an ordinary people you would stumbled upon in a supermarket, school, or facetaria. head full of thought, thinking but also reflecting about anything.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Makin tua, bahagia menjadi konsep yang makin abstrak.
Apakah aku boleh berbahagia ketika mendapatkan pekerjaan yang aku inginkan?
Ataukah ketika akhirnya ada pesan balasan yang masuk ke gawaiku, dikirimkan oleh dia yang namanya tidak pernah gagal membuat dadaku berdesir.
Mungkin ketika akhirnya aku bisa menyelesaikan skripsi sialan yang menyita waktu, pikiran, tenaga, dana, hingga air mata,
Aku tidak sepenuhnya tahu. Bahagia, di usiaku yang sudah tidak bisa lagi dicap belia, begitu banyak standarnya. Seakan satu tak cukup menjadi alasan. Semuanya harus sempurna dan sesuai rencana.
0 notes
Text
Orang bertanya, "apa yang kau tunggu?"
Padahal bukan itu masalahku
Masalahku adalah: apa yang aku mau?
0 notes
Text
Ibu sedang sibuk membuat kolam. Memindahkan batu, menggali tanah, memastikan ukurannya sesuai dengan apa yang beliau inginkan. Tangannya kasar dan penuh luka, peluh turun di pelipisnya, tapi tak henti dia terus membuat kolamnya. Masih ada antrian kegiatan yang harus dilakukan; mencuci, masak, menyapu, mengepel, memandikan anak-anak, membersihkan genteng, memperbaiki pipa air, menambal lubang yang tidak sengaja muncul di dalam rumah kami.
Ayah sibuk di depan televisi. Memindahkan saluran satu ke yang lain. Acara komedi, dakwah, berita siang yang menjemukan, informasi kriminal, iklan, iklan, iklan. Bosan beliau, menguap, berdiri, mematikan televisi, lantas berangkat ke peraduan. Suara kucing berlarian di loteng rumah tak diambil pusing, paling sibuk berkejaran mencari betina. Lagi musim kawin.
Kakak sedang berlari. Mengejar apa pun aku tak pasti. Pandangan kakak tertuju pada satu inti, kakinya bergerak cepat seakan tulangnya terbuat dari besi. Peluh, angin, basah, rambut berkibar tak jadi arti. Kebun kami yang tak seberapa luasnya sudah berkali dia putari, tak ingin dia berhenti.
Adik sedang tertawa. Dari nada dan suaranya, penyebabnya pasti lucu luar biasa. Setitik air menumpuk di pinggir matanya, siap jatuh jika adik tidak berhenti bergerak sambil membuka mulutnya. Dia sendiri, namun tetap bisa menikmati kebahagiaan dari hal sederhana yang akan terlewatkan dua menit lagi.
Aku. Aku dimana?
1 note
·
View note
Text
Pada malam-malam seperti ini, pikiranku berkelana tanpa tuju. Berprasangka. Menduga. Mana lagi mimpi yang tidak akan terwujud. Apa lagi kalimat kasar yang akan aku terima besok, lusa, atau hari berikutnya. Seberapa dalam hunus pisau dari mulut itu akan membuka kembali luka yang dengan susah payah aku coba sembuhkan.
Pada malam-malam seperti ini, aku mencoba mengingat kembali. Kesalahan apa yang sudah aku perbuat. Ujian mana yang rasanya begitu berat. Menerka, mencoba memperkirakan, rasa sakit macam mana yang nantinya akan aku terima. Padahal segini saja sudah melelahkan luar biasa.
Pada malam-malam seperti ini, ketika aku sendiri dan tiada satupun yang mencari. Semua sibuk dengan tanggung jawab masing-masing, dan aku terpojokkan serta merasa asing. Merasa segala yang aku usahakan untuk memulai, menjaga, dan memaafkan tidak ada harganya.
Pada malam-malam seperti ini, terkadang terlintas keinginan untuk pergi. Dari lingkungan ini. Atau mungkin lebih jauh lagi. Berprasangka, mengira-ira, apakah akhirnya akan ada yang merindukanku jika aku sudah tidak lagi di pelupuk mata.
Pada malam-malam seperti ini.
1 note
·
View note
Text
Aku harap doaku akan selalu sederhana. Tentang bersyukur karena masih bisa makan malam dan jajan, mengeluhkan cobaan sederhana yang aku rasakan hari ini, atau sekedar bertukar angan dan mengharapkan pencerahan dari Sang Pemberi Hidup.
Aku harap doaku akan selalu sederhana. Diriku sehat, teman-temanku sehat dan bisa mencapai apa yang mereka citakan, dan kami bisa kembali bertemu nantinya meski saat ini sedang sibuk merajut mimpi masing-masing.
Aku harap doaku akan selalu sederhana. Sebagaimana anak kecil yang bahagia ketika dibolehkan menganbil coklat atau permen yang dengan sengaja dipajang di kasir, atau dapat nilai A dari dosen yang cuman masuk kelas 2 kali dalam 1 semester.
Aku harap doaku akan selalu sederhana. Tidak menyoal hal yang susah. Tidak membahas gundah yang berkepanjangan, dan tetap ringan untuk selalu aku ucapkan.
Aku harap doaku akan selalu sederhana.
1 note
·
View note
Text
Aku lupa kapan terakhir aku bisa tertawa lepas bahagia; perut kram dan ditahan tangan, wajah pegal tetapi derai masih tetap terurai, dan tubuh yang mendadak condong kemana. Lupa akan masalah hidup, sibuk menikmati momen dan tidak peduli habis ini mau kemana.
Yang aku tahu, belakangan ini, aku lebih sering diam tergugu. Ketika sedang berhenti di toko buku, sambil memandangi keramaian mall di sore hari yang panas, ketika aku sedang duduk sendiri di kafe dan menyesap air kopi yang rasanya tawar karena es yang semuanya telah mencair.
Aku rindu aku.
Tak pernah sedikitpun kupikir akan mengeluarkan kalimat itu, tapi sampai tulisan ini ditulis, aku masih rindu aku.
Aku rindu diriku yang bebas.
Aku rindu diriku yang bisa melakukan apapun just the way it is dan tidak berpikir terlalu jauh mengenai konsekuensi dan dosa.
Aku rindu diriku yang bisa bersenandung lantang tanpa takut orang memandang.
Manusia ini makhluk yang lucu. Ketika semuanya sedang aku jalani, tak henti aku menangis dan menggerutu. Tapi saat masa itu terlewati, kini kerjaanku hanya termangu, berharap masa yang sudah lalu bisa terulang walau hanya sekelebat waktu.
0 notes
Text
belakangan kayak udah ngga ada semangat untuk bekerja.
idk, bisa jadi karena efek kontrak yang bakalan kelar, atau emang karena lagi ngga mood aja. padahal currently lagi focus hiring dan kayak merasa bersalah juga karena ngga begitu banyak kontribusi yang bisa aku berikan, hahah.
belakangan, i start to compare myself to other people again. and actually i hate that i need to use social media to get connected to my friend but at the same time, i constantly comparing myself to other people too. like this is madness, hahah.
dua minggu lagi, dan kayaknya it just hit me kalau bisa jadi aku ngga diperpanjang di sini. which is sad, tapi ya mau gimana lagi. life must go on.
0 notes
Text
h-25
bulan ini adalah bulan terakhir kontrak gue di kantor yang sekarang.
dan masih ngga tahu bakalan diperpanjang apa engga. kalau secara opportunity sih harusnya udah mentok, cuman ngga tahu apakah masih membutuhkan tenaga gue apa engga, terutama karena gue pengennya pindah departemen kalau semisal emang bakalan dilanjutkan kontraknya di sini. belum ada bahasan juga sama manager, jadi aku kek nothing to lose aja hahah.
but either way, gue seneng sih bisa kerja di sini. ngga nyangka bakalan diberikan kesempatan untuk kerja di salah satu perusahaan yang aku mau. gue inget kalau kantor gue sekarang bahkan ngga masuk list prioritas karena aku mikirnya “ah ngga mungkin gue bisa masuk dan kerja di sana”. turns out emang Allah selalu ngasih jalan buat takdir yang emang menjadi hak hamba-Nya.
waktu itu, di suatu sore yang random, aku dikontak sama temen kerja aku sekarang. intinya mengabarkan kalau posisi yang aku mau udah tutup, tapi mereka ada posisi lain yang masih linear dan lebih junior, and asking wether i want to continue the recruitment process or not.
karena waktu itu aku masih nganggur dan mencari kerjaan juga setelah kelar magang, akhirnya aku mengiyakan aja dengan tanpa ekspektasi. janjian interview HR di minggu berikutnya.
agak di luar dugaan sih sebenarnya interviewnya, karena aku sudah persiapan pakai bahasa Indonesia tetapi ngobrolnya kita malah pakai bahasa Inggris hahah. alhamdulillah udah hapal poin-poin apa aja yang mau aku sampaikan, dan akhirnya bisa lancar ketika proses interview.
sorenya, aku dikabarin kalau lolos proses interview. terus nanya apakah oke untuk interview user 2 hari setelahnya. aku mengiyakan, dan akhirnya interview user, deh.
jujur takut. ini kayaknya interview user ketiga dalam hidup yang pernah aku laluin?? karena emang sejarang itu bisa sampai tahapan interview user. interviewnya berjalan selama 1,5 jam, dan di second half sebenarnya aku udah agak ngawang ngomongnya karena mikir + translate jawaban ke bahasa Inggris. habis interview punn aku udah nothing to lose, mikir ngga bakalan keterima karena jawabanku yang unik :))
mereka bilangnya bakalan kasih kabar jumat, tapi aku tunggu sampai jumat malam ngga ada konfirmasi :( akhirnya aku mencoba mengikhlaskan dan move on.
ternyata, mereka ngabarin lagi senin paginya dan bilang kalau they would like to have a final chat with me. aku pikir mereka bakalan inform rejection kan, karena callnya cuman bentar dan aku udah prepare for the worst hahah. turns out ternyata mereka call untuk offering dan bahas masalah poin-poin di dalam kontraknya, which mean aku keterima!
and here i am, 6 bulan setelahnya. jujur aku seneng bgt bisa kerja di sini. kerjaannya enak, rekan kerjanya enak diajak ngobrol maupun kerja bareng dan bikin kerjaan ini ngga pressure, mereka juga terbuka kalau ada masukan dan saran AND they actually know how to deliver a good critics. dari culture-nya pun selaras dengan apa yang aku butuhkan. tim-ku juga aktif belajar and supporting the people untuk berkembang. i have met everyone once and all i can say is everyone is sooo nice and sooo people person like how????
aku ngga tahu apakah kerjaanku bakalan dilanjutin apa engga. i would love to, tapi decisionnya kan ngga ada di aku, hahah. semoga apapun yang terjadi kedepannya, ini bisa jadi valuable experience buat aku dan bisa jadi bekal yang cukup buat aku melangkah selanjutnya. i wish nothing but the best juga buat al of the people and the company.
0 notes
Text
dalam banyak hal, aku cuman pengen hidup di dalam kepastian. kepastian kalau besok masih bisa bangun, kepastian kalau besok masih bisa makan hal yang aku senangi, kepastian kalau pekerjaanku akan berjalan dengan lancar dan bisa membantu aku berkembang menjadi lebih baik, dan lainnya.
but it is so hard lately, apalagi dengan kondisi yang ada sekarang.
seperti yang banyak orang tahu, ya, banyak start up yang akhir-akhir ini melakukan lay off. ada yang menggunakan alasan perampingan untuk bisa bertahan hidup setelah gagal mendapatkan funding, ada yang mengubah trajectory bisnis yang akan mereka jalankan, dan ada juga yang company pusatnya menutup operasional di negara ini. seakan ada seribu alasan bagi kabar buruk itu untuk datang dan menghentak kita yang sedang dalam kondisi kalut ini.
dan hal paling menyedihkan darinya adalah bahwa tidak ada yang bisa disalahkan. perusahaan harus tetap bertahan hidup, penyantun dana juga harus bertahan di tengah kondisi ekonomi global yang tengah krisis, dan pemerintah yang masih kacau menghadapi pemulihan ekonomi tetapi harus disibukkan sama terpaan yang tidak disangka sebelumnya.
semuanya sibuk. semuanya ngga bisa disalahkan.
entahlah. dua hari ini, aku beneran ngga bisa bekerja dengan tenang. rasanya malas dan takut. malas karena aku ngga mendapatkan kepastian dari apa yang aku lakukan. takut karena, bisa jadi, aku yang akan masuk ke dalam daftar berikutnya.
it’s not like aku ngga punya pengalaman dengan ketidakpastian sebelumnya. i have been in that positions several times: ketika bikin skripsi, ketika lamaran kerjaanku ngga kunjung mendapatkan balasan, pas kerjaan di agensi membuat aku stress dan mempertimbangkan kembali hal apa saja yang harus aku lakukan. i have several encounters, but doesn’t mean i get used to it.
i just want to live a happy and fulfilling life. i hope i can achieve that.
0 notes
Text
a glimpse of my career journey
Hai!
Udah lama banget ngga menulis di sini. Kalau yang namanya ide tuh pasti ada, cuman waktunya dan brain power buat mikir rangkaian katanya aja yang sekarang agak susah. Apalagi udah ngga terbiasa bikin tulisan yang agak panjang, hehe.
Jadi, hari ini, aku mau membicarakan mengenai career switching.
Sebenarnya switchingku ngga jauh-jauh amat, sih. Dari pekerjaan yang awalnya di bidang Komunikasi jadi ke Human Resources, yang kalau di Indonesia lebih identik sebagai bidangnya anak manajemen dan psikologi. Even though anak Komunikasi juga banyak yang masuk ke ranah HR ini sendiri.
Awal Mula
Sejak kuliah, aku sebenarnya belum memiliki pandangan yang jelas mengenai apa yang akan aku lakukan selulus dari kuliah. Aku cuman mikir kalau aku senang ngobrol dengan orang, dan aku senang ketika obrolan tersebut bisa membantu atau bisa memberikan insight kepada pihak yang bersangkutan. Itulah kenapa aku senang ngebantu orang buat ngisi kuesioner, melakukan interview, atau sekedar membantu hal-hal yang kecil. Aku ngga necessarily amazing dalam menginisiasi suatu obrolan, tapi aku senang ketika bisa mendengarkan orang mau untuk terbuka dan bercerita ke aku.
Aku cuman berpikir bahwa I will be a Public Relations Officer one day, karena kerjaan dia yang paling dekat dengan keinginanku: bisa bercengkrama dengan banyak orang, melibatkan berpikir kreatif, ada kegiatan bikin event juga di dalamnya. Perfect.
Itulah kenapa, pas aku ada mata kuliah magang, aku pengen banget magang di agensi PR. Ngga kesampaian, tapi aku dapat tempat magang yang lumayan memberikan eksposur mengenai cara kerja orang Jakarta tuh seperti apa, hehe. Aku juga jadi tahu lebih banyak mengenai kerjaan secara betulan, karena selama ini cuman mendengarkan dari ceramah dosen atau gambaran dari alumni yang kebetulan visitasi ke kampus.
Di tahun 2019 ini juga, aku (secara ngga sengaja) terjun ke dalam dunia content writing. Dimulai dengan salah satu tulisanku masuk ke portal menulis lumayan ngetren (Terminal Mojok, salah satu anaknya Mojok). Senang sekali rasanya, karena selama ini aku hanya menulis untuk konsumsi pribadi. Ketika tulisan tersebut bisa dimuat oleh media, dan medianya juga besar, ada rasa bangga dan kepuasan tersendiri karena merasa tulisanku ngga jelek-jelek amat, hehe.
Sejak saat itu, aku punya 2 visi ketika nanti lulus dari Komunikasi: menjadi PR Officer atau menjadi penulis kondang. Titik.
Jalan Terjal
Ternyata, petualanganku ngga semudah itu. Pandemi datang, ngebuat semua rencanaku tertunda atau terpaksa terhapuskan dari agenda. Menjadi PR jelas ngga bisa aku wujudkan, karena ngga ada agensi PR yang bagus di daerah (banyak orang yang belum sadar pentingnya PR buat usaha mereka). Aku masih mencoba menulis, tapi entah kenapa pengalaman tersebut menjadi kegiatan yang monoton dan ngga rewarding. Aku constantly mencari ide, padahal kegiatanku mentok di kamar kontrakan yang aku tempati saat itu. Aku juga bukan orang yang sangat kreatif banget, ngga bisa membuat ruanganku yang sempit menjadi wahana imajinasi.
Banyaknya penulis kondang dan berbakat juga membuatku berpikir ulang: apakah aku akan bisa bertahan di industri ini?
Aku selalu merasa bahwa menulis itu bisa dilatih, tapi ada beberapa orang yang memang dapet bonus ketika dilahirkan ke dunia ini. Salah satu bentuk bonusnya adalah otak yang kreatif dan kemampuan menulis yang bagus.
Pengalamanku di 2021 juga tidak membantu. Aku diterima bekerja di sebuah agensi social media management di Jogja, yang ternyata menjadi pengalaman kerja pertama yang juga bikin kapok. I basically handle 5-9 klien dalam sebulan, yang mana menurut semua temanku udah overload banget. Aku juga tidak mendapatkan mentorship dengan matang, ditambah ini pertama kalinya aku bekerja sebagai copywriter, sehingga konten yang aku produksi juga ngga bisa maksimal.
Sering banget aku mendapatkan revisi hingga malam hari. Biasanya, aku bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 10 malam. Itupun masih harus terima ketika beberapa klien memberikan revisi di atas jam normal, misalnya jam 3 pagi. Ditambah lingkungan kerja yang toxic dan bos yang demanding, rasanya aku hanya melakukan hal yang sia-sia saja.
Hingga pada suatu malam, aku berbaring di kamar kosanku sambil menatap langit-langit kamar. Aku memikirkan tentang karierku kedepannya. Apakah aku akan seperti ini selamanya? Berlari di roda putar, tidak membantuku beranjak kemana-mana, dan tidak mendapatkan balasan yang semestinya? Apakah emang bukan ini bidang yang sesuai untuk aku?
Cahaya di Ujung Terowongan
Saat itulah, Tuhan mempertemukan aku dengan salah satu mentor yang keren. Dia juga lulusan Komunikasi, tetapi dia bekerja sebagai HR. Tiap aku mendengarkan ceritanya, aku mendengarkan perpaduan antara passion, rasa senang, dan perasaan fulfilled karena dia mengerjakan hal yang dia senangi. Sebuah perasaan yang aku cari.
Akhirnya, dengan ilmu yang masih 0 dan nekat, aku memutuskan untuk approach dia.
Dan mulailah petualanganku di bidang baru yang masih sangat asing sebelumnya. Well, aku udah tertarik dengan HR dari pas kuliah. Cuman, karena ngerasa itu bidangnya anak Psikologi dan Manajemen, akhirnya aku ngga pernah berpikir untuk mencoba masuk ke bidang tersebut.
Sampai akhirnya mentorku memperkenalkan dan memberikan gambaran apa saja yang akan dikerjakan oleh seorang HR. Di momen itulah, aku sadar bahwa inilah bidang yang aku cari; bisa ngobrol dengan banyak orang, membantu menyelesaikan permasalahan mereka, membantu menemukan talent yang cocok dengan kebutuhan perusahaan, dan ngga harus bekerja dikejar target banget (we still have target, tapi at least ngga se-intens targetnya anak marketing atau sales).
Aku juga baru sadar bahwa apa saja yang aku kerjakan seumur hidup selalu bermuara pada satu hal: membantu. Sejak masih kecil, aku selalu bertanya kenapa aku yang terpilih untuk dilahirkan ke dunia ini. Apa yang diharapkan semesta kepadaku? Apa yang bisa aku berikan? Dan sebagai apa aku ingin diingat?
Aku yang masih kecil kemudian melihat ke sekelilingku. Ke keluargaku yang senang berbagi dan membantu orang lain. Mau mengulurkan tangan, sekalipun tidak ada kepastian bantuan tersebut akan kembali atau tidak. Harus merayakan setiap achievement yang kami dapatkan, karena dengan demikian, kami bisa berbagi ke lebih banyak orang.
Dari situlah, aku terdorong untuk bisa membantu orang lain. Aku mengikuti organisasi anti narkoba di sekolah, karena ingin mengampanyekan hidup sehat. Aku ikut BEM di bagian advokasi dan kesejahteraan mahasiswa, karena ingin membantu meringankan beban orang lain agar mereka tetap bisa fokus berkuliah. Aku pernah berada di fase sebagai SJW feminis hard core yang kerjaannya menuntut keadilan, karena merasa this world is fucked up.
Butuh waktu, tapi akhirnya aku sadar bahwa ini yang aku mau.
Bagaimana?
Setelah menjadi HR selama kurang lebih 2 bulan, aku ngga bisa berhenti bersyukur karena aku berani mengambil keputusan ini. Aku senang bisa melakukan apa yang aku kerjakan sekarang. Would be a lie kalau aku bilang bahwa aku selalu bersemangat dalam mengerjakan tanggung jawabku, tetapi aku berusaha untuk menjalankannya dengan sebaik-baiknya.
Ucapan terima kasih dari mereka yang merasa ‘terbantu’ olehku juga menjadi penyemangat, bahwa ternyata aku juga bisa mendapatkan kepuasan lain, selain kepuasan materiil, ketika bekerja.
Bidang HR juga bukan sesuatu yang membutuhkan ‘bakat’. Aku merasa semuanya bisa dipelajari dan diasah melalui jam terbang. Mencari kandidat yang bagus dari ratusan CV, mengukur kemampuan mereka lewat interview, mencari pokok permasalahan dari curhatan karyawan, menyelesaikan konflik, semuanya bisa diasah seiring berjalannya waktu kerja. Bukan sesuatu yang murni ‘pemberian’ Tuhan.
I am still scared sometimes, karena ngga banyak juga anak angkatanku yang bekerja di bidang ini. Aku takut dianggap ‘merebut rezeki orang’ dan cuman dianggap sebagai ‘anak privilege bisa kerja di HR karena kenal sama manajernya’. But oh well, life gotta be like that sometimes.
Aku juga merasa ‘takut’ karena menulis adalah duniaku sejak dulu. Aku sudah menulis belasan cerpen, memublikasikan sebuah novel, menulis di berbagai media dan diskusi buku, menjadikannya pekerjaan tetap dan freelance, hingga akhirnya aku memutuskan bahwa menulis akan menjadi hobi yang aku kerjakan di akhir pekan. Masih membuatku gelisah, but I know that I just need to remind myself that I am not going to leave this writing world anytime soon. Aku juga masih memiliki banyak mimpi di bidang ini. Hanya saja, untuk sekarang, aku memiliki fokus dan dunia yang lain.
Sudah setahun lebih aku masuk ke dunia profesional. Dari yang awalnya magang di CSR, kemudian kerja sebagai penulis konten, lalu jadi copywriter di agensi, tipis-tipis masuk ke marketing, dan sekarang jadi HR. Crazy to think kalau semuanya terjadi hanya dalam span 1,5 tahun.
Kemana langkahku selanjutnya? Aku ngga tahu. Hidup masih menjadi misteri yang ngga aku pahami. Semoga kemanapun aku pergi, aku tetap bisa menekuni hal yang aku senangi dan bisa memberikan kepuasan dan arti. Lebih dari sekedar materi.
0 notes
Text
talking abt november
november was rough, to say the least. kayaknya karena aku udah kelamaan di rumah (and it affect my mental health juga) dan karena bulan ini lumayan gloomy seharian, jadinya mempengaruhi ke mood dan semangatku juga. definitely not easy to be someone yang mudah terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya.
i actually like being close with friends and family. aku jadi ada chance untuk main dan makan bareng, mencoba hal-hal yang sempet terlewatkan selama aku merantau. cuman, ngga bisa bohong, aku juga kangen sama safe space yang aku miliki dan bagaimana rasa terisolasi di kosan kadang memberikan kedamaian juga.
bulan ini, aku berhasil memaksa diriku untuk nyetir mobil dan mendapatkan SIM. aku juga beberapa kali mendapatkan undangan interview hingga tahap user. beberapa lanjut, banyak yang engga. aku juga berhasil menyelesaikan magang terakhirku, dan mulai workout kembali setelah selama hampir 2 bulan vakum.
hal yang aku sadari selama aku di rumah adalah aku lumayan ngga ada waktu untuk berpikir tentang diri sendiri. i constantly moving and thinking about anything else. aku merasa harus mendistraksi pikiranku agar aku ngga sadar bahwa aku di rumah; agar pikiranku hanya fokus dengan ide bahwa aku berada di tempat yang familiar, ngga harus bayar uang makan, ngga harus bayar kosan, bisa dapat akses internet yang mencukupi, dan dekat dengan teman-temanku.
i am more than want to work on that. to be present dan beneran living di rumah. somehow, di alam bawah sadarku, aku masih menolak untuk tinggal di sini. mungkin karena trauma, mungkin karena aku ngga pengen tinggal di tempat yang menurutku ngga bisa memberikan pengembangan ke diriku ke depannya.
rumahku sama seperti rumah orangtua bagi kebanyakan orang; nyaman untuk ditinggali sementara, tidak untuk pindah ke sana selamanya.
hari ini aku dapat tiga tawaran pekerjaan. satu sebagai product, satu di human resources, dan satunya di bidang kreatif. kinda upset karena kenapa kerjaan ini ngga datang ketika aku lagi down butuh banget aktivitas, tapi yaudah lah ngga ada gunanya juga marah. toh yang penting sekarang aku jadi punya kerjaan.
november was never easy for me, dan aku udah ngomong itu berulang kali. dan kayaknya hidup bakalan makin susah seiring dengan pertambahan usia kita. the only option we have adalah menghadapi permasalahan tersebut. ngga perlu selalu kuat dan tangguh, yang penting kita menjalaninya dengan bersungguh-sungguh.
shout out to me yang sudah berhasil menyelesaikan november dan mencapai sesuatu despite was not in a great position. semoga kamu bisa menghadapi tanggung jawab lainnya yang akan datang.
1 note
·
View note
Text
A Simple Hi
Hai.
Kayaknya ini pertama kalinya aku nulis di dashboard langsung deh, karena biasanya aku nulis di Word dulu dan baru aku copy di sini.
So, what is up? Kayaknya selama November aku ngga ada nulis apapun di sini, makanya sekarang berusaha untuk menulis lagi.
Aku udah kelar magang di tempat yang kemarin. Kesannya sih oke, secara overall. Aku dapet temen yang lumayan membantu selama aku magang (dan karena salah satu tujuanku adalah nambah relasi so it’s a plus point). Aku juga senang dengan cara mereka bekerja (lebih terstruktur dibandingkan dengan tempat magang aku sebelumnya juga).
Keluhannya pasti ada. Aku beneran ngga mendapatkan pengalaman yang sebenarnya aku cari (karena kan aku masuk ke sana buat jadi posisi A, turns out CEOnya pengen mengembangkan departemen yang ada dan akhirnya aku di allocate di posisi B). It’s very okay kalau semuanya planned dengan baik. Sayangnya, CEOnya ngga memiliki perencanaan yang matang mengenai pengembangan ini. Apa yang mau dicapai dalam jangka waktu tertentu, arahan yang sesuai, dan bagaimana memfasilitasi anak magang yang ngga tahu apa-apa ini supaya bisa perform dengan baik.
Selain itu, aku ngerasa aku lumayan neglected selama magang kemarin. CEOnya sendiri juga mengakui, sih, kalau perhatian dia lumayan terpecah dan ngga bisa fokus mengurusi anak magang sepenuhnya. Kadang juga ada perubahan yang mendadak dengan alasan demikian. Tapi, aku sendiri merupakan firm believer quote ‘jangan jadikan agile sebagai alasan bad time management’, dan itu yang totally aku rasakan. Kalau emang dari manajemenmu sendiri yang buruk, ya jangan salahkan kondisi atau menuntut orang lain untuk menyesuaikan. Instead of agile, itu namanya selfish.
Ada hari-hari dimana aku beneran ngga ada kerjaan. It would have been fine kalau misalnya emang ada yang bisa aku pelajari. Masalahnya, aku beneran ngga belajar apa-apa di sana wk. Aku mengerjakan hal yang udah aku bisa (perencanaan konten, bikin konten, hal yang sudah aku kuasai) instead of belajar di bidang baru yang emang aku inginkan dari awal. Padahal kan aku masuk ke sana untuk belajar bidang tersebut :”)
Aku juga malah lebih banyak ngerjain hal di luar jobdesc-ku. Bikin reels lah (berkali-kali, karena anak socmednya pada ~malu~ di depan kamera dan ngga berani nyari talent lain), jadi MC lah (pernah dimintain tolong buat jadi MC H-4 jam dari acaranya berlangsung, hehe), intinya hal yang bikin aku mikir ‘lah kan gue ngga masuk sini buat mengerjakan hal kayak gini??’
Aku sekarang lagi nyari magang berbayar atau kerjaan yang tetap, karena mulai sadar bahwa aku juga butuh duit dan ngerasa bisa diperlakukan dengan lebih baik kalau semisal aku dibayar (perusahaan udah invest ke aku, of course mereka akan treat me better dibandingkan anak magang gratisan yang kalau mogok kerja juga ngga bakalan merugikan perusahaan).
Aku berinisiatif untuk bikin spreadsheet yang isinya lowongan pekerjaan related dengan kemampuanku. Aku ngajak beberapa temenku juga sih, karena siapa tahu nanti ada posisi yang kurang aku minati atau kurang cocok di aku tapi cocok untuk mereka.
Minggu lalu habis interview sama salah satu perusahaan, cuman sampai sekarang blm ada kabar lebih lanjut. Yaudah lah ngga mau terlalu berharap juga, sekarang lagi apply beberapa magang berbayar dan kerjaan lainnya.
To be honest, semakin lama nganggur, semakin aku ngerasa ‘hilang arah’ mengenai apa yang beneran aku mau. Kemarin sih aku masih agak tenang karena ada kerjaan freelance yang bisa aku lakukan. Cuman, selama November ini, aku beneran ngga ada kerjaan, and it affect my mental wellbeing.
Semoga aku bisa lekas dapat konfirmasi dari tempat-tempat yang aku daftari, deh. Aamiin.
0 notes
Text
Selamat Tinggal
Hai.
Aku awalnya ngga mau menulis masalah ini, but I think I need to write this down to finally let the feeling out dan sedikit meringankan beban yang aku miliki.
I used to have a close best friend. Yang beneran deket banget. Kami berkenalan di salah satu event BEM, dimana dia jadi koor dan aku jadi salah satu anak di divisi lain yang sangat berkaitan sama divisinya dia. Seakan udah ditentukan semesta, akhirnya kami jadi sering berkomunikasi bareng, yang menuntun ke hangout bareng, makan bareng, rapat bareng, bahkan sampai lebih dekat dari itu. So close, sampai kami sering berbagi break downs, insecurities, dan masalah pribadi masing-masing pada masanya.
Dia juga sering membelaku di saat pekerjaanku terkesan “berat di aku”. Dia merasa koorku ngga bisa melakukan pembagian tugas dengan baik, yang akhirnya berdampak ke aku yang harus bekerja lebih banyak. I kinda agree, karena aku hands on handle semua peserta yang jumlahnya puluhan. Harusnya sih bertiga ya, cuman yang satunya fokus sama kegiatan di organisasi lain (she’s the coordinator there), dan satunya sibuk dengan kegiatan himanya.
Kalau mengingat masalah event tersebut, aku ngga bisa bohong kalau it reminds me of her. Semua yang berkaitan dengan kegiatan tersebut screams her name. Bahkan sampai di hari terakhir pun, dia doang yang bisa membuat gue menangis karena merasakan campuran perasaan. Beban di pundak udah keangkat, yang menggelantung selama lebih dari 5 bulan, sedangkan di saat bersamaan artinya kami akan melepaskan event yang kami besarkan bersama ini. I know emotional attachment tuh bukan hal yang baik, apalagi untuk hal eventually harus diikhlaskan, but I can’t help it.
Fast forward ke 2018, kami masih berteman dengan sangat baik. Masih saling berbagi keluh dan rahasia bersama. I even know kebiasaan dia bersama pacarnya yang LDR di Surabaya sana. Bagaimana kegiatan dia yang menyebalkan karena dosennya yang ngga jelas. Kawan kosannya yang ada-ada aja. Makanan kesukaannya yang susah ditemukan di Solo karena semuanya terasa kurang pedas.
In fact, kami bahkan jadi lebih dekat lagi dari sebelumnya. Hubungan platonis yang menyenangkan. Di tahun yang sama, dia memutuskan mendaftar Hima, dan kami malah jadi makin deket lagi. Kami jadi sering ke TW bareng, ngeproker di berbagai hal bareng, bahkan ada visi buat ikutan perlombaan bersama.
Beberapa orang bahkan selalu menanyakan yang satunya ke satunya kalau kami lagi ngga bersama. Dia ditanyai aku kemana, dan aku ditanyai dia kemana. Kami se-tidak terpisahkan itu pada masanya. Keliling kota bersama, keluar dini hari, hingga nyari makanan ngga masuk akal bersama (makan soto yang buka jam 3 pagi adalah salah satu rekor kami).
I can’t pin point hal kurang menyenangkan di tahun 2018 yang berkaitan sama dia. Mungkin karena kami mendekat di paruh awal sebelum Juni, dan kemudian ditarik kesibukan masing-masing ketika mendekati Desember. Dia dengan persiapan konferensi penelitiannya, aku dengan konser gagal yang sampai sekarang masih menyisakan trauma.
Tahun 2019 ada di pojok ruangan, dan aku ngga bisa menghindarinya. It is very painful pada awalnya, apalagi akhir 2018 dipenuhi dengan tangisan karena urusan yang kalau sekarang dipikir, ya, ngapain banget. Aku masih lanjut di BEM, dia juga masih lanjut di sana, dan kami masih dekat seperti sebelumnya. But, time changes people, dan aku merasa dia mulai berubah.
Kami masih sering ngevent bareng, kali ini jadi SC atau supervisor (jadi ngga terjun secara langsung). And this time around, gue juga merasa lebih kesepian ketika nge-BEM. Di jajaran presidium yang datang ke acaranya kemenko internal, biasanya cuman aku. Presidennya paling cuman mampir, menko satunya ngga tahu kemana, dan sahabatku ini juga hilang ngga tahu kemana.
Aku pernah jalan kaki keliling kampus sendirian, simply karena aku ngga ada teman untuk main. Dia juga makin deket sama teman-teman yang lain, so I feel like gue ngga bisa mengganggu dia sesering sebelumnya. I am fine with that, tho. But I am not gonna lie bahwa often times, gue merasa sendiri.
She’s probably busy, cuman gue sangat berharap dia bisa meluangkan waktunya barang sehari untuk datang dan menyimak dari awal sampai akhir, syukur bisa ikutan rapat evaluasi. Bagaimanapun, setiap kegiatan yang berkaitan sama development mahasiswa tuh prokernya dia, dan ngga pas aja kalau dia ngga datang.
Aku mungkin masih bisa maklum jika dia hanya absen di satu atau dua event saja, tapi dia beneran jarang datang ke event yang lainnya juga. Bahkan dia ngga pernah datang di rangkaian event yang aku bilang di awal, yang kami besarkan bersama. Padahal dia menterinya.
Sialnya, aku dan dia juga berada dalam tim KKN yang sama. Kami, bersama 3 orang lainnya, menjadi pengusul atau founder dari kegiatan KKN kami (pada waktu itu masih belum pandemi, kami bisa memilih KKN di wilayah yang untouchable sekalipun).
Awalnya, semuanya berjalan dengan baik, sampai akhirnya muncul konflik antar anggota KKN. Emang, sih, ada anggota cowok yang beneran kek tokai dan ngga bisa diajak kompromi dengan baik (18/20 anak KKN setuju dengan hal ini, cuman dia sama pacarnya yang ragu-ragu). Dan, sialnya, si orang ini satu tim dengan sahabatku. Akhirnya sahabatku juga males-malesan ketika bahas KKN.
Dia ngga pernah ikut danusan jualan. Di akhir, dia juga ngga pernah hadir waktu rapat KKN, padahal posisi dia memegang keberjalanan semua program kerja yang ada di tim kami. Dia ngga pernah balas di grup juga, tunggakan iuran menumpuk, dan dana KKN juga masih belum disetor sampai tenggat yang ditentukan.
Aku juga beberapa kali wonder dengan sikapnya. Di suatu ketika, kami lagi rapat KKN. Dia, sebagai yang bertanggung jawab dengan program kerja, memilih ngga datang dengan alasan tugas kuliah. Tapi, ketika kami selesai rapat dan keluar makan, dia punya waktu untuk menyusul dan ikutan makan bersama kami sampai kami bubar.
Ini ngga cuman terjadi sekali. Dan gue bohong kalau bilang hal ini ngga mengganggu dan membuatku mempertanyakan intentions yang dia miliki.
But, Finalnya, dia keluar dari tim. Di hari H KKN, ketika kami sudah ada di desa dan ngga mungkin mengganti posisi penting yang dia miliki. Kami sudah sibuk dengan adaptasi, program kerja, dan urusan masing-masing. Bohong jika aku bilang kami ngga berantakan, but what’s the best thing we can do?
Aku kecewa banget. Terlebih dia ngga ada pamit atau izin ke kami. Kami bahkan tahu bahwa dia memutuskan untuk ngga datang KKN dari teman kontrakannya. Sure, dia masih ada di dalam grup chat KKN, but dia ngga ada memberikan respons apapun ke kami.
Sejak KKN sampai hari ini, sudah 1 tahun 10 bulan berjalan, kami tidak pernah berkomunikasi seperti sedia kala. Hanya pernah 1 kali balasan mention di Twitter, telepon sebagai responden skripsi, dan chat sederhana yang menginfokan duka cita.
Aku masih merasa kecewa, sampai sekarang. Sekalipun berulang sudah aku tegaskan ke diriku bahwa aku harus memaafkan dia: bukan karena dia deserve that, but because I deserve peace.
But it’s just not that easy. Apalagi kami masih berteman dengan sangat baik sebelumnya. Karena KKN, akhirnya kami beneran berubah menjadi stranger.
Aku merasa bahwa kecewa yang aku rasakan juga akumulasi dari pengalaman selama kami berteman di tahun terakhir kemarin. I rarely speak high about myself, but god damn gue beneran berusaha untuk ngebuat BEM 2019 berjalan dengan baik. I did the scheduling, gue bantu make sure semuanya berjalan lancar, gue dateng meeting persiapan hingga evaluasi, gue berusaha memberikan support sebisa yang gue mampu, while holding pengurus harian together karena of course mereka memutuskan untuk berulah dan hilang di saat paling krusial.
Gue selalu menekankan ke siapapun bahwa please do communicate anything. Ngga ada yang ngga bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik. Bisa, kok, kalian ngomong “mas, aku ngga bisa ikutan ini karena ini” atau “mas, can I take time to rest? Aku merasa burn out” atau “mas, kayaknya aku merasa ngga nyaman sama BEM yang sekarang”. You all can fucking tell me anything. Anything. I am your mas, in the end of the day.
I tried to save everyone, but there is literally no one that saves me.
Shit, remembering everything makes me tear up. Kalau ngga ada staf yang beneran cheerful dan bisa diandalkan, kayaknya gue ngga bakalan bisa bertahan di BEM sampai akhir. Toh, gue tuh siapa, sih? Kalau emang berada di BEM cuman bikin mental gue suffer, ya kenapa gue harus bertahan?
Back to my best friend.
Sampai sekarang, aku masih belum bisa mengikhlaskan semuanya dengan penuh. Aku masih memiliki ekspektasi bahwa suatu saat dia akan datang dan meminta maaf atas apa yang terjadi. There is nothing that can’t be fixed with some honesty.
Aku memutuskan menulis ini karena melihat dia udah bahagia dengan kehidupannya sekarang. Sedangkan aku masih terkungkung dengan ekspektasi yang aku miliki dan dampaknya ke mentalku. Beberapa kali aku mimpi buruk, dan selalu ada dia di dalamnya. She seems so happy, dan kayaknya cuman gue yang miserable, silently begging her to ask for apologize.
Gue berharap setelah menuliskan ini semua, akhirnya aku bisa sedikit lega. Aku bisa sedikit memaafkan diriku sendiri. Dan aku bisa, pada akhirnya, memiliki ketenangan tanpa harus merasakan perubahan emosi setiap kali melihat post yang dia unggah di media sosial.
Part of me mungkin masih belum ikhlas karena persahabatan ini berakhir dengan cara yang sangat ngga menyenangkan. Dalam suatu percakapan singkat antara aku dan dia di tempat makan andalan kami di sekitar kampus, aku pernah bertanya ke dia “kita bisa, ngga, ya, masih temenan sampai akhir kayak mereka?” sambil melihat ke arah beberapa kakak tingkat tahun terakhir yang masih bisa makan bareng dengan akrab.
“Kalau kita, sih, aku yakin masih bisa”, jawabnya dengan yakin.
It is hurt to lose someone yang udah lo anggap sebagai saudara perempuan. Kami masih punya banyak daftar tempat yang belum sempat kami kunjungi, acara menyenangkan untuk disinggahi, tempat wisata yang belum didatangi. Heck, kami bahkan belum sempat berburu molen TW bersama lagi.
But, life must go on, right?
Hope you found your happiness.
0 notes
Text
Brain-dump
Hai.
Wkw sadar apa engga, gue selalu menggunakan “hai” dan “sebenarnya” tiap memulai unggahan di Tumblr. Kesannya kayak gue ngga bakalan ngomongin sesuatu yang biasa gue omongin, padahal ntar juga ujung-ujungnya bakalan circling sama hal yang gue mau sampaikan ketika awal ngebuka Docs.
Jadi, minggu ini, gue kembali memasukkan lamaran pekerjaan setelah selama kurang lebih 2 mingguan berhenti. Dan kalau kemarin gue fokus nyari pekerjaan yang berkaitan sama human resource, sekarang gue udah berani apply ke marketing, be it product marketing or other form of marketing.
Ada dua alasan, sih, kenapa akhirnya gue consider untuk apply di bidang tersebut. Yang pertama, jelas, karena pengalaman gue selama ini sebenarnya berkaitan sama marketing. Mulai dari magang pertama yang duluu banget, terus kerjaan pertama sebagai anak agensi, dan sekarang pun sedang magang di departemen yang di bawah payungnya marketing. Even di tempat magang yang satunya, sekalipun jadi human resources, gue masuk ke bagian employer branding, yang urusan gue juga masih sekitaran sama marketing juga. Bedanya cuman gimana memasarkan culture dan kebudayaan yang ada di perusahaan dengan tampilan yang menyenangkan dan membuat orang tertarik untuk mendaftar bekerja atau magang di sini.
Gue pun ikutan UKM yang berkaitan sama marketing. Walaupun ngga banyak develop myself there, tapi I have the chance to meet and negotiate with other people, mengembangkan diri dengan informasi seputaran marketing yang ada, dan bisa berkoordinasi sama divisi lain supaya target yang ada bisa tercapai. I practically melakukan kegiatan marketing on a smaller scale.
Yang kedua adalah karena gue mulai mempertanyakan apakah gue capable sama human resources beneran apa engga. Banyaknya penolakan dari lowongan HR yang gue daftarin (even yang cuman magang dan gratisan) bikin gure refleksi kembali. I am driven by spirit. Gue sadar bahwa sendirinya sangat senang dengan target dan bangga ketika bisa mencapai target tertentu. Dan hal tersebut sebenarnya lebih gampang didapatkan di marketing instead of HR. Gue juga anaknya senang ngide dan planning, dan hal tersebut kayaknya bakalan lebih banyak digunakan di marketing instead of HR. Ngide buat bikin campaign, ngide buat bikin konten, sampai ngide untuk mengevaluasi kinerja yang ada.
Gue awalnya mikir pengen masuk HR karena di sana, gue bisa membantu orang lain untuk menemukan karier yang tepat buat mereka. Gue juga bisa berhubungan dengan banyak orang, bisa ngobrol dan mendapatkan banyak wawasan baru, dan seakan ‘menyusun puzzle’ untuk menentukan kandidat yang tepat buat suatu posisi.
But, the truth is, semua itu juga bisa gue lakukan di marketing. Gue bisa membantu orang dengan memberikan solusi dari permasalahan yang mereka miliki melalui produk yang ditawarkan sama perusahaan. Selain itu, gue juga punya kesempatan berhubungan sama banyak orang, karena marketing bakalan bekerja collaboratively dengan departemen lain juga, be it sales, business development, hingga C level. Kultur di marketing yang fast-paced juga memaksa gue buat belajar dan mau mencari tahu lebih dalam, dan itu sesuai dengan semangat gue untuk selalu memperbaharui ilmu yang gue miliki. Selama magang kemarin, misalnya, gue mendapatkan banyak ilmu baru mengenai product marketing, gimana cara bikin campaign yang oke, cara nulis yang baik, laporan hasil analisis market, nyari konten yang well-perform, dan sebagainya.
Gue kemudian mikir lagi: kalau kayak gini, kenapa sih kemarin gue sempet pengen banget meninggalkan marketing dan pengen bekerja di HR?
Hasil pemikiran gue bermuara pada dua alasan. Alasan pertama, gue belum terbiasa dengan seberapa cepatnya marketing. Strategi marketing tuh selalu unik, dan pola marketing selalu evolve mengikuti tren di masyarakat. Tahun 2017, kayaknya semua tertarik deh buat promote di instagramnya Karin, karena emang waktu itu sedang booming banget Instastory dan dia merupakan KOL yang paling terdengar namanya. Tapi, 2021 ini, makin banyak perusahaan yang mendorong pengembangan buat utilize Tiktok. Mereka hire tiktok content creator, kerja sama dengan KOL di Tiktok, sampai ngebangun divisi sendiri yang berfokus sama Tiktok ini.
Media sosial yang awalnya cuman berisi orang jejogedan, ternyata sekarang menjadi sarana marketing yang paling dilirik, karena durasi kontennya yang singkat, dikemas dengan menarik, dan target market banyak yang ada di sana.
Cara approachment juga berkembang. Kalau dulu banyak perusahaan yang terkesan kaku dan formal ketika melakukan pendekatan ke audiens, sekarang justru metode pendekatan santai dan hangat yang jadi metode paling banyak diterapkan. Interaksi yang intens antara brand dengan audiens membuat sekat strata menjadi hilang, yang akhirnya ngebuat audiens tertarik untuk purchase produk. Apalagi, sekarang, orang belanja tuh bukan cuman karena buat memenuhi kebutuhan jasmani saja, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan emosional (misalnya mereka yang beli album Kpop, beli barang branded karena added value yang dimiliki, dan sebagainya). Liat aja gimana sekarang banyak akun brand yang refer themself menggunakan sapaan yang ‘dekat’ dengan masyarakat dan cenderung kasual, seperti mimin, om, atau sapaan lainnya.
But, sebenarnya, kalau emang gue ngga nyaman sama marketing yang ini, gue masih bisa milih puluhan jenis marketing yang lainnya. Masih ada marketing B2B yang menerapkan stuktur lebih formal dan less dynamic dibandingkan kalau targetnya B2C. Masih ada juga segambreng jenis marketing yang lain, misalnya product marketing, content marketing, atau executive planner. I just have to pick yang ngga bersentuhan langsung sama konsumen atau harus constantly mengikuti kemauan konsumen, then I will be good.
Alasan kedua adalan karena gue masih ada rasa takut kalau nanti jatuhnya sama kayak pengalaman kerja gue kemarin di agensi. Pengalaman itu beneran traumatis dan ngebuat gue ngga berani apply kerjaan as copywriter atau content creator lagi, wkw. Karena, yaa, emang se-nggak nyaman itu.
But, beberapa hari yang lalu, gue mendadak dapat undangan grup dari salah satu rekan kerja di agensi. Ternyata, udah banyak banget yang left itu agensi padahal belum mendapatkan haknya. Ada yang gajinya telat, harus nalangin uang produksi dan belum diganti sampai sekarang, dan masalah lainnya. Mereka juga mengeluhkan bos yang sering gas-lighting, ngga jelas kalau ngasih arahan (everything is based on his preference only, ngga berdasarkan kombinasi riset target audiens + keinginan klien), dan gajian sering telat (kayaknya gue pernah ngomong, kan, kalau gaji Maret gue baru dikasihin akhir April?). Itu semua bikin karyawan jadi pada jengkel, dan akhirnya memutuskan to unite dan menuntut hak mereka.
I, luckily, udah ngga ada urusan apapun sama si bos. Semua hakku sudah terbayarkan. Tapi, dengan adanya grup itu, gue kembali mendapatkan confidence bahwa kerjaan gue tuh ngga jelek-jelek banget, kok. Klien lepas bukan murni salah gue, karena semua yang dikeluhkan klien waktu itu murni karena kesalahan dari atasan (foto sampelnya ga sesuai request klien dan cuman berdasar preferensi bosnya aja, misalnya). It was something out of my control.
Gue juga jadi sadar bahwa gue ngga optimal kemarin karena lingkungannya yang beneran ngga mendukung gue berkembang. Gue baru pertama bekerja di bidang yang baru, udah langsung handle 9 klien tanpa panduan dari siapapun (ada sih content director, tapi sama aja dia lelet dan ngga ngasih masukan yang begitu membangun dalam ranah desain), ngga ngerti harus explore dari mana, dituntut perform bagus padahal gaji aja sering nunggak, tiap hari disalahin, tiap weekly meeting pasti dibahas kesalahanku (diulang terus, seakan kesalahan yang aku lakukan 3 bulan lalu tuh ngga aku perbaiki setelahnya), dan disindir secara halus (demi apapun, gue mending dapet teguran yang membangun daripada sindiran ngga penting). Bukan gue yang salah di sini, tapi emang sistemnya yang ngga mendukung.
Those two aspects kayaknya yang bring me the confidence untuk daftar marketing, lagi. Masih belum dapat, sih, tapi punya keberanian dan keyakinan aja udah cukup banget buat gue.
Other than that, minggu ini gue bakalan mengakhiri magang di tempat magang gue yang sebelumnya. Time flies, ternyata gue udah 7 bulan magang di sana, wkwk. Padahal, Februari kemarin, gue mikir periode magangnya bakalan beneran lama dan membosankan. Untung banget ya bun, ternyata teman-temannya menyenangkan dan bondingnya berjalan dengan baik, sehingga ngga kerasa aja selama bekerja di sana.
Yah. Sekarang, tiap gue doa, gue cuman berpasrah dan meminta untuk diletakkan di tempat yang sesuai dan bisa mendorong gue untuk berkembang. Tempat kerja gue yang pertama clearly tidak mendorong gue untuk berkembang, dan justru malah ngalamin mental breakdown karena pressure yang ngga jelas itu. Semoga tempat kerja gue berikutnya bisa beneran jadi wahana untuk mengembangkan diri, belajar lebih banyak, dan mendukung gue jadi versi yang lebih baik dari sekarang.
Here is my faith, for the better future ahead of me.
0 notes
Text
Talking about Instagram, media sosial paling menyebalkan yang pernah aku kenal.
Hubunganku dengan media sosial yang satu ini nampaknya cukup kompleks, jika dibandingkan dengan beragam media sosial lainnya. With Twitter, aku punya hubungan yang cukup stagnan: merasakan euforia menggunakan Twitter, menggunakan beragam aplikasi yang bisa mengubah tampilan, merasakan hiatus karena merasa bosan, hingga akhirnya kembali lagi dan menikmatinya sampai sekarang. Dengan Facebook, aku cuman pernah membagikan pemikiranku di sana sampai aku tamat SMP, dan tidak pernah menyentuhnya lagi sampai saat ini.
But, with Instagram, aku punya hubungan yang cukup unik. Ada masanya dimana aku mengunggah segala hal di sana, mulai dari yang penting sampai ngga penting. Apapun yang menurutku worth untuk dibagikan di linimasa. Gambar patung angka di sekolah, gambar jalanan yang aku lewati ketika membelah pagi, atau sesederhana cocard kepanitiaan, menunjukkan bahwa aku adalah anak yang aktif dan kontributif membangun ego anak SMA.
Mungkin karena waktu itu, aku baru pertama kali memiliki HP Android yang bisa digunakan untuk bermain Instagram, sehingga ada perasaan senang ketika bisa membagikan sesuatu. Mungkin juga karena Instagram menawarkan layanan photo-sharing yang berbeda dengan media sosial lainnya yang lebih text-based.
Seiring berkembangnya waktu, aku merasa minder karena unggahan yang aku bagikan tidak nampak se-menyenangkan unggahan temna-temanku: mereka yang nongkrong di kafe, main bersama teman, pergi ke tempat yang menyenangkan, melakukan hobi yang nampak cantik ketika difoto, atau berpose dengan tampilan yang sedap dipandang mata. Sejak itu, aku jadi jarang mengunggah foto di akun Instagramku.
Ada pula fase dimana aku hanya fokus mengunggah paid promote demi meraup keuntungan guna mendanai kepanitiaan kampus. Hal yang sampai saat ini aku anggap bodoh, karena keuntungan yang ngga seberapa itu membuat banyak kenalanku meng-unfollow akunku, padahal aku sudah susah-susah menjalin komunikasi yang baik dengan mereka.
Sampai akhirnya, tahun 2020, aku memutuskan untuk mengarsipkan sebagian besar unggahan yang ada di akunku. Aku hanya menampilkan beberapa foto yang menurutku ‘presentable’, just because aku ngerasa foto-foto tersebut sesuai dengan personal branding yang ingin aku bentuk. Personal branding sebagai anak yang punya banyak teman, aktif ngevent, dan sering berkegiatan.
Sampai akhirnya ada dua momen yang membuat diriku re-evaluate habit yang aku terapkan di Instagram.
Momen pertama ialah ketika salah satu mentorku bertanya ‘kenapa sih anak sekarang jarang banget upload foto?’. Pertanyaan ini wajar diajukan, karena mentorku baru saja mengunjungi akun beberapa milik anak magang, dan dia menemukan fakta bahwa sebagian besar dari kami tidak memiliki terlalu banyak foto yang terpasang di akun kami. Tak sedikit yang malah tidak memasang foto sama sekali di feedsnya.
‘Padahal kalau zaman aku dulu, kita beneran bebas dalam upload foto di Instagram. Mau itu bagus, jelek, yang penting itu bisa jadi kaleidoskop dan mengingatkan ke momen-momen tertentu.’
Momen kedua adalah ketika aku nge-follow akun kakak tingkat yang kebetulan mengisi internal sharing session di tempat magangku yang lain. Aku mengamati bahwa dia cukup acak dalam mengunggah sesuatu di akun Instagramnya. Tidak ada konsep, yang penting hanya sharing tentang apa yang menarik menurut dia dan apa yang sesuai dengan kegiatan yang sedang ia jalani. Ia membagikan soal buku yang barusan ia baca, webinar yang dia ikuti, lesson learned, dan hal-hal lainnya yang menurutku tidak menunjang personal branding miliknya aesthetically.
Dua momen tersebut got me thinking; sebenarnya, apa sih yang hendak aku capai ketika bermain Instagram?
Aku re-evaluate mengenai pola penggunaan akun pertamaku tersebut. Sepanjang 2020, aku hanya membagikan 2 foto, karena aku berpikir my life was not exciting. Aku ngerasa kurang pas aja membagikan sesuatu yang ngga aesthetically pleasing, dan aku ngerasa ada struggle hidup yang harus ditutup rapat-rapat.
Padahal, aku sedang membicarakan tentang akunku. Aku tidak membicarakan akun orang lain. I am the ruler of my own account. Aku yang harusnya tahu bakalan dibawa kemana akunku dan bagaimana cara aku memanfaatkannya.
Akhirnya, aku tersadar bahwa selama ini, aku terlalu ngerasa inferior ketika membicarakan tentang diri sendiri. Padahal, as a person, I have been through a lot, dan semua perjalanan tersebut sangat sayang jika tidak didokumentasikan dengan baik.
Aku kemudian mengembalikan beberapa unggahan yang awalnya aku simpan di arsip, beberapa yang menurutku valuable dan bisa mengingatkanku akan perjalanan yang sudah aku lalui as a human. Ada perasaan senang, karena feed yang awalnya cuman berisi 9 foto mendadak berisi 27 foto yang beragam. Ada perasaan lega, karena aku sudah menemukan tujuanku menggunakan akun Instagram. Ada perasaan excited, karena aku ngga sabar untuk kembali membagikan dokumentasi perjalanan hidup di akun tersebut.
See? Ketika kamu sudah menemukan dirimu, nobody could tell you otherwise.
I am so thrilled untuk berbagi lebih banyak dan mendokumentasikan hidupku dengan lebih bersemangat. Di masa depan, aku harap aku bisa tersenyum ketika scrolling profil Instagramku, sembari berpikir ‘ah, i have walked this far’.
1 note
·
View note
Text
Sebulan Kemudian
Hai.
Been a while. Ternyata udah sebulan lebih aku ngga menulis, wkw. Bekerja di bidang kepenulisan ternyata beneran draining my energy untuk sekedar nulis dalam hal lain, seperti nulis di tumblr atau tracking mood dalam bentuk journaling.
Aku terakhir mengunggah postingan di sini ketika baru seger-segernya lulus kuliah; masih bangga karena akhirnya bisa wisuda, bisa mendapatkan gelar cum laude yang kayaknya hampir mustahil kalau ngga diusahakan, dan kayaknya baru aja ngerasa sure dengan career path yang aku mau.
Aku belum merasakan insecure karena ternyata aku lulus barengan sama anak-anak 2017. Aku belum merasa ketinggalan karena beberapa temanku sudah bekerja (dan bahkan naik jenjang karier), some of them bahkan udah bisa dapat bonus senilai dua digit. Aku belum merasa takut dengan uncertainty yang akan aku hadapi di masa depan.
I did a great job at managing my own feeling. Selama dua bulan ini, aku udah ngga nangis karena masalah-masalah di atas, mainly karena deep down aku yakin semua orang bakalan punya jalannya masing-masing, dengan proses yang berbeda pula. Lagian, kan, aku beneran memulai dari 0 karena pengen pindah career path. Jadi, yaa, wajar ketika akhirnya sekarang aku masih magang gratisan dan lebih sering nombok, hehe.
Paling cuman beberapa kali merasa empty. Kayak ngga semangat untuk bangun dan memulai hari. Exhausted tanpa tahu penyebabnya apaan, rasanya cuman pengen rebahan sambil main HP dan scrolling media sosial. But the days change, ada momen juga dimana aku semangat untuk melaksanakan tanggung jawabku bekerja dan pengen apply kerjaan biar aku bisa lekas make my own money.
I also re-thinking about my decision to resign. Aku ngerasa terlalu terburu-buru mengajukan surat resign, karena sebenarnya I can stay longer dan bisa tetap mendapatkan uang untuk menunjang kehidupanku. Tapi, aku sadar kalau aku tetap bertahan di kantor yang kemarin, kayaknya aku bakalan lebih kena emotional burden dan malah ngga bisa bekerja secara maksimal. Temenku yang baru masuk Juni aja udah mengajukan resignation letter dan bakalan selesai akhir Agustus besok. That’s how hard bekerja di sana. Bukan masalah day-to-day job-nya, tapi dari lingkungannya yang sangat menekan dan ngga suportif.
And, in the end, aku merasa bersyukur, sih. Kalau ngga karena keberanianku mengundurkan diri, kayaknya aku ngga bakalan bisa bertanya ke diri sendiri tentang apa yang sebenarnya aku pengen lakukan for the rest of my life. Aku bekerja di agensi tuh paling bertahan cuman sampai beberapa bulan, tapi hal itu yang bakalan ngebentuk career path aku ke depannya. Aku cuman bakalan bergerak di bidang yang berkaitan sama pekerjaanku aja. Praktis, aku hanya punya pilihan untuk bekerja sebagai copywriter or content writer, that I could be good at but I don’t envision myself doing that for the rest of my life.
I could also discover myself more; menemukan apa yang aku beneran suka dan yang aku bisa lakukan. Ternyata, aku punya opsi untuk ngga ‘suffer’ selama bekerja, untuk enjoy dengan pekerjaan yang aku lakukan, and most importantly, to be proud of what I am doing.
And I think I am heading to the right path. Aku dapet magang di bidang yang emang aku senengin, tempat magangku yang sekarang juga offer buat aku pindah divisi, dan aku kemarin juga sempet dapet offer magang di posisi yang masih berkaitan dengan bidang yang aku senangi. So, yeah, kayaknya semesta sedang memberikan petunjuk bahwa I am on the right track, despite having 0 experience in that field.
I am still clueless, tho. Ngga tahu hidup ini bakalan jalan kemana. But as long as I do what I have to do, I know I am good.
0 notes
Text
Taking a Break
Hai.
Selamat bulan Juli. Jujur, beneran ngga kerasa udah setengah tahun terlewati. Rasanya kayak tiap hari tuh sama aja: bangun, melakukan aktivitas sederhana, menjalankan tanggung jawab, terus tidur. Rasanya cuman kayak gitu terus.
But, understandable. Pandemi yang ngga lekas kelar tentu ngebuat banyak aktivitas menjadi tertunda, bahkan harus terpaksa diikhlaskan. Salah satu adek tingkatku harus rela melepaskan magangnya karena adanya peraturan pembatasan yang baru saja diterapkan, dan akan berlaku sampai tanggal 20 Juli nanti. Adek tingkatku yang lain sedang sibuk ngurus vaksin, karena dia harus mulai masuk kantor tanggal 12 Juli, sedangkan dia harus berpindah dari kotanya yang sekarang dia tempati, dan dia harus udah divaksin kalau pengen lancar naik kendaraan umum.
Hah. Ada-ada aja.
On a ‘me’ topic, gelombang kedua ini ngasih dampak yang lumayan membuatku menghembuskan napas berat. Udah beberapa hari ini, jumlah orang positif meningkat, bahkan melebihi rekor ketika awal pandemi di tahun 2020. This virus is getting more contagious, and it’s not a good thing.
Aku tidak merasakan dampaknya ke kondisi emosionalku secara masif dalam sekali lihat. Tapi constantly stumbled upon unggahan yang nyari donor plasma, nyari rumah sakit yang masih punya kamar dan mau nampung orang, informasi soal vaksinasi yang terbatas, bohong rasanya jika ngomong bahwa kondisiku ngga terpengaruhi dengan itu semua.
And the fact that I cannot help selain dengan berdiam di kosan juga membuatku merasa lebih useless. I am trying to channel my energy dengan rutin melakukan workout kembali, mencoba untuk kembali menulis, atau sekedar ngobrol sama temen. But, not gonna lie, ada banyak waktu dimana aku cuman pengen tiduran aja dan ngga mikirin semua hal yang terjadi saat ini.
Hal itu yang membuatku lambat untuk mengurus lamaran kerja. Rasa lelah dan pikiran ‘kapan sih semua ini berakhitr?’ ngebuat aku cuman pengen tiduran aja dan ngga mikir apa-apa. Ditambah dengan fakta bahwa aku sendirian di sini, and I only have myself to keep me, ngebuat aku makin ngga pingin ngapa-ngapain.
And I think it’s okay untuk merasa sedih dan lagi ngga pengen ngapa-ngapain di kondisi seperti ini. Untuk cuman pengen rebahan atau melakukan aktivitas sederhana saja, ngga harus berkaitan sama produktivitas yang menunjang pemasukan dana. Untuk cuman pengen merasa ‘aman’, tanpa rasa takut harus merawat diri sendiri yang sedang sakit.
I wish for nothing except everything back to normal. Gue kangen jalan-jalan sama temen-temen di malam hari, be it buat cerita ngalor ngidul atau cuman nyobain makanan yang cuman buka di malam hari. Aku kangen pergi tanpa harus takut kelupaan masker, kangen ke kampus dan berinteraksi dengan banyak orang, dan kangen jalan-jalan keliling Indonesia untuk menemukan cerita lain that will keep me humble.
I hope everything goes back to normal as soon as possible.
0 notes