#30dwcjilid22
Explore tagged Tumblr posts
Text
Pilu yang Bisu
Gadis itu terisak di dalam salatnya
Lalu ia keluar ke beranda musala
Melanjutkan isakan yang tak dapat dihentikan
Gadis itu melawan hatinya
Tak mau menangis
Tak mau terlihat menyedihkan
Gadis itu tak paham
Ini apa sebenarnya
Seperti sudah lama tak merasakan haru sedalam ini
Namun di saat yang bersamaan, kenyataan memang sedang mengerjainya
Gadis itu dihadapkan dengan hal yang penuh paksaan
Ia harus bersedih
Seperti harus meluapkan apa yang selama ini ditahan
Namun bukan ini yang ia inginkan
Gadis itu menjadi pusat perhatian
Mukanya memerah, hidungnya apalagi
Air matanya seketika berhenti
Tak mau terlihat menyedihkan
Tapi di sudut yang paling sepi
Bendungan itu tak tertahan lagi
Ia menumpahkan segalanya
Sejadi-jadinya
Gadis itu begitu rapuh
Tapi tak ada yang mengetahui
Menerima segala keadaan
Mengapa harus seberat ini
Gadis itu terisak lagi
Ia tak ingin begini
Tak ingin terlihat seperti ini
Menyedihkan
Ia tak mau terlihat menyedihkan
Gadis itu sungguh kuat
Gadis itu sungguh rapuh
Gadis itu butuh ada yang menguatkan di saat rapuh
Akhir Februari, 2020
3 notes
·
View notes
Text
Si Sulung (3-end)
Sang Putri kini sudah tak kecil lagi. Ia tumbuh cantik sekali. Pikirannya sudah mendewasa. Ia hidup dengan prinsip yang telah erat ia pegang. Teringat dulu, salah satu pesan dari Ibu dan Bapak adalah semoga kelak anaknya bukan hanya mampu berguna untuk dirinya sendiri, tapi juga bagi sesama. Begitulah. Waktu terus berjalan menyusuri kehidupan yang kian beragam. Doa Ibu dan Bapak tak pernah menjadi usang, terus mengalir berlomba-lomba dengan keadaan.
-
Memang, dikatakan atau tidak dikatakan, tetap ada yang harus dipertanggung jawabkan sebagai seorang putri pertama di dalam keluarga. Terkadang, rasanya ingin menjadi anak bungsu saja. Dimanja oleh siapapun. Akan terus dijaga oleh banyak orang. Tak akan dibiarkan menanggung beban sendirian. Walaupun tak semua anak bungsu seperti itu, tapi setidaknya mereka mempunyai kesempatan untuk melakukannya.
Sejauh ini, Puan telah mengusahakan yang terbaik untuk menuntaskan apa yang sudah Puan mulai dan mendapatkan apa yang Puan cita-citakan. Kegagalan, kekurangan, kekecewaan, tak akan ada yang mampu menuju kesempurnaan. Tak apa bila sesekali merasa kurang, tapi jangan biarkan itu menghambat pandangan Puan ke depan.
Puan, jangan terus-terusan merasa tak bisa diandalkan. Lihatlah di sana. Ibu dan Bapak sudah bangga melihat apa yang telah Puan raih. Adik-adik sudah tersenyum riang karena mereka tahu bahwa mereka tak pernah kekurangan perhatian dari kakaknya. Apa lagi yang Puan cari?
Puan sudah berguna, setidaknya bagi keluarga. Tawa mereka yang terukir, rasa bangga, rasa bahagia, semuanya telah lunas Puan usahakan. Berhentilah merasa tak berguna hingga begitu terbebani. Hidup di dunia tak akan pernah memuaskan. Rayakan pencapaian yang Puan hasilkan, sekecil apapun itu. Bila kematian tiba, saat Puan tak ada lagi di dunia, semoga Puan dikenang dengan raut bahagia oleh orang-orang yang mengenal Puan, oleh Ibu, Bapak, dan adik-adik.
Berbahagialah, Putri Sulungku.
2 notes
·
View notes
Text
Melapangkan Kalbu
Ada yang berkali-kali dipelajari, berkali-kali disesali, berkali-kali juga diulangi. Ada yang tak dapat dikendalikan, meluap tanpa bisa ditahan. Kadang menggebu-gebu tanpa ingat sekitar, hingga merembet ke banyak hal.
Adalah amarah yang selalu mendesak keluar, melegakan di awal, lalu menyesal kemudian. Sering kali ini dikaji, bagaimana sebenarnya cara menahan amarah yang efektif. Bagaimana meredakannya, dan bagaimana pula agar ia tak mudah datang kembali.
Berkali-kali juga Puan mengingatkan diri sendiri, kan? "Jangan marah, jangan kesal, jangan sebal." Begitu terus. Memangnya sebegitu susahnya, ya, Puan?
Hehe, seharusnya ini tak perlu ditanyakan. Kalau mudah, tak mungkin juga Puan merapalkan mantra itu terus-terusan. Maaf, ya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, seorang lelaki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku wasiat.��� Beliau menjawab, “Janganlah engkau marah.” Lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, (namun) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (selalu) menjawab, “Janganlah engkau marah.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 6116].
Ternyata Nabi saja pernah berwasiat tentang marah. Itu artinya marah ini bukanlah hal sepele. Sekali kita marah, bisa saja berpengaruh ke banyak hal. Suasana menjadi tidak enak, hubungan menjadi renggang, kata-kata buruk terkendali, ada hati yang terluka. Lalu apa yang diharapkan dari amarah bila hanya kita yang merasa lega, sementara orang lain menjadi kesal dibuatnya?
Puan, ternyata ini alasannya Nabi berwasiat seperti ini. Amarah itu besar juga dampaknya.
Maka, Puan, saya mengerti bahwa hal ini tidak lah mudah. Butuh kesadaran dan pembelajaran seumur hidup. Janganlah bosan untuk terus berusaha. Tak apa bila harus diam sesaat. Tak bila harus keluar sejenak membasuh muka. Tak apa bila harus menjauh. Tak apa. Karena bukan main, balasannya surga.
2 notes
·
View notes
Text
Yang Abadi
Semua hanya tentang waktu. Pada akhirnya tak ada satu pun yang abadi di dunia ini. Perlahan semua akan berlalu, diambil oleh Penciptanya.
Berapa banyak orang-orang yang hari ini bergembira, lalu semenit kemudian tak lagi bernyawa? Berapa banyak keuntungan yang hari ini melambung tinggi, lalu semenit kemudian merugi, lenyap begitu saja?
Harta yang habis, kolega yang tak lagi peduli, sahabat yang menjauh, keluarga yang tak acuh, semua dapat terjadi atas kehendakNya dalam sekedip mata.
Lalu apa yang mesti dibanggakan dari dunia bila kita tak punya kuasa untuk mempertahankannya?
Apa yang terus berusaha kita bangun bila ada yang mampu meruntuhkannya tanpa lebih dulu bertanya?
Mengapa begitu angkuh padahal apa yang didapat tak sepenuhnya murni dari usaha sendiri?
---
Maka, Puan, ikhlaskan lah yang pergi pada hari ini. Setiap yang bernyawa, pasti akan mati. Bukan begitu? Dan sebaik-baik nasihat, ialah kematian. Benar, kan?
Doakan segala apa yang telah tiada. Memang sudah begitu jalannya, bahwa tak ada dan tak kan pernah ada yang kekal di dunia ini. Semua akan pergi bila waktunya telah menghampiri.
Maka, Puan, relakanlah. Lapangkanlah hati Puan. Tak ada gunanya meratapi diri yang tak punya kuasa untuk membuatnya kembali. Ambillah ini sebagai hikmah kehidupan. Seseorang yang kita cintai, akan pergi. Harta benda yang kita miliki, akan habis tak berarti.
Pada akhirnya kita juga akan pergi. Jangan bergantung pada diri. Letakkanlah segala pergantungan hanya kepada Yang Maha Abadi.
2 notes
·
View notes
Text
Yang Disesalkan
Ada yang terus berlalu, tak peduli segala duka dan sembilu. Ada yang tak mau menunggu, tak peduli bagaimana rasanya hanya menjadi masa lalu. Ada yang terus melaju, tak peduli sebutuh apa Puan dengan waktu.
Puan, sudahlah. Kalau tak bisa bercengkerama dengan waktu hari ini, setidaknya jangan lewatkan pula hari esok. Kalau hari ini memang berlalu, setidaknya besok masih panjang. Langit masih terbentang. Jangan pernah memutuskan harapan di tengah jalan.
Puan, hari ini memang terlewatkan sia-sia. Tak ada pekerjaan yang bermakna. Dari tadi, terlalu sibuk di depan layar kaca. Hingga waktu berharga telah berlalu, tak ada lagi kata bisa menunggu.
Puan, apakah ini akan terjadi terus menerus? Sudah tahu bagaimana rasanya tertinggal dan ditinggalkan, masih saja bebal dan bergelayut dengan rebahan. Tidak adakah hal lain yang lebih baik dari sekadar berjalan di dunia maya? Atau dari sekadar rebahan? Atau dari sekadar menggantungkan harapan tapi tak kunjung diwujudkan?
Carilah yang lebih baik dari itu, Puan. Setidaknya hidup ini lebih bermakna dari yang biasanya Puan keluhkan.
"Eh, bajunya bagus. Eh, matanya juling. Eh, kulitnya menghitam. Eh, dia julid." Tak sadar, dia sendiri yang menghabiskan waktu untuk julid.
Baiklah, Puan. Maaf bila terlalu banyak mencecar. Ya, gimana, ya. Puan dari tadi sibuk menyesal, padahal itu kesalahan yang telah diciptakan berulang-ulang. Sekarang, lihat ke depan. Tak ada gunanya memikirkan waktu yang terbuang. Segala kesempatan emas telah kita lewatkan, tapi masih banyak kesempatan emas lainnya yang terbuka di depan. Bintang masih berkilau. Langit masih terbentang. Matahari masih terbit.
Ini. Ini jadwal Puan ke depan. Sudah ada daftar yang harus dicentang. Mari terus berjalan. Kita mulai lagi, ya, Puan?
2 notes
·
View notes
Text
Kasih Tak Sedarah
Hidup di rantau tak pernah menjanjikan kemudahan. Tak pernah menjanjikan akan selalu ada yang menemani untuk berjalan berdampingan. Tak pernah menjanjikan untuk menghadirkan seseorang di kala kesepian atau pun kesusahan.
Mau dibilang keras, tapi tak pula sekeras itu. Mau dibilang gampang, tapi tak juga segampang itu.
Tapi, percayakah Puan bahwasanya di mana pun kita berada, kita tak akan pernah sendiri? Ada Allah yang selalu menemani. Maha Baiknya Allah, Dia juga tak akan membiarkan Puan sepi dan menanggung beban seorang diri. Akan Dia hadirkan orang-orang baik, yang entah dari mana asalnya, mereka datang dengan berjuta ketulusan.
Di mana pun itu. Di mana pun Puan berada, akan selalu ada orang-orang berhati tulus. Memberikan perhatian di saat bersedih, memberi pertolongan di saat semuanya terasa kian perih.
Mereka penuh kasih. Walau tak lahir dari rahim yang sama, mereka sedia memberi tempat ternyaman saat perantauan semakin diracau berbagai gangguan. Bila sakit, saling merasa. Bila senang, saling berbahagia.
Walau darah yang mengalir berbeda, tak pernah ada kata enggan untuk saling ada. Berbagi waktu bersama, suka dan duka. Tak pernah meminta apa-apa, hanya satu alasannya. Mereka ialah manusia-manusia surga.
Maha Baik Allah.
Di mana pun itu, tak ada lagi alasan untuk ketakutan dan hidup dalam keraguan. Orang-orang baik itu, adalah bukti bahwa Dia Maha Rahman. Tak kan pernah dibiarkanNya kita sendirian.
2 notes
·
View notes
Text
Gadis Lucu
Dunia begitu ramah. Apa yang berat, tak pernah menjadi beban. Apa yang rumit, tak pernah menjadi masalah. Ke sana ke mari, tak ada mata sinis yang memandang. Tak ada mulut usil yang senang mengarang. Semua perhatian tertuju padanya. Sempurna. Penuh suka dan cita. Ia gadis yang lucu.
Itu dulu.
Saat yang berat tak terasa. Saat yang ringan seperti tiada. Saat mata-mata itu masih menggemas ke arah langkah. Saat mulut itu masih senang melontarkan pujian dan rapalan doa. Kepada gadis itu, gadis yang lucu.
Dulu.
Itu telah berlalu.
Kini, ia bukan lagi gadis lucu berwajah ayu. Bagi mereka, ia adalah sebuah harapan yang harus menjadi nyata. Ketika pulang, harus mengabarkan berita gembira. Lulus pegawai negeri, gaji besar, bisa lah untuk sekadar dibagi-bagi, dapat pula suami orang kaya, kaya hati dan materi.
Begitu yang mereka harapkan. Kalau itu tak didapati, kemana gadis yang dulu lucu bagi mereka itu harus pulang kembali. Kampung halaman, dulu menjadi tempat yang paling dirindukan. Sekarang, menjadi enggan untuk dijadikan tempat berpulang walau sebentar.
-
Dulu, ia memang masih anak sekolahan. Sekarang ia telah dewasa, harus mengabulkan segala ekspektasi di kampung halaman.
Dewasa begitu rumit.
Orang-orang ini semakin memperumit.
1 note
·
View note
Text
Bunga Tidur
Saat ini, mungkin tak ada yang mau mendengarkan keluh dan kesah. Cerita-cerita pilu, tak ada yang mau tahu. Berhari-hari hati teriris, tapi mereka seperti tak peduli.
Kegagalan. Tak dapat pekerjaan. Percintaan yang gagal. Persahabatan yang memudar. Apa-apa yang dilakukan, salah. Apa-apa yang disampaikan, tak pernah benar.
Adakah selama ini pernah Puan merasa bahagia?
Saya mengerti, tak mudah untuk menjalani kehidupan penuh racun seperti ini. Tapi, Puan. Saya di samping Puan, dan akan selalu begitu. Kalau semua menjauh, maka saya tak akan pernah. Saya tak akan pernah biarkan Puan sendirian.
Beginilah hidup. Kadang, kita memang harus pergi menjauh, tak peduli siapa yang kita tinggalkan dan apa yang kita bawa. Hidup telah begitu rumit, sesak, dan sempit. Setiap hari penuh sandiwara. Tak ada manusia yang tak bermuka dua.
Oh, dunia. Memuakkan, memang.
Semua bagaikan bunga tidur di siang hari,
Meski tak indah, meski tak wangi,
Terasa pahitnya, terasa nyatanya.
Aku ingin terbangun dari petaka ini, bisa kah?
1 note
·
View note
Text
Kicauan Resah
Dari kemarin, Puan menghabiskan waktu untuk menceritakan ini. Berjalan ke sana ke mari, berkeliling tiada henti. Banyak hal yang berkecamuk dalam pikiran, saling mendesak untuk dikeluarkan. Sampai berbuih-buih mulut Puan. Resah. Gelisah.
Salah satunya ini, bahwasanya ketika akan memulai komitmen dalam sebuah hubungan, kita harus benar-benar siap. Paham apa yang menjadi tujuan, dan juga mengapa itu harus dilakukan.
Di dalam hati, ada yang Puan takutkan. Mengapa tak kunjung diberikan jawaban? Mencari pun, susah juga. Pemahaman yang diharapkan, tak kunjung datang.
Mengapa pula harus memiliki komitmen? Mengapa harus ada tujuan? Bukankah sebuah hubungan dapat mengalir begitu saja tanpa diarahkan? Sebegitu pentingnya kah?
Lalu, Puan lihat ada orang yang bahagia dengan hubungannya, dari awal sampai akhir. Ada pula yang hanya bahagia di awal, lalu diakhiri dengan penderitaan. Kenapa, ya, ada sepasang kekasih yang dulu hidup seakan sempurna, bahagia seakan selamanya. Tapi bisa menjadi musuh untuk satu lama lain.
Puan kian resah. Kian gelisah.
Jauh di sana, ada bilik kosong yang masih menunggu untuk terisi. Tak apa kalau memang harus kosong, kita cari lagi nanti.
1 note
·
View note
Text
Candaan Dunia
Ada masanya ketika tawa begitu mudah dilakukan.
Ketika senyuman tak pernah mengandung beban, dan hari esok seakan tak perlu menjadi bahan pikiran.
Ketika teman adalah teman. Tak ada yang bersembunyi dibalik bibir palsu yang menawan.
Ketika uang, belum menjadi masalah besar seperti sekarang.
Bahkan kemarin, masih sempat menikmati kegirangan selepas membuat video sambil berjoget di depan kamera.
Masih sempat menghabiskan waktu seharian di kedai kopi sebelah indekos. Tanpa terpikirkan apa-apa.
Hanya melamun seakan tak ada yang bakal terjadi di dunia.
Lalu berselancar bebas di dunia maya hingga hari benar-benar senja.
Kemarin, hidup masih terasa mudah. Tak perlu bersusah-payah memikirkan ini itu yang tak searah.
Kemarin, hanya tinggal kemarin.
Waktu berputar begitu cepat. Semua berubah dalam waktu singkat.
Tiba-tiba ada beban yang menghimpit, entah dari mana datangnya.
Tiba-tiba ada berita yang begitu pahit, tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Tiba-tiba ditinggalkan, begitu saja.
Tiba-tiba sendiri. Sunyi. Sepi.
Dunia dan seisinya kadang suka bercanda.
Hari ini bahagia, esok tak lagi ada bekasnya di muka.
Hari ini kaya, esok tak ada lagi yang dipunya.
Menjadi melarat yang paling melarat sedunia.
Dunia, nikmatmu begitu sementara.
Candaanmu, sedikit lucu juga ternyata.
Ciputat, 3 Maret 2020.
1 note
·
View note
Text
Linglung
Pasti ada masanya, di mana tak terlintas sedikit pun apa yang mau ditulis. Tak terpikirkan sama sekali apa yang hendak dituangkan. Ditambah lagi rasa ingin berhenti kian meronta-ronta. Memaksa. Mengais-ngais mutiara untaian kata. Ke mana pun perginya, rasanya setiap jalan selalu buntu.
Pasti ada masanya, di mana jalan ini sepertinya cukup sampai di sini saja. Tak ada harapan lagi. Segala daya dan upaya telah terkuras habis. Diri hanya bisa tenggelam. Kian terbenam dalam kebuntuan. Tak ada motivasi untuk bangkit. Tak tentu ke mana arah ingin dituju.
Tak ada ide. Tak tahu ingin menulis apa. Tak tahu arah ceritanya bagaimana. Rasanya konflik dalam cerita terlalu biasa. Tak ada jalan lagi. Tak tahu bagaimana melanjutkannya. Tak tahu pula bagaimana mengakhirkannya.
Gelap. Terlalu gelap.
Maka pada masa-masa itu, ketahuilah. Sesungguhnya hal itu lazim terjadi. Bukan hanya pada saat menulis. Tapi, pekerjaan apapun itu, pasti akan ada masanya mengalami jenuh, segala api semangat di awal perlahan padam, segala ide seakan tak bisa lagi utuh.
Maka nikmatilah. Nikmati waktu dengan diri sendiri. Istirahat sejenak. Sembuhkan segala hal menyesakkan yang mengganggu. Boleh berhenti, tapi bukan untuk selamanya. Coba renungkan lagi, apa alasan untuk kemudian memilih jalan ini? Apakah telah sepenuh hati mengerjakan semuanya?
Pelan-pelan, ya. Jangan terlalu laju berlari, hingga hanyut, dan akhirnya kehilangan diri sendiri.
Pelan-pelan. Coba bangun lagi. Mulai lagi.
Ingat, pelan-pelan.
---
Kan, berapa kali sudah saya sampaikan ini kepada Puan. Janganlah seperti orang linglung karena tak punya bahan. Lihatlah. Jadi juga, kan, apa yang Puan tulis. Berawal dari bingung, jadi juga satu tulisan. Mantap sekali.
1 note
·
View note
Text
Ya, Jalan Terus
Kalaulah seisi dunia berhenti ketika kita berhenti, kalaulah pergerakan di semesta ini tak ada lagi ketika kita memutuskan cukup sampai di sini. Maka, alangkah singkatnya dunia ini. Tak ada yang bisa kita ambil pelajaran. Tak ada yang bisa kita perjuangkan. Tak ada yang namanya kegagalan. Tak ada yang namanya kemenangan.
Lalu, apakah hidup yang datar seperti ini yang Tuhan ciptakan? Apakah sebatas ini tujuan penghambaan?
لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
"Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan." [Âli ‘Imrân/3 : 186]
Ya, setiap kita akan diuji. Dari materi duniawi dan diri sendiri. Maka ketika diuji, lalu kita memutuskan untuk berhenti, akankah kita sampai pada tujuan utama kita?
Lalu, tunggu apa lagi? Cukupkanlah sedihnya. Cukupkanlah penyesalannya. Maafkan segala kesalahan diri. Terima segala kegagalan yang telah terjadi.
Ya, Jalan terus. Tak ada pilihan lain selain jalan terus. Maka akan kamu dapati dirimu yang penuh kesabaran, juga ketakwaan.
1 note
·
View note
Text
Yang 'Sama'
Mungkin sudah sering aku ucapkan kalimat ini kepadamu, secara langsung maupun tidak langsung.
Bahwa suatu hari kita hanya akan dikelilingi oleh orang-orang yang satu frekuensi dengan kita. Mungkin kita bertemu dengan beragam bentuk manusia, tapi hanya yang satu frekuensi dengan kita, itulah yang lebih membuat nyaman.
Mengobrol akan lebih terasa bermakna. Saling mendukung dan saling pengertian. Apapun keluh kesah, selalu didengarkan. Akan menjadi tempat paling aman untuk mengadu segala kebimbangan. Berbagi impian dan makna kehidupan, lalu akan menjadi yang paling mendukung untuk menggapai semua tujuan.
Satu frekuensi, bermakna satu tujuan. Satu visi. Satu impian. Satu frekuensi, bermakna saling siap untuk menjadi garda terdepan dalam menghadapi segala rintangan.
Apa jadinya kalau tak dikelilingi dengan orang-orang yang satu frekuensi? Tentu akan menghambat jalan. Komunikasi menjadi tak lancar. Segala mimpi tak tereksekusi dengan maksimal, dan setiap pergerakan akan penuh dengan kebimbangan.
Pada akhirnya, kita betul-betul butuh orang yang 'sama' dengan kita. Satu frekuensi. Satu visi. Satu misi. Kita memang tak akan mampu hidup sendiri. Maka dari itu, dibutuhkanlah lingkungan. Mencari lingkungan pun, jangan sembarang lingkungan. Sekali lagi, carilah yang 'sama' dengan kita.
Kalau seandainya tak menemukan yang 'sama', lalu apa yang harus dilakukan?
Terus temukan. Mungkin main kita terlalu dekat. Mungkin butuh menjelajah ke berbagai tempat. Karena sekali lagi. Pada akhirnya, kita betul-betul butuh orang yang 'sama' dengan kita.
1 note
·
View note
Text
Kendali-Nya
Ada satu hal yang sering terlupa, bahkan tak dianggap ada. Ada satu hal yang membuat terlena, tapi sejatinya melunturkan rasa percaya. Sering kali manusia lupa. Bahwa apa yang terjadi padanya, sepenuhnya bukan atas kendali dirinya.
Banyak hal yang membuat manusia lupa. Angkuh menyelimuti hatinya. Bahagianya terlalu dalam. Kebanggaannya terlalu tinggi. Kerja kerasnya. Usahanya. Waktu yang ia korbankan. Materi yang ia keluarkan. Keberhasilan yang ia dapatkan. Sempurnanya karena dirinya, begitu anggapannya.
Ada satu hal yang sering terlupa. Ada satu kuasa yang tak dimiliki manusia. Ada satu kendali yang tak dapat dikendalikan oleh sang hamba. Ialah Sang Pencipta. Sang Maha. Maha Segala-galanya.
Maka ingatlah akan satu hal ini. Jika engkau berjaya, semua atas kendali-Nya. Jika engkau dapatkan semuanya di dunia, semua atas kendali-Nya. Pun, jika engkau gagal. Jika engkau tak dapatkan apa yang kau perjuangkan, semua atas kendali-Nya.
Dengan begitu, bila engkau bahagia, tak terlalu jumawa. Bila merana, harapan pasti selalu ada. Karena semua atas kendali-Nya, tak akan ada yang berlebih. Tak akan ada yang berkurang.
وَمَن يَعْتَصِم بِاللَّـهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ ﴿١٠١﴾
“…Dan barangsiapa yang berpegang teguh dengan tali agama Allah maka sungguh ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali-Imran[3]: 101)
1 note
·
View note
Text
Apresiasi Diri
Terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Terima kasih telah berusaha untuk kuat. Terima kasih sudah terus berusaha untuk menjadi baik setiap harinya.
Satu hari, kadang terasa berat. Sudah berusaha untuk menjadi lebih baik, tapi ada saja yang tak bisa dikendalikan. Semua orang tampak mengesalkan. Semua orang tampak mengecewakan, dan rasa marah seakan tak bisa ditahan.
Kadang orang sudah berperilaku baik, hanya saja rasa marah dalam diri tak dapat dikendali. Entah apa sebabnya. Kadang pula, diri sudah berkata yang baik, berbuat yang menyenangkan, tapi ada saja orang yang tak senang. Memang kita tak bisa mengendalikan kata-kata dan perlakuan dari orang-orang, tapi kita punya kendali atas diri kita.
Kuncinya itu, fokus saja pada hal yang membuatmu bertumbuh. Bukan yang malah membuatmu runtuh. Abaikan segala hal yang hanya akan membuang energimu. Berilah apresiasi pada dirimu karena sudah terus berusaha hingga detik ini.
Rasa sakit itu akan hilang seiring waktu. Rasa kecewa dan amarah yang tak tahu datang dari mananya itu, akan segera berlalu. Saat ini, ketahuilah, bahwa dirimu berharga. Tak ada apa yang bisa membuatmu bahagia, kecuali dirimu.
1 note
·
View note
Text
Ruang Sendiri
Mengapa aku selalu ingin sendiri?
Dari kecil aku sudah dibiasakan untuk mandiri. Melakukan semuanya sendiri. Segala macam kegiatan, aku dituntut untuk sendiri. Pergi ke sana ke mari sendiri. Ikut lomba sendiri. Bahkan sering juga ditinggal sendiri. Tentu orang tuaku pernah menemani, tapi hanya sesekali. Orang tuaku bahkan sangat keras dalam hal ini. Aku harus berani, katanya.
Saat itu, dan bahkan sampai sekarang, aku tak mengerti betul apa alasan mereka. Entah mereka terlalu sibuk dan tak punya waktu, atau memang betul-betul ingin mendidik anak sulungnya ini menjadi mandiri. Yang jelas, aku harus berani, begitu katanya.
Ya, sekarang aku memang tumbuh menjadi perempuan yang pemberani. Maksudku, aku tak punya keraguan ataupun ketakutan jika harus pergi ke sana ke mari walau hanya sendiri. Aku tak pernah takut, dan selalu merasa baik-baik saja jika harus tinggal sendiri. Aku selalu sendiri, lalu apakah aku tak pernah merasa sepi?
Tentu saja aku pernah. Sesekali aku menangis karena kedua orang tuaku tak ada di sisi pada hari-hari penting yang seharusnya mereka datang menemani. Seperti waktu pembagian rapor sekolah, pengumuman juara umum, atau saat aku sedang mengikuti perlombaan. Aku merasa sedih sekali. Di situlah aku merasa sepi, walaupun banyak teman yang mewakili, banyak orang yang menyelamati, tetap saja. Rasanya bangga, tapi seperti tak berarti.
Lama kelamaan, aku mulai terbiasa. Tanpa ditanya pun, alam bawah sadarku sudah siap kalau harus sendiri lagi. Maka kalau ada yang bertanya, "Kok kamu sendiri-sendiri aja sih?", maka orang itu adalah orang yang kesekiaaaan kali yang bertanya seperti itu kepadaku. Dan jawabanku kadang hanya dengan tersenyum, karena susah juga untuk menjelaskan kenapa aku sendiri. Ya, pokoknya karena aku mau saja, dan aku merasa nyaman.
Namun namun namun, akhirnya, di suatu waktu, aku tiba-tiba ingin menjawab sendiri pertanyaan ini dengan serius, "Kenapa, ya aku selalu mau sendiri dan menyendiri?" Baru kali ini aku benar-benar memikirkan tentang hal ini, dan i have no idea. Why? Padahal kalau dipikir-pikir, ternyata sendiri itu agak berbahaya. Ya, jelaslah. Kalau ada sesuatu, siapa yang pertama kali akan menolong? Susah juga kalau tak ada yang mengenal kita sama sekali. Kalau seandainya tak dapat ditemui lagi (((na'udzubillaah))), siapa yang mesti dihubungi?
Kalau sudah seperti ini, rasanya aku ingin mengajak ayah kemana-mana untuk menemaniku. Biar aman. Aku butuh mahram, haha.
Intinya, walaupun kamu senang sendiri, tetap jaga keamanan. Teruslah waspada. Cobalah ajak teman sesekali walaupun mungkin sulit bagimu untuk terbiasa akan hal ini.
Memang, sih. Kata Tulus, setiap kita pasti butuh ruang sendiri untuk sejenak istirahat dari hiruk pikuk dunia. Tapi, jangan lupa jaga diri, ya!
1 note
·
View note