Text
A hope.
I wish...
It took me almost five minutes to finish the sentence above. At this point, I donât know what to wish for anymore. Do you know that âwishâ is often used to describe any desire that seems impossible?
In exchange, we use the word âhopeâ. To pray for something that can possibly happen in the future. We hold on to hope, and wait for the future where all of our hopes (hopefully) come true. But itâs not always the case, right? Hope is not something that easily come true. More further, I think hope is something abstract, something unknown, something unsure, just like the future itself. Are we afraid to hope just like weâre often afraid to face the future? No, sometimes we find that hope is the only thing that keep us going. Keep us walk into the unknown, scary future, with hope that guide us all along, we go through all the possibilities in this life that lead us to our future.Â
Hope works like the light in the darkest place. It makes us see whatâs in front of us.
What makes you wake up in the next day, after spend all night crying because of the bad day you had? Itâs hope.
You know very well that life doesnât always go as you planned. That is when hope creeps in. It makes you think that there will always be another possibilities that can happen, thatâs what make you keep going, day by day. Thatâs how you live.
There is also a moment when you feel like itâs useless to have any hope, when anything that you hope for doesnât happen at all. But instead, life throws you something that you didnât hope for. It almost feels like weâve been cheated. But what can you do beside to hope? Even you think you donât depend on anything or anyone, you hope that yourself is strong enough to face anything in this world. You hope that you, yourself is enough. You donât have any choice beside to hope, right?
You hope that you will be alright. You hope that you donât messed up. You hope that somehow you can find a way to heal yourself. You hope that tomorrow will be different. And thatâs totally fine. Thatâs okay. If the sun still rises tomorrow, why are you afraid to have hope?
0 notes
Text
#KelanaAgi 3 ft. Hasna: 6 Days in Bangkok
Sawasdee ka!
Gue baru aja balik dari trip ke Thailand beberapa bulan yang lalu. Awalnya, gue, Hasna dan Alika udah ngerencanain trip ini dari akhir tahun 2017. Berawal dari keisengan gue yang ingin ngajak main-main ke Spore atau Malay aja, malah disambut dengan ide Hasna yang mau ngerasain minum teh di Thailand (yes, I mean Thai Tea).
Rencana ini sempat menjadi sebuah wacana, karena tiba-tiba di akhir tahun Hasna harus kehilangan pekerjaannya. Gue, sebagai orang yang paling excited dan udah bikin list itinerary, tidak patah semangat. Bahkan, di akhir Januari gue secara impulsif membeli tiket pulang Thai-Indo tanpa tahu kapan beli tiket perginya HAHA bahkan di saat gue melakukan hal ini, Hasna dan Alika belum ngurus paspor sama sekali. Prinsip gue sekarang, âdonât stop for anybody�� Karena kalau nggak gini, nggak bakal jalan sama sekali.
Sambil bikin itinerary dan juga nunggu kabar dari Hasna dan Alika, gue memutuskan buat beli tiket pergi di bulan Maret. Alhamdulillah, Hasna akhirnya dapet kerjaan lagi dan jadi ikut gue ke Thailand, sedangkan Alika ada UAS di tanggal gue pesen tiket pulang-pergi. Jadilah kita berdua meninggalkan Alika yang bete karena ternyata jadwal UAS-nya setelah kita pulang ke Indo dan harusnya dia bisa ikut cabut ke Thai haha.
Selanjutnya gue bakal share itinerary, pengalaman dan tips-tips kecil yang semoga bisa membantu petualangan kalian di Bangkok, ya!
Tips sebelum berangkat:
Pastikan kalian aktifin roaming data sebelum berangkat. Gue dari tahun lalu pasti selalu aktifin XLPass (walaupun sekarang harganya udah naik hampir dua kali lipat huhu) yang roaming datanya masih termurah dibanding provider lain. Coba aktifin via Traveloka, ya, karena kemarin gue dapet potongan harga. Atau bisa beli AIS SimCard, harganya sekitar 150 ribuan dan bisa dibeli di Tokopedia (dapet info ini dari Aji yang udah duluan berangkat ke Thailand).
Day 1: May 9th, 2018
Berhubung flight gue dan Hasna beda karena kita nggak booking bareng, jadilah gue subuh-subuh buta ke bandara dianter nyokap. Anyway, buat kalian yang booking dari Pegipegi, coba sering-sering cek flight kalian deh, ada perubahan jadwal atau engganya via Flightradar24 atau web check-in. Gue sempet panik karena pas gue mau web check-in, flight gue yang semula pukul 06.10 berubah menjadi pukul 05.25. Gue nggak mendapat pemberitahuan apapun dari Pegipegi maupun Malindo Airnya di email. Setelah gue cek di Flightradar24, udah beberapa minggu terakhir flight gue emang berubah jadi lebih pagi. Sedangkan waktu gue booking via Traveloka, terminal keberangkatan berubah pun gue dapet notifikasinya. Jadi, usahain cek secara berkala, ya, sebelum berangkat. Jangan sampai panik kayak gue haha.
Gue sampe di bandara sekitar jam 3 pagi. Berhubung gue nggak pernah dapet flight sepagi ini, gue baru tau ternyata check-in gate pun juga bisa tutup. Gue yang awalnya berniat langsung drop bagasi dan bobo-bobo ayam di boarding room pun kecewa. Sekitar jam 4 pagi, check-in gate baru dibuka dan antrian pun udah super panjang karena banyak yang flight pagi dan buru-buru. Hal ini pun sempet bikin gue murka, karena pas gue mau drop bagasi, gue disuruh ngelewatin x-ray lagi buat dapet sticker âsecurity checkâ. Menurut gue ini buang-buang waktu banget, sih, kenapa ngga dari awal ngelewatin x-ray langsung ditempel sticker? Dan karena kejadian ini pula, gue disuruh ngebongkar koper karena gue nyimpen powerbank cadangan di dalam koper. I mean, gue udah ngelewatin x-ray YANG SAMA sebelumnya, kenapa baru di kali kedua dia minta gue bongkar? Apakah pas pertama kali mesinnya belum berfungsi? Hanya Tuhan dan petugas bandara yang paham.
Gue punya waktu transit di Malaysia sekitar 7 jam. Awalnya gue mau ide ke Twin Tower, tapi kok rasanya lemes banget, ya. Apa mungkin karena early-morning flight dan gue belum tidur sama sekali dari malemnya. Akhirnya gue memutuskan buat naik shuttle bus ke Mitsui Outlet Park. Jadi, ini mall di kawasan bandara. Mereka nyediain free shuttle bus dari KLIA dan KLIA2. Rutenya searah, sih, jadi MOP-KLIA2-KLIA-MOP.Â
Anyway, karena gue landing di Gate C KLIA, gue harus naik aerotrain menuju main terminal building untuk melewati imigrasi. Setelah melewati imigrasi, gue sempet muter-muter bodoh di lantai 1 buat nyari tempat naik free shuttle bus-nya MOP. Gue nyasar ke konter bus antar-kota dan nunggu beberapa menit di sana, kemudian sadar kalau ternyata shuttle bus-nya berada di exit gate 2 lantai 1. Kalian bisa cek jadwal shuttle bus-nya di sini.
MOP ini terdiri dari dua lantai dan bangunannya memanjang. Jadi agak lumayan capek juga muternya hehe. Ekspektasi gue, sih, mall ini rame. Tapi ternyata sepi banget. Di sini ada beberapa merk kayak Adidas, NB, Asics, Cotton On, Typo, Watsons, Bratpack, Teva, dan lain-lain. Rata-rata barang diskon, sih, dan mungkin juga beberapa barang sisa dari konter aslinya. Ada tempat makan juga, tapi bukan fast food, jadi gue nggak familiar sama sekali. Gue pun nggak beli apa-apa karena nggak tertarik sama barang-barangnya.
Dengan dorongan rasa kantuk yang kuat, akhirnya gue balik ke KLIA. Sebelum masuk imigrasi, gue sempet nongkrong di McDonaldâs sekitar sejam. Lokasinya pas banget di sebelah International Departure gate. Gue beli set-nya Ayam Spicy, dapet dua potong ayam, kentang, dan minum yang large. Harganya sih normal ya, sama aja kayak di Indonesia.
Kebetulan gue cek, boarding gate gue udah ada di display. Karena berniat mau bobo dulu sebelum flight, akhirnya gue nyari tempat tidur di deket boarding gate gue. Lumayan, dapet tidur sejam di bangku panjang sebelum ada segerombolan ibu-ibu intervensi dan suara obrolan mereka bikin gue bangun. Akhirnya gue mutusin buat keliling bandara. Tenant di KLIA ini menurut gue lebih lengkap dibanding MOP. Gue spend waktu lumayan lama di Lonely Planet World, liatin buku-bukunya. Sempet ke musholla juga buat solat. Mushollanya adem, luas, dan sepi. Bahkan view-nya pun ke lapangan udara.
Di pesawat, gue kembali tidur sepanjang perjalanan. Sempet kebangun buat makan piza yang diserve sama pramugari, dan kebetulan yang duduk di sebelah gue pasangan dari Indonesia yang obrolannya bisa gue dengerin sepanjang jalan walaupun gue udah pake headset. Oh iya, di flight ini bahkan ada in-flight entertainment, loh. Bahkan ada wi-fi on board-nya, sayang gue nggak sempet nyoba karena sibuk ketiduran. Gue sempet heran, sih, orang yang duduk di depan gue sibuk youtube-an, tapi dengan positifnya gue mikir mungkin dia pake fitur saved offline. Mungkin next time kalo gue naik Malindo lagi bakal gue coba wi-fi on boardnya.
Gue tiba di Don Mueang (DMK), dan imigrasinya super antri. Mungkin karena flight gue berdekatan dengan banyak flight yang selangnya cuma 5-10 menit kali, ya. Kebetulan flight gue dan Hasna cuma selisih 10 menit. Jadi nggak lama gue lewat imigrasi dan ambil bagasi, Hasna bisa nyusul di belakang gue.
Dari DMK, kita naik shuttle bus ke hostel. Jadi, selama hostel-hunting ini, gue emang nyari di daerah yang banyak dilewati rute-rute transportasi publik. Terutama yang daerahnya strategis. Awalnya, pilihan gue ada di dua tempat, yaitu Khao San Road dan Chatuchak. Tapi setelah gue liat-liat, kok nggak ada yang sreg, ya? Antara bagus tapi di luar budget, atau pas di budget tapi, kok, kayaknya nggak worth it. Mungkin karena dua area ini adalah area yang hits bagi para turis. Khao San Road pun kita coret dari list karena terlalu pricey untuk fasilitas hostel yang seadanya. Akhirnya gue bukalah google maps, dan gue liat nama daerah yang masih di sekitar Chatuchak tapi dilewatin sama rute BTS. Dari pencarian ini, jadilah kita memasukkan Phaya Thai sebagai perimeter pencarian hostel kita.
Di Phaya Thai ini, banyak banget hostel yang budgetnya terjangkau. Bahkan banyak hostel ala-ala yang instagramable. Akhirnya, pilihan kita pun jatuh kepada Buff Hostel. Lokasinya strategis, deket stasiun BTS, deket bus stop, bahkan ke Chatuchak pun jaraknya hanya walking distance. Harganya pun murah, sekitar 250 ribu permalam kita udah dapet kamar kapasitas dua orang dan ber-AC, tapi shared bathroom.
Anyway, hostel kita pun dilewati shuttle bus dari DMK. Nomor bus-nya A2, bisa kalian tunggu di exit gate dari International Arrival. Kebetulan pas kita nunggu, ada petugas bus-nya yang helpful, tapi bahasa Inggrisnya agak berantakan. Jadilah setelah nunggu sekitar 15-20 menitan, dia bilang bus A2 masih lama dan nyuruh kita naik shuttle A1 aja, turun di BTS Mo Chit kemudian lanjut naik BTS. Shuttle bus ini ada empat rute ya, A1 - A4. Kalian bisa googling sendiri rutenya kemana aja daaan biayanya hanya 30 baht! Bus ini full AC dan lewat tol, tinggal tunjukkin aja tujuan kalian (gue nunjukkin rute di google maps) dan kondekturnya nanti yang ngasih tau kapan kalian harus turun.
Tips: Kalau kalian landing di Suvarnabhumi, ada kereta penghubung ke BTS Station dari airport. Bisa menghemat budget juga dan menurut gue transportasi publiknya udah baggage-friendly, sih. Tapi kalau turun di Don Mueang, shuttle bus A1 - A4 ini rekomendasi banget, dari segi harga dan kenyamanan. Tapi kalau kalian trip lebih dari 4 orang, mending naik taksi/grab, karena cost-nya bisa dibagi dan lebih nyaman.
Setelah perjalanan sekitar sejam, kita turun di BTS Mo Chit. Setelah kita cek, hostel kita ternyata masih sekitar 3km. Akhirnya kita mutusin buat naik BTS ke Saphan Kwai (hanya 1 stasiun dari Mo Chit). Anyway, BTS ini pengukuran tarifnya sesuai jarak antar stasiun, ya. Jadi nanti di mesinnya tinggal dipilih aja yang berapa tarifnya, lalu masukkin koinnya. Kalian belum punya koin? Tenang, loket stasiunnya bisa jadi tempat buat nukerin uang, kok. Di beberapa stasiun BTS, bahkan ada mesin yang bisa pakai uang kertas dengan pecahan maksimal 100 baht.
Tips: pisahkan uang koin dan uang kertas kalian. Biar pas beli tiket atau bayar bus gampang nyari recehnya. Karena pecahan uang koin baht ada yang 1, 2, 5 sampai 10, jadi lumayan sering dapet kembalian uang koin kalo abis belanja.
Lokasi hostel kita letaknya sekitar 1 km dari BTS Saphan Kwai. Lokasinya pun strategis banget, ada supermarket Big C, trus ada banyak street food yang buka dari pagi sampe malem di depannya. Banyak 711 juga di deket hostel kita, bahkan ada rumah sakit dan kedai makan yang harganya masih affordable.
Day 2: 10th May, 2018
Keesokan harinya, kita berangkat menuju Hua Hin! Destinasi kita ada dua, yaitu Camel Republic dan Santorini Park. Sekitar jam 7 pagi kita udah keluar hostel dan order grab menuju Mo Chit Bus Terminal karena rute bisnya agak tricky dan jalan kakinya agak jauh (emang mager aja anaknya haha). Sesampainya di sana, satu terminal isinya konter tiket. Karena bingung, kita tanya satpam âHua Hin?â dan mereka langsung ngerti. Setelah pesen tiket van ke Hua Hin (cukup bilang Santorini Park dan petugas pun langsung paham), kita disuruh nunggu karena van kita jadwal berangkatnya jam 7.30. Harga tiketnya 160 baht untuk sampai ke Cha Am, tapi kalau kalian mau ke Hua Hin jadi 180 baht. Kita pun memutuskan untuk ke 711 untuk beli air mineral.
Setelah kita balik ke bangku di depan konter, ada bapak-bapak yang ternyata supir van kita yang nyamperin dan nyuruh kita ikut dia ke van. Ternyata van-nya udah penuh. Seating di van-nya sama persis kayak kalian naik MRTrans atau Cititrans ke Bandung. Gue sempat tertidur beberapa kali, tapi selalu kebangun karena supirnya rada gila bawa mobilnya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam, kita turun di depan Santorini Park. Jadi, jalanannya itu semacam jalan besar (tapi bukan tol) dan kendaraan yang melintas semua superkenceng. Kita diturunin di depan Swiss Sheep Farm, yang terletak persis di seberang Santorini Park. Karena tujuan utama kita Camel Republic, akhirnya kita jalan kaki sejauh sekitar 1 km. Tapi belum lama kita jalan, ada seorang ibu dari dalam mobil yang nanya kita mau kemana dan nawarin kita buat nebeng.
Awalnya kita pikir ibu ini orang Indonesia atau Malaysia karena logat melayunya, ternyata dia asli Thailand dan seorang muslim yang punya warung nasi di daerah Cha Am. Akhirnya kita pun nebeng dan terhindar dari panasnya matahari Thailand yang sangat menyengat.
Harga tiket masuk ke Camel Republic 150 baht, dan kita sempet dikasih potongan wortel untuk ngasih makan hewan di dalam. Tempat ini menurut gue masih sangat underrated, sih, dibanding Santorini Park. Pas gue ke sana sepiiii banget. Cuma ada beberapa keluarga dan satu gerombolan anak TK-SD. Mungkin karena pas di tengah minggu juga kali, ya. Tapi dari segi ambience dan dekorasi, menurut gue mereka berhasil menghadirkan nuansa Timur Tengah. Walaupun beberapa dekor dengan Unta terkesan agak maksa karena kebanyakan.
Oh iya, di Camel Republic ini juga banyak banget hewan-hewan yang bisa kalian kasih makan langsung. Harga makanan hewannya exclude dari harga tiket, ya. Gue dan Hasna sempet nyoba ngasih makan Flamingo, tapi gue panik karena mereka sangat agresif. Setelah gue perhatiin, pantes aja mereka agresif, ternyata gue orang pertama di hari itu yang ngasih mereka makan. Soalnya setelah itu, pengunjung jadi rame rebutan ngasih mereka makan dan mereka nggak se-agresif pas sama gue sebelumnya.
Setelah puas muter-muter dan foto-foto, kita langsung memutuskan buat jalan ke Santorini Park. Karena lokasi Santorini Park ada di seberang jalan, kita nyebrang lewat tunnel tempat mobil dan motor putarbalik. Info soal tunnel ini gue dapet dari hasil baca-baca blog orang. Ada beberapa yang bilang 'ah bohong tuh' atau 'mana ngga ada', mungkin mereka termasuk netijen mager. Karena lokasi tunnelnya sekitar 10 meter dari pintu masuk Swiss Sheep Farm. JADI nggak tepat di tempat van berhenti buat menurunkan kalian.
Tiket masuk Santorini Park seharga 150 baht, udah termasuk free one ride. Tapi rides di theme park ini kebanyakan lebih ke wahana receh, sih. Semacam wahana yang cuma cocok dinaikkin sama anak SD.
Begitu sampai di Santorini Park, kita berdua memutuskan untuk langsung cari tempat makan siang karena udah laper banget dan paginya nggak sempet sarapan. Ada beberapa opsi restoran di dalam Santorini Park. But you've been warned, ya, harganya pricey abis. Dengan idenya, gue ngajak Hasna makan di Miffy's cafe yang superhits (dan herannya sepi. Apa karena theme park-nya juga sepi, ya?) dan disambut dengan baik.
Tips: kalian bisa bawa makanan dan minuman ke dalam Camel Republic dan Santorini Park. Lumayan banget untuk ngehemat, sih. Di pintu masuk pun nggak dicek sama penjaganya. Kalian bisa nge-save setengah dari budget makan kalian di dalam tempat ini dan makan dengan budget normal, trus uangnya bisa buat belanja, deh.
Somehow, gue merasa ambience Camel Republic lebih berasa dibanding Santorini Park yang lebih terkenal. Mungkin karena di Santorini Park banyak dekor-dekor yang 'out of place' dari temanya, sehingga bikin kita ngerasa kayak 'apaan, nih?'
Kalau kalian mau balik ke Bangkok dengan naik van, kalian bisa langsung ke Information Center yang ada di pintu masuk Santorini Park. Di sana kalian tinggal bilang 'van to Bangkok' dan biasanya disuruh nunggu dulu sama penjaganya. Sekitar 10-15 menit kemudian, dateng deh mobilnya.
Setelah sampai di Bangkok, kita memutuskan untuk jadi turis sejati dan menuju ke Khao San Road. Ini pertama kalinya kita nyoba buat naik bis umum. Kita naik dari terminal Bis yang walking distance dari Mo Chit Bus Terminal. Terminal ini letaknya ada di lapangan luas, beda sama Mo Chit Bus Terminal yang letaknya ada di dalam gedung. Bis-nya ber-AC dan menurut gue udah termasuk nyaman. Terminalnya pun udah jauh lebih teratur dibanding Indonesia, karena udah ada pos-pos tersendiri untuk masing-masing rutenya. Tarif bus-nya cuma 19 baht! (menangis).
Berhubung gue agak mabok darat karena kelaperan, sesampainya di Khao San Road kita langsung cari makan. Gue insist mau makan nasi, karena udah dua hari belum nyentuh nasi sama sekali (maklum, mental orang Indonesia).
Tips: jangan belanja di Khao San Road. Harganya bisa dua kali lipat dibanding Chatuchak Market, Asiatique atau Platinum Mall. Agak nyesel karena kalap duluan di sini. Udah nawar aja masih dapet harga yang lumayan tinggi dibanding di tempat lain.
Day 3: 11th May, 2018
Hari ini destinasi kita menuju Erawan Museum, Grand Palace, Wat Arun, Wat Pho, dan Asiatique. Sungguh ambisius, bukan?
Tips: to save the time and budget, kayaknya mending ke Wat Arun + Wat Pho dibanding ke Grand Palace. Tapi kalau kalian punya waktu dan budget, nggak ada salahnya juga datengin ketiganya karena emang destinasi must-visit kalau ke Bangkok. Tapi agak nyesel sih karena cuma ke Grand Palace (dan harganya lumayan) dan nggak dapet ke Wat Arun dan Wat Pho.
Kebetulan hari ini kita bangun agak kesiangan, padahal Erawan Museum ini lumayan jauh jaraknya dari hostel. Dari hostel kita naik BTS sampai BTS Samrong. Sebenernya bisa lanjut naik bis umum, tapi karena rute yang ditunjukkin Google Maps agak membingungkan, kita mutusin buat naik Grab Car.
Harga tiket masuk ke Erawan Museum ini 400 Bath. Agak mahal memang, tapi gue ngebet banget mau ke sini setelah liat foto-foto interiornya di Google dan bingung kenapa tempat ini nggak mendapat liputan sebanyak Grand Palace atau temple-temple lainnya.
Erawan artinya Gajah. Jadi, Erawan Museum ini merupakan museum dengan patung gajah supergede berkepala tiga yang terletak di atas bangunan utama museum tersebut. Ketiga kepala ini merepresentasikan Dewa Brahma, Vishnu, dan Mahesh di dalam kepercayaan Hindu. Saking besarnya patung gajah berkepala tiga ini, bisa terlihat dari jarak sejauh 100 meter dari jalan raya.
Museum ini didominasi oleh cat berwarna pink. Di pekarangannya ada banyak patung-patung Gajah yang colorful berbagai warna mengelilingi bangunan utama museum. Detail ukiran-ukirannya dari luar, sih, udah terlihat mantap dan sedap. Gue optimis.
Sebelum masuk ke dalam bangunan utama museum, kita harus lepas alas kaki dulu. Pas masuk ke dalam, sumpah sih aku panas-dingin. Gue bukan optimis lagi. Rasanya ingin menari di dalam sambil nggak berkedip. Asli. CANTIK. BANGET. Detailnya super gila. Super detail. Super keren. Nggak bisa diceritain, harus liat sendiri. ASLI.
Sebenarnya nggak banyak hal-hal yang bisa diliat di dalam. TAPI DETAILNYA ASLI SIH BIKIN MATA TERHARU. Di basementnya baru terisi pajangan dan diorama layaknya museum pada umumnya. But it's nothing compared to the details upstairs. Jadi, setelah sampai di lantai paling atas, sebenarnya ada tangga putar dan lift yang menuju ke atas. Asumsi gue sih bisa ke atap, atau at least sampai kaki patung gajah berkepala tiga. Tapi setelah kita coba untuk naik dan agak pusing karena tangga putarnya semacam endless, akhirnya kita memutuskan buat balik turun. Belum lagi dinginnya ac di tangga bikin merinding. Ambiencenya jadi semacam sakral gitu, ceu.
Destinasi selanjutnya yang mau kita tuju yaitu, Grand Palace. Estimasi dari Google Maps sekitar 1,5 jam dengan naik bis umum. Di perjalanan sempat turun hujan rintik-rintik, bikin panasnya Bangkok jadi agak kalem dikit. Untungnya, bis ini naik tol. Jadi waktu tempuhnya agak lebih cepat. Pas kita sampai di Grand Palace, asli rame banget kayak Ancol pas lebaran. Apalagi cuacanya lagi adem abis hujan. Orang-orang kayaknya juga baru pada keluar lagi sehabis berteduh.
Tiket masuk Grand Palace lebih mahal lagi, yaitu 500 Baht. Sayangnya, kita nggak sempet ke Wat Arun maupun Wat Pho karena waktunya udah mepet. Kita sampai di Grand Palace sekitar jam 2 siang, sedangkan Wat Arun dan Wat Pho tutup jam 4 sore. Berhubung Grand Palace super luas dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mengeksplornya, maka kita pasrah merelakan Wat Arun dan Wat Pho.
Berbeda dengan Erawan Museum, audio guide di Grand Palace dikenakan biaya. Gue lupa berapa biayanya, sekitar 100-150 Baht kalau nggak salah. Nggak sempet fotoin infonya karena buru-buru takut nggak sempet eksplor puas di dalam Grand Palace.
Grand Palace ini merupakan sebuah kompleks yang berisikan gedung-gedung pemerintahan (at least itu yang berhasil gue tangkep di tengah crowded-nya manusia dan sibuk mengamati detail-detail bangunannya). Setelah puas dan capek muter-muter Grand Palace, kita memutuskan buat langsung ke Asiatique karena udah jam setengah lima.
Dari Grand Palace, kita mencoba naik riverboat dari Tha Chang Pier (tinggal jalan 5 menit aja!). Oh iya, nama providernya Chao Phraya Express Boat ya. Riverboat ini mengarungi sungai di kota Bangkok yang super lebar dan arusnya pun lumayan kenceng sih. Walaupun airnya berwarna agak butek, tapi nggak ada bau menyengat sama sekali. Menurut gue bisa sih dijadiin benchmark untuk transportasi air dalam kota di Jakarta.
Riverboat ini kapalnya terbuka ya. Jadi kadang kalo lagi deres banget arusnya bisa nyiprat-nyiprat cantik. Ada kursi 3-3, tapi kalo penuh kita harus berdiri. Ya mirip-mirip kalo naik patas di Jakarta. Berikut rutenya yang terdapat di antrian dermaga. Semoga kebaca! Hehe.
Setelah turun, kita harus jalan kaki dulu untuk menuju Asiatique-nya. Deket kok, sekitar lima menitan. Asiatique ini tempatnya super foto-able dan enak buat window shopping. Cuma karena dia bentuknya berblok-blok gitu, mungkin agak ngebingungin untuk pertama kali. Gue pun sempet muter-muter di tempat yang sama karena terkecoh. Buat belanja pun barangnya oke dan harganya manusiawi, bahkan bisa di bawah harga Khao San Road.
Di sini ada bianglala yang ikonik banget, yang baru nyala setelah hari mulai gelap. Toko-toko di sini pun baru buka sekitar jam 4 sore. Ambiencenya agak mirip-mirip kafe di pinggir pantai Ancol, bedanya kalo di sini ada di tepi sungai. Selain bianglala, ada beberapa atraksi yang bisa kita mainin (tiketnya terpisah satu sama lain), gue nggak tertarik jadi kurang tau ada apa aja atraksinya. Makanan di sini pun termasuk murah! Gue dan Hasna bisa makan kenyang di sini dan dengan harga yang reasonable.
Setelah puas keliling dan belanja, gue dan Hasna memutuskan untuk pulang karena capek seharian banyak jalan. Setelah melepas lelah di hostel, gue dan Hasna memutuskan untuk membeli oleh-oleh makanan di Big C Supermarket yihaa. Beli macem juhi-juhian yang hits, coklat, Nestea Thai Tea, dan segala rupanya. Gue sempet menemukan section dimana cemilan-cemilan ini dijual dengan bulk price, yang pastinya lebih murah dan masuk banget ke budget buat oleh-oleh orang banyak.
Day 4:12th May, 2018
Hari ini jadwal kita ke Chatuchak Weekend Market!
Kita bangun pagi-pagi, dan memutuskan buat jalan kaki sekitar 1km untuk mencapai Chatuchak. Jujur, kita sebuta itu sama Chatuchak dan nggak berinisiatif buat nyari tau dulu tentang peta pasarnya. Tujuan utama kita yaitu mencari sisa oleh-oleh karena Hasna besoknya akan pulang duluan. Setelah berkeliling sekitar 2 jam, akhirnya kita berhasil nemuin semua oleh-oleh yang kita mau.
Untuk harganya sendiri, menurut gue pribadi sangat beragam, sih. Tergantung kita mau cari apa dan yang kualitasnya kayak gimana. Ada beberapa barang di toko fancy yang emang pricey, tapi worth it karena modelnya nggak pasaran. Ada barang yang pasaran tapi dengan harga yang terbilang murah. Setelah kelar belanja, kita mutusin balik ke hostel buat mandi karena kita mau ke Madame Tussauds!
Madame Tussauds terletak di dalam Siam Center. Dari hostel kita, cukup sekali naik BTS dari Saphan Kwai dan turun di BTS Siam. Sebelum berangkat ke Thailand, kita udah beli tiket di aplikasi Klook! Harganya lebih murah dibanding beli di Traveloka. Tapi coba cek dua-duanya aja ya, mungkin kurs-nya bisa lagi beda waktu itu.
Kita ngabisin waktu sekitar 2-3 jam di Madame Tussauds. Kita sampai muterin museumnya dua kali plus nonton Ice Age 4D Show haha karena agak sayang, sih, dengan harga sekitar 400ribuan tapi museumnya lumayan kecil. Setelah dari Madame Tussauds, kita cari money changer karena udah keabisan uang tunai Baht dan menurut info yang kita baca-baca di internet, kalau ambil cash di ATM kena charge sebesar 250 Baht huhu lumayan banget kan buat belanja di Chatuchak :(
Setelah googling, gue mendapat rekomendasi untuk nukerin uang di Superrich Thailand, counternya ada di Siam Paragon. Menurut info di internet, money changer ini punya best rates buat nukerin uang. Gue tukerin Ringgit dan Rupiah, dan harganya emang nggak selisih jauh dibanding pas gue nukerin di Jakarta. Gue pun turut mampir ke Cha Tra Mue buat beli Thai Tea yang masih berupa bubuk daun gitu buat diseduh (titipan kakak). Anyway, Cha Tra Mue ternyata bentuknya macem Starbucks Cafe gitu, dan gue pun baru tau kalo mereka juga punya menu es krim Thai Tea!
Dari Siam Paragon, kita jalan kaki menuju Platinum Mall. Jaraknya lumayan, kita jalan lewat jalan belakang mall Siam yang nembus ke Platinum. Di Platinum kita nggak belanja banyak, karena udah bingung juga mau beli apa haha sayang sih datengnya udah sore dan toko udah banyak yang siap-siap buat tutup. Hasna juga nggak terlalu suka belanja, jadi gue nggak punya temen buat ngubek-ngubek Platinum haha.
Day 5th: May 13th, 2018
Hari ini Hasna pulang :( gue awalnya mau sightseeing keliling Bangkok, namun apadaya badan udah capek diajak jalan nonstop selama 4 hari, jadi gue memutuskan untuk bangun siang. Trus dengan idenya, gue jalan lagi ke Chatuchak untuk muterin dengan tuntas seisi pasarnya haha. Ide ini berakhir dengan gue kalap belanja baju yang harganya 100 Bath (sekitar 45ribu rupiah). Saking kalapnya, gue harus pasrah narik uang di ATM dan kena charge 250 Bath :(
Setelah kelilingin Chatuchak sampe dua kali, gue menemukan bahwa ada section khusus yang jual baju-baju preloved yang branded dan masih mulus, bahkan ada yang jual jeans ala inang-inang yang kalo dirupiahin cuma 20 ribuan! Sayang sizenya besar semua, padahal gue naksir banget sama overall jeansnya :(
Di deket section preloved clothes ini pun gue menemukan Musholla kecil, tapi gue nggak sempet mampir karena kebetulan lagi haid. Oh iya, section ini sederetan sama section distro-distro estetik ya, tapi gue lupa deket gate berapa haha. Pokoknya kalo masuk dari pintu utama, kalian belok ke arah kanan aja, nyusurin kios-kios yang nempel deket pager.
Setelah puas mengarungi Chatuchak, sempet kehujanan pula, akhirnya gue pulang dan memutuskan untuk nggak kemana-mana lagi karena takut uang gue habis HAHA. Untungnya wifi hostel kenceng, jadi gue bisa streaming drama korea semaleman. Malamnya gue sempet main lagi ke Big C Supermarket buat beli cemilan-cemilan lucu buat oleh-oleh (lagi).
Day 6th: May 14th, 2018
DI SINI DRAMA PANIK BUAT PULANG DIMULAI. Jadi guys, ternyata di hari kepulangan gue ini bertepatan dengan public holiday-nya Thailand. Gue yang udah megang cash pas-pasan, takut ngga cukup buat naik Grab + bayar tol ke airport. Takut juga kalo shuttle bus ke airport-nya libur karena public holiday. Jadilah gue pagi-pagi sekitar jam 7, jalan ke halte terdekat dan nungguin shuttle bus itu lewat. Ternyata lewat!!! Gila gue super seneng banget liat shuttle busnya. Sampe diliatin orang-orang di halte gitu karena gue sempet teriak. Akhirnya gue segera balik ke hostel, mandi dan packing, buru-buru geret koper ke halte lagi. Takut hujan juga soalnya, karena kemarin tiba-tiba hujan di Chatuchak.
Akhirnya gue sampe 5 jam lebih awal dari flight gue, bahkan check-in counternya pun belum buka. Pas gue lagi duduk di McD, nggak taunya udah hujan badai di luar sana! Sebadai itu sampe air hujannya nyiprat-nyiprat ke dalam bandara.
Setelah nunggu sekitar 2 jam, akhirnya bisa lewatin imigrasi dan nunggu di boarding room. Astaga geng, boarding room-nya super padet banget kayak lagi bedol desa. Sempet beli McD buat makan di pesawat, eh harganya pun lebih mahal dibanding counter di luar bandara hiks. Jadilah dengan receh-receh sisa aku beli cheeseburger buat di pesawat.
Pesawat nggak delay dan nggak telat sama sekali. Akhirnya aku sampai di rumah setelah 6 hari di Thailand! Kalau ditanya mau balik lagi ngga ke Thailand? Mauuuu banget! Jajanannya asik banget dan enak, yang terpenting muraaah! Mau ke kota-kota lain juga, kayak ke Chiang Mai, atau ke Pattaya juga boleh. Mungkin next trip bakalan ke Phuket, sih, hehe.
Anyway, salut banget sama transportasi umum di Thailand ini. Kita naik bis umum aja dapet robekan karcisnya, lho, kayak kalau kita top-up kartu TransJakarta. Hereâs I give you the thing that amazes me the most selama di sana: Kecrekan kernet bis! Hahaha, isinya buat taruh uang koin sama robek karcis penumpang.
Ada yang mau ditanya-tanya lebih detail soal trip ke Thailand? Comment down below, ya!
All the photos above are taken by myself.
Gear: Fujifilm XA-10 & Iphone 6.
0 notes
Text
#KelanaAgi 2 ft. Dina: Bali (Nusa Lembongan - Nusa Ceningan)
Bingung nggak nyari #1-nya? Nggak usah bingung, emang belum di post kok haha. Harusnya #KelanaAgi 1 itu tentang 10 hari di Jepang dan banyak banget tips-tipsnya, jadinya super panjang dan sempet berhenti nulis karena insiden laptop dicolong orang. Kalo yang ini agak pendek jadi bisa diselesaikan duluan (dan masih fresh juga ingetannya haha).
Bolak-balik Bali dari tahun 2014, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan udah jadi bucket list gue selama 3 tahun belakangan. Penasaran, karena selama ke Bali pasti perginya ke tempat hype yang instagramable. Jadi, gue meniatkan kalo punya kesempatan buat balik lagi ke Bali, harus pergi ke dua pulau ini. Untungnya, Dina pas pertama kali gue kasih tau langsung tertarik. Yihiii jadilah kita dua ciwi-ciwi tak tahu arah dan tujuan menyebrangi Lombok-Bali dan menuju Nusa Lembongan.
Day 1: March 12th, 2017
Kita berangkat dari Klui Beach (tempat GFE Camp kemarin) sekitar jam setengah 7. Niatnya sih mau omprengan gitu nyobain kendaraan umum di Lombok, naik Damri, trus naik angkot sampe Pelabuhan Lembar. Jadilah kita mesen taksi buat ke halte Damri di Senggigi. Sekitar 20 ribuan kalo ngga salah, karena sebenernya emang jaraknya deket tapi ngga walking distance dan jalannya mendaki gunung lewati lembah gitu deh (naik turun tanjakan maksudnya).
Trus ternyata kita ketinggalan Damri yang jam 7, padahal kita sampe sebelum jam 7. Rada kaget juga sih berangkatnya se-on time itu, tapi mungkin udah penuh kali ya makanya bus jalan lebih awal dari jadwalnya. Akhirnya nunggu setengah jam, baru deh jalan dengan isi busnya cuma kita berdua. Damri ini bayar 25 ribu dan turunnya di pool Mataram. Kalo Damrinya sampe bandara, tambah 10 ribu lagi.
Sebenernya, rencana kita abis dari pool Mataram ini mau naik angkot sampe Pelabuhan Lembar karena menurut info Dina cuma sekitar 15 ribuan. Akhirnya kita memutuskan buat naik ojek (awalnya cuma mau sampe terminal angkot) sampe Pelabuhan Lembar dengan tarif 40 ribu... Intinya total pengeluaran kita cuma berkurang beberapa ribu dibanding langsung naik taksi dari Klui ke Pelabuhan Lembar ahaha. Tapi gapapa sih, namanya juga nyoba-nyoba. Untung gak dibawa kabur abang ojeknya.
Sesampainya di Pelabuhan Lembar, langsung beli tiket di loket resminya. Ini kedua kalinya gue nyebrang ke Bali dari Lombok (pertama kali tahun 2015) tapi untuk pertama kalinya gue beli di loket resmi dan baru tau kalo pake nama gitu pas beli. Bukan nama lengkap atau resmi sih, tapi seenggaknya ada data nama dan asal kita. Mungkin just in case kalo ada musibah kali, ya. Pengalaman gue pertama kali nyebrang waktu 2015 sih kita kayak dipaksa-paksa beli sama calo dan hampir ditipu gitu, untung sama petugasnya ditolongin sebelum masuk kapal. Kalo bisa setelah sampe Pelabuhan, minta diturunin di loket tiketnya aja (ada di sebelah kanan pintu masuk) untuk menghindari calo-calo ngga jelas.
Ternyata kapal berangkat jam 10, jadi gue sama Dina pun duduk-duduk di tempat tunggu. Tempat tunggunya kecil, dan ngga ada tempat buat nge-charge (sepenglihatan gue sih). Tapi gue curiga kalo sebenernya ada tempat tunggu lain, karena di tempat kita duduk itu supersepi tapi pas kita naik kapal eh taunya udah lumayan banyak orang. Setelah menimbang, memikirkan, merumuskan segala hal serta kemungkinan, akhirnya kita memutuskan untuk duduk di luar gitu menghadap ke laut karena ruangan dalemnya sedikit sumpek dan gelap (kacanya pake kaca film gitu). Gue baru tau kalo ternyata kapalnya beda-beda desain dalemnya. Pas 2015 kemarin, semuanya lesehan gitu yang indoor, kalo outdoor baru bangku yang berjejer. Kalo kapal yang sekarang, baik indoor maupun outdoor udah berbangku, tapi tetep ada zona lesehannya sedikit di dalem.
Akhirnya kapal pun jalan, rada ngaret sih. Gue pun merasa laju kapal ini lebih lambat dibanding kapal yang gue naikin pas 2015. Ternyata bener aja, setelah sejam perjalanan mengarungi samudera.......... KAPALNYA MUTER BALIK. IYA, MUTER BALIK. Kejadiannya bikin shock sih, jadi gue dan Dina lagi diri liat-liat pemandangan yang sejauh mata memandang isinya cuma air ketemu langit. Tiba-tiba, gue merasa kok kapalnya belok ya. EH TAUNYA MUTER BALIK. Trus diumumin kalo kita harus balik ke Lembar. Berantakanlah rencana gue dan Dina yang mau sunset-an di Seminyak.
Kita sampe di Lembar sekitar jam 1-an, dan langsung dipindahin ke kapal lain. Pas kita masuk, kondisi kapalnya udah super crowded (plus ditambah penumpang kapal yang muter balik) jadinya makin sumpek. Akhirnya gue dan Dina memilih di tempat lesehan dengan pertimbangan bisa bobo-bobo cantik menggantikan kekecewaan kita gak bisa liat sunset di Seminyak (emang agak gak relevan tapi yaudahlah namanya juga orang lagi kecewa). Selama di kapal kita nggak jajan apapun, cuma beli aqua botol satu (yang 600 ml) sama nanas. Trus kita makan berdua, sama ngabisin sisa manisan yang beli di Lombok. Beda tipis emang antara mau ngehemat sama kekurangan gizi, ya.
Setelah terombang-ambing selama 5 jam di tengah laut, akhirnya kita sampe di Padang Bai. Jadi, sebelumnya kita kenalan sama satu om-om di kapal pertama, Dina dan om ini semacam punya ikatan karena sama-sama berbasis BSD. Jadilah kita ditawarin ikut mobil dia dari pelabuhan sampe hotel. Iya, paham kok ini absurd, agak serem juga. Tapi karena kita berdua, jadi mikirnya ya lebih safe lah dibanding sendirian. Akhirnya kita ikut om-om itu (terdengar agak salah, but... thatâs okay). Kita dianterin sampe hotel di Sanur dan kita sampai dengan aman sentosa tanpa kekurangan apapun. Chill guys, om-nya baik kok. Nggak, gue sama Dina gak diapa-apain.
Kita nginep di Alia Home (lihat di sini), lokasinya deket banget sama KFC Sanur. Dan harganya sekitar 250-an, udah pake AC, breakfast, wifi, dan juga ada kolam renangnya. Kita milih ini karena sesuai budget dan jarak ke pelabuhan Sanur buat nyebrang ke Lembongan juga cuma walking distance, sih.
Setelah beberes dan mandi segala macem (iya, kita belum mandi dari Lombok), kita memutuskan untuk gofood makanan karena sudah terlalu lelah buat keluar nyari makan. Gue menemukan Ayam Geprek yang langsung disambut antusias oleh Dina. Harganya pun gak jauh beda dari yang di Jogja, sekitar 15 ribuan dan udah dapet nasi dan es teh manis. Dengan pedenya kita berdua minta âpedes bangetâ ke abang gofood dan................ kampret beneran pedes. BANGET. Gue sama Dina makan sampe berair mata. Lupa sih nama warung makannya apa, tapi cari aja di dalem âbudget foodâ di gofood, pasti ada.
Day 2: March 13th, 2017
Kita bangun sekitar jam setengah 6 dengan niatan mengejar sunrise di pantai Sanur. Perjalanan dari penginapan ke pantai Sanur kurang lebih 10 menit, dan jalannya juga tinggal lurus doang. Asli, beneran deket. Eh ternyata pagi itu mendung, jadinya ga keliatan deh mataharinya. Padahal lumayan rame orang yang ke pantai pagi itu. Akhirnya kita balik, sarapan, beberes buat nyebrang ke Lembongan.
Kita naik fastboat ke Lembongan, berangkatnya dari pantai Sanur. Coba jalan aja sampe parkiran motor deket pantai, ada konter di sebelah kiri nah di situ belinya. 175 ribu buat pulang-pergi, dan itu open ticket alias bisa dipake kapan aja. Nah, untuk kedatangan itu kita cuma bisa turun di Mushroom Beach, sedangkan buat keberangkatan dari Lembongan kita bisa milih mau berangkat dari Mushroom Beach atau Jungutbatu.
Perjalanan sekitar 30 menit, dan ombaknya SUPER GEDE. Literally. Bener-bener kayak main rollercoaster di dalem air. Jadi inget cerita temen kakak gue yang sampe mabok laut pas nyebrang ke Lembongan, ternyata gak bercanda. Kita booking hotel di perjalanan menuju Lembongan, dapet satu penginapan yang super deket sama Mushroom Beach. Definisi sebenarnya dari kepleset nyampe, hotelnya bisa dilihat di sini. Termasuk murah juga, dibawah 300 ribu dan udah pake AC, wifi, breakfast, dan ada kolam renang.
Bahkan kita boleh early check-in sama mbaknya, jadi kita beberes dan siap mengarungi pulau Lembongan ini! FYI, gue dan Dina sama-sama nggak bisa bawa motor (yang merupakan opsi utama kendaraan di pulau ini), dan kemampuan membawa mobil kita hanya sebatas maju-mundur cantik (bahkan mobil di pulau ini berupa mobil pickup yang disulap menjadi angkot semacam odong-odong). Jadilah kita menggunakan berkah yang telah diberikan Tuhan YME terhadap umat manusia yaitu..... kaki. Yes, kita memutuskan mengeksplor pulau ini dengan jalan kaki.
Kalo kalian pikir luas pulau ini sebesar Gili Trawangan, wow, tentu tidak. Pulau ini bisa dibilang 10x lipat dibanding Gili Trawangan yang bisa dikelilingi dengan jalan kaki kurang lebih 2-3 jam. Tapi apadaya, daripada pulang bawa bonyok-bonyok di kaki sama sikut gara-gara maksa jadi cabe-cabean bawa motor, lebih baik cari jalan aman, kan?
Jadilah, dua ciwi-ciwi kecil (iya, masih sering disangka anak SMA padahal udah mahasiswi angkatan tua) ini mengarungi Lembongan serta Ceningan dengan kedua pasang kaki. Destinasi pertama kita yaitu Devilâs Tears!
Udah lama banget penasaran sama waterblow, dan nggak pernah kesampean buat nyoba di Nusa Dua. Makanya, Devilâs Tears ini jadi inceran pertama (dan paling deket sih dari penginapan). Sekitar 30 menit kita jalan kaki, motong lewat tengah-tengah hutan gitu (sumpah gue ga paham kenapa jalanannya bisa visible di google maps). Rada bingung sih pas nyampe sana ternyata karangnya super gede dan memanjang gitu di sepanjang pantai. Tapi kita liat di kejauhan ada mas dan mbak yang lagi nongkrong, ternyata nungguin waterblow-nya, dan spot mereka sepi gak banyak rombongan turis yang lagi foto-foto, jadilah gue mengajak Dina ke sana.
Pertama kali menyaksikan dan merasakan waterblow, gue kaget dan shock karena dapet yang tinggi banget. Pas banget gue rekam, dan ada suara teriakan gue pas airnya lagi nyiprat. Padahal bagus rekamannya, sayang akhirnya ga jelas karena gue lari menyelamatkan diri sambil teriak kaya bebek disiram air. Akhirnya gue sama Dina berbekal gopro yang ditopang sama tas buat jadi tripod gitu, dan kita diri sekitar 3-5 menitan pas banget emang lagi waterblow.
Jadi, si waterblow ini emang gak selalu ada. Perlu ditungguin gitu, dan sekali dateng pun belum tentu tinggi. Tapi, bisa juga sekali gelombang dia bakal jadi tinggi banget dan bisa sampe 5 kali jadi waterblow. Dua kali gue sama Dina ngerasain waterblow-series ini, tapi sayang rekaman keduanya kehalang paha mbak-mbak bule yang secara tidak sopan mengintervensi kita berdua. Setelah basah kuyup merasakan kena guyur air, akhirnya kita memutuskan ke destinasi berikutnya, yaitu Goa Gala-Gala.
Goa Gala-Gala ini semacam tempat persembunyian/peristirahatan/rumah tinggal seorang seniman (rada lupa juga) tapi yang jelas goa ini luas, sih, untuk ukuran man-made ya (iya, konon katanya goa ini dibangun sendirian pake tangan). Jalan masuknya itu super curam dan gelap banget dari atas, jadi bener-bener ga keliatan apa yang menanti kita di dalam sana. Gue turun duluan, berbekal senter hape dan turunnya setengah tangga-setengah wall climbing gitu sih karena tangganya tidak seperti tangga. Setelah gue mengabarkan bahwa keadaan di bawah aman dan baik-baik saja (padahal gelap banget, tapi gue pede aja) akhirnya Dina turun.
Sebenernya di bawah dipasangin bohlam, tapi di tempat tertentu aja. Ternyata, goa ini punya dua tingkat, gue rada bingung gimana secara strukturnya tapi yang jelas di beberapa kawasan ada koridor di atas kepala kita gitu, dan mungkin untuk naiknya harus manjat kali ya, karena gue ga melihat ada undakan. Ambience-nya sedikit creepy sih menurut gue, karena gelap dan waktu itu cuma kita berdua doang yang ada di bawah.
Jadi, pintu keluar dari goa ini ada 3 (lagi-lagi, harus setengah merayap di bebatuan dan harus pinter nyari tumpuan karena tangganya ga kondusif), yang kesebar di tiap pojokan. Gue dan Dina yang buta arah dan asal jalan-jalan aja di dalem Goa, memutuskan untuk keluar saat kita udah nemuin 3-3nya jalan keluar. Sejujurnya kita pun nggak tau goa itu seluas apa, karena jalannya sangat bercabang dan gak ada patternnya. Oh iya, tarif masuk ke bawah sini 15 ribu per orang.
Selanjutnya, kita mutusin buat jalan sampe Yellow Bridge yang menyambungkan Lembongan dan Ceningan. Pas banget jembatan ini baru selesai dibangun setelah ada insiden jembatan ini collapse karena overload, bahkan puing jembatannya pun masih ada di bawah jembatan yang baru selesai dibangun ini. Ternyata nyebrang pulaunya bahkan nggak sampe 10 menit!
Destinasi selanjutnya itu antara Ceningan Cliffs atau Blue Lagoon. Setelah kita berdiskusi dan berunding karena kita nggak mungkin ke dua destinasi tersebut dengan berjalan kaki karena ga searah. Akhirnya kita memutuskan buat ke Blue Lagoon. Gue lupa kita jalan kaki berapa lama, karena yang jelas hari itu super panas dan kalo ngga salah sih sekitar 2km+ gitu dari Yellow Bridge ke Blue Lagoon.
Jalanannya rada nanjak, dan kita mutusin buat ngaso sekaligus ngecharge hp bentar di Le Pirate. Ini penginapan yang ngehits banget di instagram, dan ternyata tempatnya super kecil gitu, cuma ada beberapa mini cabin yang jumlahnya kurang dari 10 (pantes cepet banget full booked). Akhirnya kita lanjut jalan lagi dan tiba-tiba di tengah jalan kita liat bule.......... NAIK SEPEDA. Gue dan Dina langsung murka, karena literally semua orang yang kita tanya sejak menginjak kaki di pulau ini bilang ga ada yang nyewain sepeda. Akhirnya kita samperin tuh bule dan nanya mereka nyewa di mana (rada gengsi sebenernya kalo dipikir-pikir) ternyata ada yang nyewain di Jungutbatu. Kita pun berinisiatif untuk membuktikan perkataan si bule ini.
Setelah mendaki gunung lewati lembah, akhirnya kita sampe di Blue Lagoon. Ini tempat sepi banget, beda kayak Devilâs Tears. Gue sama Dina menemukan jalan setapak masuk gitu yang dikelilingi oleh semak tinggi, yang ternyata berujung ke jumping point yang udah tutup. Jadi, si jumping point ini kayaknya bekas kafe ala-ala juga, karena ada bekas bangunan dan meja + kursi dari bebatuan yang udah ancur. Mungkin ditutup karena ada bule sableng yang mabok-mabokan trus ga sengaja jatoh ke bawah tebing (only God knows why). Gue sendiri rada ragu sama jumping pointnya, karena setelah gue berdiri dan nengok ke bawah, itâs so far from âsafeâ definition. Gila bung, ombak di bawah super kenceng, mirip-mirip sama ombak yang nyiptain waterblow. Sekali terjun, mungkin orang bakal langsung gabung sama Nyi Roro Kidul di istana bawah airnya (which is impossible, jauh banget gile dari Pantai Selatan ke Bali). Tapi, setelah gue melihat di Instagram ada bule-bule yang masih update video mereka terjun dari jumping point ini, mungkin masih aman. Tapi, yah, jaga-jaga aja.
Kemudian kita beranjak menuju spot flying fox. Iya, jadi ada penginapan yang menawarkan jasa flying fox di atas karang gitu. Gue pas liat ngerasa gak tertarik sih. Iya, buat orang-orang yang kenal dan paham betapa penakutnya gue sama wahana ketinggian di dufan pasti ngerti, tapi ini bukan masalah takutnya. Cuma gue gak ngerasa worth it aja. Pertama, pemandangannya biasa aja. Kedua, kurang ekstrem. Jadi si flying fox ini cuma ditempatin di antara cekungan tebing doang, beda sama kayak di Pantai Timang (Jogja) yang literally nyebrang antar tebing.
Akhirnya Dina memutuskan untuk tetap main flying fox sedangkan gue rebahan di tempat makannya. Anyway, flying fox ini bayar sekitar 80ribu kalo ngga salah. Ternyata benar, bahkan flying foxnya gak sampe 5 menit dan Dina merasa kecewa karena rekaman dari gopro yang dia pegang rada failed. Sempet kepikiran buat main lagi, tapi sepertinya Dina masih sayang uang. Karena kita sudah tak sanggup berjalan kaki dan juga berniatan ke Jungutbatu buat liat sunset sekaligus nyewa sepeda, akhirnya kita naik ojek dan bayar 50 ribu. Iya, kita boncengan bertiga sama bli ojeknya. Gapapa lah, daripada besok ga bisa pulang ke Jakarta karena kaki sudah tidak bisa berfungsi lagi.
Ternyata, ketika menjelang sore, pantai di antara Nusa Lembongan dan Ceningan itu surut dan literally bisa nyebrang jalan kaki lewatin pasir (tapi gue ga pernah menyaksikan kejadian ini sih). Sayang gak bisa foto karena ribet boncengan bertiga. Kalo naik motor dari Blue Lagoon sampe Jungut batu, cuma sekitar 15-20 menit. Jalanannya naik-turun ekstrem kayak roller coaster. Jadi sedikit riweuh juga karena boncengan bertiga di atas motor. Sesampainya di Jungutbatu, karena belum terlalu sore, gue sama Dina hunting tempat buat liat sunset. Tujuan awal kita sebenernya The Deck, tapi ternyata di sepanjang tebing pinggir pantai itu emang didominasi sama resto-resto santai gitu. Akhirnya kita memutuskan buat nyari tempat sewa sepeda dulu, baru duduk liat sunset. Nggak jauh dari jalan masuk pelabuhan, jalan aja ke kiri (ke arah Mangrove) dan beberapa ratus meter ada toko souvenir gitu dan kita liat ada dua sepeda nganggur. Setelah nawar, akhirnya dapet 75rb sehari. Agak mahal sih karena kita lupa buat nawar lebih murah, baru inget kalo si bule yang tadi kita tanyain dapet harga sama kayak kita.
Kita balik lagi ke The Deck, dan sayangnya ternyata bulan Maret ini sunset belum keliatan di spot ini. Menurut mbaknya sih, sekitar Juli-Agustus baru sunset bagus banget pas di depan The Deck. Akhirnya kita memutuskan untuk memberikan reward kepada diri kita yang sudah berjalan kaki sejauh 5km hari ini dan makan hedon. Mengingat kita berdua bakal lewatin rollercoaster naik-turun menuju hotel, akhirnya kita cabut sebelum gelap.
Sayangnya petualangan kita belum berhenti hari ini.... di tanjakan pertama yang udah curam aja kita udah ngos-ngosan, dan langit mulai gelap. Lampu jalan pun jarang-jarang. Untung masih banyak kendaraan lewat. Akhirnya gue sama Dina memutuskan buat dorong sepeda tiap tanjakan karena kita super lemah HAHA. Setelah lewatin sekitar 2-3 tanjakan, kita masuk ke daerah rada gelap yang kanan-kirinya pohon tinggi. Tiba-tiba gue liat di kanan depan ada payung-payungan yang ditancepin di atas tanah............. itu kuburan. Iya, kuburan. Gue baru aja tau dari Dina kalo payung ini pertanda nisan kuburan.
Posisinya saat itu gue di depan karena gue yang megang gmaps, Dina di belakang. Gue manggil Dina pelan...
��Din....â
Dina bales dengan lirih, âIya gi...â
âBersuara ya, Din. Let me know you are there.â
Si kampretnya Dina ga bales ngeiyain. Gue mau nengok juga ga punya nyali, ngeri-ngeri bukan Dina yang lagi ngayuh sepeda di belakang gue.
Akhirnya gue ngebenerin posisi hp yang dipake sebagai senter biar cahayanya ga ke pepohonan di atas, kemudian sibuk baca ayat kursi. Gue juga bisa denger Dina di belakang doa-doa gitu sih. Bayangin, di kanan kalian ada tanah lapang isinya kurang lebih 20an payung (which is 20 kuburan) dan di kiri kalian itu hutan dengan pohon-pohon besar dan cuma ada satu lampu jalan di tengah-tengah. Sialnya, gak ada kendaraan bermotor sama sekali yang lewat selama kita ngelewatin kuburan yang kurang lebih 10 meter jaraknya.
Gue dan Dina mendadak sangat menjadi religius dan pendiam selama di perjalanan, setelah lewatin deretan kuburan terakhir gue manggil Dina lagi.
âDin?â
âIyaa.â Kali ini suaranya udah rada kenceng walaupun masih ragu.
âNgebut, ya, sampe lampu depan. Mau liat jalan.â
Kemudian gue gowes sepeda dengan sepenuh tenaga menjauhi tanah kuburan tersebut. Untung pas gue nengok beneran Dina yang di belakang gue, bukan Dina yang mendadak buka kerudung dan pake daster putih trus ketawa-ketawa. Untungnya setelah kuburan tersebut, udah ga ada lagi tanjakan, cuma jalanan dengan turunan aja. Akhirnya kita bisa ngebut sampe hotel.
Setelah sampe di hotel, kita mutusin buat nyebur ke kolam renang yang posisinya pas banget di depan kamar kita. Di situ kita baru berani ngomongin soal insiden kuburan tadi dan emang kita berdua super ketakutan dan ga ada nyali banget pas ngelewatinnya karena kondisinya gelap dan bener-bener cuma berdua aja. Akhirnya kita berdua menutup hari ini dengan koyoan di betis dan tidur lelap karena udah berolahraga dengan sangat, sangat rajin hari ini.
Day 3: March 14th, 2017.
Di hari terakhir ini gue memutuskan untuk leyeh-leyeh. Sedangkan Dina yang emang tenaganya ga pernah abis, masih nanyain mau ke Mangrove atau Ceningan Cliffs. Sebelum berangkat, kita sarapan dan beberes barang dulu. Biar pas balik bisa langsung cabut. Kita pun lebih milih ke Ceningan Cliffs karena kalo ke Mangrove kita harus ke arah Jungutbatu, sedangkan kita berniat pulang dari Mushroom Beach karena jam berangkatnya lebih banyak dibanding Jungutbatu.
Perjalanan awal masih aman sampe kita nyebrang ke Ceningan. Setelah kita mulai memasuki hutan... TANJAKANNYA BUKAN MAIN. Serius. Jalanannya sih udah aspal, walaupun bopeng-bopeng gitu. Tapi kalo diliat dari tracknya sih ya wajar aja... ini tanjakan dan turunannya udah macem waterslide yang curam, bedanya kalo jatoh bukan nyemplung ke air, tapi ke semak-semak hutan belantara.
Gue sudah hampir menyerah dan mau guling-guling aja sampe laut, karena kita nanjak tinggi banget dan perlu diingat, kita bukan cuma bawa badan. Tapi juga bawa sepeda. Tapi Dina terus memberikan motivasi, padahal gue tau dia juga udah ngos-ngosan. Sampe sekitar 1km dari destinasi, kita ketemu warung gitu dan memutuskan buat refill minuman kita. Gue yang lagi kepayahan dan duduk nyender di sepeda sampe disemangatin sama bule yang naik motor trail dari arah Ceningan Cliffs sambil ngasih tau dengan senyum lebarnya âitâs the last hikeâ sambil nunjuk tanjakan curam di depan mata gue.
Setelah mengisi tenaga, gue memberikan ide untuk nitipin sepeda di warung ini dan jalan kaki menuju Ceningan Cliffs. Dina setuju, jadilah kita parkir sepeda dan lanjut dengan jalan kaki. Bener sih, ternyata udah deket. Si om bule juga gak boong tentang tanjakan terakhir itu. Gue sama Dina langsung milih satu bale dan kita rebahan, bahkan sebelum mas-mas nawarin menu ke kita.
Harga makanan di sini sih lebih murah dibanding The Deck kemarin, ya. Mungkin juga karena lokasi, mungkin mereka mikir ga bakal laku kalo udah lokasi di hutan belantara, makanan mahal pula. Jadi Ceningan Cliffs ini restoran yang menawarkan view Nusa Penida. Asli, worth it sih sama perjuangan gue dan Dina nenteng-nenteng sepeda di tanjakan maut. Agak sayang juga gue sama Dina gak merasakan Nusa Penida karena sebenernya trip ini juga nyolong-nyolong waktu skripsian kita.
Kita lumayan lama di sini, foto-foto sama bikin video di pinggir tebing. Ada ayunan ala-ala di pinggir tebingnya, lumayan instagramable. Ada tangga yang menuju ke bawah juga, tapi kehalang sama pepohonan. Pas kita lagi foto-foto, ada ibu naik dari bawah. Ternyata di bawah ada dermaga gitu katanya, tapi karena kita mager buat naik-turun yaudah kita stay di atas. Puas foto-foto, kitapun mutusin buat balik.
Baliknya sih enak ya, tinggal turun doang. Jangan lupa tangan selalu standby megang rem. Bisa dibilang waktu kita naik ke atas itu 2x dari waktu kita turun. Cuma 2,2km sih, tapi tracknya amit-amit. Sampe di hotel, udah waktunya checkout. Tapi kita bingung karena belum balikin sepeda ke Jungutbatu. Sempet kepikiran buat kita titipin aja di hotel, tapi Bapak sepedanya nggak bisa dihubungin. Akhirnya kita dipesenin taksi buat ngangkut sepeda ke Jungutbatu. Taksi yang gue maksud disini adalah mobil pickup yang udah disulap jadi angkot gitu ya, bukan taksi kaya b*ue b*rd, e*press, dan semacamnya.
Tarifnya 100 ribu buat kita berdua + sepeda, karena gue dan Dina udah depresi yaudahlah daripada dosa ninggalin sepeda orang di ujung dunia atau tergeletak di tengah jalan karena ga kuat ngayuh sepeda ke Jungutbatu. Bahkan kita diijinin buat nebeng balik ke Mushroom Beach karena kita mau naik kapal dari pelabuhan ini.Â
Ternyata, ombak pulang lebih kacau dibanding ombak pas kita pergi. Langit emang udah gelap, di beberapa titik udah keliatan ujan gitu. Saking tingginya ombak, kaca kapal sampe gak boleh dibuka karena takut basah kecipratan. Duduk pun gak bisa nempel ke bangku, pasti loncat-loncat karena kapal nabrak ombak.
Setelah sampe Sanur, kita mutusin buat makan KFC dulu sebelum beli oleh-oleh dan ke bandara. Berhubung flight kita jam 10 malem, jadi lumayan nyantai. Di Bali pun udah ada grab sama gojek, jadi kemana-mana gampang juga. Gue sama Dina merasa sangat dekil dan kusam pas di bandara, apalagi setelah melakukan petualangan di dalam hutan. Udah lelah dan pegel, cuma pengen pulang ke rumah tapi gak mau skripsian. Sialnya lagi, flight kita delay sejam jadi jam 11. Pas masuk pesawat, bahkan sebelum take off Dina udah ga ada suaranya lagi. Pas udah landing di Jakarta dia ga bangun sebelum gue bangunin. Gue pun tidur pules banget dua jam di atas awan.
Sepulangnya gue dan Dina dari trip ini, kita bangga banget udah berhasil menjelajah ke 5 pulau dalam waktu 6 hari (dan pulang dengan kondisi tidak dikenali di rumah maupun di kampus karena kulit kita gosong dan kebakar).
0 notes
Text
Di Atas Awan
Gue mencoba mengatur napas yang engap akibat lari-larian menuju pesawat yang siap terbang setelah beberapa kali memanggil nama gue melalui speaker untuk segera boarding. Tau rasanya ditatap seisi pesawat karena telat boarding dan kondisi muka lo lagi berantakan banget? Nah, itu yang baru aja gue rasain.
Gue udah pasang seatbelt, pramugari udah selesai ngecek cabin baggage dan memastikan semua penumpang pakai seatbelt. Beberapa saat lagi, burung besi ini akan bawa gue terbang. Terbang menjauh dari ibukota. Terbang ke pulau seberang. Terbang untuk lari dari perasaan-perasaan yang gue coba tinggalkan.
Sekarang layar di depan muka gue sedang menayangkan aturan keselamatan penerbangan. Gue membuang pandangan ke arah jendela, kemudian mengingat sesuatu. Terakhir kali gue berada di posisi ini, gue nggak duduk sendirian. Ada seseorang yang duduk di bangku sebelah yang sekarang ini kosong. Sosok yang sedang gue berusaha lupakan. Gue merutuk dalam hati, "anjrit, kenapa sih gue malah keingetan?" Rutukan yang membuat gue semakin teringat sama sosok itu. Sosok yang bilang, "Ingatan kamu, tuh, kayak gajah. Mana mungkin kamu lupa." Sialan.
Sebelum tayangan aturan keselamatan penerbangan di layar depan gue selesai, gue pun mencoba memejamkan mata dan terlelap.
--
Gue terbangun karena sinar matahari yang silau dari jendela bangku seberang mulai menyengat di kulit muka gue. Telinga gue mulai sakit karena tekanan udara di pesawat. Gue mencoba menahan napas, berusaha mengembalikan kondisi telinga gue seperti semula. Ketika gue coba membuang napas, lagi-lagi gue teringat sosok itu. Sosok yang terakhir kalinya naik pesawat bareng gue, telinganya lagi sakit karena infeksi.
Dongkol dengan diri dan ingatan gue sendiri, gue memutuskan untuk mengeluarkan hp dan headset dari tas. Beberapa saat mengubek-ubek playlist podcast yang udah gue download sebelum naik ke pesawat, tapi nggak ada yang menarik. Akhirnya gue pilih opsi shuffle di folder playlist, dan meletakkan hp gue kembali ke dalam tas.
Intro lagu mulai berputar dari headset yang sudah bertengger di telinga gue. Belum ada 10 detik, suara sang penyanyi udah merembet masuk ke telinga gue.
"Anjrit, kok bisa-bisanya lagu ini?" Gue yang sudah bersiap-siap khidmat mendengarkan lagu langsung menarik paksa headset sampai lepas dari telinga gue. Dari ratusan lagu yang gue simpan di playlist, kenapa lagu pertama yang harus keputar saat di shuffle adalah lagu soundtrack pertama kalinya gue dan sosok itu naik gunung berdua? Cih.
Akhirnya gue membereskan hp beserta headset gue, dan memutuskan untuk memandangi awan-awan yang menghiasi jendela di samping kanan gue. Beberapa menit gue memandangi awan-awan yang terlihat empuk bagaikan gulali manis di luar sana, ketika salah satu awan bergeser dan menampakkan awan hitam di belakangnya. Seketika gue langsung teringat sosok itu, sosok yang pada entah keberapa kalinya kita kencan, menjelaskan jenis-jenis awan ke gue. Spesialisasi dia ketika OSN jaman SMA, katanya. Penjelasan yang kembali gue tanyakan beberapa bulan lalu, ketika kita berdua dalam kondisi yang sama seperti gue sekarang. Pertama kalinya kita naik pesawat bareng, karena sebelumnya cuma sanggup boncengan motor antar kota, naik kereta murah yang rutenya dua kali lipat jauhnya dari kereta reguler, dan gonta-ganti bis AKAP. Mungkin, juga untuk terakhir kalinya duduk bersisian di satu pesawat yang sama.
--
Sejujurnya, gue merasa seperti bocah. Kenapa gue mati-matian berusaha untuk lupa? Ini bukan pertama kalinya gue putus cinta. Kenapa sosok ini jadi beda di antara yang lainnya? Ini yang masih gue cari sebabnya. Apa yang salah dari masih memiliki rasa? Status kita udah kelar bukan berarti bisa mengubah rasa terhadap satu sama lain, kan?
Udah berhari-hari pikiran ini terus berputar di pikiran gue layaknya sedang lagi tamasya. Asik aja gitu lari-lari, main petak umpet, abis itu tarik-ulur layangan, mungkin pikiran gue lagi ngadain musyawarah sambil piknik di dalam otak gue. Sementara pikiran gue asyik tamasya, hati gue yang rungsing nggak karuan. Sebentar kangen, sebentar sebel, sebentar kecewa, sebentar bahagia. Tapi satu sih yang pasti, ada rasa yang mendasari itu semua. Sayang.
Gue jadi ingat curhatan salah satu senior gue ketika dia putus sama pacarnya. Waktu itu gue tanya, "jadi lo sekarang gimana? Move on?"
Jawaban dia yang jujur bikin gue kaget. Dia jawab dengan nada bingung, "move on? Kenapa gue harus move on? Gue cuma diputusin, bukan berarti gue harus cari orang lain yang gue sayang selain dia, kan? Nggak ada alasan buat gue move on."
Jawaban dia saat itu menurut gue nggak masuk akal, irasional, tak ada logika kalau menurut Agnes Monica. Tapi, sekarang mungkin gue mulai bisa paham kondisi dia.
Pilot udah memberikan pengumuman landing dari speaker. Lampu kenakan seatbelt udah kembali dinyalakan. Sebentar lagi gue kembali ke daratan. Dua jam di atas awan gue habiskan hampir separuhnya dengan mengingat sosok itu. Tidak terlalu terasa berat. Gue rasa gue bisa hidup dengan kondisi seperti ini untuk beberapa waktu ke depan. Toh, gue nggak sedang terburu-buru, kan?
--
Ditulis di perjalanan udara selama 2 jam. Tulisan pertama yang pernah gue tulis di atas awan. Tulisan ini hampir seluruhnya berdasarkan kisah nyata, hehe.
0 notes
Text
With you're being like this, you make it so easy for me to say goodbye to you.
0 notes
Text
Rasa
Ada yang pernah kita sebut bahagia
Sebelum akhirnya hal baru tiba dan buat kita lupa
Tapi, bahagia pernah ada
Kita pernah merasa bahagia
Bahagia pernah jadi kata untuk kita
Kemudian datang yang kita sebut duka lara
Mungkin bahagia saat itu sedang alpa
Tapi, kita ditemani duka lara
Apakah setelah itu kita lantas tidak pantas untuk kembali bahagia?
Ketika putus asa, kita panggil kecewa
Kemudian menangis sejadi-jadinya
Tidak terima ketika sesuatu bukan ditakdirkan menjadi milik kita
Apakah kita benar-benar punya kuasa?
Manusia sibuk melabeli rasa
Beberapa ingin rasa yang itu-itu saja
Beberapa terperangkap dalam rasa yang ia punya
Ada rasa yang tak ia suka, ada juga rasa yang dipaksakan sehingga mati rasa
Bukankah tugas kita hanya untuk merasa?
Apapun rasa yang datang, kita terima saja.
0 notes
Text
Yang Tak Terdefinisi
Kamu lebih dari sekedar kata-kata manis yang aku celotehkan sebelum tidur.
Lebih dari sekedar perhatian-perhatian kecil yang tanpa sadar sudah terbiasa aku berikan.
Lebih dari sekedar pilihan-pilihan yang aku abaikan sejak adanya kamu.
Lebih dari sekedar lelucon-lelucon konyol yang kita tertawai.
Lebih dari sekedar amarah dan emosi yang sesaat, kemudian meminta maaf dan saling membenahi diri.
Lebih dari sekedar kabar yang aku tunggu di penghujung hari.
Lebih dari sekedar senyum manis dan rasa bahagia setiap kita bersama.
Lebih dari sekedar kecewa dan sakit yang muncul karena ego kita.
Lebih dari sekedar luapan rindu yang kadang tak tersampaikan karena jarak dan waktu.
Lebih dari sekedar genggaman tangan dan nyaman yang muncul akibatnya.
Lebih dari sekedar pelukan hangat dan kecupan kilat.
Tapi kamu tidak lebih dari diri ini sendiri,
yang juga butuh aku rawat dan aku sayangi setengah mati.
0 notes
Text
I saw a little rainbow today, and I think Iâm ready to say goodbye.
0 notes
Text
Sekarang aku tahu alasan mengapa sepi dapat menjadi teman yang baik. Sepi bisa meramaikan ruang gelap tanpa udara yang selama ini kutinggali.
0 notes
Text
I learned since a long time ago, that the hardest thing to ask for from people is their presence.
0 notes
Text
âWhat happened to her in the past until sheâs afraid of her own happiness?â
0 notes
Text
Terjatuh.
Terkoyak.
Tercabik-cabik.
Terluka.
Terinjak hingga tak berdaya.
Terjaga walau napas telah di ujung raga.
Hari ini,
Aku selamat.
Esok?
Entah apa nasibnya.
0 notes
Text
âWhen will I find something; someone; someplace; that I could call home? And finally coming home?â
0 notes
Text
Iâm glad that you made me happy. I still am. I only wish that I did make you happy this whole time. That you were happy when we were together. Because Iâm glad that I had the chance to do so. I still am.
0 notes
Text
There will come the times when I wonât wait for you to come back. I will just sit there. Live my own life. Busy with people that makes me happy and that glad to have me in their life. And when you come back, you will feel cold and chilly, as I look at you so strangely. Like I become the different person since the day you left.
0 notes
Text
Without youâre realizing it, Iâm one step farther from you. Day by day.
0 notes
Text
âIâve already experienced so many goodbye(s). How hard it will be to do one with you?â
-Maybe Iâm giving up.
0 notes