Text
how I narrate 24th of October
rain was pouring around 8 hours before I decided to pour my thoughts. I had to sit facing my laptop during those rainy hours since an unbearable course I needed to attend on Zoom. whether it was my burnt head or it was just heating inside, I decided to go outside. I kept glancing a cat's eyes. those eyes kept staring at mine as if agreed to say it was cold outside. a wise breeze embraced me like a fairy who told me to go to bed. smelling on Petrichor recalled memories of all rains I had in my entire life.
once I reminisced a vague remembrance about my childhood when my grandfather used to read me a folklore or a fairytale. I thanked him since I know it is good for someone who used to listen to a fairytale, they said, it is a brain stimulant. then I questioned myself, how has he been? I rarely saw him. however, it is a maturing process, not to know something I shouldn't need to know either.
once I reminisced a vague speculation I made when I was ten. I questioned myself, what if I don't know something. then I always urged myself to know everything. I realize now it is no use. knowing everything is something that we should avoid in order to gain our inner peace. one more thing about a maturing process coincidentally I realized.
once I reminisced a vague note about my first love bloomed in rainy hours. it was the most foolish thing I ever felt. I felt I didn't behave like myself. I felt I was a foolish one though I know I tend to use my head over my heart. however, it was the first time my heart beat for someone.
turning to rain. a keen wind, a frightening light, a perfect thunder. praising those elements of rain which rarely came by this season. if only I could say to El Nino, please be nice to rain who wants to pour us, conveying messages from the past.
P.S. just in case, why I do often write something in English. I found myself within this language.
0 notes
Text
a perfect match in my delusion
A reason why Daisha is seemed similar to other common humans is Taylor Swift. She started to be a fan of Taylor Swift when she was 10. She makes her flight to Edinburgh in order to attend Taylor Swift's concert. Her favorite singer is having a concert in Edinburgh, it is all perfect for her.
At that day, she thought she will be all alone.
"Hi, Daisha?" A familiar voice of a girl. And of course, it is Gwen.
"Gwen? You Swifties too?"
"I told you,"
No more hi. Daisha is indeed not the type of human who can make a flow of conversation if she considers no more thing to say. She thinks it is good enough to say hi. But once more, it is Gwen.
"Here alone?" If she could choose what to kill in terms of emotions, for her, it is awkwardness.
"Talk casually with me. Yes, I am totally alone. Ega will never deal with any concert, he said busy, wasting time, or something. You know."
"Can't agree more," at least she tries to smile and no words anymore.
"Don't you ask someone out? Or maybe someone asks you out?" Gwen is trying to kill ice between them with the kind of questions that might make them friends.
"Nope. A right one hasn't come yet."
"Specifically?"
"Ega never told you?"
"I guess nope. It's private anyway. God, isn’t it way too private? I am sorry," Instantly, Gwen creates a distance.
"Don’t say sorry, I am alright. I know someone. He is not good at speaking, just an ordinary boy. I am a kind of girl who will try to approach someone I think fine. But when it comes to him, all I know is just to be quiet."
Daisha feels so free to talk about him to anyone else. She thought it is too cruel to keep him inside her mind deeply. She does not even realize she spoiled it to Gwen, it feels lighter anyway.
"Don't you try, you know, to approach him?"
"He said we are too different."
That awkwardness starts to bloom between them. The fact that the concert is about to start saves them. One certain thing is he will never belong to her universe.
0 notes
Text
a perfect match in my delusion
Salah satu hal yang membuat Daisha terlihat sama seperti manusia lainnya adalah Taylor Swift. Ia bahkan mulai menyukai Taylor Swift sejak umur 10 tahun. Alasan ia terbang ke Edinburgh salah satunya adalah konser Taylor Swfit yang menjadi agenda wajib baginya. Konser penyanyi favoritnya di kota Edinburgh, sempurna pikirnya.
Hari itu, ia berpikir akan datang sendirian.
"Hi, Daisha?" Suara perempuan yang tidak asing baginya. Dan tentu saja, itu Gwen.
"Gwen? Lo, eh, kamu Swifties juga?"
"I told you,"
Hening. Daisha memang bukan tipe manusia yang bisa melanjutkan percakapan jika menurutnya tidak ada yang penting. Dia berpikir jika sudah cukup untuk memenuhi kewajibannya untuk menyapa itu cukup. Tetapi dia Gwen.
"Lo, eh maksudnya kamu, sendirian?" Jika bisa memilih untuk membunuh satu perasaan di bumi, itu adalah canggung menurut Daisha.
"Kalo mau lo gue ke aku ngga papa kok, Ca. Iya aku sendirian, mana mungkin Ega mau diajak nonton konser, alasannya pasti sibuk, buang-buang waktu, kamu tau sendiri,"
"Iya juga," setidaknya kali ini Daisha mencoba tersenyum dan tentu saja kembali hening.
"Kamu gak lagi deket sama siapa gitu, Ca?" Gwen mencoba membunuh rasa canggung diantara mereka dengan pertanyaan yang sepertinya bisa membuat mereka sedikit lebih dekat.
"Nggak sih, belum nemu yang pas aja."
"Emang harus kayak gimana sih biar bisa pas, Ca?"
"Ega gak pernah cerita?"
"Nggak sih, itu kan private ya, eh, aku nanya terlalu private ya, sorry deh," Gwen seketika menciptakan gestur menjauh dari Daisha.
"Eh, santai aja, Gwen. Ada sih yang pas juga. Dia nggak terlalu pinter ngomong, dia juga cowok biasa aja. Aku biasanya bakal berusaha deket sama cowok yang menurutku menarik, tapi kalo tentang dia, gak tau kenapa aku Cuma bisa diem aja."
Itu adalah kali pertama Daisha merasa bebas untuk mengungkapkan hal tentangnya pada orang lain. Daisha merasa ia memendam hal itu terlalu lama. Hingga ia tidak sadar menumpahkan itu kepada Gwen, tapi anehnya terasa ringan.
"Kenapa nggak coba deket aja, Ca?"
"He said we are too different."
Rasa canggung kembali hadir diantara mereka. Satu-satunya hal yang menyelamatkan mereka adalah fakta bahwa konser dimulai. Satu hal yang benar adalah hal tentangnya yang hampir tak mungkin terjadi di semesta Daisha.
0 notes
Text
a friend
Pagi itu Ega berpikir, pasti Deca sudah mendarat dengan selamat di Edinburgh. Ia benar-benar tidak bisa mengantarnya ke bandara, atau Gwen akan memarahinya. Ega baru teringat akan janjinya ke Gwen tentang makan siang lalu berlanjut ke makan malam, seperti yang biasa mereka lakukan.
Ega berinisiatif untuk memesan tempat terlebih dahulu, atau Gwen akan melakukannya sendiri sambil mengomel tiada henti. Ega melihat-lihat referensi tempat makan yang pernah ia minta dari Deca. Tidak ada yang cocok dengan Gwen sepertinya, pikirnya.
Gwen adalah gadis belasteran Indonesia dan Inggris. Orang tuanya tinggal di London. Sangat cantik, kata Ega, selalu, setiap menceritakan Gwen kepada Deca. Gwen memang selalu bersikap ramah kepada Deca, namun dibalik itu, ia selalu menyimpan rasa penasaran akan hubungan antara Deca dan Ega. Mereka selalu berada disisi satu sama lain.
Siang itu, seperti biasa, Gwen nampak begitu cantik dengan date outfit sederhananya. Ega membukakan pintu mobil untuknya. Lipstik merah nampak selalu cocok untuk cool tone skin Gwen.
"How do I look, Bae?" Tanya Gwen sembari memastikan kembali penampilannya di depan cermin kecil yang selalu ia bawa. Gwen memalingkan kepalanya melihat Ega yang nampak tidak mendengarnya.
"Bae, Ega, I am talking to you. How do I look? Don't you even care?" Gwen nampak kesal.
"Oh, hmmm, gorgeous." Ega nampak fokus untuk bersiap berbalik arah.
"Gak tau kenapa kalo kamu udah kayak gitu aku gak bisa marah. Kamu dah reservasi kan?"
"All done, great, I mean, All done great. Don't worry." Ega masih dingin seperti biasanya.
Gwen hanya mengangguk. Ia tidak lupa betapa dinginnya sifat Ega. Ega memang introvert. Kenyataan yang kadang Gwen lupa dan sesekali tidak bisa ia terima.
Mereka tiba di sebuah restoran. Gwen melihat-lihat gaya restoran yang dipilih kekasihnya. Tidak buruk, tidak seperti yang terakhir kali. Ia mengikuti Ega menuju meja yang telah Ega pesan.
"Restorannya bagus. Tumben kamu bisa milih." Puji Gwen sambil membenahi bajunya.
"Oh ya? Ini referensi Deca, haha, aku pernah nanya ke dia dan dia ngasih kayak ya, beberapa pilihan gitu." Jelas Ega yang nampak tidak tahu akan kekesalan terpendam Gwen kepada Deca.
"Pantesan. Aku kira selera pacar aku dah berubah. Ternyata emang harus pake bantuan Deca. Oh, should I say 'masih'? Ternyata masih harus pake bantuan Deca." Gwen nampak bermain kode dengan Ega.
Ega tersenyum tipis dan mengangguk. Bermain dengan tisu di hadapannya.
"Ega, you know that's your very first smile, today?" Tanya Gwen kesal.
"I don't notice, is it?"
"Yeah, and you smile for Deca. Once we talk about Daisha. You know that?"
"Bae, I--"
"I tried to not think about this all these times. Do you even care about how I look today? No, okay, I will go straight. Will you marry her in the future? I mean Daisha. Will I receive your wedding invitation, guys?" Rasa penasaran Gwen akhirnya tumpah.
"No, why should I--, why should I marry her? I do care about you today and always, Bae. Why should you receive it, okay, why should I give you a wedding invitation? We talked about this, Bae. And we agree to not talk about this anymore." Jelas Ega yang mungkin menjadi kalimat terpanjang yang ia ucapkan hari itu.
"Daisha is waiting for someone, Gwen. Dan aku gak pernah sekalipun berpikir untuk suka sama dia. Sama sekali. Buat apa aku jalanin hubungan ini sama kamu kalau aku suka sama dia. Gwen, I love you. And Daisha is only a friend for me." Sambung Ega sambil perlahan meraih tangan Gwen.
Gwen mendekatkan diri di samping Ega dengan wajahnya yang masih menghadap ke arah jendela di sampingnya.
Makanan yang mereka pesan akhirnya datang.
"Let's eat." Ucap Gwen yang akhirnya berbicara setelah mendengar penjelasan Ega.
"She is waiting for someone." Pikirnya sambil memastikan hal itu dalam dirinya.
Mereka akhirnya melanjutkan kencan mereka hari itu. Semua tentang Daisha sudah terjawab dan hari itu tetap berjalan seperti biasanya.
0 notes
Text
zorro
"Ga, gue ke flat lo sekarang," sambil menggendong kucing hitam kesayangannya, Deca mengirim pesan kepada sahabatnya yang sudah sering direpotkannya.
Kucing hitam itu nampak tidak peduli dengan keadaan sekitar, usianya yang sudah kurang lebih dua tahun sejak ia resmi diadopsi dimana jika dikonversi ke usia manusia, kucing hitam itu sudah berusia 28 tahun.
Telah sampai di apartemen Ega, Deca sabar menunggu selama lima menit lalu mulai nampak gusar.
"Gue telfon baru tau rasa," Deca mulai mengarahkan telepon genggamnya ke telinganya.
"Ega's here," suara serak mulai terdengar.
"Gue di depan,"
"Ngapain?"
"Kan gue dah bilang ke flat lo, tadi udah bilang otewe juga, makanya jangan molor terus,"
"Apaan si lo, ya udah gue turun, disamperin satpam entar gue juga yang kena," Ega mulai menuruti kata sahabatnya walaupun dengan gestur enggan.
Sesampainya di lantai dasar, ia melihat kandang kucing portable yang dibawa oleh Deca dengan kucing hitam bermata biru dan memakai kalung bertuliskan 'Zorro'.
"Titip Zorro?" nada khas Ega ketika Deca mulai meminta tolong sesuatu kepadanya. Nada yang terdengar seperti nada orang tua yang tau anaknya harus membawa tanaman tertentu ke sekolah namun baru memberi tahu tepat sebelum berangkat ke sekolah.
"Nah, gue mau, pas gue ke Edinburgh, si ganteng kesayangan gue ini sehat dan baik-baik saja, jadinya gue titipin ke om nya deh,"
"Zorro tu kucing, Ca. Butuh makan lah pasti,"
"Nah makanya gue titip ke elu biar ada yang kasih makan, inget ya, pagi dia harus makan terus malemnya minum vitamin, ini dah gue list jadwal dia, kapan dia mandi, dah pokoknya lengkap, no worries," Deca mengeluarkan berbagai kertas dari tasnya seraya memberikannya ke Ega.
"Gue aja kalo makan ga pake jadwal kalo inget aja, dikata gue gak ada kerjaan ngurusin beginian,"
"Beginian? Zorro tu bukan barang, Ga, dia itu makhluk terlucu walaupun jutek, but that's his charm, lagian lo tu harus belajar dari kucing gue, makan tu harus teratur dan bergizi, masa makanan aja mahal punya kucing gue," Deca berusaha memberikan edukasi kucing kepada sahabatnya yang sebenarnya acuh tak acuh kepada hewan.
Terakhir kali Ega memelihara hewan adalah ikan yang ia beri nama John yang mati sesaat setelah ia membeli pakan ikan. Ikan yang tidak tahu diuntung, istilah itu yang selalu ia gunakan ketika membahas hewan peliharaan.
Ega terpaksa mengiyakan permintaan aneh temannya itu. Sementara itu, Deca langsung berjalan keluar dari pintu gerbang apartemen.
"Flight besok jam berapa?" Sambil perlahan Ega mengangkat Zorro yang terlihat nyaman di kandang portable miliknya.
"Pagi jam 9, wanna take me to the airport?"
"Gak, gue mau ngurusin kucing,"
0 notes
Text
eggcellent met
Berbelanja sendirian merupakan rutinitas Deca setiap kali ia melihat stok telur di kulkasnya kosong. Ia menganggap telur adalah hal kedua yang paling mudah untuk digoreng selain ikan kaleng yang sudah berbumbu, hanya bermodalkan minyak dan garam, telur goreng siap disantap, berteman roti atau nasi tergantung pilihan dan suasana. Roti untuk sarapan? Hal tersebut hanya mitos ketika Deca hilang arah akibat pekerjaan yang ia putuskan untuk dijalani, jangan berharap ia akan ingat untuk memasak nasi, ia akan segera melupakan fakta bahwa ia memiliki penanak nasi otomatis. Di London, jangan berharap akan mudah menemui orang yang menjual nasi, untuk mendapatkan beras saja Deca harus meminta orang tuanya untuk mengirim paling tidak lima kilogram dari Indonesia, atau jika ingin cepat ia akan pergi ke Asian mart walau harus membayar sepuluh kali lipat.
Kembali ke berbelanja, hari ini bukan hari kerja, melainkan weekend. Hari dimana seharusnya Deca tidur seharian atau hanya sekadar menonton series. Fakta bahwa ia harus membeli telur dan sabun mandi untuk menjaganya agar tetap waras. Ia terpaksa harus beranjak dari tempat tidur.
"Males banget, bisa gak sih gue hari ini gak usah makan, kan harus ngunyah dulu, nelen, belom lagi goreng telur ambil garem, terus...." ia terpaksa berhenti setelah mendengar bunyi perutnya yang seakan menolak tawaran otak Deca untuk tetap di rumah.
"I love my flat sooooo muchhh, please I want a peaceful weekend, won't you let me stay home?" gumamnya kepada perutnya sendiri.
Krrrhhhhh
"Okay, I'll go then," Deca tampak menyerah dan beranjak ke kamar mandi untuk bersiap.
Tak lama, ia sampai di supermarket terdekat. Deca membeli apa yang ia butuhkan dan segera membayar.
Deca berpikir untuk langsung pulang ke apartemen, namun suasana London pukul 8 pagi tepat di London Bridge yang berhadapan dengan London Eye menyilaukan pandangannya. Ia meneguk pure milk ditangannya sambil sesekali memegangi paper bag berisi belanjaan miliknya.
"Daisha? How you doing?"
Suara yang terdengar tidak asing ditelinganya. Ia pertama tidak menggubris setelah beberapa kali ia sering bergumam sendiri dan akhirnya menciptakan imajinasi tak masuk akal dalam pikirannya.
"Daisha?" suara itu kian jelas.
"Deca?"
Akhirnya Deca menyerah dan memutuskan untuk menoleh. Mematung. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Tak percaya apa yang dilihatnya. Dan akhirnya hanya mengucap satu kata.
"Ega."
"Iya, ini gue," ucap Ega sambil perlahan duduk disebelah Deca.
"Taken? I mean this seat,"
"No, it's free, welcome drink?" tawar Deca yang tiba-tiba teringat jika membeli oat milk.
"Masih inget kalo gue alergi susu"
"Sayangnya iya," kali ini Deca mengalihkan pandangan ke London Eye. Nampak indah jika dipandang bersama orang spesial yang tak secara terduga hadir.
0 notes
Text
tomorrow at edinburgh
"Next?"
"Edinburgh."
"For real? You know what Edinburgh serves?"
"Serve what?"
"Ya maksud gue tu di Edinburgh kayak gimana-gimananya emang lo tau?" tanya Ega sambil diam-diam mengetik kata Edinburgh dalam laman pencarian.
"That's why I bought this ticket and pamphlet, 'How to Live in Edinburgh for Two Weeks', sounds unnecessary yet okay, gimana kata lo?" gumam Deca yang perlahan melihat Ega yang sedari tadi hanya mengangguk, karena lelah mungkin atau sudah sangat hafal dengan tingkahnya yang asal menyebut sebuah kota di negeri orang tempat ia belajar sekarang sambil bekerja sesekali, bukan demi uang, namun hanya untuk mengisi kekosongan waktu yang kian hari kian bertambah, maklum sudah tahun terakhir, gumamnya setiap hari. Kekosongan waktunya hanya berteman laptop atau pekerjaan yang ia kerjakan dan bersama Ega tentunya, walaupun hanya sesekali namun cukup membuat Deca merasa masih membutuhkan sosok manusia dalam hidupnya.
"Oke gue temenin," rangkum Ega yang membuat Deca sedikit memelototinya.
"Gak mau! Ega, I can handle all these things by my own hands, apalagi sih, kemana-mana lu ikut, entar kalo ada apa-apa gue ditinggalin lagi," gerutu Deca yang kembali mengungkit kejadian tidak mengenakkan beberapa bulan lalu.
"Kapan gue ninggalin elu?"
"Ya kalo cewek lo ngomelin gue lagi berabe, lagian udahlah sebelum lu kesini juga gue dah sering pergi sendiri, making friends, having chitchat, no worries, all good," jelas Deca mencoba meyakinkan Ega untuk tidak pergi bersamanya.
Ega tak lagi berkomentar, hanya melihat punggung Deca yang sengaja ia biarkan pergi beberapa meter lalu kembali menyusul. Tanpa sepatah kata apapun, mereka berpisah seperti biasa di London Bridge. Tak ada alasan untuk berpisah, sesederhana karena apartemen mereka yang terpisah cukup jauh.
"Lo yakin? Gue denger-denger Edinburgh banyak old town, you can handle these situations? No fast food or online shopping perhaps, are you sure?"
"More than sure, I am not an 18-year-old girl anymore, I am 24, that's the fact that you have to accept, Ga,"
"See you in two weeks then," pungkas Ega yang langsung hilang dari muka Deca.
Deca tak mengerti situasi apa yang sedang ia hadapi. Pikirannya sekarang hanya tentang pukul berapa untuk berangkat besok.
0 notes
Text
London at 8 P.M.
"Sibuk banget kayaknya," ejek seseorang sambil perlahan berusaha memakan burrito.
"Mendingan gue daripada orang gila yang makan burrito jam 8 malem," balas seorang gadis yang tetap menatap layar laptopnya dan tampak menunjukkan gestur 'no touch' andalannya ketika merasa terusik.
"Mendang mending lo ya, lagian lo ngerjain apaan si, Ca? Kirain dah selese dari sebulan kemaren dah."
"Udah ya, mending lo bantuin gue, ngatain mulu sponsorin kagak lu," timpalnya.
"Order number 25!" Seru pegawai kafe mengisyaratkan pesanan mereka telah siap.
"Nih ya, gue kasih tau, kalo gue ga ada, siapa yang bakal ambilin pesenan matcha pait lo itu," pungkas laki-laki itu sambil berusaha menarik kursi untuk mengambil pesanan minuman mereka.
Faktanya, mereka memang sering bertengkar. Benar, kebanyakan tidak penting, terkesan tidak perlu untuk didengarkan. Namun, tebak berapa lama mereka menjalani rutinitas itu. Tidak, itu lebih dari tiga tahun. Rutinitas itu sudah lebih dari tujuh tahun.
Iya, tujuh tahun. Mereka itu Deca dan Ega.
1 note
·
View note