#AkuDanSeries
Explore tagged Tumblr posts
Text
Aku dan Recehan
Membayar parkir dengan recehan adalah janjiku pada diri sendiri untuk mengurangi stok koin-koin limaratusan atau duaratusan atau yang terbaru seribuan dalam dompetku yang cuma lebih besar sedikit dari ukuran kartu tanda penduduk. Sejujurnya ini cukup mudah karena aku tidak punya celengan : tempat orang-orang menyimpan uang yang kurang dari lima bilangan.
Tapi kupikir-pikir itu tidak selalu baik. Bapak parkir pasti kesal karena dia jadi tidak bisa merapikan uang lembaran. Menghitung recehan kan lebih sulit, ukurannya mirip! Meski begitu aku tetap saja melakukannya karena untuk apa memikirkan kekesalan orang lain yang masih asumsi : aku lebih memilih memikirkan perasaanku sendiri yang lebih pasti. Dengan keyakinan bahwa bapak parkir rata-rata baik hati.
Selain kalau denganku ia kupakai bayar pakir, yang paling kasihan dari recehan adalah karena ia sering diabaikan. Kalau jatuh ke jalanan, kubangan, atau lantai pusat perbelanjaan -- pasti akan cepat diikhlaskan.
Hingga kemudian aku melihat ada tangan-tangan yang menyambut recehan dengan sukacita. Di jalan, di pasar, dan aku bila menerimanya sebagai kembalian. Ternyata di tangan yang tepat, recehan akan diperhatikan. Ternyata di tangan yang sesuai, recehan akan dipertimbangkan.
1 note
·
View note
Text
Aku dan Kopi
Aku gagal berkongsi dengan kopi, meski ia disukai oleh hampir segala jenis pribadi. Alasannya sederhana : kopi sering gugup bila bertemu lambungku dan lambungku suka bingung kalau kuajak kopi bergabung. Bukannya tidak suka, aku hanya tidak bisa. Seingin-inginnya kopi terhadapku atau seingin-inginnya aku terhadap kopi, baiknya kami tetap begini : daripada ada yang tersinggung, contohnya si lambung. Lagipula kopi sehari-hari sibuk menemani orang-orang sampai pagi, dan aku sibuk mengasihani diri sendiri yang ketiduran sedari tadi. Tapi bukan berarti aku dan kopi saling membenci. Kopi bilang ia tidak mau menyakiti, aku juga mengamini kalau maag itu sakit sekali. Kopi bilang lagi kalau sebenarnya ia ingin berteman dengan pusat kesadaran, lalu aku jawab kalau membangunkanku cukup dengan pengertian. Jadi, kopi menyerah, dan aku pasrah. Kopi menyuruhku menemukan minuman kesukaan. Aku menyuruh kopi untuk berhenti bikin orang kecanduan. Aku dan kopi berdamai kalau kami berlainan, punya tujuan yang agak sulit disatukan. Tidak apa-apa, yang penting kami tidak lupa untuk saling mendoakan.
0 notes
Text
Aku dan Kaos Kaki
Sejak setahun belakangan, aku memutuskan mulai membeli kaos kaki warna warni. Selain karena beberapa belas ribu bisa dapat tiga biji (eh, pasang deng), ternyata rasanya juga lebih nyaman ketika dipakai. Pokoknya, aku suka sekali! Kalau ada orang yang tanya kenapa aku pakai kaos kaki, alasannya ada dua : Yang pertama, karena aku hiperhidrosis di tangan dan di kaki. Yang kedua, karena aku meyakini bahwa kaki wajib ditutupi. Kaos kaki, meski warna-warni, ternyata suka hilang kalau di-laundry. Kadang nggak hilang dua-duanya sih, hanya satu sisi. Dan aku kesal setiap itu terjadi : artinya aku harus beli kaos kaki baru di toko dekat restoran cepat saji. Tapi dari kejadian hilangnya kaos kaki, aku belajar bahwa sesuatu yang kita sukai bisa jadi tiba-tiba pergi. Dan apa yang kita punyai belum tentu abadi. Kebahagiaan yang merah-kuning-hijau-dan-ungu itu tidak lantas ada terus. Kesenangan yang pink-jingga-coklat-dan-biru juga suatu waktu bisa terputus. Padahal sejak dulu, yang aku benci dari memiliki adalah rasa takut kehilangan.
0 notes
Text
Aku dan Batu Bata
Sebagian besar rumah terbuat dari batu bata karena ia amat kuat dan bisa membangun dinding yang hebat. Sehebat proses pembuatannya : dari tanah liat yang basah lalu dibentuk kotak-kotak lalu dijemur di terik siang lalu dibakar di tungku besar. Tapi kalau musim hujan begini, apakah batu bata tetap diproduksi? Batu bata berteman dengan apapun : pasir, semen, cat tembok. Meski ia tahu kalau benda-benda itu akan menutupi keberadaannya yang sudah berkontribusi banyak, lalu membuat manusia melupakan dari apa dinding rumah mereka diciptakan. Tapi batu bata dasarnya memang tidak pamrih sih, tidak seperti aku. Rasanya kok kita jadi mirip batu bata. Awalnya liat dan lemah, sebelum akhirnya dibentuk-dijemur -dibakar oleh pengalaman dan petuah. Tapi sewaktu-waktu kita bisa pecah terbagi, dijadikan tanah liat lagi lalu dibentuk kembali oleh hari. Terus begitu hingga kita cukup padat untuk disandingkan dengan batu bata lain, mengikat menguatkan untuk menjadi satu bangunan. Atau sebelum jatuh sendiri, baiknya si batu bata langsung saling digabungkan saja ya? Mungkin keduanya sama baiknya untuk batu bata. Tapi kasihan batu bata, kalau sedang hujan begini, kira2 apa dia masih diproduksi?
0 notes
Text
Aku dan Es Krim
Senangnya aku makan es krim meski ukurannya minim : bentuknya persegi dengan tiga rasa warna-warni tapi sungguh, ini kecil kali! Paling tidak dibandingkan es krim mu yang satu gelas tinggi, penuh dan berisi. Yang pada akhirnya tetap saja aku mintai, haha. Buatku yang punya gigi sensitif, makan es krim tidak semudah menggigitnya secara aktif. Aku akan memilih es krim yang teksturnya lebih mudah kumakan sekali hap, agar aku tidak kesakitan dan bisa makan dengan lahap. Tapi pada dasarnya es krim itu semuanya enak, dan semua orang suka. Kadang aku bertanya-tanya, ada tidak ya yang seperti es krim : tanpa usaha lantas dengan mudah disukai dan dicari-cari. Yang karyanya selalu dihargai, yang pendapatnya selalu disetujui, atau yang pencapaiannya selalu dipuji. Enak sekali ya jadi orang seperti itu, pasti bahagia terus sepanjang waktu. Tapi tunggu, hakikat bahagia itu kan datang bukan dari apa yang dilakukan orang. Bukan dari dihargainya tapi dari karya nya, bukan dari dipujinya tapi dari pencapaian nya. Jadi kalau misal dicela-dikritik-diremehkan-dibenci : asalkan kita tetap merasa bahagia dan bisa mengambil pelajaran, isokeeeey!
0 notes
Text
Aku dan Sepeda Motor
Benda yang patut diapresiasi paling banyak salah satunya si sepeda motor. Mengantarkanku sampe jauh : berkilo-kilometer menuju gunung kidul, berjam-jam kubawa lewat jalanan semarang-jogja yang mantul -- meski lebih sering ratusan meter ke indomaret yang dekat betul. Tapi motorku yang sudah tujuh tahun umurnya, tetaplah amat berjasa. Maka, terimakasih ya. Juga untuk selalu tetap setia meski sering kubawa jatuh : entah kepleset atau terserempet atau terseret -- pokoknya segala bentuk kecelakaan lalu lintas yang tidak perlu, terjadi padaku yang nekat dengan kecepatan yang terlalu. Meski setirnya tak lagi lurus, mesinnya tak lagi bagus, dan bannya sampai sudah mulus. Tetap akan jadi kendaraan yang kupakai terus. Maka, terimakasih ya. Sama seperti pada sepeda motor, aku juga ingin berterimakasih pada teman-temanku untuk segala kebaikan terhadapku yang tanpa tandingan : membangunkan, mengingatkan, menyesuaikan, menumbuhkan, mendewasakan, serta melapangkan . Meski seringkali beda pandangan, kita tidak memilih memperdebatkan tapi mencoba mendengarkan. Dan itu lebih dari apapun, lebih dari mendabat hadiah saat beli sabun atau asiknya membuat pantun. Maka, terimakasih ya.
0 notes
Text
Aku dan Bandana
Sekarang mungkin sudah terabai, tapi dulu bandana jadi barang yang rajin kupakai. Bandana merapikan helai-helai, membuatnya tidak terburai. Bandana menemani saat tinggiku masih sekian senti, aktif bergerak ke sana kemari. Selain memakai bandana, favoritku adalah dikepang dua atau cukup dikucir kuda. Kalau sudah begitu aku akan dengan sigap memanjat pohon jambu dan rambutan, lalu menemani teman-temanku menggembala kambing dan bebek peliharaan. Sesekali aku turun ke kali mencari udang, atau diam-diam mengambil tebu di kebun orang. Nanti kalau sudah hampir maghrib, ibu akan menungguku di depan pintu lalu menyuruhku mandi karena badanku kotor dan bau. Tapi ia tau aku bahagia, karena malamnya aku akan banyak bercerita. Ingatan masa kecil kita bisa jadi penuh tawa dan sukacita. Beberapa bisa jadi berisikan trauma. Tapi ingatan itu mau tidak mau ada di sudut kepala dan sering muncul tanpa diminta. Ingatan masa kecil kita agaknya sudah banyak berperan, membentuk kita sekarang dengan macam-macam kepribadian. Bila dalam ingatan itu ada sedih-marah-kecewa-kalut-cemas-takut : maafkanlah. Karena dengan mengikhlaskan, hidup ini bisa kita lanjutkan.
0 notes
Text
Aku dan Selimut
Bila ingin bangun pagi, yang paling suka menghasut tentu saja si selimut. Ia pasti akan membisikkan untuk nakal karena bahannya yang hangat dan tebal : membuat sulit disadarkan. Selimut juga melindungiku dari nyamuk-nyamuk bebal, menjadi yang kubutuhkan mengalahkan guling dan bantal. Bila kena demam tinggi, selimut jadi yang kurindu selain ibu dan segelas susu. Selimut juga membantuku menstabilkan suhu : karena hangatnya bikin aku berkeringat lalu demamku jadi turun beberapa tingkat. Kalaupun tidak ada keluhan di badan, selimut akan dengan sukarela menghadangku dari kipas angin teman atau AC yang dinginnya kelewatan. Kalau aku perhatikan, banyak orang-orang yang menjadikan dirinya seperti selimut : misal ibu di ujung jalan yang kehujanan karena mantelnya dipakai si anak yang baru saja menyelesaikan pelajaran. Dan banyak lainnya yang tak muat bila semua kusebutkan. Mungkin tidak semua bernasib baik seperti selimutku yang masih kurindu. Karena beberapa manusia yang berkorban, malah cenderung dilupakan. Dan beberapa yang diingat, hanya dikenang sekelebat. Tapi yang kuyakini dari orang-orang seperti ini, adalah bahwa mereka berbuat dengan seluruh sanubari.
0 notes
Text
Aku dan Penggaris
Ingatanku pada penggaris bukan tentang badannya yang lurus atau tepiannya yang mulus. Tapi konsistensinya yang super padat : digunakan pak guru untuk memukul jari-jariku yang kukunya ketahuan tidak dipotong selama seminggu. Sejauh yang kuingat, rasanya tidak nikmat. Selain itu, penggaris juga mengingatkanku pada ukuran-ukuran yang tidak aku suka : tinggi badan, berat badan, ukuran lengan. Karena semuanya di bawah batas anjuran dan aku jadi seolah-olah kurang asupan. Padahal, genetik itu jadi faktor yang cukup berperan namun ya bagaimana, mana bisa kita salahkan. Lalu penggaris juga menjelma ukuran-ukuran di dunia yang rasanya makin tidak relevan : ketampanan, kemapanan, bahkan kecerdasan. Semua itu tidak ada artinya kalau hati masih baik-baik saja melihat kanan-kiri kelaparan dan kedinganan dan kesulitan dan an-an lainnya yang nyata ada di pandangan. Kalau nanti saat punya banyak kepemilikan, kamu bilang akan bangun jembatan dan memperbaiki jalan dan buat panti asuhan. Aku mengiyakan tapi mungkin aku akan mulai dari tetangga depan belakang kiri dan kanan. Impianku tidak tenar, impianmu di luar nalar : mari wujudkan, mari mengusahakan.
0 notes
Text
Aku dan Jam Dinding
Benda paling penting yang ada di dalam rumah sejauh ini adalah jam dinding. Ia memberitahuku kapan harus mandi dan sarapan pagi, kapan aku harus berdoa lima kali dalam sehari. Ah, dia juga mengingatkan kapan kartun favoritku akan muncul di televisi. Saat kecil dulu, aku suka berdiam diri di depan jam dinding demi menghitung berapa lama lagi ibuku muncul di depan pintu. Atau kapan kereta papaku sampai di stasiun tugu. Tapi mungkin hari-hari ini sedikit berubah : ibuku yang berdiam diri di depan jam dinding demi menunggu kapan aku menelfon meminta doa untuk ujianku. Atau pesanku meminta uang di setiap tanggal satu. Saat ini, jam dinding di rumahku lebih terdengar suara detiknya karena penghuninya hampir tinggal satu : hanya menunggu waktu kapan aku dan adikku memulai hidup baru. Padahal dulu suara jam dinding kalah dengan suara sendok yang bertemu piring dan telefon berdering dan panggilan ibuku yang terlampau nyaring. Entah berapa lama lagi jam dinding bertahan untuk menjadi saksi atas kejadian-kejadian penting : kedatanganmu, kepergianku yang sendu, dan tangis ibuku yang aku yakin tidak akan menggugu. Nanti saat itu terjadi, aku berencana akan membelikannya jam dinding baru, yang suara detiknya sepi, agar ia tidak merasa sendiri.
0 notes