aku membaca tulisan seorang peneliti, teman, dan sekaligus panutan, berjudul The thrill is, sometimes, gone--but not for good. Kebetulan ini--momen membuka catatan lapangan dan membaca unggahan terbaru temanku tersebut--mendorongku untuk bikin semacam refleksi, catatan kecil, dan curhat tentang penelitian lapangan yang aku lakukan pada awal tahun ini.
Selama kurang lebih dua bulan, aku menetap di rumah sekaligus kos-kosan milik seorang warga. Tiap malam hari (atau dini hari) aku tidur dengan perasaan cemas. Sambil membolak-balik buku kecil catatan lapangan, aku mengingat-ingat urutan pertanyaan untuk narasumber yang akan aku temui keesokan harinya. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak serta-merta dilontarkan seperti soal ujian, nomor 1, 2, 3, dst, namun ditanyakan secara runtut. Pembimbingku juga selalu berpesan untuk tidak terpaku pada daftar pertanyaan, sehingga aku harus mengingat poin-poin penting yang akan ditanyakan. Hal yang membuatku cemas adalah kombinasi dari: takut salah langkah karena ini kali pertama menjadi a sole researcher.
Bagaimana jika pemahamanku soal teori ini ternyata salah, yang mana akan berpengaruh pada penelitian secara keseluruhan? Bagaimana jika caraku menyampaikan pertanyaan tidak pas, sehingga poin-poin penting dan data utama yang aku cari tidak bisa aku dapatkan dari narasumber? Baju apa yang harus aku pakai, apakah itu setelan formal, atau setelan santai, ya? Kalau pakai sendal, nanti dianggap tidak sopan, tapi kalau pakai sepatu, nanti dikira sales perusahaan pupuk (betul-betul terjadi. Suatu kali aku pergi ke ladang pakai kemeja, celanan kain, sepatu, dan menenteng buku catatan. Setelah memperkenalkan diri dan ngobrol dengan narasumber utama dan beberapa kawannya, ia bilang, “Tadi saya kira mau nawarin pupuk e, mbak. Minggu lalu ada yang nawarin soalnya, katanya minggu ini mau ke sini lagi.”)
Beberapa pertanyaan di kepalaku akan bisa terjawab dengan bertanya ke pembimbing, ke kawan-kawanku yang lebih berpengalaman, serta dengan membaca kembali berbagai referensi, terutama soal substansi dan metode penelitian. Namun tidak sedikit pertanyaan yang jawabnya baru akan datang setelah mengalami sendiri suatu momen. Apabila menemui narasumber yang sulit diajak ngobrol, lakukan ini, coba tanyakan ini sebagai pemantik, hindari menanyakan ini, ujar pembimbing. Pada waktu itu aku masih bisa angguk-angguk kepala, seolah betulan memahami saran dan trik yang diberikan pembimbing lewat pertemuan virtual. Begitu berada dalam situasi yang sungguhan, aku cuma bisa geleng-geleng kepala dan menepuk jidat, ya ampun, ternyata susahhhhh, ya.
Pada beberapa kesempatan aku merasa keputusan melakukan penelitian ini adalah hal yang salah, karena aku masih perlu belajar banyak, banyak sekali hal, sebelum mengerjakan riset sebesar ini. Aku merasa bodoh karena di usia ini, di jenjang pendidikan ini, masih belum menguasai beberapa hal yang cukup penting dalam penelitian lapangan. Padahal ada diantaranya yang pernah diajarkan oleh pembimbingku. Terus, apa kaitannya sama tulisan blog yang aku sebut di awal tulisan? Aku sedang terjebak, tertahan, tertinggal. Aku sedang kehilangan dorongan, semangat, dan kemauan untuk menyelesaikan riset. Aku sedang muak, karena pekerjaan ini tidak selesai-selesai. Di satu sisi, aku sangat paham bahwa semuanya butuh proses. Sesuatu yang belum selesai, bahkan setelah melalui proses yang lama dan berbelit-belit, akan bikin capek pada satu titik.
Saat masa awal pengerjaan, ada perasaan menggebu-gebu yang membuatku rajin membaca, menulis draft, dan bolak-balik ke lokasi penelitian agar bisa merasa familiar dengan lingkungan di sana. Kini, saat prosesnya sudah sampai di ujung (belum selesai, namun sudah setengah jalan lebih), aku kehilangan dorongan itu. Aku lebih pengin belajar hal lain. Aku lagi pengin membaca-baca soal kajian geografi kritis mengenai sumberdaya, ketimbang penelitian terbaru soal agraria kritis di Amerika Latin atau Asia. Daripada menghitung kembali kepemilikan tanah dan mengecek ulang pengelompokan posisi kelas, aku lebih pengin melihat-lihat gambar buket bunga cantik warna-warni di linimasa. Menulis di blog, seperti ini, terasa lebih menyenangkan dan lancar, ketimbang memperbaiki tulisan sesuai komentar terbaru dari pembimbing.
Demi dua tangkai bunga krisan jarum berwarna hijau dan cokelat yang sudah mulai rontok dan mengotori mejaku, aku ingin dan BUTUH segera mengembalikan semangatku.
2 notes
·
View notes