Text
C I U M
Derasnya berkah langit mengabur kaca depan kereta beroda empat milikmu
Wiper yang bergerak-gerak
Dan Kau yang kedinginan
Kuyup memelukmu setelah Kau terjang derasnya tirai air karya Tuhan
Kemeja putihmu basah, begitu pula jaket denim dan celana kehijauan yang rupanya milik adikmu
Aku mencari kesempatan dalam kesempitan
Kaca yang buram karena hujan
Dan Kau yang lelah karena basah
"Cium aku," kataku dengan sedikit memaksa
Kau setengah mengabai, sibuk dengan teman-teman mayamu
"Cium aku," ucapku lagi, kali ini setengah menyerah karena Kau, alih-alih mencium, malah bercerita tentang betapa menyebalkannya para pengurus harian yang mencoba memojokkan dirimu
"Apa katamu, cium?" Akhirnya dia menyadari setelah kata-katanya habis ditelan bumi.
Aku mengangguk, sedikit malu-malu, tapi banyak mau-mau.
Mataku kupejam. Wajahku kucondongkan semakin dekat dengan milikmu. Hembus nafasmu mulai terasa. Hangat.
Lalu, hangat...
Hangat
Dan semakin hangat. Juga lembut, amat lembut.
Lalu panas.
Tanganku menjalari gelang klavikulamu
Pun tanganmu, bertengger dan membelai tengkukku.
Setelah nikmat yang tak ada dua, aku membuka mata. Kau pun begitu. Lalu, kita tersenyum
Dan, diantara derasnya hujan di Sabtu siang
Kedua bibir kembali menyatu, mereka ulang adegan beberapa saat yang lalu
Di balik kaca yang terguyur hujan Sabtu
Di balik deru wiper yang tak lelah berlalu
Di antara bau hujan yang tersenyum malu-malu,
Menyaksi cumbu mesra pintaku dan ganas nafsumu
0 notes
Text
Pergi
Semua akan pergi, Sayang
Seperti jingga melambai pada senja
Seperti embun tergelincir dari daun inangnya
Pada akhirnya,
Kau akan tertinggal, Sayang
Seperti hari-hari berjalan mendekati akhir bulan
Seperti seorang anak berpeluk salam pisah dengan Sang Bunda
Kau ditinggal, Kau menangis meratapi
Lalu, ada saja yang datang menghampiri
Kau pun menggapai jemarinya untuk temani sepi
Kau tertawa, kini
Lagi-lagi, datang sepucuk harap akan abadi
Siklus datang-pergi berputar kembali
Yang Kau kira abadi, kini telah mati
Kau sendiri, lagi-lagi
Pada akhirnya, Sayang
Datang dan pergi menjadi santapmu sehari-hari
Teman yang pulang, dan teman yang hilang menjadi tak lagi berarti
Akhirnya, Sayang
Kau menyadari
Kalau Aku adalah kawan dari datang dan pergi
- Depok, 16 Februari 2019
Tepat pukul enam sore.
0 notes
Text
I-a
Ia tidak tampan
Wajahnya tak rupawan
Tidak menyerupa pangeran,
Tidak juga seperti tokoh Rangga dalam Ada Apa Dengan Cinta <br>
<br>
Raganya bukan idaman
Tidak terkotak-kotak layaknya binaragawan
Pun rambutnya,
Panjang bergelombang tak karuan <br>
<br>
Namun,
Ialah sosok yang ku tunggu hadirnya di awal pagiku
Sang tokoh utama dalam mimpi-mimpi siang bolongku
Memikirkannya, terkadang menjadi obat tidurku
Fantasi tentangnya, buatku terjaga dalam pejaman mata sekalipun
Pelukannya kuhadirkan dalam balutan mantel tebalku <br>
<br>
Pesan darinya adalah secangkir kopi
Yang aromanya selalu menagih lagi dan lagi
Dan kandungannya membuka mata ketika kantuk datang menghampiri <br>
<br>
Di atas semua itu,
Ialah bahu tempatku terbahak hingga tersedu;
Ia, Sang Belahan Jiwaku <br>
<br>
28 Januari 2019, 00:19
Terima kasih, Kau buatku berkarya hari ini :)
0 notes
Text
Sang Pengagum
Mata ini kian melekat tertuju padamu
Detik demi detik kuhabiskan dengan menelusuri setiap jengkal kesempurnaanmu
Adalah Kau;
Yang hadir dalam imajinasi pagi butaku
Juga dalam mimpi-mimpi tengah malamku
Sebelumnya, tak pernah terlintas bahwa aku akan terjebak dalam pelukan itu
Sebelah mata mulanya ku pandang dirimu
Namun, seiring berjalannya waktu
Hari-hari kian rewel berbicara tentang kamu
Iya, kamu Sang Pangeran dengan hati putih dan rapuh bagaikan salju
Dan kamu,
Yang perlahan menumbuh nyaliku tuk coba hal ini dan itu
Kau tahu?
Ada suatu rahasia yang ku tutup rapat-rapat dari bibirku
Suatu rahasia yang ku sembunyi pada setiap senyumku kala menatap wajahmu
Bahwa aku, Sang Pengagum dirimu
Yang selalu berjalan dan tertawa mendampingimu
Juga..
Terlalu malu tuk menyatakan betapa kuat pesona dirimu membiusku.
(20/12/2017)
0 notes
Text
Selamanya Tentang Kita
Selamanya Tentang Kita Hidup , memang tak selalu beriring dengan angan dan harapan<br> <br> Masih jelas terabadi di dalam memori<br> Ketika itu, aku, Sang Pemimpi yang tak kunjung bangun hingga pagi<br> Lalu datang malam, dan pagi lagi<br> Kala itu, malamku sibuk merangkai kisah indah bersamanya<br> Khayalku sibuk mengepak sayap bersamanya<br> Iya, segalanya tentang Ia yang jauh di sana<br> Rasanya, nyaris tak mungkin aku meraihnya<br> Namun entah mengapa, dunia fanaku hanya berputar dalam poros yang sama<br> Dia, dia, dan dia<br> <br> Mungkin benar kata orang tua,<br> Bahwa cinta memang membuta<br> Menjadi bius yang memabukkan<br> Dan yang termabuk kian jatuh dalam fana semata<br> <br> Kau datang.<br> <br> Ntah mengapa, Kau datang.<br> <br> Ada tanya yang ada sejak awal Kau menapak di depan pintu rumahku<br> Dan mungkin,<br> Tak kan ku temui jawabnya hingga perjalanan sang waktu yang tak berhujung,<br> Tentang misteri hadirnya dirimu<br> Dalam darah Sang Pemimpi yang tak kunjung terbangun dari tidur<br> <br> Pada akhirnya, aku tersadar<br> Bahwa Tuhan selalu berikan lebih dari apa yang Aku pinta<br> <br> Aku bermimpi akan purnama, dan Tuhan datangkan aku bulan seutuhnya.<br> <br> Hari-hariku kini amat berwarna<br> Bulir pasir pelangi yang Kau tabur, perkenalkan aku pada rona-rona dunia<br> Perlahan, kau sentuh aku yang meringkuk dalam ketakutan<br> Menuntunku untuk menjelajahi roda warna<br> Tanpamu,<br> Mungkin yang ku tahu hanyalah hitam, putih, dan kelabu<br> <br> Aku tak tahu<br> Sungguh, aku tak tahu!<br> Apakah kita akan terus bergandeng hingga akhir hembusan nafas memisah kita?<br> Atau,<br> Akankah ada sebuah persimpangan<br> Yang mengharuskan kita tuk melangkah pada arah yang saling berlawan?<br> <br> Selamanya<br> Aku ingin menginginkan itu, pun kamu begitu<br> Aku selalu berandai,<br> Betapa indahnya jika esok hari dan seterusnya<br> menjadi milik kita<br> Betapa bahagianya dunia yang berseling dengan canda tawa kita<br> <br> Namun, bagaimana jika selamanya hanya angan-angan belaka?<br> <br> Kita bersama sebagai bagian dari takdir<br> Pun nantinya, kita tetap beriring dengan takdir<br> Seerat apapun genggaman kita, tak kan mampu memutus jalinan yang telah terpatri untuk kita<br> Untuk Kau<br> Untuk Aku<br> <br> Sayang,<br> Apabila ada suatu hari,<br> Di mana kita menyadari, bahwa langkah ini tak dapat beriring bersama lagi,<br> Tolong, jangan pernah Kau tangisi!<br> <br> Karena meski gores tinta menyayat perih,<br> Kisah kita, Kau dan Aku<br> Pernah tertuang indah dalam rangkaian aksara olehnya<br> <br> Pahit memang,<br> Tapi ingatlah detik-detik yang pernah kita lalui dengan senyuman dan tawa<br> Karena meski bahagia tak lagi milik kita,<br> <br> Bahagia pernah kita miliki, bersama<br>
0 notes
Text
Sakit: It's Just Another blessing
Aku pulang. Ya, setelah tidur selama tiga jam di Unit Kesehatan Sekolah (bahkan hingga aku terlalu lelah untuk tidur).
Mungkin ini salah satu minggu sekolah tertidak-produktif menurutku. Bagaimana tidak, aku sudah izin pada hari Senin dengan penyebab yang sama. Esoknya, aku bersikeras untuk masuk, meski ibuku menyarankan aku untuk tetap beristirahat, karena aku merasa sudah cukup baik. Aku tak mau tertinggal seabrek pelajaran yang terlantar jika aku mengistirahatkan diri di rumah. Belum lagi bimbingan belajar yang aku ikuti di luar sekolah; aku tak ingin tertinggal satu sesi pun. Lagi pula, sudah cukup aku tertinggal momen pelantikan pengurus OSIS baru, semakin lama aku berada di rumah, berapa banyak lagi momen berharga yang akan ku tinggalkan?
Aku kembali ke asrama pada Senin malam. Aku memastikan bahwa aku sudah membaik: badanku sudah bugar, meskipun, yah, masih ada sedikit influenza dalam tubuhku. Namun ku pikir, "Ah, lama-lama juga hilang,"
Namun dugaanku salah.
Dalam perjalanan pulang ke asrama (yang kebetulan teramat padat), aku hanya meringkuk kedinginan. Padahal, suhu AC normal-normal saja, seperti biasa. /Benar juga, seharusnya aku tak pulang hari ini,/ sesalku. Namun apa daya, aku sudah terlanjur dalam perjalanan menuju sekolah.
Malam itu, aku memutuskan untuk langsung tidur. Padahal, aku telah menuliskan hal-hal yang harus ku lakukan malam itu, beserta waktu pelaksanaannya. Tapi yaaa, mau bagaimana lagi. Aku tidur cepat, dengan harapan akan membaik keesokan harinya.
Keesokan harinya, tubuhku tetap menggigil. Aku melihat jam dinding menunjukkan pukul empat pagi. Meskipun masih bergulat dengan rasa tak nyaman yang menyelimuti tubuhku, aku memutuskan untuk tetap mandi. Lima belas menit menuju subuh, menurutku, bangun jam empat pagi adalah sebuah keterlambatan.
Aku menjalani hari-hariku seperti biasa, dengan batuk yang mulai menggelitik tenggorokanku, dan lendir yang menyumbat sirkulasi udara pada lubang hidungku. Hari ini berjalan cukup baik, aku dapat mengikuti pelajaran dan tak tertidur, ataupun izin ke Unit Kesehatan Sekolah.
Namun, keadaanku kembali memburuk memasuki waktu petang. Ditambah hujan, tubuhku kembali menggigil. Aku memutuskan untuk beristirahat di atas ranjangku. Aku seperti tak berdaya, tak dapat melakukan apa-apa, dan parahnya, tidur pun tak bisa. Seperti kata pepatah, hidup segan, mati pun tak mau. Aku menghela napas. Aku orang yang paling anti terhadap ketidak-produktifan. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengambil /earphone/ ku, dan mendengarkan TED talks sembari mencoba untuk tidur.
Aku berhasil tidur, namun aku tak bisa tertidur begitu saja, mengingat aku belum makan malam dan beribadah. Aku pun bangun, beribadah, dan makan malam. Aku kembali mendengarkan TED talks selagi mulutku sibuk mengunyah makanan.
Ketidak-beruntungan sepertinya menyapaku hari itu. Salah satu sisi /earphone/ ku tak berfungsi. Oh, tidak. Aku mencari /earphone/ ku yang lain. /Well,/ sepertinya mereka bersekongkol untuk membuatku jengkel hari itu. /Earphone/ ku yang lain itu juga mengalami disfungsi, dan...kejadiannya sama pula. Salah satu sisinya tak dapat berbunyi. Sial.
Aku akhirnya melanjutkan makan malamku, tetap mendengarkan TED talks tanpa menggunakan /earphone/. Setelah itu, aku bersiap-siap untuk tidur. Dan aku bersyukur, tidur kali ini tak sesulit tidur sebelumnya. Perasaan sedikit jengkel mengakhiri hari itu, karena agenda yang telah ku susun untuk hari itu buyar.
Paginya, aku merasa sedikit lebih baik, meskipun hari ini kerongkonganku terasa amat kering. /Alhamdulillaah,/ pagi ini aku dapat melaksanakan shalat subuh berjamaah. Meski tersisa sedikit ketidak-nyamanan pada tubuhku, juga sedikit gangguan pada tenggorokanku.
Sepulang subuh, aku kembali menggigil. Aku menelpon seorang temanku. Awalnya, aku hanya ingin membangunkannya untuk shalat subuh. Namun berhubung dalam mengambil setiap keputusan aku berbicara dengannya, aku pun bertanya padanya,
"Eh, menurut lo gue pulang gak?" tanyaku dengan penuh keraguan.
"Pulang aja. Kan lo butuh" jawabnya dengan singkat, padat, dan jelas.
"Tapi gue nggak enak. Bulan ini gue udah berkali-kali pulang. Masa gue pulang lagi?"aku masih saja ragu. Yah, ku rasa ke-enggak-enakan ku kali ini cukup masuk akal.
"Tapi kan lo butuh,"jawabnya lagi.
Akhirnya, setelah dengan sangat-amat-berat menggeser rasa ke-tidak-enakan ku, aku pun menelpon ibuku, meminta beliau untuk menjemputku.
Aku tetap pergi ke sekolah. Dan, dari sinilah tidur panjang Putri Aurora dimulai. Sebelumnya, aku berkata pada ibu yang menunggu di UKS kalau aku akan beristirahat sampai ibuku menjemput.
Ibuku menjemputku pada jam sepuluh pagi. Aku nyaris mengalami /overthink/ lagi. Duh, banyak sekali pelajaran yang aku tinggalkan. Belum lagi bimbingan belajar yang harus ku ganti harinya. Duh, harusnya tadi aku tidak pulang kali, ya?
Walaupun sebenarnya, aku sedikit bersyukur karena ini adalah sakit murni pertamaku setelah beberapa waktu yang cukup lama. Biasanya, sakitku adalah manifestasi dari /overthink/ ku yang tak terkendali.
Jadi, Rabu itu hanya ku habiskan untuk makan, tidur, dan mengutuk virus-virus influenza yang sedang asyik bermain di dalam tubuhku.
Hari Kamis. Aku bangun pada jam setengah lima pagi, saat adzan subuh berkumandang. Aku pun shalat, lalu setelahnya, meskipun aku masih merasakan ke tidak-nyamanan dalam tubuhku, aku memutuskan untuk tetap terjaga, sembari menunggu waktu terbitnya matahari. Seperti biasa, aku mengisi waktu luangku dengan mendengarkan TED talks.
Mendengar pembicaraan positif nampaknya mengubah hariku dan pandanganku mengenai sakit sejak saat itu. Aku, yang pada awalnya sibuk mengutuk influenzaku, mulai sedikit 'berbaik hati' padanya.
Aku mendengarkan sebuah video TED talks yang berjudul "My Philosophy for A Happy Life". Pembicaranya adalah seorang penderita kelainan yang disebut /Progeria/ , di mana sel-sel tubuh penderitanya mengerut, tak seperti sel tubuh pada manusia normal. Hal ini mengakibatkan penderitanya terlihat jauh lebih tua ketimbang usia mereka seharusnya.
Pembicara ini, yang bernama Sam Berns, usianya tujuh belas tahun, memaparkan beberapa poin pandangannya mengenau kebahagiaan. Poin pertama sangat relevan dan sangat menohok aku yang menghabiskan seharian waktuku mengutuk virus influenza.
Fokus dengan apa yang bisa Kau lakukan.
Sam berkata dalam videonya bahwa /Progeria/ menghambat banyak aktivitasnya. Namun, ketimbang sibuk menghabiskan energinya untuk mengeluhkan hal-hal yang tak dapat ia kerjakan, ia memilih untuk melakukan hal-hal yang dapat ia lakukan.
Hal ini membuatku teramat malu. Aku, yang hanya penderita influenza, penyakit yang pernah diderita oleh semua orang dunia, sibuk mengutuk diriku, sedangkan Ia yang menderita penyakit langka, mampu menerima penyakitnya, dan menggetarkan vibra positif untuk banyak orang.
Sejak saat itu, aku kembali menyusun agenda untuk hari itu. Tapi aku tak memaksakan diri. Ketika aku merasa lelah, aku pergi tidur. Dan ketika tubuhku mulai membaik, aku melakukan aktivitas-aktivitas ringan sebisaku. Aku bahagia, karena meskipun aku sakit, ternyata beristirahat di rumah tak seburuk itu. Aku masih bisa melakukan banyak hal produktif dan tentunya dengan tak memaksakan diriku. Hari ini, pikiranku tak lagi dipenuhi oleh penyesalan, atau meratapi hal-hal yang ku harap dapat aku lakukan jika aku sehat. Namun, aku terus memikirkan hal apa yang dapat ku lakukan di waktu sakitku ini, dan jika sudah selesai, apa lagi, apa lagi, dan apa lagi.
Dan di penghujung hari, aku tak lagi sibuk menyalahkan influenza.
Aku pun mulai merenung, dan juga bersyukur pada Tuhan. Sakitku masih influenza, bagaimana di luar sana? Ada yang terkena kanker, HIV, dan penyakit-penyakit berat lainnya. Ada pula yang sakit, namun tak dapat membeli obat. Ada pula yang sakit, namun tak mendapat perhatian dari kedua orang tuanya.
Syukur, aku hanya mengalami flu biasa dalam musim pancaroba. Aku masih dapat makan, minum obat, mendapat perhatian orang tua, dan masih banyak hal baik lainnya yang ku dapat.
Ah, Tuhan memberiku banyak sekali nikmat, dan hanya sedikit cobaan, mengapa aku lebih banyak mengeluh ketimbang bersyukur?
Hari ini, aku menutup hariku tak lagi dengan sibuk mengeluh. Aku bersyukur atas nikmat Tuhan, dan, hei, aku juga bersyukur atas hal-hal baik yang telah ku lakukan hari ini. Lihat, di penghujung hari, aku telah menyelesaikan pekerjaan rumah matematika, membaca buku biografi seorang tokoh nasional, menyusun agenda untuk hari ini dan hari esok, juga berhasil menulis tulisan sepanjang ini.
Mulai sekarang, aku berjanji pada diriku untuk tak lagi mengeluh dan mengutuk ketika penyakit datang kepadaku. Bukankah, dengan sakit kita dapat menyadari nikmatnya sehat?
Dan, bukankah ketika sakit doa-doa kita /mustajab/?
23:04
Jakarta, 26 Oktober 2016
Di penghujung hari yang produktif,
Jalan Tomang Asli Nomor 27, sebenar-benarnya rumah.
1 note
·
View note
Text
Mereka
Mereka ada di persimpangan jalan raya
Menyelami lautan bising kereta mesin ibu kota
Terpanggang tajam tatap Sang Surya
Diracun polusi langit metropolitan
Fajar hingga petang
Terjebak dalam perputaran nyala merah, kuning, dan hijau
Dahaga menggaruk kerongkongannya
Lapar meremas kantung perutnya
Namun, apa daya!
Hanya dua opsi terbentang pada bola matanya,
Pulang
Atau
Uang
Mereka berdendang!
Coba mengalahkan sahut-sahut klakson emosi pengendara
Atau congkaknya deru motor yang tertambat di perempatan
Sorot matanya seolah berkata,
“Tolong! Tolong beri aku sesuap nasi saja!”
Kala jemarinya sibuk mengetuk jendela satu dan lainnya
Rupanya, derita tak hanya sebatas terik, hujan, lapar dan dahaga
Sirene polisi pun kian jelas terdengar
Seketika, mereka berhamburan!
Tak acuh pada derasnya arus kendaraan
Menutup mata pada lampu hijau yang mulai menyala
Di balik kaca, tak ada yang peduli pada mereka
Melihat, namun berlagak seolah buta
Adapula yang bernyinyir pedas, bahkan tertawa
Di atas keringat dan derita mereka
Yang dalam hati, cemas berkata
“Gawat!
Semoga aku tak tertangkap,
Setidaknya, untuk saat ini saja”
25/10/2017
0 notes
Text
Teruntuk
"...Ku bahagia
Kau telah terlahir di dunia
Dan Kau ada di antara miliaran manusia
Dan ku bisa, dengan radarku
Menemukanmu."
Malam ini aku kembali melintasi kerlap-kerlip Kota Jakarta. Aku menghela napas. Bismillah, aku siap untuk kembali melakukan aktivitas ku. Pikiranku kembali meragukan afirmasi positif dalam diriku,
"Bagaimana kalau..."
"Ah paling terulang lagi"
Aku berusaha untuk menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Aku tak mencoba melawan pikiran-pikiran itu karena akan membuat segalanya lebih rumit. Aku hanya tersenyum pada beribu kekhawatiran yang memenuhi kepalaku.
Siang tadi, pada akhirnya, aku mengunjungi seorang psikolog. Yah, ada suatu masalah kecil (yang berdampak besar) pada diriku selama setahun belakangan ini. Aku menderita semacam, gangguan kekhawatiran berlebihan. Awalnya, aku mencoba untuk mengatasinya sendiri. Namun, setelah aku bercerita pada seseorang, ia memaksaku untuk pergi ke psikolog (Hey, terima kasih ya, paksaannya!). Hasilnya ternyata sangat memuaskan. Aku mendapatkan banyak pelajaran dan solusi untuk masalah-masalah pribadiku. Inti yang aku dapatkan dari konsultasi ini adalah, aku harus lebih realistis terhadap kekhawatiran-khawatiranku, dan menjalankan hidup tanpa beban.
Sambil berkontemplasi, aku mengamati hiruk pikuk Kota Jakarta malam ini. Biasanya, pikiranku dipenuhi oleh hal-hal negatif, namun hari ini, aku memikirkan sesuatu yang membuatku sedikit terharu.
Tentang orang-orang yang aku sayangi dan menyayangiku.
Jujur, aku orang yang sangat perfeksionis. Aku menaruh ekspektasi yang teramat tinggi bagiku, juga orang lain, sehingga, ketika ada sesuatu yang kurang dari aku sendiri ataupun mereka, aku mudah sekali merasa kecewa.
Namun, hari ini aku menyadari sesuatu.
Aku dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangiku. Aku memiliki keluarga inti yang masih lengkap, orang tua yang selalu meluangkan waktu untuk anak-anaknya di akhir pekan, atau setidaknya mengangkat telpon ketika aku membutuhkan mereka, di saat orang lain ada yang keluarganya tak lagi sempurna, orang tuanya terlalu sibuk, hubungan yang jauh dengan kakak-adiknya, atau bahkan dibuang oleh orang tuanya!
Dari sisi pergaulan, aku juga sangat beruntung karena teman-teman sekolahku, lingkunganku, teramat kondusif. Tidak ada hari-hari penuh drama layaknya remaja di SMA lainnya, tak ada penggolongan pertemanan, bahkan senioritas pun tak ada! Di sisi lain, teman-temanku di luar sana, mungkin mengalami penindasan, masalah kecil yang dibesar-besarkan, atau bahkan tragedi berdarah yang dilakukan oleh kawannya sendiri hingga nyawanya melayang.
Beruntungnya, aku tak mengalami semua itu.
Belum lagi, hadirnya seseorang dalam hidupku. Ia yang berusaha untuk selalu ada untukku. Ia yang sangat-amat bersusah payah mengurus diriku (yang terkadang tak bisa mengurus diri sendiri), ia yang tak lelah memaksaku untuk melakukan hal-hal yang teramat penting bagi diriku, mungkin, ia lebih bisa mencintaiku ketimbang diriku sendiri. Aku tak pernah mengharapkan seseorang untuk datang dalam hidupku, tapi kedatangannya merupakan hadiah Tuhan untukku. Mengapa?
Raul dipercaya banyak teman-teman perempuanku sebagai tempat mereka berkeluh-kesah. Dan jujur, teman-teman dekatnya pun nyaris semua berwajah jelita.
Tapi, mengapa ia memilihku yang cenderung pendiam, terlampau jauh darinya pada saat itu, dan berwajah biasa saja? Dan mengapa ia masih mau bersamaku yang memiliki titik hitam, padahal di luar sana masih banyak wanita-wanita yang tak bertitik hitam?
Entahlah. Hanya ia dan Tuhan yang tahu jawabannya. Yang jelas, aku sangat bersyukur atas kehadirannya. Mungkin gangguanku tak akan membaik tanpa ia sebagai perantaranya.
Aku seringkali kecewa terhadap mereka-mereka yang luar biasa ini. Wajar sih, aku juga manusia yang menyimpan rasa kecewa. Namun, kecewa ini akan membusuk jika ku simpan lama. Jadi, aku berpikir...
Orang-orang yang aku sayang (juga menyayangiku). Mereka hanyalah manusia biasa yang tak sempurna. Bahkan Rasulullaah yang luar biasa pun masih butuh diingatkan.
Tetapi, hal yang sering aku lupa atau aku tak sadar adalah, mereka berusaha untuk sempurna demi aku seorang! Meski kembali lagi, mereka hanyalah manusia biasa yang tak sempurna.
Apakah aku harus melihat dan menilai ketidaksempurnaan mereka dan mengabaikan segala kebaikan-kebaikan yang ada dalam diri mereka?
Ah, ternyata aku sangat egois. Maafkan aku, kesayangan-kesayanganku. Terima kasih telah mencoba menjadi malaikat di atas kemanusiaan kalian untuk melepaskan lautan dahaga egoku.
Ps: Aku bahagia karena di antara miliaran umat manusia, aku menemukan kalian yang dapat menyayangiku seutuhnya. Aku tak dapat berbuat apa selain bersyukur pada Tuhan, yang telah mempertemukan aku dan kalian.
00:04
Jakarta, 11 Oktober 2017
Dialamatkan kepada para malaikat tanpa sayap.
0 notes
Text
KITA
Mataku terpaku pada lembar demi lembar buku statistik. Jemariku pun sama sibuknya, menekan angka dan simbol-simbol seperti sigma, pangkat, dan x. Tenggelamnya aku dalam kesibukanku, tak membuatku tak menyadari kalau seseorang sedang menatapku. Ya, seseorang yang sejak tadi menemaniku, di malam menjelang ujian biologi dan statistika.
Aku pun menatap balik wajahnya. Dapat ku tangkap sebuah sirat kesedihan pada air mukanya.
"Kamu kenapa?" tanyaku, berusaha bertanya selembut mungkin. By the way, aku dan dia terbiasa berbicara dalam bahasa yang cenderung halus, mungkin karena kami adalah makhluk-makhluk perasa dengan hati yang teramat peka.
Dia masih terdiam. Menunduk, dan tetap menyiratkan kesedihan.
"Iii kenapa?" aku tetap bersikeras untuk mengetahui sebab munculnya riak sendu pada wajahnya.
"Gue minder, tau", akhirnya ia angkat bicara.
Aku pun menatap wajahnya sekali lagi,
"Kenapaa?" tanyaku yang tak sabar mendengar perkataannya yang terpotong- menggantung.
Ia menghela napas,
"Gue nggak bisa ngajarin lo," katanya sedikit lirih. Aku menangkap kekecewaan pada dirinya sendiri dari nada bicaranya.
"Terus kenapa?" aku balik bertanya kepadanya.
"Ya gue cowok, harusnya bisa ngajarin lo." Ia lalu bercerita kalau salah seorang temannya yang perempuan, diajari pelajaran eksak oleh teman spesialnya.
"Terus, kenapa?" Dengan menyebalkan, aku masih saja bertanya. Ku pikir itu bukan sebuah masalah, kok.
"Ya gitu, lho. Ngerti gak sih..." kembali ia meninggalkan kalimat yang tak usai padaku.
"Gue juga nggak bisa cerita ke lo kayak cewek-cewek lain cerita ke lo," kataku.
Biasanya, ia sebal mendengarku bicara begitu. Ia tak suka ketika aku menyalahkan diriku, atau membandingkanku dengan orang lain.
"Apasih?"katanya, merespons kata-kataku yang meluncur begitu saja.
"Apa bedanya?" balasku. Ia terdiam sejenak, berusaha mencerna sesuatu.
"Iya juga ya.." ia pun menyetujui kata-kataku.
Kesedihan pada wajahnya pun perlahan hilang, digantikan oleh senyum cerah pada wajahnya.
"Makasih ya!" Ia menatapku sambil tersenyum.Aku mengangguk, dan kembali menatap binar pada wajahnya.
Biarkan aku bercerita sedikit tentangnya. Bagiku, ia tak sebodoh yang ia ceritakan, juga apa yang orang lain katakan. Yah, persaingan di sekolahku memang sulit, jauh lebih sulit daripada sekolah-sekolah lainnya, tapi aku percaya kalau semua anak di sini cerdas, karena butuh seleksi ketat untuk masuk ke sini.
Termasuk ia.
Dan, apakah aku pernah membandingkannya dengan teman-teman lelakiku yang lain, yang mayoritas sangat lihai dalan pelajaran eksak? Tidak.
Aku justru mengagumi kelebihannya. Ia mungkin tak terlalu pandai berhitung atau mengutak-atik rumus fisika, namun kalau soal seni dan sastra, tak usah ditanya. Ia menguasai hampir semuanya!
Tak hanya itu, ia juga seseorang yang menyenangkan, tak hanya bagiku, namun bagi banyak orang. Ia juga pendengar yang baik, bahkan teman-teman perempuanku sering bercerita padanya. Ah, untuk apa aku membandingkannya dengan orang lain?
Setiap dari kita memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda dari ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya. Itulah yang membuat kita unik. Itu yang membuat kita, adalah kita. Kita yang mungkin dibenci seseorang, atau kita yang mungkin dicintai seseorang.
Kita, aku dan kamu. Kita memiliki cerita, suka, dan duka yang berbeda dari mereka. Kita punya lembaran kisah kita sendiri. Dan untuk berbahagia, kita tak perlu menjadi mereka. Karena kita dan mereka itu berbeda.
Dan cinta bukan jual beli, di mana kita mengambil apa yang kita anggap menguntungkan.
Namun saling berbagi, menerima, dan berbahagia.
22:00
Jakarta, 4 Oktober 2017.
Di malam menjelang ujian biologi dan statistika.
0 notes
Text
Lagi
Aku kembali merasakan aliran hangat itu lagi!Lewat di antara celah-celah bebatu yang kaku dan dingin Kaku karena nyaris tak berdetak lagi Dingin karena merindu hangat mentari
Warna-warna kembali merona bagai kembang di musim semi Aroma baru nan segar menepis hampa dan nelangsa yang lalu sibuk bersorak dalam dada
Berbagai warna kalbu pun telah ku rasa Ada penantian, harapan, rindu, juga sendu Kini ku tahu, Lagi aku terserang demam merah muda
Bayang hitam yang meninggalkan, perlahan pun hilang Dan ketika terik mulai menerang, Sang Pelangi pun malu-malu melangkah datang Mengunjuk spektrum- spektrum merah hingga nila
Ada rentetan kenangan Ada pula lembaran kisah Yang sudah tertinta, Nyaris mustahil hilang! Namun, halaman baru itu ada Untuk mengabadikan jejak-jejak yang esok kan terlangkah
Kini, Gaung kenangan lama telah teredam hingga akhir suku katanya Meski sungguh lama! Ia mengalun tanpa henti di ambang telinga
Nyanyian baru telah datang! Saatnya untuk kembali berdendang Dalam melodi yang mengalun tenang Juga syair romansa penuh harapan
(Req by: KSAM)
1 note
·
View note
Text
Tak Berjudul
Percik-percik semburat merah
Perlahan mendidih kalbu
Berpalinglah!
Namun sungguh, tatap tak mampu
Aku di sini, memandang Ia yang di sana
Aku yang sendiri, dan Ia yang bercengkrama
Seketika, iblis membisik hembus napasnya Panas, gerah!
Ingin rasa memaki segala
Juga diri,
Yang hanya mematung dan menepi
Apa daya yang ku perbuat?
Kala koar api itu selimuti kalbuku
Tuhan,
Hanya dalam bisik dan doa,
Ku lampiaskan semua rasa padaMu
Ingin berkata, namun ku tak mampu
Amarah, pun hanya rupa bisik gerutu yang tak terhantur
Lagi pula,
Siapalah aku?
Apalah diriku?
Hanya temanmu, yang tersulut dinamit cemburu 15:41 14/05/2017
0 notes
Text
Ini Tentang Dia
Semua ini tentang Dia
Iya, Dia yang mengisi terik petangku dengan canda tawanya Juga gulita malamku dengan kehangatan rengkuhan yang terbuka dengan lebarnya
Tentang Dia Dan percakapan singkat yang membuat hari-hariku kian berwarna Juga bayangnya yang menghampir Kala hadirnya entah di mana
Dia, yang menyelimuti kalbu dengan dinginnya rindu Pun menggagas percikkan api cemburu Juga hitam putih lain yang memadu Dan bersatu
Jika Kau bertanya, apa, mengapa, bagaimana Maka, sungguh aku pun tak tahu!
Yang Ku tahu, Ia telah memalingkan merah muda yang bersemayam dalam hatiku Buatnya merona Terpanah bius asmara yang menyerbu
22:37
13/05/2017
0 notes
Text
Jingga dan Cakrawala
Cercahan itu tiba lagi! Menyinari mendung gulita dunia Perlahan menyodorkan kehangatan kelopak semi Oh, Tuhan Kau kan, pendalang setiap wacana? Kini aku meninti tali bermarabahaya Menyeberangi dua gelombang ganas antara fantasi dan neraka Harap cemas menggulana setiap menunggu jumpa dengannya Atau kelopak yang menolak kantuk ketika mulai memejam mata Hanya karena tersihir kenang bahagia Tuhan, sungguh gelisah mendekap jiwaku sekarang! Tak dapat kupungkiri sebuah kata, walau mentah-mentah aku mengusirnya Namun, realita tak akan pernah berdusta Bagaimana jika rasa ini ada? Tuhan, hari itu telah tiba Ketika dahulu pun akhirnya berlalu jua Tak lagi aku bermimpi bahagia dalam nirwana Karena saat aku membuka mata, Bumi pun telah menghampar surga Tapi, aku tak boleh menari sepuas dahulu! Aku pernah terkilir dan jatuh di sebuah nista teramat dalam Dan kini, Biarkan aku menari perlahan Di antara nada-nada romansa Berjinjit, langkahi semerbak bunga yang ada Mungkin, Ia jingga dan aku cakrawala Bertemu dalam hangatnya senja Tertawa dalam naungannya Walau tak tersatukan olehnya Setidaknya untuk sekarang! Atau mungkin pagi datang, dan jingga menghilang Dan semua hanya tinggal kenangan Entahlah, aku tak tahu Yang ku tahu, cakrawala ingin terus mendamping jingga Hingga fajar merebut hadirnya Lalu cakrawala membingkai jingga Dalam horison frasa miliknya 11.00 23/04/2017
0 notes
Text
R I N D U
Resah Aku menengok lagi, dan lagi Sekerlip hijau datang lalu pergi Menghadirkan tanya dalam hati, Apakah Ia yang kembali? Aku mengendap-endap Gagang Sang Pintu pun segera ku tangkap Hap! Aku mengukir celah Membiarkan manikku kalap berkeliar Jelajahi hamparan zona pandang Apakah Ia mengkail permata yang Ia damba? Oh, Tuhan! Jika aku berjalan dengan rindu Dan memerah karena rasa Salahkah? Sungguh, rasanya teramat bodoh! Baru saja, baru saja, baru saja Sejenak, Ia pamit Baru setapak bata Ia lompati Namun, derasnya jumpa tak terbendungi Tuhan, izinkan aku mengatakannya pada-Mu Sungguh, aku merindu
0 notes
Text
Bagaimana?
Bagaimana jika aku jatuh cinta?
Di sebuah saat di mana aku tersadar bahwa paras bukanlah apa
Ketika jiwa terdiam, dan ku biarkan hati berkata
Bagaimana jika aku terjangkit rindu?
Dan hanya hadirnya pengobat tinggi demamku
Serta tawa renyahnya yang seketika usir mendungku
Bagaimana jika aku tak mengerti apa yang terjadi pada diriku?
Mungkin hanya seonggok hatiku tersipu
Bungkam, dan enggan mengaku
Bagaimana jika Ia adalah rumahku?
Mungkinkah aku berlari padanya ketika aku tersedu?
Dan meluapkan ketika gembira menyapaku?
Bagaimana jika aku hanya membisu?
Seakan seluruh kata pergi meninggalkanku
Sendiri, di antara derasnya aliran rasaku
Biarkan desir tenggelamkan isyaratku
Hingga pelupuk tak sedikitpun tangkap gerik ganjilku
Bagaimana? Bagaimana?
Tanya-tanya terus mendatangiku
Ingin sekali kuterjemahkan sinyal-sinyal dalam lubukku
Bahkan menorehkannya dengan goresan tinta berwarna
Namun, semua terasa begitu dingin dan kaku
Ya, diriku
Hanya tersisa kehangatan rasa yang teramat lugu
Juga tanya-tanya yang kian menyadarkanku
Tentang kamu
Dan kehadiranmu, dalam setiap lamunanku
12/04/2017
0 notes
Text
Tentang Abu
Kelabu adalah warna tas punggungmu Punggung yang ku telisik ruas demi ruas, setiap kali Kau melangkah jauh Kelabu adalah dominasi mantel tebalmu Penghangat dinginnya semilir malam yang menusuk sukma Ketika Sang Bulan menyiratkan wajahmu Kelabu juga nuansa pelindung tapak langkahmu Rupanya tak jauh berbeda dengan rona langit pada relungku Yang masih saja mendekap rindu Satu hal yang tak kan pernah Kau tahu Bahwa kelabu isyarat sendu Untuk seorang pengubur pilu Layaknya awan badai menggelung Di antara hampar atap biru Kini, ku tahu Abu-abu adalah garis pelangi pujaanmu Dan aku Tak kan pernah menjadi kelabu Setidaknya untukmu 06/03/2017 12:04, ketika pikir terkeruh tentang Si Abu
0 notes
Text
Hanya Teman
Aku bertanya padamu di suatu hari berlangit biru Dengan angan yang menggebu Serta binar mata berhias kilau Apa yang terlintas dalam benakmu tentangku? Tepatnya, yang terlukis antara Kau dan Aku? Semerbak kekupu menyemerbak dalam dada Sebuah debar hampir meluap, tiada dua Kepal rasa boleh berprasangka Ini hari istimewa Ego halangi realita Hantaman rasa bergolak padanya Kau tersenyum, aku merona Lantas bertanya padaku, Bagaimana jawabnya? Aku pun tak tahu, maka Ku bertanya Kau menarik napas, dan menghelanya Peluhku menderas, seiring harap kian mencakar Nyanyian romansa menggema telinga "Hanya teman", jawabmu ringan Seketika, mimpi pun sirna Senandung pembidu menghilang segera Metafora naskah meredup seketika Dan, halo, selamat datang di dunia nyata -22/02/2017
0 notes