#30DWCJilid29
Explore tagged Tumblr posts
Text
Cerita Anak-anak Itu
Tidak semua hal di dunia berjalan sesuai dengan praduga kita.
Sebagaimana, tidak semua anak yang lahir dan dibesarkan dari keluarga yang baik-baik saja.
Seperti, tidak semua anak tumbuh dengan kondisi harmonis dalam rumah.
Atau sebagaimana tak semua anak mendapatkan hal sesuai keinginannya.
Beberapa bertumbuh dengan bentakan dan teriakan dari kedua orang tua.
Beberapa terbiasa dengan konflik dan perpecahan meski bergelimang harta.
Beberapa lainnya bahkan terpaksa merantau ke luar kota sekadar untuk menenangkan hatinya.
Ada pula mereka yang dibesarkan dengan keheningan yang luar biasa. Tanpa banyak kata dan bicara. Minim dengan komunikasi dan basa basi. Seolah tak ada yang terjadi.
Padahal kedua orang tua telah memiliki visi yang jauh sekali, tentang surga.
Namun, manusia berencana namun tak melulu sesuai dengan ekspektasinya. Lalu memberi bekas memori yang tak terlupa.
Anak-anak itu lantas merasa, mendengar, melihat hingga merekam segala adegan yang mereka sama sekali tidak menginginkannya. Tanpa punya kesempatan meluapkan kembali emosi dan apa yang mereka terima.
Anak-anak itu lantas tetap menjalani kehidupan dengan caranya masing-masing.
Ada yang tumbuh dengan menutup diri dari dunia dan lingkungannya.
Ada yang bertumbuh lalu menyembunyikan memorinya dengan keceriaan dan tawa.
Ada yang setiap hari dipenuhi proses dan tahapan untuk menyembuhkan luka lagi trauma.
Ada pula yang terbentuk menjadi sosok yang hati serta mentalnya seperti baja setelah berbagai gempuran yang tak terkira.
Namun, Allah sungguh Maha Adil serta Bijaksana.
Yang tidak akan memberikan kejadian tanpa mengandung petikan hikmah.
Yang tidak akan menitipkan cobaan di luar batas kemampuan hamba.
Maka bila anak-anak tadi barangkali adalah aku, kamu atau kita.
Dengan segala memori yang mungkin dipenuhi luka.
Semoga Allah selalu memberikan kelapangan hati yang luar biasa.
Untuk luka yang mungkin belum sembuh sepenuhnya.
Untuk kenangan yang tak seperti kebanyakan anak lainnya.
Untuk penerimaan yang kelak akan membentuk kita menjadi sosok yang berdaya.
27 notes
·
View notes
Text
Musiman
Ya Allah, jangan jadikan bulan Ramadan ini sebagai bulan musim taat.
Dan jangan jadikan kami termasuk hamba-Mu yang taat musiman.
Masih ingat betul saya bunyi doa yang disampaikan oleh salah seorang ustaz yang pernah mengisi kajian di kampus. Kalau ingatan saya tidak berkhianat, saat itu tarhib Ramadan tahun 2006. Bunyi doa yang beliau sampaikan terus terngiang. Bahkan hingga 15 tahun kemudian. Sayangnya, saya tidak ingat siapa nama ustaz tersebut.
Ramadan sebagai bulan musim taat
Ya disukai atau tidak, faktanya demikian. Saat Ramadan, umat Islam berlomba mendekatkan diri pada Allah.
Salah? Ya enggaklah.
Mereka yang tidak terbiasa salat berjemaah, kini seolah tak putus berangkat ke masjid atau musala. Mereka yang jarang bersedekah, sekarang teramat royal dalam mengeluarkan uang atas nama kebaikan.
Salah? Eh, Batang Pohon Pisang, pan udah saya bilang. Nggak salah dong, Kue Nastar …
Taat Musiman
Saat Ramadan, umat Islam begitu termotivasi menjadi hamba-Nya yang taat. Masjid yang sedianya sepi, mendadak ramai. Baju koko, peci, dan sarung menjadi kostum yang digandrungi. Al-Qur’an yang telah setahun ditutupi sarang laba-laba, kini kembali disentuh dan dibaca.
Salah? Woi, sekali lagi nanya, saya sumpal pakai bakiak ya!
Pertanyaannya, bagaimana keadaan itu semua usai Ramadan? Akankah semua ketaatan itu akan berlanjut hingga bertemu Ramadan di tahun berikutnya? Atau semua hanya sekadar transit. Singgah sementara, untuk selanjutnya hanya sebatas kenangan?
Akankah laba-laba yang sedang kasmaran itu justru malah beranak pinak di atas Al-Qur’an? Mengajak sanak saudaranya, serta membuat kerajaan di balik tumpukan kitab yang kita pelajari selama Ramadan. Akankah, uang bergambar Pangeran Antasari kembali menggantikan posisi para proklamator bangsa ini dalam mengisi kotak infak yang beredar?
Ramadan yang hanya datang satu bulan dalam satu tahun, akankah hanya sekadar mencetak manusia yang taatnya musiman? Padahal Allah memerintahkan berpuasa di bulan Ramadan demi menjadikan manusia menjadi bertakwa.
Apakah bertakwanya cukup di bulan Ramadan? Sementara di bulan lain, takwanya dikit-dikit aja? Ya, diri kita sendirilah yang lebih kompeten menjawabnya. Kita sudah sama-sama tahu jawabannya kok.
Kebiasaan Menulis
Beberapa hari yang lalu, saya baru saja menyelesaikan rangkaian program tantangan menulis setiap hari selama 30 hari tanpa henti. Iya, sudah selesai tanggal 20 April 2021 kemarin. Kalau kamu penasaran, silakan cari tahu sendiri ya.
Program bernama 30 days writing challenge (30dwc) ini sama sekali nggak bisa dibandingkan dengan Ramadan. Namun, setidaknya dari bagaimana penyikapan terhadap bulan ini, sedikit banyak dapat mencerminkan bagaimana langkah selanjutnya setelah program 30dwc ini berakhir.
Saya dan para fighters 30dwc lainnya, begitu terbiasa dalam membuat sebuah tulisan dengan panjang minimal 200 kata setiap harinya. Begitu terus, berulang sampai pegal.
Selama 30 hari, mau tidak mau, menulis menjadi sebuah kebiasaan yang selanjutnya diharapkan oleh Rezky Firmansyah selaku founder, berubah menjadi budaya yang tertanam. Tertanam pada siapa? Kepada para fighter tentunya.
Pertanyaan besarnya, setelah perhelatan 30dwc ini, para fighter, termasuk saya akan seperti apa? Apakah akan menjadi orang yang tetap membiasakan diri menulis? Atau tak ubahnya para peserta training lainnya, di mana semangat pascatraining hanya bertahan maksimal tujuh hari usai training?
Apakah budaya yang sudah terbangun, akan berangsur hilang begitu saja? Seolah menulis hanyalah sekadar pengisi waktu luang. Jika memang begitu, ya itu pilihan sih sebenarnya.
Menjadi orang bertakwa yang memanfaatkan Ramadan sebagai bulan upgrading diri adalah pilihan. Begitu pula menjadi orang yang tetap melanjutkan menulis usai program 30dwc pun pilihan.
Salah? Eh, Pohon Bambu, gue tampol lo ya!!
7 notes
·
View notes
Text
Tempat berkesan
“Hari ini. Pak Rezky berhalangan masuk kelas. Namun, beliau menitipkan untuk dikerjakan tugasnya, dan harus sudah dikumpulkan sebelum bel istirahat. Yang tidak mengerjakan, tidak boleh istirahat,” ucap seorang yang mengatakan dirinya adalah seorang ketua kelas. Memang sih kelakuannya seperti seorang ketua, senang menyuruh-nyuruh.
Tetapi kehadirannya, tidak membawa energi negatif. Malah membawa energi positif, membantu murid yang sedang kesulitan, bahkan tidak segan untuk menomor duakan dirinya, sebelum teman sekelasnya sudah mengerjakan tugasnya. Walaupun sudah mau bel istirahat, ia mengerjakan tugasnya dengan lihai, dan sudah selesai sebelum bel berbunyi.
“Lo udah ada ide, buat tugasnya pak Rezky? Bantuin gue dong,” tanya temanku, memaksa untuk membantunya dengan menarik-narik bajuku.
Aku tidak terpikirkan untuk mengerjakan bareng. Bagaimana bisa membantunya, aku saja belum selesai. Namun, si ketua kelas malah mendatangi kami. “Ada yang perlu bantuan?”
Temanku yang tadi merengek meminta bantuan padaku, senang karena mendapatkan bantuan. Ia langsung pergi meninggalkanku. Tetapi, yasudahlah yang penting aku bisa segera menyelesaikan tugas. Agar aku bisa cepat untuk istirahat.
Gaduhnya kelas karena murid-murid yang mengerjakan tugas. Ada yang senang sekali, karena ada ide yang tak terpikiran. Ada yang memegang kepala, merasa bingung apa yang mau dituliskan. Karena kebingungan atas tugas yang diberikan, lantaran suruh mengarang. Dan tugasnya pun tidak boleh sama.
Ketua kelas asik berkeliling, menanyakan sudah atau belum tugasnya. Dan tak segan-segan untuk membantu teman-teman di kelas untuk menyelesaikan tugasnya. Lambat laun, satu persatu berguguran yang sudah mengerjakan tugasnya, termasuk aku. Sebelum aku mengumpulkan ke depan, ketua kelas sudah berada dihadapanku menyodorkan tangannya, “Sini kumpulin di aku saja.”
Ya, awalnya memang menyebalkan menanyakan terus tugasnya sudah apa belum. Padahal jelas-jelas sedang dikerjakan. Namun, seiring berjalannya waktu malah memang aku membutuhkan sebuah pengingat agar aku bisa cepat-cepat menyelesaikan tugasnya dan pergi untuk beristirahat. Dan aku merasa kalau memang, ia memiliki tanggung jawab agar teman-teman di kelas menyelesaikan tugasnya yang diberikan pak Rezky.
Ia pun tak pernah merasa terbebani ketika membantu teman-teman di kelas. Malah sabar banget, saat membantu teman yang sulit mengerti dengan tugasnya.
Teman-teman di kelas pun, yang sudah menyelesaikan tugasnya. Tidak sungkan membantu yang belum menyelesaikannya. Aku yang berada di kelas pun, tak diasingkan, ada saja teman yang datang menyapaku untuk berbincang-bincang, entah pembicaraan tentang tugasnya, ataupun sesuatu yang sedang hits akhir-akhir ini. Aku yang terlalu sombong dengan kemampuanku, merasa paling hebat dari yang lain. Namun, dengan dimasukkannya aku dalam kelas ini, ada kebahagiaan tersendiri, aku banyak belajar dari teman-teman di kelas. Untuk selalu merendahkan diri, ketika memiliki kemampuan. Bahkan kalau bisa ilmu yang dimiliki dibagikan ke yang lain, entah materi ataupun pengalaman yang pernah dialami. Dalam kelas ini, menjadikan hari-hari penuh warna.
Karenanya aku berterima kasih, sudah bisa diberikan kesempatan. Untuk bisa belajar Bersama, walau singkat namun mengesankan.
- Fizu
Fighter : Nur Azis Ramadhan, Fairuz Zahrah An Nibras, Nun Fauziah Hasyim, Caesar Dwiky Darmawan, Dwi Pebrianti, Irna Afrianti, Keisha Daniella Gultom, Nurmila Maratus Sholihah, Pepy Meganingsih, Runa Aviena, Shaliha Shabardila, Tenriugi Daeng Pane, Kholifa Setya Dini
Empire : Semua Fighter 30dwc Jilid 29
Couch : Mas Rezky, Ka Sari, Ka Septhan, ka Rizka
7 notes
·
View notes
Photo
MEMPERSIAPKAN KEDATANGAN
Apa yang pertama kali terbersit dalam kepala ketika mendengar kata kedatangan? Jodoh? Calon pasangan impian? Atau justru kematian?
Jodoh dan kematian, dua hal yang tak pernah kita tahu kapan kedatangannya. Bisa saja 3 tahun lagi, bulan depan atau sedetik kedepan, Lantas, mana yang lebih dulu akan meminang? Jodoh atau kematian? Tapi satu hal yang pasti di antara jodoh dan kematian, di mana kedatangannya harus dipersiapkan dengan sebaik-baik persiapan.
Dalam hal mempersiapkan jodoh tentu itu bukan sekadar perihal kesanggupan menyewa gedung mewah ataupun mempersiapkan gaun terbaik tapi juga tentang apa yang ada dalam diri.
Banyak dari kita terlalu berfokus pada kebahagian pernikahan, tapi lupa bahwa rumah tangga tak melulu tentang bahagia, tapi kedewasaan. Kedewasaan dalam mengahadapi setiap riuh redam masalah rumah tangga. Sebab, pasti akan banyak masalah yang datang berusaha merusak hubungan.
Jadi apa saja yang perlu di persiapkan dalam mempersiapkan kedatangan calon kekasih hati?
Rumus sederhananya begini : Cinta Allah – Niat – Ilmu – Calon
Tentu saja hal yang pertama dan yang paling utama adalah memperbaiki hubungan kita dengan Sang Pencipta. Ini merupakah hal yang penting supaya setiap keterpurukan dengan segera kembali menemukan titik bangkitnya. Yang kedua adalah niat. Pastikan setiap hal yang kita lakukan haruslah berniat ibadah karena Allah. Setelah meluruskan niat, mari kita cari tahu ilmu-ilmunya. Ilmu pernikahan juga tidak melulu perihal urusan ranjang, tapi juga tentang seni mengenal diri sendiri, seni berkomunikasi, seni mengurus keuangan, seni mengasuh anak dan masih banyak yang lainnya.
Perlu dicatat juga bahwa, Jodoh adalah cerminan diri, maka bila ingin jodoh yang baik tentu kita harus menjadi baik dulu. Ketika kita sudah mempersiapkan dengan sebaik-baiknya Insya Allah yang nanti akan datang juga merupakan yang terbaik yang disiapakan Allah untuk kita.
Jika jodoh bisa di ikhtiarkan kedatangannya, lain halnya dengan kematian. Tanpa kita ikhtiarkan, kematian akan datang dengan sendirinya. Yang bisa kita ikhtiarkan dalam kematian ini bukan waktu kedatangannya, tapi kondisi saat kelak Izrail datang menjemput. Apakah meninggal dalam keadaan khusnul khotimah atau suul khotimah.?
Lantas apa saja yang perlu di persiapkan dalam menyambut kematian yang khusnul khotimah?
Memperbanyak amalan-amalan shaleh yang dilakukan tanpa bermaksud untuk riya dan tentu saja harus sesuai dengan syariat. Sebagaimana mengerjakan amal saleh, juga tidak kalah penting adalah menjauhi perbuatan-perbuatan tercela. Yang dimaksud perbuatan tercela meliputi keharaman dan kemakruhan. Meninggalkan keharaman adalah wajib, sedangkan meninggalkan kemakruhan adalah sunah. Demikian pula dianjurkan untuk meminimalisasi perkara mubah yang tidak ada manfaatnya. Manusia adalah makhluk yang tidak pernah luput dari dosa, baik yang disengaja ataupun tidak. Maka ada baiknya untuk kita selalu bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta'ala untuk menghindari akhir yang buruk dalam perjalanan hidup kita.
Tapi siapapun yang nanti akan datang lebih dulu, sudah sepatutnya kita mempersipkan diri untuk bertemu dengan Allah. Jangan sampai kita salah memantaskan diri. Jika kita mempersiapkan diri karena Allah, dan yang kemudian yang datang lebi dulu adalah jodoh, maka itu adalah jodoh terbaik yang telah disiapakan. Dan jika kematian yang lebih dulu meminang, maka insya allah kita akan 'kembali' dalam keadaan khusnul khotimah.
7 notes
·
View notes
Text
MATA MERAH
Sella merapikan jilbabnya. Dia bersiap untuk pergi mengaji kitab hadis hari itu. Jamaah subuh baru keluar dari masjid. Matahari masih belum menampakkan diri, tapi Sella mesti sudah berangkat.
Angin pagi masih dingin, suara burung-burung merdu terdengar, mereka bertengger di kabel-kabel tiang listrik. Suasana jalan sudah ramai dengan orang yang lalu lalang meski temaram. Maklum, jalan yang dilalui Sella adalah jalan pasar. Ada penjual yang baru menjajakan dagangannya. Ada tukang sayur yang tidur di dalam lapaknya. Pasar di sini baru mulai menggeliat sesaat setelah subuh.
Pengajian mulai pukul tujuh pagi, sebelumnya ada zikir pagi bersama mulai jam 6 pagi. Perjalanan yang harus ditempuh Sella sekitar 25 menit dengan menggunakan bis.
Sella memburu zikir pagi bersama Syeikh, sebutan untuk Kyai yang mengajar ilmu agama. Setelah berzikir, barulah pengajian dimulai. Hari ini adalah hari keempat sebelum bulan Ramadhan tahun 1441 Hijriyah.
Sebelum pengajian dimulai Syeikh memandu kami untuk berselawat untuk nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam dan berdoa menuntut ilmu.
“Suara Syeikh hari ini berbeda kedengarannya” bathin Sella. Dan masyaallah, Syeikh seperti mengetahui suara bathin Sella, Syeikh lalu bercerita jika beliau tidak tidur malam beberapa hari ini. Mata beliau merah. Beliau berkata jika sedang bersiap untuk menyambut bulan suci Ramadhan dengan menghidupkan malam, salat malam dan juga membaca al-quran.
“Persiapan Ramadhan itu sebelum Ramadhan, sehingga kita bisa konsisten beribadah dari hari pertama sampai akhir. Banyak masjid yang hanya penuh dengan orang yang salat, hanya saat hari pertama Ramadhan saja.” Beliau menambahkan.
“Semoga kita bisa beribadah dengan konsisten, dan mendapatkan malam lailatul qadar”. Ucap Syeikh, yang lanngsung diaminkan oleh para murid. Sella pun mengucap amin dalam hati.
5 notes
·
View notes
Text
Lebih Baik Terluka
Malam ini aku pulang membawa serta lelah dan gelisah ku. Menuju tempat dimana orang-orang yang tak pernah lelah mendengar tangis ku. Aku ingin segera bertemu dengan mereka, tak tahan aku dengan angin dingin yang seolah-olah ikut memeluk hatiku bersama gelisah dan lelah itu.
"Assalamu'alaikum, ma aku pulang" Ku katakan sambil mengetuk pelan pintu rumahku. Tak lama kemudian seseorang melangkah mendekat kearah pintu
"Tumben ngetuknya pelan banget kak" Ucap mama setelah membukakan pintu.
"Kakak lagi capek aja ma, jadi lemas" Aku berlalu melewati mama yang masih berdiri didepan pintu, lalu langsung menuju ke kamar dan merebahkan tubuh yang terasa sangat remuk ini disana.
Terbayang lagi oleh ku wajah itu, wajah yang telah lama kulupakan. Matanya tetap sama, hanya pipi nya saja yang semakin chubby.
Aku sedikit meragukan penglihatan ku, apakah aku salah mengenali? Ah tapi tak mungkin pikir ku, selama ini aku tak pernah sekalipun salah mengenali wajah seseorang, apalagi wajah yang pernah ku mimpikan untuk hidup bersama dengan ku. Ku usap wajah ku, aku terlalu frustasi untuk mengingat apakah itu memang dia.
"Kak mama masuk ya, mau ngambil mukenah dilemari kamu" Ucap mama sambil mengetuk pintu
"Iya ma, masuk aja"
Aku tau tujuan mama masuk ke kamar bukan hanya untuk mengambil mukenah, tetapi ingin memastikan apakah aku baik-baik saja.
" Ma, kakak tadi seperti melihat hantu di simpang empat dekat kantor kakak" Aku merubah posisi tidur menjadi duduk menghadap mama
"Hantu? Ada-ada aja kamu ini, kamu mana bisa lihat hantu"
"Ini beneran ma, kaya lihat hantu" Aku menghela nafas panjang, seketika wajah itu terbayang lagi oleh ku.
Aku tak berbohong kepada mama, kagetnya bukan main saat aku melihat nya tadi.
Mama tak menjawab omongan ku, dia hanya menatap ku sepersekian detik.
"Kakak tadi jumpa abang kelas kakak, yang pernah kakak ceritakan dulu ke mama"
"Terus? Emang nya kenapa kalau jumpa dia? " Tanya mama heran
"Tiba-tiba hati kakak menjadi sakit. Sakit sekali, padahal hanya melihat wajah nya tak mendengar suaranya" Aku menghela nafas lagi, ini sungguh terasa sangat berat untuk ku. Semakin berat karena aku sendiri tak mengetahui mengapa hatiku sesakit ini.
"Kakak tau nomor handphone nya?? Atau sosial media nya? Cepat hubungi sana" Kata mama kepadaku, lalu memutuskan untuk duduk disamping ku
"Kakak bahkan dulu tak pernah berbicara kepadanya ma, bagaiman bisa tiba-tiba menghubunginya??" Jelas ku pada mama
" Kakak lagi-lagi menahan perasaan kakak ya??" Tatapan mama sedih melihatku, aku jadi bingung
"Iya ma, kakak lagi-lagi menahannya, tapi gak masalah kan asal menahannya sampai akhir? "
"Jangan nak ku, jangan kau tahan perasaan mu, jangan biarkan dia tak tuntas, jangan biarkan hatimu hanya menunggu satu nama" Jleb, kata-kata itu menusuk hatiku. Apa yang dikatakan mama benar, di hatiku selalu tertinggal namanya meski aku telah mencoba mengisi nama baru disana.
"Ajari kakak untuk melupakan nya ma" Air mata jatuh dipelupuk mataku, air mata yang telah ku tahan sejak tadi bersama lelah dan gelisah ku.
"Dekati dia, kenali dia, agar kamu tau apakah memang dia yang terbaik untukmu. Kakak tak mengenalnya, kakak hanya menduga-duga tentang nya. Jadi tak ada celah bagi hatimu untuk kecewa karena nya. Kenali dia lalu biarkan hatimu memilih keputusannya"
"Kalau semakin mengenal nya semakin suka bagaimana ma?"
"Ya ungkapkan isi hatimu nak ku. Tak apa, katakan padanya. Tapi jangan biarkan hatimu menunggu, jangan biarkan hatimu menutup kesempatan untuk yang lebih baik menetap disana"
Tubuh yang lelah ini sudah tak tahan menahan lelahnya lagi. Pelukan mama adalah obat paling mujarab atas semua sedihku, bahagiaku, bahkan saat keadaan seperti ini. Tangis ku semakin dalam, aku semakin larut dalam pelukan mama.
"Lebih baik kau kecewa daripada menduga-duga tentang nya yang membuatmu menunggu kesempatan semu. Terkadang tidak apa-apa terluka agar kau tersadar dari pengharapan semu itu"
Wahai engkau pemilik nama indah itu.
Tak bisakah aku hanya mengagumi paras dan perangaimu saja?
Hanya sekedar mengagumi, boleh kah?
Karena aku ragu pada diriku jika meminta mu bersamaku
Aku meragukan hatiku
Aku takut aku juga akan meragukan hatimu
Wahai engkau pemilik nama yang terlanjur ku sebut dalam doa
Aku ingin berlari darimu
Melupakan semua harap yang pernah ku ucap
5 notes
·
View notes
Text
Apa Tidak Rindu?
Aku pernah diterpa rindu yang kerap membuat air mataku mengalir deras. Aku pernah diterpa khayalan jika aku tidak berada disini dan mendamba hangatnya rumah itu. Aku juga pernah ditimpa keharusan menjadi mandiri karena begitu jauhnya aku dan mereka.
Ya, jarak penyebabnya. Lima tahun lalu kutinggalkan tanah kelahiran almarhum ayah dan kuputuskan mengadu nasib di kota padat penduduk ini. Tak terasa, lima tahun yang berjalan penuh dengan tawa, senyum, bahkan tak jarang air mata telah berlalu. Bahkan pendidikanku juga Alhamdulillah sudah selesai. Pekerjaanku? jangan ditanya, semakin menumpuk haha. Banyak yang bertanya, bukankah jarak antara kota ini dengan tanah kelahiran ayah dapat ditempuh dengan kereta dan hanya memakan waktu kurang lebih enam jam perjalanan, kenapa tidak sering pulang? Anak rantau pasti tahu jawabannya, apalagi kalau bukan ongkos dan segala alasan penghematan lain hihi.
Masalah pulang aku memang menyandang predikat paliing jarang pulang diantara teman-teman perantauan di kantor. Apa tidak rindu sama keluarga di rumah? Kok betah banget disini sampe nggak pernah pulang? Aku sering menanggapinya dengan candaan karena bagiku wajar saja mereka bertanya karena mereka tak tahu kehidupanku secara utuh dan kurasa tidak perlu semua orang tahu kehidupanku.
Bagiku jarak yang memisahkan aku dan keluarga mengandung banyak hikmah. Jarak menjadikan aku diitempa sebagai perempuan yang lebih independen dan siap dalam menjalani hidup. Kalau ditanya apakah ada penyesalan memilih disini? Aku akan menjawab dengan tegas "Tidak!" Aku memang selalu bermimpi sejak kecil akan keluar dari berbagai zona nyaman yang mengikat dan kota yang kupijak. Impian yang ditanamkan dengan baik oleh almarhum ayah tercinta. Bukan, bukan untuk menjelajah alam, sekadar berjalan-jalan dan sebagainya seperti remaja sekarang. Tak lain adalah untuk menuntut ilmu.
Alhamdulillah aku mendapatkan beberapa guru di kota ini yang kepadanya aku mencecap manisnya menuntut ilmu dan hikmah perjuangan. Kini, aku berharap untuk dapat menciptakan jarak yang lebih jauh dari ini semata-mata dalam rangka meneguk manisnya ilmu pengetahuan dan kontribusi yang meluas.
4 notes
·
View notes
Text
Bebas
Kebayang nggak sih kalau dalam hidup ini nggak ada yang namanya dosa?
Manusia akan melakukan apa pun yang mereka ingin lakukan tanpa batasan sedikit pun. Bebas melakukan hal yang disukai.
Misalnya seperti minuman keras. Jika saja islam tidak melarang minuman keras untuk dikonsumsi, barangkali masyarakat Indonesia akan terjadi banyak kejahatan yang berawal dari air yang membuat mabuk penikmatnya itu. Mengingat sekitar 80% penduduknya beragama muslim.
Atau kejahatan seperti pencurian. Andai saja pelakunya tidak mendapat hukuman seperti dipenjara, mungkin akan ada banyak kasus penjarahan di mana-mana, atau pencurian secara terang-terangan karena tidak ada hukum yang berlaku.
Atau bisa membayangkan dari hal terdekat kita. Jika saja dalam Islam tidak ada perintah untuk berbakti pada orang tua termasuk menaatinya. Sepertinya akan banyak sekali anak yang membangkang, tidak ada rasa hormat atau justru melawan orang tuanya. Jika ini terjadi, entah apa yang membuat anak bisa menjalani hidupnya dengan baik, jika dengan orang tua pun ia tak patuh.
Atau seandainya Allah tidak melarang mendekati perbuatan zina. Mungkin akan terjadi krisis moral pada diri pemuda seperti hamil di luar nikah, seks bebas bahkan sampai aborsi.
Bayangkan jika hidup manusia yang bodoh ini hidup dengan kebebasannya. Merasa seolah-olah tahu yang terbaik untuknya. Entah bagaimana nasibnya jika itu terjadi. Yang pasti akan terjadi banyak kerusakan dan kehancuran.
Allah menciptakan batasan untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Kita hidup di bumi-Nya, maka sudah seharusnya untuk taat aturan-Nya.
5 notes
·
View notes
Text
Di sore ini aku mengikuti kelas yang diadakan oleh komunitas menulis. Pembahasannya cukup menarik. Tapi, ada satu subbab yang menarik yang menjadi bahasan untuk di ulas kembali, yaitu menulis merupakan proses penyembuhan.
Maksudnya bagaimana ya?
Proses penyembuhannya seperti apa sih?
Emang ada kaitannya antara trauma dengan menulis?
Wah banyak sekali ya pertanyaannya.
Aku mencoba menguraikan beberapa pertanyaan di atas. Namun, bukan berarti aku termasuk orang yang ahli dalam bidang healing atau disebut dengan terapis, dan memiliki background psikologi. Melainkan, aku hanya ingin sedikit berbagi berdasarkan pengalaman semata.
Sebelumnya, aku pernah menulis tentang makna tulisanku, yang dimana di dalamnya ada quote yaitu menulislah jika itu membuat diri berdamai. Di sana aku mengungkapkan bahwa menulis merupakan salah satu terapi untuk berdamai dengan diri sendiri, dan mencintai keberadaan diri ini. Selengkapnya teman-teman bisa membaca di akun IG aku ya @nur_olip. Scroll ke bawah di akun IG nya ya, maka kau akan menemukannya. hehe
Mengapa menulis yang dipilih sebagai healing dan apa sih yang dirasakan waktu itu?
Waktu itu, aku mengalami yang namanya mental disorder hingga membuat trauma tersendiri. Namun, alhamdulillahnya bisa diatasi dengan tidak menggunakan obat. Selain itu, aku termasuk tipikal pemendam rasa dan pemikir.
Tahulah ya orang yang pemikir dan pemendam rasa ini seperti apa?
Ya sok kuat di depan orang, sok ceria, sok oke kalau bisa menangani problem hidup. Tapi nyatanya, ada kerapuhan di dalamnya. Nah lho. kewalahan sendiri 'kan jadinya? ^_^
Aku memutuskan untuk menulis, lantaran menilik kepada bapak Habibie, yang di mana beliau mengalami psikosomatik atau depresi setelah kepergian istri tercintanya yaitu ibu Ainun. Saat itu, tim dokternya mengajukan beberapa opsi pemulihan, diantaranya yaitu masuk rumah sakit jiwa, tinggal dirumah dengan pengawasan dokter, curhat ke orang terdekat, atau menyelesaikannya sendiri. Pak Habibie pun akhirnya memilih untuk menyelesaikannya sendiri dengan cara menulis. Beliau menuliskan semua ungkapan perasaannya saat bersama dengan sang istri, di suatu momen yang mereka alami. Tentu tidak mudah bagi beliau dalam menuliskannya. Namun nyatanya, hal itu berdampak positif kepada beliau. Sehingga beliau bisa melewati masa-masa tersebut.
Maka dari itu, akupun melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh bapak Habibie yaitu menulis. Waktu itu, aku menulis lebih kepada hal yang negatif dengan apa yang dirasakan dan dipikirkan secara mendalam. Jadi benar-benar berfokus pada penyaluran emosionalnya. Sehingga menjadi kelegaan tersendiri, dan salah satu bentuk merefleksikan diri, seperti bisa mengenal emosi yang ada dalam diri, mengklarifikasi suatu kejadian, sehingga membuka pikiran untuk melihat masalah secara objektif dan jernih seperti sedang menguraikan benang-benang yang semrawut.
Sebenarnya, menulis pun bukan untuk yang emosi negatif saja. Tapi untuk emosi yang positif juga bisa dituangkan dalam sebuah tulisan. Namun bila di lihat dari sisi terapeutiknya sendiri, menulis merupakan bentuk merefleksikan emosi negatif yang menyesakkan di dalam diri, dan bentuk penerimaan diri terhadap segala sesuatu yang menimpanya.
Ya, itulah kiranya, maksud dari kata yang menjadi slogan tersendiri, yaitu my writing is my healing. Karena ada suatu kisah tersendiri di balik menulis, dan pada akhirnya menjadi sebuah kebutuhan dalam meregulasi sebuah emosi.
5 notes
·
View notes
Text
Sejak Kapan?
“𝙺𝚊𝚔𝚎𝚔, 𝚌𝚎𝚙𝚊𝚝 𝚜𝚎𝚖𝚋𝚞𝚑. 𝙰𝚢𝚘 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚖𝚊𝚒𝚗 𝚙𝚕𝚊𝚗𝚎𝚝-𝚙𝚕𝚊𝚗𝚎𝚝𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚝𝚒𝚜𝚜𝚞𝚎 𝚙𝚊𝚗𝚓𝚊𝚗𝚐 𝚕𝚊𝚐𝚒.”
“𝙱𝚒𝚜𝚜𝚖𝚒𝚕𝚕𝚊𝚑𝚒𝚛𝚘𝚑𝚖𝚊𝚗𝚒𝚛𝚘𝚑𝚒𝚖. 𝚈𝚊 𝙰𝚕𝚕𝚊𝚑 𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚔𝚊𝚔𝚎𝚔 𝚌𝚎𝚙𝚊𝚝 𝚜𝚎𝚖𝚋𝚞𝚑, 𝚊𝚊𝚖𝚒𝚒𝚗!”
Aku tersenyum memperhatikan voice note yang sengaja ku kirim untuk papah. Ku minta anakku untuk mengisi voice note itu. Kemarin mamah menelepon agar kami saling memberi semangat untuk papah yang sedang diisolasi.
Kemarin malam aku coba untuk melakukan video call, namun sepertinya papah sudah tidur. Sebagai gantinya ku kirimkan gambar anakku memegang tulisan “Semangat sembuh, Kakek!” dan juga mengirimkan video anakku juga dengan kata-kata yang mirip, menyemangati agar lekas sembuh.
Lalu tadi pagi, ku coba melakukan video call lagi. Tersambung, namun jaringannya jelek dan video lebih banyak berjeda. Aku melihat rambutnya yang putih dan pipinya yang tirus. Yang membuat hatiku sedikit mencelos adalah sinar matanya. Ia begitu redup, bahkan tidak fokus.
Padahal belum sampai satu bulan lalu kami masih seperti biasa. Sejak enam tahun yang lalu, saat mamah kelelahan dan minta istirahat di tangga mall di pusat grosir terbesar di ibu kota.
Aku menyadari satu hal, sejak kapan kedua orang tuaku sudah tua? Biasanya mamah tak pernah meminta istirahat ketika berbelanja, namun saat itu ia terlihat begitu letih, berjalan pun sedikit tertatih. Rasanya aku terlalu sibuk dengan urusanku, hingga tak menyadari bahkan di tahun depan aku akan menikah.
Kemudian, beberapa tahun yang lalu, aku menyadari hal lain. Aku bertanya sesuatu pada papah, namun papah tak menghiraukanku, seolah aku tak ada di sana. Aku diam, merenung, lalu kuulangi lagi pertanyaanku, hanya saja nada suara kutinggikan, barulah terdengar jawaban dari papah. Lagi-lagi aku tertegun. Sejak kapan kedua orang tuaku sudah tua? Aku benar-benar tak menyadari waktu berlalu begitu cepat.
𝑩𝒆𝒏𝒂𝒓 𝒌𝒂𝒕𝒂 𝑹𝒂𝒊𝒉𝒂𝒏, 𝒅𝒆𝒎𝒊 𝒎𝒂𝒔𝒂, 𝒔𝒆𝒔𝒖𝒏𝒈𝒈𝒖𝒉𝒏𝒚𝒂 𝒎𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂 𝒌𝒆𝒓𝒖𝒈𝒊𝒂𝒏.
Lalu, beberapa minggu ini pun aku kembali tertegun, sesuatu yang paling aku takutkan terjadi, sesuatu yang aku bahkan tak mau membayangkannya. Sesuatu yang memanggil kewajiban kita sebagai seorang anak untuk berbakti.
Allah mulai mengambil sedikit kenikmatan papah, ia mulai sakit. Untuk BAK dan BAB sulit. Sakitnya tak kunjung membaik sehingga mengharuskan ia dirawat. Kemudian di sinilah aku, bertanya-tanya. Semoga saja hal menakutkan lain tidak akan terjadi. Semoga saja waktu kami masih panjang. Semoga dan semoga yang lain.
𝑺𝒆𝒌𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈, 𝒂𝒌𝒖 𝒊𝒏𝒈𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊, 𝒑𝒆𝒓𝒕𝒂𝒏𝒚𝒂𝒂𝒏 “𝒔𝒆𝒋𝒂𝒌 𝒌𝒂𝒑𝒂𝒏” 𝒊𝒕𝒖 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒔𝒆𝒈𝒆𝒓𝒂 𝒅𝒊𝒔𝒂𝒅𝒂𝒓𝒊. 𝑺𝒆𝒈𝒆𝒓𝒂.
Pah, kita memang tak pernah dekat, tapi aku tahu, segala keberuntungan, segala kebaikan yang terjadi dalam hidupku. Bahkan semua kebaikan yang menyentuh hatiku, itu tak lain karena doamu. Doa papah dan mamah.
Ayolah Pah, setelah tertunda satu tahun, tahun ini waktunya kalian pergi menjadi tamu Allah. Ayolah, Pah! Tinggal beberapa bulan lagi, jangan menyerah.
4 notes
·
View notes
Text
Takdir
Menjalin hubungan yang begitu lama dengan orang yang kita cintai, berharap bisa bersatu dalam ikatan cinta. Namun takdir tidak mengenal seberapa lama kamu menjalin hubungan dengan dia. Bila takdir mengatakan kamu dengannya tidak berjodoh, maka kamupun tidak bisa meruntuhkan garis pertahanan takdir hidup.
Takdir memang seperti itu, tidak bisa ditebak ataupun diajak kompromi. Begitu juga dengan takdir hubungan aku dengan dia. Walaupun kita sangat dekat dan menjalin hubungan selama sepuluh tahun, tapi ternyata dia bukan jodohku. Pada akhirnya aku harus merelakan dia pergi pada cinta yang lain. Sekalipun aku mencoba menahannya untuk tetap bersamaku, itu hanya akan sia-sia. Karena pertahanan cintanya untuk diriku telah runtuh.
Dari situlah aku belajar tentang keikhlasan, bahwa apa yang terjadi pada kita itu semua adalah takdir. Memang tidak mudah merelakan orang yang kita cintai pergi kelain hati. Namun kita juga tidak bisa memaksa seseorang untuk bertahan dengan kita. Karena untuk mempertahankan dua hati menjadi satu ikatan, tidak bisa dilakukan oleh satu orang saja. Jadi lepaskan saja cinta itu, bila kamu ingin dia dan dirimu sama-sama merasakan kebahagian di depan sana nanti.
Biarkanlah kisahmu dan dirinya tinggal kenangan, yang tidak perlu kamu sesali. Percaya saja takdir akan membawa kamu ke cinta yang terbaik menurut Allah. Jika kamu sudah mendapatkan cinta terbaik menurut Allah, percayalah tidak akan ada yang bisa meruntuhkan pertahanan cinta kalian.
Di saat kamu dalam posisi sesulit apapun, usahakan dirimu untuk tidak menyalahkan takdir. Biarkanlah kisah itu terjadi pada dirimu. Dan cobalah melihat pada dirimu sendiri, apa yang perlu kamu perbaiki. Karena kadang manusia tidak sadar, sesuatu yang pergi dari kita kadang karena dari sikap kita sendiri.
Kita boleh menangis dan bersedih dengan takdir yang buruk menimpa diri kita. Tapi tidak perlu berlarut-larut dalam kesedihan itu. Yang perlu kita lakukan adalah percaya, bahwa semuanya akan berlalu dan kembali baik-baik saja. Tidak selamanya kita di dalam gelapnya malam, karena mentari akan membawa sinarnya untuk menerangi dirimu.
3 notes
·
View notes
Text
Merawat Rumah
Selepas asar sore itu, sebuah alarm muncul di pemberitahuan ponselku. 'Presensi sore dan telepon Ayah-Ibu' begitu tajuk alarm yang tertera pada layar ponsel pintar. Segera kuketik kontak 'Ibook' dan menghubunginya via telepon. Kami pun berbicara cukup panjang sebab membahas banyak sekali topik pembicaraan.
Lebih dari setahun pandemi menghampiri. Sejak wabah tersebut datang, aku menjadi lebih sering berkomunikasi dengan orang tua. Entah melalui pesan singkat atau telepon sesaat. Memastikan bahtera rumah tetap terjaga. Meski nakhoda dan awak kapal sesekali berganti peran untuk saling mengisi.
Semua melalui hal sederhana. Sesederhana saling berbicara lewat hati, menanyakan kondisi terkini, mendudukkan masalah dengan teliti, atau memberi tahu bahwa kami saling mencintai, juga dicintai.
Sebab kadang, cinta itu adalah serangkaian tingkah manja.
Kadang ekspresi sayang menjelma melalui perhatian sederhana.
Kadang bentuk peduli adalah berbagi dan menemukan solusi bersama.
Kadang pula, kita adalah anak-anak orang tua kita.
Kadang kita menjelma jadi diplomat untuk mereka.
Kadang-kadang, kita adalah teman baik dalam bicara.
Kadang kita bisa menjadi pendengar setia.
Kadang juga, kita berganti jadi ahli pencerita.
Atau terkadang kita adalah komedian yang tidak lucu, namun sering ditunggu.
Atau dengan sesekali memeriksa kondisi keuangan belakangan. Sekadar memastikan bahwa kami masih berada pada jalur finansial yang tepat dan sesuai tujuan. Atau mencoba memetakan masalah-masalah kehidupan yang sedang diselesaikan.
Sebab sebuah rumah mungkin saja dikelilingi oleh dinding-dinding luka. Yang atapnya retak sebab menanggung air mata. Yang kusen jendelanya dipenuhi memori akan kekhilafan. Yang lantainya terbuat dari penyesalan yang tak terkira.
Namun, bukan berarti semuanya tak mampu direnovasi menjadi lebih rapi. Bukan berarti tak bisa dibenahi agar jadi lebih baik lagi. Bukan berarti tak dapat dimaafkan sehingga harus disesali.
Perjalanan menuju penyembuhan sering kali panjang serta terjal. Perjuangan menemukan penerimaan kadang dipenuhi belokan tajam. Tapi tentu pantas untuk diraih kembali dengan sepenuh hati.
Rumah kita yang terbuat dari iman dan keyakinan tentang segala takdir-Nya tentu menjadikannya niscaya untuk dijaga.
Rumah kita yang terbuat dari rasa sabar, syukur, penerimaan, penumbuhan tentu menjadi tempat ternyaman untuk ditinggali.
Rumah kita, mungkin bangunannya saja terletak di dunia. Namun, perjalanannya selalu diikhtiarkan menuju surga. Yang kuncinya terletak dalam hati kita. Di dalamnya tentu ada sebuah kata yang selalu dinanti.
"Pulang."
Lalu obrolan sore itu pun harus berakhir segera,
"Bu, yang sabar ya buat sekarang. Insya Allah ke depan kita bisa menjalani kehidupan yang lebih baik lagi."
12 notes
·
View notes
Text
Empati Formalitas
“Sekarang gimana kabarnya, Mal? Kasih tau aja kondisi Jamal gimana. Biar saya bisa manage ekspektasi.”
Pertanyaan di atas, tak ubahnya sebuah arahan bagiku. Maka dengan sigap, segera kusampaikan keadaan fisikku saat ini.
“Iya, Mbak. Kemarin Selasa kan saya sudah treadmill test. Hasil tesnya menunjukkan kalau jantung saya insyaallah nggak ada masalah. Namun, karena kondisi lengan kiri saya yang masih terus kebas dan kesemutan, akhirnya dokter jantungnya merujuk saya ke dokter saraf ...,” jelasku pada morning briefing tadi.
“Jamal bukannya biasanya sakitnya seputar sesak ya? Kok sekarang malah jadi jantung dan saraf? Kemarin kan setau saya, Jamal diperiksa jantungnya dengan kekhawatiran ada masalah saat serangan sesak terjadi. Sekarang kok jadi gitu ya?”
Kalau saja aku tidak ingat harga laptop di hadapanku dan betapa besar perjuangan yang kulakukan demi mendapatkannya, sudah tentu tinjuku menghancurkannya. Kutarik napas dalam.
“Jadi kan hari Rabu dua minggu lalu, saat perjalanan ke kantor saya mengalami serangan sesak, Mbak. Saya putar balik ke UGD dan saya mengeluhkan bahwa dada kiri saya nyeri. Karena keluhan tersebut, makanya pengobatan di rumah sakit fokus pada dugaan ada masalah di jantung. Sampai hari Selasa kemarin, setelah selesai treadmill test, dinyatakan jantung saya baik,” jawabku berupaya menjelaskan.
“Maksud saya gini, Mal,” ucapnya menanggapiku, “Jamal kan sudah sejak awal ada masalah di lengan. Kesemutan dan kebas. Harusnya dokter di rumah sakit, langsung refer Jamal ke dokter saraf. Nggak usah berbelit-belit ke dokter jantung dulu. Ujung-ujungnya, ternyata masalahnya bukan di jantung.”
“Istri Jamal kan dokter, bisa juga tuh Jamal tanyakan mestinya gimana ya, baiknya seperti apa. Karena kalau di rumah sakit, akhirnya berbelit begitu. Sudah lama berobat, masih belum ketemu juga masalahnya. Yah, tapi mungkin juga karena pakai asuransi ya, jadinya berbelit,” sambungnya kembali.
Aku tak sanggup banyak berkata. Namun, kutahu ini harus ditanggapi.
“Iya, betul, Mbak. Setelah kemarin diperiksa dokter saraf, saya diduga mengalami saraf kejepit di daerah leher sebelah kiri. Saraf kejepit ini menyebabkan saya kesulitan menggerakkan lengan kiri saya. Makanya, setelah pulang dari rumah sakit minggu kemarin, saya masih belum bisa masuk kantor. Karena masih sulit menggunakan tangan kiri ...”
“Iya, trus keadaan Jamal sekarang gimana? Biar saya bisa ngatur juga. Saya mesti backup apa, jadi ekspektasi saya akan Jamal juga bisa di-manage,” potongnya segera.
“Untuk saat ini, saya masih sulit koordinir lengan kiri. Makanya kemarin ngetik hanya fokus pakai tangan kanan. Alhamdulillah, saat ini sudah membaik. Untuk pekerjaan hari ini, insyaallah saya bisa koordinasi dengan unit kerja yang lain, sementara untuk materi sosialisasi, masih kepegang sama saya jika dari Mbak masih memerlukan perbaikan dari draft yang saya kirim kemarin.”
“Ya udah, kabarin aja ya.”
***
Kurasa, aku tidak sehina itu sengaja mengulur waktu dengan alasan berobat demi melarikan diri dari pekerjaan. Berharap sakit, sering sekali kulakukan. Namun, manakala aku sehat, tentunya aku tidak ingin berpura-pura sakit.
Betapa, seolah aku yang menghendaki keadaan berobat jalan yang berbelit seperti ini. Istriku sedari awal pun telah memiliki dugaan, bahwa aku akan berujung pada terapi dari bagian rehab medik. Namun, apa daya. Beginilah jalur pengobatan ketika kau menggunakan asuransi atau jaminan.
Jika aku memiliki pohon uang yang bisa kapan saja kupetik, tentu pengobatan dengan jalur biaya pribadi akan jauh lebih nyaman. Akan tetapi, apa iya aku memilih cara itu? Sementara untuk konsultasi dua dokter, tes treadmill, dan rontgen leher yang kulakukan hari Selasa kemarin sudah menyentuh angka dua juta rupiah!
Betapa, hal yang kupahami kini adalah lontaran pertanyaan yang sekilas bermakna empati tersebut, bukanlah semata karena risau dengan keadaanku. Melainkan seolah hendak berkata hal yang ditutupi dengan kalimat yang diucapkannya.
“Eh, Pohon Pisang! Lo berobat yang bener dong! Kerjaan lo banyak nih. Jangan sampe gara-gara lo nggak bener berobatnya, lo sakit terus-terusan. Jadi kan gue nggak bisa ngasihlo load kerjaan yang banyak!”
Entahlah. Bisa jadi dugaanku salah. Namun, bukan tidak mungkin juga kalau ternyata benar, ‘kan?
Sekiranya aku memang tak diinginkan, bukankah lebih baik segera disampaikan? Berikan penggantiku, dan tempatkan aku di tempat yang memang akan dapat menerima keadaanku.
9 notes
·
View notes
Text
Kutukanku
Aku seringkali menjerat wanita tanpa sadar Tanpa sadar, jaring-jaringku tertinggal Dikala aku sekedar mampir dan berbincang Bersama mereka Padahal hadirku disana, tidak menyertakan hati Tapi, kenapa dia memberiku hatinya? Aku yang terlalu baik Atau ia yang terlalu naif dalam mengartikan sifatku Apakah aku harus menjadi orang lain? Agar aku tak lagi merobek hati para wanita itu Apakah aku harus mengabaikan mereka semua Agar tak terjadi lagi kesalahan yang terus saja terjadi ini Mengapa? Kalian terlalu mudah jatuh cinta Terlebih, jatuh kepadaku Orang yang tidak pekaan Aku rasa ini adalah kutukanku Kutukan agar aku selalu merasa bersalah Bersalah akan kesalahpahaman yang sering kali terjadi akibat kebiasanku Kebiasaan yang terlalu humble dalam berteman Sehingga terkadang bagi kaum hawa Hal-hal yang aku lakukan dianggap sebagai aksi untuk mendekati mereka Nyatanya, aku begitu hampir ke semua wanita Sifatku memang terlalu membuat nyaman Tak jarang aku harus mengambil keputusan bodoh dan Jahar Aku harus menghilang dari hidupmu, agar perasanmu tak berlarut-larut Maupun aku harus menegaskanmu, untuk jangan menaruh hati padaku Maafkan, keegoisanku dalam bertindak Aku tak ingin jaringku menjeratnya semakin kuat
3 notes
·
View notes
Text
Perempuan di persimpangan
Perempuan itu berdiri dalam gelap
Perjalanan ke dua puluh
Perjalanan tergelap yang pernah dilaluinya
Perempuan itu melihat ke sekelilingnya
Memperhatikan lalu lalang yang perlahan menjauhinya
Dia berdiri mematung,
Tubuhnya kaku
Tapi matanya sayu memperhatikan satu per satu kehilangan
Pikirannya berlari menjauh, mencari sunyi
Tapi kepalanya terlalu riuh
"diam saja, jangan mencoba apapun. Atau kau akan kerepotan."
Teriakan si pemalas terus terdengar di kepalanya.
Di hadapannya persimpangan semakin banyak
Seolah mereka berkloning dengan waktu
Semua di sekelilingnya berlari
Memilih satu persatu persimpangannya
Tanpa harus menoleh ke arah lain
Tanpa ada yang memperhatikannya
"biarkan saja mereka, kau lebih aman disini.
Jalan manapun tak akan cocok untukmu.
Disini saja dan kau aman."
Si pesimis membisikkan katanya dengan lembut
Membuatnya terhanyut hingga mematung.
Tanpa perempuan itu tau,
Di belakangnya suluh berkobar
Menghanguskan, menuju ke arahnya
Tapi dia pun tak bergeming
Panas mulai menjalari punggungnya
Kepalanya kaku, tak bisa menoleh
Sejengkal lagi,
Sebelum kakinya kembali bekerja
Berjalan, tak punya arah
Memasuki sembarang persimpangan
Hingga dipersimpangan yang lain,
Dia tertunduk.
Sudah benarkah?
6 notes
·
View notes
Text
Bertarung dengan pikiran sendiri.
Hari ini, hari keempat dari 30DWC. 30 Days Writing Challenge. Di mana ada kewajiban menulis minimal 200 kata perhari, dan ini akan menjadi tulisan pendek keempatku. Di hari pertama diminta untuk menulis deklarasi bahwa akan mengikuti challenge 30 hari ini, dan juga jika jumlah kata di deklarasi mencapai 200 kata, bisa disebut sebagai tulisan, tapi berlaku di hari pertama saja. Aku mulai berpikir untuk mengambil kesempatan menulis deklarasi sekaligus menulis di hari pertama. Dan, aku telah melakukannya.
Ketika membaca percakapan grup 30DWC ini, aku mendapati bahwa banyak teman-teman yang ikut sudah sangat mahir menulis, bahkan juga sudah menerbitkan buku. Aku mulai rendah diri, tapi saat membaca lagi deklarasi, pikiranku mulai tenang kembali. Ternyata sekuat itu efek dari deklarasi untuk kemarin, semoga besok masih kuat efeknya buat diri ini yang sudah lama tidak menulis. Bagiku, menulis itu adalah salah satu caraku menata pikiran, meredam emosi.
Aku bahagia ketika telah menulis. Tapi ada masa di mana aku pernah berhenti. Berhenti bercerita apa yang ada dalam pikiranku, pikiran dan bathin yang berkecamuk saling menghantam. Sampai satu kalimatpun tak bisa terungkapkan. Ada di mana tak semuanya bisa diceritakan. Pikiran bilang tidak perlu untuk ditulis, tapi bathin meronta ingin segera meluapkannya.
Aku berperang dengan pikiranku sendiri, selama bertahun-tahun. Aku takut jika menulis hal yang salah, aku takut akan komentar yang tidak membangun. Aku takut dibilang lemah. Aku takut menulis hal yang nanti aku sesali kenapa pernah menuliskannya. Bahkan sekarang pun, aku khawatir jika tulisanku hanyalah sekedar curahan hati yang tidak penting untuk dipublikasikan.
3 notes
·
View notes