Tulis apa yang ingin kamu tulis, meskipun tidak semua yang kamu tahu orang lain perlu tahu atau sebaliknya.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Semua pasti ada hikmahnya kan yaaaa? Kalau tau di awal apa hikmahnya mungkin kita nggak akan semangat menjalani kehidupan, bakal lebih banyak santainya wkwkwk.
Ditulis karena sedang membutuhkan motivasi.
0 notes
Text
Kayaknya saya harus lebih berhati-hati dengan pikiran dan the power of mbatin. Karena beberapa kali kejadian cuma mbatin sesuatu kemungkinan dan kejadian. Masalahnya yang dibatinkan itu sesuatu hal yang buruk :" astaghfirullah
0 notes
Text
Sad but true :")
Baru paham. Dalam hidup, kadang kita tidak selalu menanggung konsekuensi atas pilihan kita sendiri. Kadang ada konsekuensi yang hadir dari pilihan orang lain dan tidak dapat terelakkan.
Mogi Bian
288 notes
·
View notes
Text
Jurang
Hi semua. Tulisan ini mungkin cukup sensitif dan membutuhkan empati untuk membacanya dengan hati-hati, karena akan menggunakan sudut pandang perbanding-bandingan. Sesuatu yang mungkin tidak nyaman untuk dibaca bagi sebagian orang.
Dalam proses mengamati sekaligus menjalani kehidupan selama 34 tahun ini, terasa sekali bahwa fase yang sedang dijalani saat ini itu benar-benar jelas sekali garis batas kehidupan satu sama lain, antara diri kita dengan orang lain itu kelihatan sekali.
Dulu sewaktu kecil, sewaktu seru-serunya menjadi anak-anak, tidak memandang dunia dari sisi materi, tidak bingung bangun tidur harus bekerja, bahkan ini mungkin terjadi hingga kita SMA. Antara kita dengan teman kita itu sama, sama-sama di fase berjuang. Lagi di fase belajar untuk mewujudkan mimpi masing-masing. Ngerasain kelas yang panas tanpa AC bareng-bareng, naik motor iring-iringan, dan semua aktivitas yang membuat kita terasa tidak ada bedanya satu sama lain. Coba deh perhatikan, teman-teman kita semasa TK, SD, SMP, ataupun SMA dulu. Inget nggak serunya bermain bersama, paling satu-satunya hal yang membuat kita berkompetisi saat itu adalah rangking kelas. Itu pun kadang sadar diri kalau udah ada yang langganan juara kelas berturut-turut, kitanya juga nggak berkecil hati karena tidak juara kelas, enjoy aja, dan ya berjalan sebagaimana biasanya.
Tapi coba lihat semuanya sekarang. Perbedaan antara kita dan teman-teman bisa kayak bumi dan langit dari sisi kehidupan. Di umur yang sama, ada yang masing single, ada yang sudah punya anak mau masuk SD. Ada yang sudah punya rumah, ada yang masih ngontrak. Ada yang kerja dengan gaji puluhan bahkan ratusan juta per bulan, ada yang berjuang biar bisa UMR aja alhamdulillah. Ada yang lagi jalan-jalan ke berbagai kota atau negara, ada yang lagi langganan ke psikolog/psikiater. Ada yang berubah jadi kriminal, ada yang menjadi seorang alim. Ada yang lagi kesulitan finansial, ada yang lagi lapang banget sampai bisa bersedekah tanpa berpikir panjang. Ada yang pernikahannya bahagia, ada yang sudah menjadi duda dan janda.
Perbedaan itu terpampang secara nyata. Dan itu dialami oleh diri kita sendiri dan juga orang-orang yang dulu sekali, tidak begitu lama, mungkin 15 atau 20 tahun yang lalu adalah orang-orang yang bareng sama kita. Yang dulu sama-sama memikirkan tugas sekolah, les bareng-bareng, kalau libur sekolah bikin agenda kelas, kalau ramadan bikin acara bukber kelas. Kalau lebaran, rame-rame keliling antar rumah-rumah.
Tapi perbedaan nasib, garis takdirnya bisa sejauh itu. Kadang, diri sendiri pun merasa begitu asing dengan segala jurang yang ada, begitu tinggi perbedaan yang dimiliki. Kadang, diri juga mengukur-ukur diri sendiri, bertanya-tanya mengapa ada yang bisa sejauh itu sementara kita terasa jalan di tempat, gitu-gitu aja.
Tanpa sadar, bahwa "gitu-gitu aja"nya diri ini juga ternyata jadi sesuatu yang amat berharga bagi teman kita yang lain. Hidup yang saling melihat ini, rasanya semakin membelalakkan mata di umur sekarang. Umur-umur yang menurut kita harusnya sudah bisa mencapai hal-hal tertentu dalam hidup, tapi kita baru mencapai sebagian kecil atau bahkan belum sama sekali.
Kemarin waktu baca threads, ada sebuah utas yang kurang lebih bilang begini : "Umur 42, belum punya rumah sendiri, masih ngontrak pindah-pindah, kendaraan cuma motor ada 1, anak ada dua udah sekolah semua, tiap bulan gaji ngepres buat semuanya. Nggak apa-apa kan?" Dan jawaban orang lain yang membalas, begitu "nyesss" pada baik-baik.
Kadang mulai mikir juga, apa selama ini kita terlalu lama hidup dalam bubble. Hidup dalam perspektif bahwa keberhasilan-keberhasilan itu harus mencapai ini dan itu. Ditakut-takuti jika kita tidak begini dan begitu, nanti hidup kita akan menderita. Hidup kita akan gagal. Gagal menurut orang yang menebar ketakutan tersebut.
Dan kita lupa dan tidak pernah diajari untuk bagaimana caranya bisa bahagia dengan alasan-alasan yang amat sederhana. Kebahagiaan kita penuh dengan syarat, syarat yang kita buat sendiri, tapi sekaligus syarat yang amat sulit untuk kita sendiri penuhi. (c)kurniawangunadi
187 notes
·
View notes
Text
Hati lagi keruh banget banget. Ngeliat kabar baik dari orang jadi banyak mempertanyakan diri. Kayak ternyata aku nggak ada apa-apanya ya dibanding dia. Lah terus jadinya membanding-bandingkan berujung iri hati. Astagfirullah ya Allah ril sedih pol-polan :"""""
1 note
·
View note
Text
Kebangun. Belum selesai belajar. Malah galau brutal. Kangen banget :"
Sampek sesek saking sedihnya.
1 note
·
View note
Text
Terus kalau kangen berat tapi nggak bisa ngapa-ngapain selain mendoakan gimana?
1 note
·
View note
Text
"Your Istighfar Need Istighfar."
Begitulah yang sahabat Ali bin Abi Thalib katakan kepada seseorang yang beristighfar tanpa disertai kesadaran. "Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah," kalimat itu keluar dengan sangat mudahnya.
Ini berkaitan dengan ekspektasi, soalnya sebagian orang, jauh di dalam pikirannya, sudah menginternalisasi asumsi bahwa:
"Aku sudah banyak melakukan hal buruk. Aku tau Allah nggak mau aku melakukan hal ini, tapi aku tetap melakukannya dan aku ulangi lagi berkali-kali. Doaku tidak berarti. Apakah taubatku yang sekarang benar-benar dapat menghentikan semuanya secara total?"
Kamu tau nggak? Saat kita berasumsi tentang seseorang, akan muncul kecanggungan atau suasana nggak betah saat berlama-lama berhadapan dengan orang tersebut.
Oalah, makes sense. Ternyata pengen cepet-cepet beres saat shalat, dan beristighfar tanpa melibatkan kesadaran yang lebih dalam, adalah indikator bahwa kita sedang canggung kepada Allah sebab berasumsi tentang Dia yang tidak sesuai dengan sifat-Nya.
Bahkan ya, di momen canggung ke Allah kaya gini, aku sampai di titik seneng/berharap didoain orang lain karena nggak pede dengan doaku sendiri. Karena kupikir orang lain punya hubungan yang jauh lebih baik dengan Allah daripada aku. Pikirku:
"Apakah doa yang datang dari hamba yang kotor ini punya kesempatan untuk di-notice Allah? Masih banyak doa lain dari hamba yang lebih saleh yang perlu diprioritaskan deh kayanya? Aku kurang pantes untuk dapat perhatian itu."
*sebelum lanjut, disclaimer bahwa tulisan ini mungkin tidak bisa diselesaikan dengan 100% consciousness terutama bagi yang memiliki kemalasan emosional untuk berhadapan dengan dirinya sendiri
Tapi surat Nuh (71) memberiku keyakinan yang ingin terus menerus aku re-learn sepanjang hidupku. Omong-omong surat ini punya hubungan paling personal dalam hidupku, surat yang pernah paling jauh mencapai kedalaman hatiku dan punya tempat tersendiri secara emosional di hatiku, seperti kisah Nabi Yunus di urutan kedua.
Bayangkan, untuk ukuran kaum yang dikasih umur panjang dan kesempatan bertaubat lebih banyak, namun terus menerus melakukan kesombongan yang sulit digambarkan (wastakbarustikbaro), Allah saja beri keoptimisan. Apalagi untuk kita yang (mudah-mudahan) tidak sesombong kaum Nabi Nuh.
Bahkan istighfarmu perlu diistighfari.
Emang istighfar itu seharusnya gimana? Kata "istighfar" punya tiga arti:
Meminta ampunan (ask)
Menginginkan ampunan (want)
Mencari ampunan (try to, looking for)
Orang-orang yang punya kemalasan emosional hanya stuck di tahap satu. Kadang-kadang kita meminta ampunan, tapi dari sikap, perhatian, dan kesadaran, keliatan jelas kalau kita ga pengen-pengen amat.
Sama kaya anak kecil yang bertengkar lalu disuruh minta maaf. Ya udah, mereka lakukan sambil memalingkan wajah dan tidak menghadirkan perasaan bersalah. Tidak benar-benar menginginkan pemaafan itu sendiri.
Aku pernah menyuruh seseorang berhenti meminta maaf saking kesalnya karena dia cuma meminta maaf berulang kali tanpa realize seberapa fatal kesalahannya. Kata orang sunda mah haha-hehe dengan watados (wajah tanpa dosa).
Maka kita tidak seharusnya beristighfar, sampai kita sadar (notice-realize-aware) akan hal-hal buruk yang kita lakukan serta menyadari tingkat kefatalannya.
Konyolnya kita suka berpura-pura tidak terjadi apa-apa antara kita dengan Allah. Merasa tidak berutang apapun terhadap Dia yang memberi kesempatan hidup. Duh, paling tidak, milikilah rasa bersalah (feeling bad) dan cobalah ubah diri!
Kita harus menginginkan ampunan. Meminta itu perkara lisan, tapi menginginkan itu perkara hati. Dan istighfar menggabungkan kedua perkara ini. Kemudian, mencari ampunan artinya kita mencoba melakukan usaha agar diampuni. Lidahnya terlibat, hatinya terlibat, serta orangnya, waktunya, tindakannya juga terlibat.
Selain mengingat seberapa fatal hal buruk yang kita lakukan, bagian dari mencari ampunan Allah juga adalah membenahi hal-hal yang seharusnya bisa kita lakukan dengan lebih baik serta memperhatikan hal-hal yang selama ini kita sepelekan. Untuk pembahasan fatal dan sepele, bisa merujuk ke tulisanku tentang Sense of Urgency and Severity.
"Innahuu kaana Ghaffaraan."
Dialah yang sudah, masih, akan, terus menerus, mengampuni. Dengan kata lain, bahkan jika kamu tidak meminta ampunan, sudah banyak hal yang Dia ampuni atas perilakumu. Sudah banyak hal-hal yang sebenarnya kamu layak dihukum secara langsung, tapi Allah memberikanmu kesempatan.
Di lain surat, Allah mengatakan, "jika Allah menghukum manusia karena dosa yang diperbuatnya, maka tidak ada satupun manusia yang tersisa."
Artinya, bahkan ketika kita tidak meminta ampunan atas banyak hal, sesungguhnya Allah sudah mengampuni kita. Tapi terlepas itu, ampunan akan berhenti saat kita wafat dan kita akan dihakimi di akhirat jika tidak bertaubat.
Jika Allah sudah selalu mengampuni, lantas untuk apa kita meminta ampun?
Meminta, menginginkan, dan mencari ampunan bukan jaminan akan memperoleh ampunan. Maka fungsi beristighfar di hadapan Allah adalah untuk memposisikan diri kita serendah-rendahnya sebagai makhluk dan hamba yang tidak sempurna, lemah, dan rentan berbuat salah. Untuk melatih ego agar jadi biasa patuh pada perintah Allah. Serta untuk menunjukkan bahwa Allah—tidak diragukan lagi— selalu jadi tempat kembali seburuk apapun kita keadaannya.
Know ur place, human! Jangan karena Allah Maha Pengampun, kita jadi seenaknya berbuat.
Semoga kita punya kesediaan dan energi untuk menyelami dan berhadapan dengan pekatnya lumpur dosa diri sendiri, serta Dia berikan kemampuan untuk "lizzakaati faailuun" alias "proaktif dalam membersihkan diri."
— Giza, re-learn makna istighfar sambil terus unlearn asumsi yang keliru tentang Allah (nangis dikit ga ngaruh)
Sumber rujukan:
Ust. Nouman Ali Khan
Tafsir Abul A'la al-Maududi
173 notes
·
View notes
Text
Mendadak pingin jadi puitis, sebab membaca novel bang Darwis :"
Mendadak ingin membikinkan kata-kata untuk dikirimkan ke alamat surat elektronik miliknya.
Tapi, apakah nyaliku masih sebesar yang dulu? Takut-takut kalau dia udah punya yang baru.
1 note
·
View note
Text
Bagaimana kiranya jika kita tidak pernah bertemu dan engkau tidak pernah bertamu di hatiku?
Tentu kiranya aku hanyalah pandai dalam berandai sesuatu hal yang semu.
0 notes
Text
Sayangnya, aku lebih banyak memikirkan kau yang bahkan tidak memikirkan aku.
0 notes
Text
Dalam hidup ini apakah ada yang namanya kebetulan?
Beberapa waktu kemarin, saya ngobrol dengan seorang teman–sedikit berdebat. Pembahasannya tentang adakah sesuatu yang namanya kebetulan di dunia ini? Apa sajakah contoh nyata kebetulan? dsb.
Bagi saya pribadi, tidak ada yang namanya kebetulan, karena bukankah kebetulan itu adalah sesuatu yang betul-betul terjadi–tidak dibuat-buat atau disengaja untuk terjadi. Entah pertemuan, perpisahan, keberhasilan, kegagalan, kedatangan, kehilangan, dsb. Karena segala hal yang terjadi pasti ada benang merah–sebab akibat yang pastinya tidak terlepas dari campur tangan-Nya.
Sedang teman saya berpendapat sebaliknya. Menurutnya, ada hal-hal yang memanglah terjadi semata-mata hanya karena "kebetulan". Misalnya, kebetulan kemarin dia ketemu Pak A sewaktu tracking–atau kebetulan dia melihat konten yang kemarin baru dibahas, padahal konten itu dibuat bahkan setelah dia membicarakannya.
Kesimpulannya, boleh jadi pendapat kami tidak ada yang keliru–tidak masalah jika ada yang meyakini sebuah kebetulan atau tidak sama sekali. Poin penting lainnya, yang akan menjadi masalah adalah jika kami hanya menghabiskan waktu untuk terus memperdebatkannya.
Jadi bagaimana denganmu, percayakah dengan yang namanya kebetulan?
0 notes
Text
Udah tau pusing malah pilih maraton film. Yaa paling nggak diri ini bisa sedikit banyak menikmati weekend yang super singkat ini.
0 notes