#90harifiksiseru
Explore tagged Tumblr posts
memelukmimpi · 6 years ago
Text
Hidup yang Tak Hidup (III - habis)
Menjadi satu-satunya perempuan di rumah bukan perkara mudah. Apalagi untuk remaja seusiaku. Semua pekerjaan rumah, akulah yang memegangnya. Di kampung kami, pembagian kerja dalam keluarga sudah sangat jelas. Laki-laki akan pergi keluar rumah. Entah memetik pala, cari kayu, memancing, atau apalah. Sedangkan, perempuan bertugas urus pekerjaan domestik.
Tak ada lagi waktu untuk berhaha-hihi dengan teman sebaya. Aku sudah seperti seorang ibu karena memang menggantikan posisi mama. Mengurus dua anak laki-laki dan menyiapkan segala keperluan suami, haha iya bapakku. Aku jalani tiap hari rutinitas yang tak banyak berubah. Memasak, mencuci, menyapu, membereskan rumah, momong anak, dan segala aktivitas khas rumah tangga.
Capek? Iya! Kadang aku merasa iri dengan Mega tetangga sebelah. Dia seusiaku dan mampu melanjutkan sekolah hingga SMA di kota. Kalau sudah jatahnya pulang kampung, obrolannya selalu saja tugas sekolah lah, gebetan lah, facebook, guru olah raga ganteng dari Jawa, dan bla bla bla. Kebanyakan roaming-nya. Banyak melongo lah aku kalau diajaknya cerita.
Aku bernafas maka aku ada. Namun, hidupku seperti tak benar-benar hidup. Sering aku merasa bimbang, hidup ini untuk apa sebenarnya? Apa yang aku cari? Kalau sudah begini kadang aku berfikir, beruntung sekali menjadi mama. Sudah bahagia entah di alam mana?!
“Miah… miah….!” Suara salim dari dalam rumah sungguh mengejutkanku. Membuyarkan lamunan bersama teman-teman ilusiku. Aku kaget. Buru-buru meletakkan sapu lidi dan menyenderkannya di tiang jemuran depan rumah.
“Iyooooo… tunggu dolo….” Aku terbirit masuk ke kamar menemui Salim.
“Eh, beta pu adik ganteng su bangun!” (Eh, adik gantengku sudah bangun!). Tangan salim merentang, memberikan isyarat padaku. Aku menyambut, menyelipkan telapak tanganku di ketiak salim, lalu membopongnya.
“Adik kakak trakosong, su bangun ini!” (Adik kakak keren sekali sudah bangun!). Aku menggodanya, menggeleng-gelengkan kepala setengah berjoget. Senyumnya melebar, dia terkekeh, gigi atas depannya yang tanggal terlihat seperti huruf U terbalik. Manis dan imut sekali.
“Plak, plak, plak!!” Tangannya mendarat keras tak beraturan di kepalaku sambil tertawa puas. Adooh, Tuhane, ini anak hobi sekali memukul kepalaku.
Sambil menggendong salim, aku menuju dapur. Mengambil teh yang sudah mengembun di mulut gelas bercorak bunga warna-warni. Aku bantu meminumkan sarapan pagi itu ke Salim.
Kusodorkan dua potong pisang pada Salim. Tangan kirinya langsung menggamit kedua pisang itu sekaligus. Sepertinya anak ini sudah sangat kelaparan. Wajahnya berbinar selepas menyelesaikan gigitan pertamanya.
“Eh Salim, ko pakai tangan baik e kalau makan. Kanan kah atau kiri?” (Salim, ayo kalau makan yang baik pakai tangan mana, kanan atau kiri?) Nasehatku pada bocah menggemaskan itu. Salim tak acuh, seperti tak mendengar titah yang baru saja kusebutkan.
“Turun e, bisa jalan sendiri tho, mari kakak pi cuci di sumur dulu!” (Turun yu, bisa jalan sendiri kan, yuk ikut kakak mencuci di sumur!). Aku membimbingnya turun, kubereskan piring dan gelas bekas sarapan, Salim berlari kecil menuju bagian depan rumah.
Kami tak punya kamar mandi. Jarang sekali orang di kampung memiliki ruangan privasi seperti itu. Satu-satunya rumah yang punya fasilitas itu adalah rumah milik Pak Salman. Rumah panggung di tengah RT 1 itu seringkali kedatangan orang-orang kerja dari luar pulau. Mungkin itu salah satunya alasan kenapa dia punya kamar mandi.
Oh iya, satu lagi rumah dinas guru. Meski sudah jarang dipakai, tapi WC di rumah guru masih bisa dipakai. Ngomong-ngomong tentang WC, Cuma ada 3 WC di kampung ini. Satu di rumah guru, 1 di sebelah sumur RT 1, dan terakhir di sebelah sumur RTku, RT 2.
Mohon maaf, warga sini jarang sekali memakai WC untuk buang hajat besar. Kami memiliki tempat pembuangan berjamaah di ujung cadas sebelah kuburan. Batu-batuan di pinggir pantai itu akan menjadi bilik-bilik jamban jika ada yang buang hajat bersamaan. Kotoran akan langsung tersapu ombak dan dimakan biota-biota laut. Jika sedang meti atau air surut, maka kotorannya akan mengendap bersama pasir-pasir pantai.
“Aslamiaaah… Mari sini!” Teriak mama Muna dari sebelah sumur. Di sisi yang lain sudah ada mama Badariyah. Ah, masih ada sisi yang kosong untuk aku mencuci. Mama Muna selalu menyisakan tempat untukku, jadwal mencuci kami hampir selalu sama tiap harinya.
“Terimakasih lai mama baik hati yang selalu senyum ini!” Kuletakkan dua ember di hadapanku. Salim kubiarkan bermain-main di dekat kami mencuci.
“Eh mama, betul kah ada guru baru?” Tanya mama Bada ke mama Muna. Aku mengernyitkan kening. Ada apa kah, kenapa guru baru lagi? Kepala sekolah sudah pension kah apa? Pikirku.
“Ish… Iyo, be denger lai dari pak mantan!” (Ah, iya mungkin. Saya juga dengan dari pak mantan kepala desa). Jawabnya sambil sibuk mengucek sarung dengan kedua tangannya di atas papan cuci.
“Untuk apa lai kalo ada guru, tapi tara mengajar. Formalin saja!” Mama Bada menimpali.
“Formalitas mungkin mama maksudnya. Formalin itu pengawet!” Suaraku mengayun khas logas Papua, mengoreksi yang baru saja dikatakan mama Badariyah.
Kepala mama Bada memantul ke atas sekali. “Ah, itu sudah!!” kekehnya lepas. Tawa kami pun pecah.
“Baru, dari mana lai guru baru itu mama, ibu kah bapak?” (Lalu, dari mana asal guru baru itu mama, ibu atau bapak gurunya?). Aku menyelidik. Berharap mama Muna menjawab: seorang ibu guru yang datang dari Jawa.
“Tau e… dong bilang bapak kah. Dari Jawa kah apa!” (Entahlah, katanya sih bapak guru dari Jawa). Tungkasnya sembari membilas kaos partai milik suaminya.
(Bersambung)
***
Chapter1 Selesai.
0 notes
memelukmimpi · 6 years ago
Text
Hidup yang Tak Hidup (Part 2)
Ombak berkejaran pelan membentur bebatuan talud seperti tak berdaya. Tampiasannya memerciki pilar-pilar kayu rumah bagian dapur. Suara angin yang berkejaran bersama riak pantai menambah syahdunya subuh kami. Aku menghirup dalam-dalam udara segar pagi ini, kemudian menghempaskannya perlahan. Pagi ini aku siap memulai aktivitas kembali.
Ohya, aku belum cerita kalau aku tinggal di kampung Urat. Salah satu kampung di distrik Fakfak Timur Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat. Kampung kecil yang terletak di ujung tanjung pulau Semai. Rumah kami berjejer di bibir pantai pasir putih yang dihimpit pulau-pulau kecil yang kaya akan hasil alamnya.
Satu-satunya moda transportasi yang bisa menjangkau kampungku adalah Jonson, perahu mesin. Entah sejak kapan kami menyebutnya Jonson. Cerita dari mama, dulu sekali merek mesin atau motor penggerak perahu kayu itu namanya Jonson, makanya orang Fakfak menyebutnya Jonson.
Ada dua jenis Jonson. Kayu dan Fiber. Umumnya, Jonson kayu dibuat lebih lebar dan bisa muat banyak orang. Rata-rata, perahu kayu memiliki lebar kurang lebih 50 sentimeter dengan panjang bervariasi antara 5 hingga 8 meter. Untuk muatan penumpang, bisa diisi hingga 25 orang atau tergantung barang bawaan kami.
Sedangkan Fiber, biasanya berukuran lebih kecil. Meskipun lebarnya sama, Jonson fiber relatif memiliki panjang yang lebih pendek. Secara berat, perahu fiber jauh lebih ringan dari pada jenis kayu. Maka, lajunya pun bisa lebih gesit.
Jika ombak sedang bagus, perjalanan dari kota Fakfak ke kampungku bisa ditempuh dalam waktu 2 hingga 3 jam. Tak ada pelampung, tak ada obat antimabuk. Salah satu peralatan safety kami adalah timba ruang. Sejenis gayung yang dibuat dari jirigen minyak atau oli untuk menguras tampiasan air yang masuk ke perahu saat perjalanan.
Ngomong-ngomong, hanya kaum adam yang bisa mengendarai jonson. Aku pernah meminta bapak untuk mengajariku mengendalikan jonson. Bapak bilang, pekerjaan dapur lebih cocok untuk anak perempuan sepertiku. Aku tak pernah sekalipun belajar mengendarai jonson. Iri sekali dengan kakakku Rahim yang sudah bisa memakai jonson sejak lulus SMP.
Aku sudah sangat lihai mengurus urusan rumah dan dapur sejak 10 tahun. Meski begitu, masakanku selalu kalah enak dengan mama. Padahal, bumbu sama, bahan sama, pengolahan sama, tapi ternyata di tangan yang berbeda, hasilnya pun akan berbeda.
Aku undur diri selepas langit berubah warna menadi kuning keemasan. Bulan bundar sempurna masih terlihat serupa bola-bola sabun. Kapal-kapal pemburu kerapu berlayar pelan dari kejauhan menuju utara, mencari sekawanan hewan laut yang masuk kriteria tangkapan mereka.
Sudah saatnya menyiapkan hidangan pagi. Tangan kecilku memilah-milah kayu bakar yang tertata rapih di atas rak perapian. Kudapatkan 5 batang kayu yang sudah dibelah sebesar pemukul kasti. Kubariskan kayu-kayu ini dengan posisi perapian di bawah 2 bilah besi yang menjadi topangan panci atau wajan. Kemudian, kubakar dengan korek dan bantuan minyak tanah sisa lentera semalam.
Tak ada kompor gas atau kompor minyak. Semua orang di kampung Urat menggunakan kayu bakar, dan tiupan yang dibuat dari bambu untuk menjaga nyala api tetap bagus.
“Teh bapak… Pisang lai ada!” (Silahkan diminum tehnya pak, ada juga pisang goreng). Kataku di tengah kepulan asap yang baru saja bapak luncurkan dari mulutnya. Lintingan rokok dari kertas dan tembakau kering favorit bapak selalu favorit menjadi hidangan pembukanya.
“Iyo, terimakasih lagi!” (Iya, terimakasih banyak). Kepalanya memantul sekali ke atas, matanya membidik satu posisi di sebelah tempat duduknya. Artinya, letakkan saja di situ. Kuletakkan sajian sesuai permintaan.
Aku kembali
0 notes
memelukmimpi · 6 years ago
Text
Hidup yang Tak Hidup (Part 1)
Halo, perkenalkan namaku Aslamiah. Usiaku sekarang genap 16 tahun. Anak tengah dari 3 bersaudara. Tahun lalu aku baru saja menyelesaikan pendidikan SDku. Jangan heran, di sini masih sangat wajar lulus SD di usia 15 tahun. Kakak sepupuku bahkan lulus SD saat ulang tahunnya menginjak 19. Usia yang seharusnya sudah lulus SMA.
Aku berhenti sekolah karena kupikir sekolah itu membosankan. Apa asyiknya melakukan kegiatan menyalin tulisan dari papan tulis? Atau mendengarkan ceramah dari guru? Setiap hari, dari pagi hingga siang. Bosan sekali kan?! Itu masih bagus. Lain cerita kalau pak guru sudah emosi karena anak-anak mulai ribut di kelas. Tak ada ampun lagi bagi kami. Satu-satunya senjata yang dia gunakan dan paling menakutkan adalah tongkat rotan. Tongkat mengkilat itu bisa menampar bokong anak-anak berkali-kali hingga memerah.
Belum ada satu guru pun yang membuatku semangat belajar. Satu-satunya alasan yang membuatku masuk kelas adalah mama. Mama adalah segalanya buatku.
“Aslamiah, ayo bangun yuk!” Mama menepuk punggungku dengan lembut. Mama selalu gagal membangunkanku di tepukan yang pertama.
“Aslamiah, mama su buatkan pisang goreng!” Mama menyodorkan piring seng ke depan wajahku yang lengket. Di atasnya mengepul pisang goreng yang baru saja dimasak dengan kayu bakar. Baunya terasa sekali manis, makanan ini adalah favoritku.
“Aslamiah masih mengantuk, mama!” Jawabku sambil melirik ke arah sajian yang mama bawa. Aku tergoda dan ingin langsung mengambilnya.
“Eeeeh, ko tak boleh makan. Mandi dolo e!” Tanganku gagal meraih pisang kesayangan. Tenagaku belum sempurna terkumpul. Tangan mama sigap sekali mengalihkan pisang-pisang cantik itu.
“Mama, cerita dolo boleh! Be mo dengar mama pi jalan-jalan ke Jawa!” (Mama, cerita dulu sebentar. Saya mau dengar cerita saat mama pergi jalan-jalan ke Jawa). Pintaku dengan sedikit mengayun suara lembut. Biar seperti anak-anak di Jawa yang bisa manja-manja dengan mamanya. Aku selalu suka cerita mama saat dia di Jawa.
“Iyo, sebentar. Ko mandi, baru be cerita! (iya, nanti, Kamu mandi dulu setelah itu saya cerita).  
Dia tak pernah marah, sekalipun tak pernah membentakku. Dia seperti bukan orang-orang kebanyakan di kampung ini. Ketika aku mulai nakal, mama selalu bercerita, apapun dia ceritakan. Tentang masa mudanya, pertemuan dengan bapak, prosesi kelahiran anak-anaknya, perjalanan ke kota, apapun itu. Aku suka, aku suka sekali mendengarkan cerita.
Setelah lulus dari SD, aku hanya di rumah membantu mama melakukan pekerjaan rumah dan mengasuh adik kecilku yang masih 4 tahun. Jauh sekali memang jarak usiaku dengan adikku. Mama sempat 3 kali mengalami keguguran dan 1 kali melahirkan adik bayi perempuan namun dalam keadaan meninggal. Lehernya terlilit tali pusar saat lahir. Aku sedih sekali saat itu karena aku ingin sekali memiliki adik perempuan. Salim, adik laki-lakiku ini sangat nakal. Suka sekali berteriak dan memukul siapa saja yang ada di dekatnya. Hhh.. aku benar-benar tak paham dengan anak kecil ini.
Satu-satunya yang kupahami adalah Salim mungkin kehilangan mama. Sejak seminggu yang lalu, mama telah pergi meninggalkan kami semua untuk selama-lamanya. Tiap malam, bapak hanya memandang lautan dari teras belakang rumah. Nafsu makannya menurun drastis, lebih memilih tidur atau melamun di ruang tengah saja. Padahal, jika ombak sedang bagus seperti mala mini, bapak pasti semangat untuk melaut, mencari ikan atau sontong kesukaan mama.
“Bapak tara cari sontong?” (Bapak tidak melaut mencari cumi?) Tanyaku lirih, memastikan bapak masih terjaga. Tubuhnya meringkuk berbantal lengan kanannya yang berotot di atas tikar pandan.
Bapak hanya menggelengkan sekali kepalanya, seperti ada yang menahan. Suaranya tak keluar. Aku menghela nafas panjang dan melempar pandangan ke ruangan sebelahnya. Di sana Salim sudah tertidur pulas. Aku perlahan mendekatinya, melangkah setengah mengendap agar lantai kayu tak menimbulkan suara berdecit. Aku memposisikan diri, meletakkan semua berat beban tubuhku di atas tikar pandan. Ya Tuhan, kenapa hati ini terasa berat sekali ketika mengingat mama.
***
(Bersambung)
0 notes