Haudli, 23 tahun dalam fase pengembaraan hidup sebagai seorang hamba. Menuangkan segala hal-hal yang sifatnya sekejap dalam pikiran, untuk dituangkan menjadi tulisan. Hanya seorang manusia biasa yang banyak kurang dan salahnya. Tulisan-tulisan penuh opini, bukan berdasarkan data ilmiah sekalipun. Baik-buruknya sila dicermati, alangkah lebih baik untuk disampaikan sebagai evaluasi untuk diriku. Jangan sungkan. Salam hangat, serta mulia.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Ada Banyak Bentuk Terlambat, Salah Satunya Terlambat Menyatakan Perasaan
Ada banyak momen terlambat yang silih-berganti kita rasakan, kadang menjengkelkan, menyebalkan, bahkan menyesakkan. Walaupun di satu sisi tentu ada banyak kesepakatan bahwa melambat bukanlah suatu hal yang tabu dalam kehidupan, tapi, seringkali terlambat menjadi momok menakutkan bagi siapapun yang bertaruh dengan waktu, janji, dan upaya.
Terlambat bangun subuh, tentu sangat membuat hati dilema. Apalagi bagi mereka yang susah dibangunin dan pelor/kebo tidurnya.
Terlambat makan, akan sangat menderita bagi yang memiliki maag, dan asam lambung.
Terlambat janjian, yang harusnya janji temu jam 09.30 ternyata baru bisa ditemui di jam 11.00, tentu akan membuat momen bertemu menjadi canggung karena keterlambatannya. Belum lagi jika baru pertama kali bertemu, awkwardnya akan semakin parah karena pertemuan pertama yang meninggalkan kesan buruk setelahnya,
dan berbagai jenis terlambat lainnya yang tentu banyak tidak enaknya juga menyesakkan rasanya.
Salah satu bentuk terlambat yang paling menyesakkan adalah terlambat dalam urusan perasaan, terlambat menyatakan perasaan. Terlambat menyatakan perasaan lebih akan terasa perih jadinya jika dia yang kita suka, ternyata sudah bersama dengan yang lainnya.
Langkah-langkah yang dulunya sejajar, saling beriringan, kini semakin jauh untuk dikejar, bahkan, sudah ada yang dengan beraninya menyamakan langkahnya, menyejajarkannya. Di sisi lain, kita masih belum sadar merasakan keterlambatannya. Masih merasa bahwa langkahnya masih sejajar, tanpa tahu jaraknya sudah jauh untuk dikejar. Masih melihat bahwa yang dicinta dapat tergapai dengan usaha-usaha yang telah dipikirkan matang untuk disegerakan dalam beberapa tahun ke depan. Sampai akhirnya kita tersadar, bahwa dirinya lebih cepat dari yang kita kira, lebih siap dari yang kita rasa, walau akhirnya kita menyadari bahwa ruang di hatinya tidak pernah sama sekali menghadirkan namamu dalam doanya.
Tulisan di atas menyadarkan saya akan satu momen saat kami sedang belajar pekanan di rumah guru kami. Topik bicara kami memang banyak berbicara tentang perasaan, juga persiapan untuk menata diri dan hati memasuki fase berkeluarga. Dari banyaknya pertanyaan yang dilontarkan, salah satu hal yang paling menyadarkan juga menyakitkan bukan hanya tentang perasaan yang tidak berbalas, melainkan tentang perasaan yang terlambat untuk diutarakan.
Di satu momen dalam forum belajar tersebut, saya bertanya tentang sesuatu, yaa walau sebenarnya saya pun juga mengerti akan seperti apa respon beliau dalam menanggapinya.
"Tadz, bolehkah dalam satu kesempatan, saat kita merasa bahwa dia adalah orangnya, kita ajak dia untuk membicarakan hal-hal untuk jenjang yang setelahnya?".
Pertanyaan tidak selesai di situ, lantas saya lanjutkan lagi,
"Tapi, tadz, dia sedang dalam proses mengenal dengan orang yang lain, bolehkah saya untuk tetap menyatakannya walaupun saya tahu dia sedang berproses mengenal yang lainnya?."
seketika jeda panjang terjadi di ruang disksui tersebut, meninggalkan banyak rasa penasaran di benak yang lainnya juga, menyisakan momen hening yang berkepanjangan, sampai akhirnya,
"Kamu sudah tahu harusnya bagaimana, le. (le panggilan dari orang tua untuk anak laki-laki) Sudah seharusnya kamu menghargai proses tersebut walau sebenarnya kesempatan itu masih terbuka. Namun, sudah seyogyanya sebagai seorang muslim kita menyadari baik-buruk yang terjadi setelahnya, apalagi jika dia juga sedang dalam fase mengenal lainnya. Jangan egois untuk dirimu sendiri, ya, nak."
Beliau kemudian bertanya,
"Dia yang ada di wishlist urutan pertama yang waktu itu pernah kamu ceritakan?".
Sambil meringis, pertanyaan itu hanya dibalas dengan anggukan saja.
Pada akhirnya, terlambat menyatakan perasaan menjadi satu hal yang menyebalkan. Walau telah berkali-kali merasakan perasaan-perasaan yang tak berbalas, namun, rasa sakit terlambat menyatakan perasaan dan mengetahui bahwa dia sudah melangkah lebih jauh dengan yang lainnya, lebih menyesakkan, bahkan menyakitkan. Bagaimanapun, doa-doa baik senantiasa teriring untuk setiap niat baiknya, setiap langkah baiknya, walau tidak bersamanya.
Pada hari pernikahannya nanti
aku akan berdiri, menjauh dari keramaian
melihat dari sudut mata, banyak senyum saling berbahagia
melihat cintaku yang menemukan cintanya
berdiri anggun, dan manis dengan elok parasnya
tidak ada kata selanjutnya,
semua sudah berakhir walau tidak sesuai rencana
lagipula, cerita ini sudah menemukan ujungnya
bahagia selamanya, sepanjang usia, walau kau tidak dengannya
ditulis di laut Sapudi, 18 Juni 2024
1 note
·
View note
Text
"SI TAYO" DAN PERJALANANNYA MENGHADIRKAN KEBAHAGIAAN DI HATI MASYARAKAT
Siapa, sih, yang tidak bahagia jika dirinya merasakan peran kebermanfaatan dari sesama, bahkan turut serta berperan dalam berjalannya sebuah kebermanfaatan? Siapa, sih, yang tidak bangga jika peran baiknya membawa manfaat bagi orang banyak dan dirasakan kehadirannya? Aku, kamu, dan kita semua, tentu bahagia bisa mengambil peran kebaikan dan kebermanfaatan bagi sesama.
Bicara tentang peran kebermanfaatan, seluruh makhluk hidup tentu punya peranannya masing-masing dalam menjalankan peran kehidupan. Berbagai peran yang ada kemudian saling berkaitan, berkesinambungan, dan saling menghidupkan. Peran kebaikan dan kebermanfaatan tersebut tentu berlaku bagi seluruh makhluk hidup mulai dari tumbuhan, hewan, manusia, bahkan mikroorganisme sekalipun yang tidak terlihat wujudnya dengan mata telanjang, tetap memiliki peranan yang saling berhubungan dalam menciptakan siklus kehidupan.
Memiliki peran untuk sebuah kebermanfaatan, tentu tidak harus berganti kostum layaknya menjadi seorang superhero seperti di kartun-kartun masa kecil, juga tidak perlu menjadi seorang superstar terlebih dahulu agar bisa menghadirkan kebaikan dan manfaat untuk orang banyak, pun tidak perlu menunggu menjadi jutawan untuk dapat menciptakan berbagai peran kebermanfaatan untuk sesama. Bukankah tanpa perlu menjadi istimewa, kita tetap bisa berperan menjadi pribadi yang baik dan menjadi manfaat bagi kehidupan?.
Jika banyak cerita di lomba blog "Dompet Dhuafa 31 Tahun Melayani" memperkenalkan peran kebaikan dan kebermanfaatan diri sendiri ataupun orang lain yang dinilai menginspirasi, cerita ini tentu akan menjadi pembeda, dan mampu membawa warna tersendiri dari sudut pandang lain dalam melihat suatu peran kebermanfaatan. Jika banyak cerita berbicara tentang saling membangun peran kebaikan satu dengan yang lainnya, maka, ada faktor-faktor penunjang lainnya yang tidak boleh luput dari ingatan, yang bahkan perannya turut membersamai dalam mewujudkan kebaikan itu senantiasa hadir di berbagai lini perjalanan kebaikan. Walaupun bisa jadi peran-peran sederhana ini baru dirasakan menjadi manfaat ketika sudah ribuan perjalanan ditempuh atau bahkan harus menempuh 30 Hari Manfaat untuk merasakan perannya hadir dalam banyak cerita kebaikan.
Apa salah satu faktor penunjang yang memiliki peranan penting dalam peran kebaikan dan kebermanfaatan ini? Jawabannya, Kendaraan Operasional. Sebagai Lembaga Amil Zakat yang senantiasa melayani masyarakat dengan banyak senyuman, kendaraan operasional bagi Dompet Dhuafa tentu menjadi faktor penting untuk terdistribusikannya berbagai program kebaikan hingga pelosok negeri. Kendaraan Operasional tentu menjadi salah satu faktor penentu bagaimana kebaikan dan kebermanfaaan itu hadir menjangkau berbagai daerah di Indonesia. Tanpa adanya distribusi logistik yang baik dengan kendaraan-kendaraan operasional, tentu akan sulit rasanya jika kebaikan itu dapat hadir menjangkau seluruh penjuru negeri.
Perkenalkan Namanya “Tayo”. Kami biasa memanggilnya Tayo karena ukurannya yang besar dan terlihat hampir mirip dengan bus-bus kecil seperti yang ada di kartun dengan judul yang sama. Tayo menjadi salah satu kendaraan operasional di Aksi Berbagi yang disulap sebagai foodtruck untuk menunjang efektivitas program kegiatan kami apapun bentuk kegiatannya. Ngangkut makanan? Pernah. Jadi tempat jualan UMKM? Pernah. Untuk berbagi nasi berkah di hari Jum’at? Pernah. Buat beli barang-barang dalam jumlah besar untuk kebutuhan kegiatan tertentu? Pernah. Tayo menjadi mobil multifungsi yang peranannya menjadi sangat penting bagi kami saat ini. Ribuan kilometer perjalanan Tayo menemani Aksi Berbagi belajar melayani masyarakat sebagai Mitra Pengelola Zakat Dompet Dhuafa DIY, sudah dimulai sejak tahun 2022, sebelum akhirnya sempat digunakan oleh Dompet Dhuafa DIY untuk operasional di tahun 2023 akhir hingga awal tahun 2024, dan kembali digunakan oleh Aksi Berbagi hingga sampai saat ini.
Bagi kami, Tayo bukan hanya sekedar kendaraan operasional yang hadir dalam berbagai perjalanan kebaikan semata, melainkan menjadi teman bertumbuh dan saksi perjuangan bagaimana peran kebaikan itu datang menjadi manfaat dan mampu mewujudkan berbagai kebahagiaan bagi masyarakat. Berbagai cobaan tentu menjadi ujian tersendiri bagi kami juga khususnya bagi Tayo dalam mengantarkan amanah kebaikan orang-orang baik yang sudah mempercayakannya kepada kami, Aksi Berbagi dan Dompet Dhuafa. Perjalanan yang penuh lika-liku, jalanan berlubang yang banyak rusaknya, bekas baret di kanan-kiri badan Tayo, bocor ban berkali-kali, cat yang sudah mengelupas, beberapa bagian mulai keropos dan menguning, hingga diterpa hujan lebat dan teriknya matahari tak menyurutkan peran kebaikan ini. Bersama Tayo, peran-peran kebaikanmu telah menjangkau berbagai lokasi di Indonesia khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Peran Tayo tentu tidak berhenti sampai di sini, Bersama Aksi Berbagi dan Dompet Dhuafa, kebaikan itu akan terus hidup dan menghidupi sekitarnya. Menjadi tempat belajar bagi kami, belajar melayani masyarakat dengan baik dan penuh sukacita juga bahagia.
31 Tahun perjalanan Dompet Dhufa sebagai Smiling Foundation tentu tidaklah mudah, cobaan dan rintangan silih berganti datang setiap waktunya. Peran-peran yang ada di Dompet Dhuafa sekalipun hanya sebatas kendaraan operasional telah menghidupkan nyala kebaikan yang senantiasa utuh terjaga. Berbagai adaptasi yang dilakukan oleh dompetdhuafa.org telah membawa banyak perubahan yang kaya dengan nilai kebaikan untuk kemajuan ummat beragama. 31 Tahun menjadi umur yang ideal untuk memahami bagaimana peran Dompet Dhuafa mampu membahagiakan dan memenangkan hati masyarakat karena peran kebaikan dan kebermanfaatannya. Rasa lelah dalam perjalanan pengabdian kepada masyarakat, tentu nilainya tak seberapa jika dibandingkan dengan ribuan senyuman yang hadir tatkala Tayo dan peran-peran baik lainnya tiba di masyarakat. Terima kasih, Dompet Dhuafa. 31 Tahun perjalanan yang senantiasa istimewa. Mari, lanjutkan peran-peran kebaikan dan kebermanfaatan lainnya bersama. Menghadirkan lebih banyak senyuman untuk mereka, untuk Indonesia.
foto Tayo dan teman-teman relawan yang sedang mengadakan kegiatan "Pemadam Kelaparan" di Surakarta (Dokumentasi : Aksi Berbagi)
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog 31 Tahun Dompet Dhuafa Melayani Masyarakat #DompetDhuafa31Tahun #BelajarMelayani #SmilingFoundation
0 notes
Text
8 Maret 2020 & Segala Hal Yang Terjadi Setelahnya
"Apa Kabar, Bi? Bagaimana rasanya Surga?"
Mungkin, itu adalah dua pertanyaan pembuka apabila kami dipertemukan (setidaknya) dalam mimpi di kala tertidur lelap.
"Alhamdulillah, mas sehat selalu. Umi juga sehat, bi, meskipun memang beliau semakin banyak uban di rambutnya. Tapi, tenang saja, bidadari kesayangan abi tetap akan terlihat cantik, walau usianya semakin menua. Ghozi alhamdulillah juga sehat, Bi. Semakin hari badannya semakin berisi dan tidak kalah cerdasnya dengan teman-temannya yang lain."
Mungkin, seperti itu jawaban pembuka atas pertanyaan abi mengenai kabar kami disini. Sejujurnya, kami merasa amat kehilangan sosok Abi setelah kepergiannya. 4 Tahun yang rasanya sangat lama sekali untuk menggambarkan bagaimana hidup kami yang terombang-ambing selepas kepergian Abi.
Sesekali dalam doa-doa panjang kami, setidaknya terselipkan doa agar kami dapat dipertemukan dengan Abi walau hanya sebatas mimpi.
Bagi kami, peran Abi tidak hanya terbatas sebagai kepala keluarga saja, beliau sudah menjadi "bagian yang hidup" dalam tiap nafas dan hati kami sekeluarga. Namun, kami menyadari bahwa bagaimanapun kondisinya, hidup harus tetap berlanjut.
8 Maret 2020, Abi Berpulang.
Tepat 4 Tahun yang lalu, kami mengantar Abi ke tempat peristirahatan terakhirnya. Bersisian dengan makam Ibu dan Bapaknya, yang menjadi alasan utama bagi kami untuk kembali dari perantauan setelah belasan tahun lamanya, dan memilih menetap di rumah keluarga besar Abi yang jauh jaraknya dan berada di dataran tinggi kawasan perhutanan.
Dua penyesalan kala itu hadir sewaktu almarhum Abi dikebumikan. Sebagai anak pertamanya, saya tidak memilih mengadzankan almarhum Abi untuk yang terakhir kalinya. Saat itu, saya sadar bahwa Umi adalah orang yang paling kehilangan atas semua ini walaupun kami pun juga merasakan kehilangan yang sama. Saya memilih berada di sisi Umi, memeluknya, dan menguatkannya.
Penyesalan kedua datang selepas kami kembali dari pusara Abi. Ghozi, adik saya, diminta untuk tidak ikut ke pemakaman dengan alasan jaraknya yang lumayan jauh dan kontur pemakaman yang lumayan licin tanahnya. Keluarga besar pun banyak yang berkata bahwa agar tidak menjadi trauma mendalam atas kepergian abi, katanya.
Alih-alih berpikir demikian, saya hanya berpikir bahwa itu adalah momen terakhirnya bisa melihat almarhum walau dari kejauhan. Keluarga akhirnya memutuskan Ghozi untuk tetap berada di rumah, ditemani dengan sanak saudara yang juga tetap memilih untuk berada di rumah. Maafkan mas, yaa, Zii. Mas ternyata belum sedewasa itu untuk menentukan harus menyikapinya seperti apa.
8 Maret 2020, Allah Begitu Sayangnya Dengan Abi.
Kami ingat betul bahwa saat itu hari Ahad, tepat pukul 9 pagi. Allah mengambil nyawa Abi dengan penuh kelembutan dan kasih sayang-Nya. Prosesnya singkat, saat lantunan talqin mulai bergema, kami sadar bahwa Malaikat Izrail telah tiba.
Kala itu, dipan tempat beristirahat Abi cukup sesak. Penuh dengan orang-orang yang datang menjenguk, mendengar kabar Abi yang kondisinya semakin memburuk tiap harinya. Sejak pagi, firasat saya mulai tidak enak rasanya. Naluri saya mengatakan untuk selalu berada di sisi Abi yang senantiasa ditemani Umi setiap harinya.
Malam sebelumnya, perasan risau itu hadir. Saya tidak bisa tidur dengan tenang walau Umi selalu meyakinkan saya untuk tidur terlebih dahulu bergantian menjaga Abi di keesokan harinya.
Umi sangat cinta dengan Abi. Begitupun sebaliknya. Cintanya senantiasa penuh tercurah untuk kekasihnya sepanjang masa. Juga kepada anak-anaknya. Saya mencintai keluarga ini, sangat mencintainya.
"Umi dan Abi adalah dua insan yang cintanya hadir bukan hanya karena cinta, melainkan cinta karena mengharapkan akan ridha-Nya."
8 Maret 2020, Abi dan Seluruh Cinta Untuk Keluarganya.
Bagi kami, Abi adalah sosok yang sangat sayang dengan keluarganya. Tak terhitung berapa banyak cinta yang telah diberikan olehnya bagi kamu semua. Sosok Abi yang menjadikan saya memiliki prinsip hidup senantiasa berlaku menjadi "Orang Baik" sekalipun hidup tidak sedang baik-baik saja.
Bagi saya, Abi mungkin sama saja seperti ayah/bapak pada umumnya. Terlihat keras kepada anaknya, disiplin, namun, cintanya penuh dengan caranya tersendiri.
Abi adalah pribadi yang mengedepankan prinsip afirmasi positif kepada diri saya kala itu, sewaktu saya menjadi santri selama 6 tahun lamanya. Afirmasi positif bahwa saya bisa menyelesaikan kewajiban menghafal Al-Qur'an, afirmasi positif bahwa saya tetap yang terbaik sekalipun saya berada di peringkat 10 terakhir di kelas sejak SMA, dan banyak afirmasi positif lainnya yang ternyata membentuk diri saya hingga sampai hari ini dengen mempertahankan prinsip yang telah beliau beri.
Ulang Tahun kami berdekatan, beliau 23 Maret dan saya 29 Maret. Seringkali perayaan-perayaan sederhana menghiasi bulan Maret kami walau hanya dengan menonton film bersama, menghabiskan waktu seharian di rumah saja, atau sekalipun berwisata.
Setiap ulang tahun, Abi senantiasa mengirimkan pesan di aplikasi messengger dengan doa-doanya yang panjang dan mengharukan. Saya baru bisa membukanya di hari Jum'at kala peirizinan Pondok Pesantren untuk sesekali waktu mencuri kesempatan bermain warnet untuk sekedar melihat pesan dari Abi.
Di penghujung doanya, terselip permohonan maaf jika belum bisa menjadi orang tua yang baik sepanjang hidup kami, anak-anaknya. Doa-doanya sederhana, namun, sebagai anak, saya merasa belum bisa menjadi pribadi yang diharapkannya, bahkan banyak membuatnya kecewa.
Pesan-pesan itu senantiasa berulang dan terulang. Sungguh, jauh dari rumah membuat saya rindu dengan pesan panjang dari Abi yang penuh makna dan keharuan.
Ada kenangan lucu yang selalu kami ingat sampai hari ini. Jika salah satu diantara kami ada yang sakit, maka penawarnya sederhana, hanya kue jawabannya. Abi sangat senang dengan bika ambon, Umi menyukai rainbow cake, dan saya menyukai brownies.
Sewaktu kami sakit, sesekali kami berseloroh bahwa obatnya hanya kue-kue kesukaan kami. Ajaibnya, kue-kue itu sesekali membawa peruntungan akan kesembuhan kami karena memakannya.
8 Maret 2024. 4 Tahun Selepas Kepergian Almarhum Abi.
Kami sudah tidak tinggal di rumah keluarga besar Abi. Jaraknya terlalu jauh dari perkotaan dan jauh dari keluarga jika kami sewaktu-waktu memerlukan bantuan.
Memilih untuk meneruskan hidup di perkotaan, di rumah Ibu dari Umi adalah pilihan kami saat ini. Hidup sederhana dan banyak keterbatasan bersama dengan 3 kepala keluarga di dalamnya. Alhamdulillah, setidaknya masih ada tempat bernaung bagi kami dari teriknya matahari dan derasnya hujan jika sewaktu-waktu tiba.
Tulisan ini tidak untuk menjual kesedihan, tidak pula untuk menghadirkan simpati kepada siapapun yang membacanya. Kami hanya mengingat apa yang telah terjadi dan telah kami lalui bersama. Sekedar merefleksikan perjalanan hidup setelah kepergian almarhum yang banyak pasang-surutnya, naik-turunnya.
"Bagaimanapun bentuk mengikhlaskannya, bukankah sesekali ada momen dan waktu tertentu untuk sekedar kembali mengingat apa yang telah terlewati bersama?"
"Bi, 4 tahun selepas kepergian Abi. Mas masih berjuang untuk menyelesaikan jenjang perkuliahan mas. Ditambah dengan aktivitas-aktivitas sosial yang semoga menjadi wasilah bagi Abi sebagai bukti bakti anaknya.Sesekali mas juga mencari sumber penghidupan untuk diri mas sendiri, mas sadar, bahwa di umur mas yang ke 22 ini, bukan lagi tugas umi untuk mencari nafkah keluarga".
"Bi, 4 tahun selepas kepergian Abi. Ghozi tumbuh menjadi anak yang seharusnya butuh peran Ayah di sisinya. Mas belum bisa menjadi "pengganti Abi" yang baik bagi Zii. Mas belum bisa memberikan contoh teladan yang baik bagi Zii. Sesekali bahkan panggilan telepon dari Zii mas terlewatkan karena urusan lainnya. Padahal Mas sadar bahwa momen bersama Zii adalah momen bagaimana Zii memiliki role model ayah dalam hidupnya".
"Bi, 4 tahun selepas kepergian Abi. Umi menjadi kecewa karena kesalahan besar mas akhir-akhir ini. Umi yang seharusnya tidak disibukkan dengan urusan rumah dan mencari nafkah, kini terpaksa tetap menjadi ibu rumah tangga yang banyak sekali urusannya. Mas sadar bahwa Umi adalah segalanya saat ini, tapi mas malah menyia-nyiakan momentum bersama Umi yang terlewati begitu saja. Maafkan mas yaa, bi, mi"
Hari ini, tepat 4 tahun sudah Abi meninggalkan kami. Kami tidak akan berkabung karenanya, walau sesekali air mata mungkin saja menghiasi hari ini. Bahkan, mas menulis tulisan ini sambil sesekali sesunggukan karena menahan perasaan rindu yang hadir begitu saja tanpa permisi.
Hari ini, tepat 4 tahun sudah Abi meninggalkan kami. Cinta kami dilangitkan melalui doa-doa panjang agar melapangkan kubur Abi, menjauhkan Abi dari segala siksa kubur, dan kelak dipertemukan kembali di Surga Firdaus-Nya.
Saya sungguh mencintai Umi, dan Abi juga Ghozi. Terima kasih sudah membaca.
15 notes
·
View notes
Text
MENUJU ANGKA 10 🚀
Sudut kota Yogyakarta sekitaran UNY itu menjadi inspirasi dalam menulis sebuah tulisan yang berjudul "Menuju Angka 10 🚀". Obrolan-obrolan hangat yang terlontar dari percakapan dua orang pemuda yang sekian lama tidak saling bersua ini menghasilkan banyak perspektif baru dalam mengilhami suatu hal yang seringkali dianggap tabu. Bertemankan dinginnya Yogyakarta, segelas susu jahe hangat dan "sundukan" di meja yang sudah lapuk, menambah kesan bahwa obrolan ini mengalir begitu saja dengan selipan cerita-cerita hulu ke hilir walau tanpa tujuan. Sepak bola, perbedaan golongan dalam islam, polemik organisasi kampus masing-masing, sampai pilihan politik 2024 dilahap habis dengan argumen-argumen yang tentu berbeda walau terkadang saling menguatkan.
Menjelang larut, sebuah bahasan terlempar begitu saja bak bola salju yang semakin lama tergulung akan semakin membesar rupanya. Jika dilemparkan langsung dalam ruang-ruang diskusi di dunia maya tentu akan terjadi banyak perselisihan dalam permasalahan ini, namun, sudah tentu sebagai sesama muslim dengan semangat untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, dengan segala upaya dan sedikit pemahaman yang ada untuk menyampaikan suatu kebenaran yang bagi sebagian masyarakat akan sulit diterima maupun dicerna. Walau tentu banyak perspektif di masyarakat luas yang seringkali menyatakan bahwa "Urusan lo ya urusan lo, gausah ngurus hidup atau ibadah orang lain dengan ilmu lo itu. Gue ya gue, ngapain lo ngurus hidup gue. Toh hidup ya hidup dia repot banget si lo ngurus begituan".
Permasalahannya dimulai ketika seringkali di zaman saat ini ditemukan anak-cucu para kyai, ustadz, yang sudah seyogyanya dapat dipastikan telah mendapatkan keilmuan yang baik secara turun-temurun lantas terkesan mengabaikan segala keilmuan yang ada begitu saja. Semisal, seorang anak dari ulama yang namanya mahsyur seantero negeri memilih untuk menanggalkan kewajibannya berhijab menutup aurat dengan beragam dalih yang ada. Berbagai asumsi liar tentu dikemukakan begitu saja dengan sebuah kesimpulan bahwa mungkin saja yang bersangkutan memiliki sebuah prinsip untuk menjadi hamba yang taat tidak hanya tentang urusan menutup aurat atau memakai hijab saja. "Pintu untuk masuk islam itu luas", pikirnya. Menjadi muslim baginya dapat dilakukan dengan berbagai cara, semisal berbuat baik, sopan santun, rajin sholat dan amalan-amalan lainnya. Wallahu a'lam, tentu memihak tanpa dasar bukti yang kuat dan hanya sekedar asumsi pun bukan suatu hal yang dapat dibenarkan keabsahannya.
Asumsi tersebut tentu menjadi salah kaprah sehingga menjadikan banyak pola pikir kaum muslimin terutama para muslimah seakan terkotak-kotakkan dan merasa terwajarkan dengan apa yang menjadi asumsi tersebut. Apalagi sebagai publik figur dengan jutaan pengikutnya di sosial media, tentu segala asumsi yang ada akan dianggap sebagai buah dari hasil pemikiran cemerlang yang bersangkutan walau tentu jika dilihat dari segala sisi akan menjadi salah kaprah penafsirannya. "Alaaahh, santai aja, toh mba ini juga ga berhijab. Santai aja sist, pahala mah datengnya darimana ajaaa, santuuuyy" atau "Yaelah bree, cuma minum-minum dikit aja ini nyicip-nyicip. Enak breee barang lama ini pasti kualitasnya top bener dah ajig gile. Toh si anak ustadz itu juga minum-minum bahkan rokok sama tindikan lagi"
Coba deh dibayangin aja gimana dampaknya jika seseorang menyampaikan sebuah pewajaran seperti itu? Apalagi itu baru satu orang yang ngomong. Misal, diantara 240 juta penduduk kita ambil 1 persen yang akan berasumsi demikian tentu akan menguatkan segala bentuk asumsi liar tersebut menjadi sebuah pewajaran, kemudian diabaikan, lantas menjadi sebuah kebiasaan yang tidak seharusnya dilakukan. Masih belum terima?
Sederhananya begini, dalam ilmu matematika yang seringkali diajarkan di kelas tentu kita tahu bahwa untuk mencari angka dengan nilai 10 bisa dengan berbagai cara. Bisa dengan penjumlahan, pengurangan, perkalian atau pembagian. Misal, untuk mencari nilai dengan angka 10 dapat dilakukan dengan penjumlahan 5+5 atau 7+3, atau bisa juga dengan pengurangan, misal, 50-40 atau 15-5. Pun sama halnya dengan perkalian dan pembagian yang akan mencapai nilai 10 dari berbagai cara. Berangkat dari pemahaman sederhana tadi tentu dapat disimpulkan dan disepakati bahwa untuk mencari nilai dengan angka 10 tidak hanya dengan cara 5x2.
Nah, antara islam dengan matematika tentu saling berkesinambungan. Namun, dalam sebuah konteks pemaknaan berislam tentu akan ada berbagai perbedaan jika kita menilai dari sudut pandang lainnya mengenai matematika. Maksudnya bagaimana? Misal, untuk menjadi seorang muslim yang kaffah (menyeluruh, atau sempurna), maka bisa kita analogikan dengan nilai 10. Angka 10 dapat menjadi penanda bagaimana seorang muslim berlomba-lomba dalam kebaikan untuk menuju angka 10 sebagai hamba yang "sempurna". Dalam keilmuan matematika pada umumnya, tentu untuk mencapai angka 10 dapat melalui berbagai cara. Namun, sebagai seorang muslim yang akan menuju angka 10 tentu semua cara harus dilakukan. Contohnya bagaimana? Misal, penjumlahan 5+5 dengan amalan sholat wajibnya, 6+4 untuk puasanya, 5x2 untuk ibadah sunnahnya dan ragam cara menuju angka 10 yang lainnya. Pun juga dengan pengurangan dan pembagian, misal 20-10 untuk meninggalkan ghibah terhadap sesamanya, atau 50:5 untuk meninggalkan maksiatnya dan seterusnya untuk mencapai angka 10.
Jika ditarik benang merah dalam pembahasan di tulisan kali ini, dapat disimpulkan sebagai berikut :
Memiliki panutan dalam berkehidupan tentu sah-sah saja, namun, menjadikan seseorang sebagai role model dalam berkehidupan sebagai seorang hamba tentu perlu dicermati dan dipahami bagaimana yang bersangkutan dapat mengarahkan kita kepada jalan yang sebenarnya.
Menjadi sempurna sebagai seorang hamba tentu kita tidak akan tahu takarannya. Tapi, mengusahakan amalan yang perlu dilakukan dan diimplementasikan dalam kehidupan tentu pasti akan ada buahnya kelak, bukan?
Sebagai seorang muslim tentu kita masih belajar, maka serap ilmu-ilmu agama yang tentu tidak untuk menjerumuskan melainkan memberikan pemahaman akan sempurnanya islam sebagai agama yang dianut
Menjadi pribadi muslim yang baik dan kaffah tentu tidak hanya dengan rajinnya sholat saja lantas melupakan amalan lainnya. Tentu semua harus dilaksanakan sesuai apa yang menjadi anjuran-Nya. Menjadi pribadi muslim yang baik dan kaffah tentu tidak hanya dengan meninggalkan perkara maksiat zina mata semata, melainkan juga menjauhi saling menggunjing antar sesama, merendahkan dan lain sebagainya
Mengingatkan dalam kebaikan, berlomba-lomba dalam kebaikan, saling menasehati, saling mengoreksi, dan menjauhi hal-hal yang mendatangkan kemunkaran tentu menjadi landasan penting dalam berperilaku sebagai seorang hamba
Wallahu a'lam, tentu saya masih banyak salahnya dan kurangnya. Pun tidak terlepas dari segala bentuk maksiat yang ada. Semoga tulisan ini tidak menjadikan kita saling terkotak-kotakkan lagi dalam urusan-urusan sederhana yang besar dampaknya. Semoga menjadi nasihat dan pengingat bagi pribadi dan juga sesama.
Semangat Menuju Hamba yang 10! 🚀 Barakallah fikum.
1 note
·
View note
Text
Evaluasi ; Sholatku Yang Hari Ini Masih Berantakan
Ternyata, aku kalah oleh anak-anak itu. Anak-anak yang hatinya jatuh cinta pada Masjid. Ya walaupun aku sadar, bahwa ada hal-hal yang menjadi sebuah pewajaran jika beberapa anak berbuat sesukanya di Masjid. Entah berlari-larian, berteriak, cekikikan saat sholat, bahkan tak jarang bersenda gurau tanpa menghiraukan kekhusyuan jamaah lainnya.
Toh, seringkali ditemukan banyak pewajaran bahwa mereka masih dalam fase tahap mengenal lebih jauh bagaimana agama yang dianutnya. Walau sekalipun mereka masih terbilang muda, untuk mampu memahami bahwa Masjid adalah tempat ibadah yang salah satunya memiliki fungsi sakral dalam beribadah, ada satu harapan terang dimana masih banyak anak-anak yang memiliki kecenderungan untuk beraktivitas di Masjid.
Tapi, semua bukan tentang itu. Bukan tentang perdebatan mengenai riuh ramainya suara anak-anak di Masjid yang dipermasalahkan. Melainkan tentang aku - mungkin kamu pun juga demikian - yang merasa kalah dan malu kepada anak-anak, karena sholatku yang tidak lebih baik dari sholatnya anak-anak tersebut.
Hari ini, kita sadar, bahwa secara usia atau perspektif lainnya, kita adalah orang-orang dewasa yang senantiasa akan belajar tentang bagaimana cara menjadi dewasa. Dewasa, seringkali dikaitkan dengan pemikiran-pemikiran yang berat namun cemerlang, dengan perilaku-perilaku yang baik, dengan tutur kata yang bijak dan sejenisnya.
Seringkali sebagai dewasa kita berbicara tentang mimpi-mimpi dan asa untuk menggapainya. Bahkan tak jarang muncul harap pada mimpi-mimpi besar untuk terwujudnya keadilan bagi masyarakat bangsa atau sekalipun bersatunya elemen-elemen Islam dalam satu suara perjuangan ukhuwah dan dakwah.
Sayangnya, kita seringkali abai pada hal-hal dasar yang sangat fundamental.
Ya, ibadah. Atau mungkin dapat kita kerucutkan lebih dalam lagi dengan contoh yaitu Sholat. Menjadi salah satu contoh konkrit dan sederhana untuk dijabarkan bagi sebagian orang, yang mungkin terkesan "biasa-biasa" saja dalam penghambaannya. Atau sebagian lainnya yang sudah sadar bahwa sholat menjadi salah satu bagian fundamental penting sebagai seorang hamba.
"Maka, sudah sampai sejauh mana kita sebagai hamba memaknai sholat?".
"Maka, sudahkah sholat menjadi sebuah kebutuhan atau hanya berjalan begitu saja tanpa merasa "butuh atas kehendak dan takdir tuhan?"".
Jawabannya adalah,
"Sholat kita hari ini, mungkin saja tidak lebih baik selayaknya anak-anak yang melaksanakan sholat"
Contoh sederhananya adalah, seringkali ditemukan banyak jamaah yang tidak membaca niat sebelum melakukan sholat dengan dalih "alah rapopo rasah niat-niat sing penting sholat e". Atau bahkan dalam proses untuk melaksanakan sholat. Sudahkah wudhu kita benar tata caranya? Atau hanya sekedar "yang penting bagian ini kena air"?
Mungkin lebih parahnya lagi, sholat kita bahkan lebih buruk daripada sholat anak-anak yang banyak guyonnya. Lantas apa guna ilmu yang diajarkan jika tidak dapat diterapkan pengamalannya?
Seringkali saat sholat kita luput "ini udah rakaat ke berapa ya?". Bahkan, banyak penuturan jujur bahwa seringkali mereka menemukan ide-ide cemerlang malah saat sholat. Tak jarang saat sholat, raga kita di masjid namun jiwa kita tidak terpaut pada-Nya. Malah memikirkan "Menu makan siang hari ini di kantor apa ya? Laper nih". Dan hal-hal lainnya terkait ibadah kita sebagai seorang "dewasa" yang selayaknya atau lebih buruk dari kualitas ibadah anak-anak yang banyak bercandanya.
Lantas, semua akan dikembalikan ke masing-masing kepala untuk menentukan perspektif pribadinya seperti apa dalam memposisikan diri sebagai seorang "dewasa" dalam perjalanan hidup sebagai seorang hamba. Apakah sholat memang hanya sebagai aktivitas harian dan angin lalu "ah yang penting ngerjain". Atau kita yang semakin sadar bahwa sholat menjadi bentuk komunikasi hamba dengan rabb-Nya, juga sebagai kebutuhan hidup kita sebagai seorang hamba.
Setidaknya, saling mengingatkan, saling menasehati dalam kebaikan dan kebermanfaatan, dan juga saling memahami bahwa kita sebagai hamba, selayaknya penting untuk mengistiqomahkan seluruh ibadah-ibadahnya.
Nasihat ini untukku, juga untukmu, yang telah berkenan membaca hingga akhir. Saya bukanlah hamba yang taat dalam beribadah, namun saya sadar itu, dan senantiasa akan mempelajari dan mengusahakannya. Maka, hal di atas bukanlah sebuah penghakiman kepada kita-kita yang masih butuh belajar untuk taat sebagai seorang hamba. Namun evaluasi bagi saya pribadi, dan juga kamu yang mungkin saja memiliki keresahan yang sama.
Sehat dan bahagia selalu
Saudaramu,
Sandiwara Pikiran
10 notes
·
View notes
Text
Rasanya Delapan, Sepertiga, dan Hampa
Sejauh ini tersedia ragam bilik-bilik perasaan
Terkadang senyap, sepi, kosong, atau bahkan terisi sepuluh jiwa
atau lebih, sepertinya
Bilik-bilik perasaan itu menyesuaikan rasanya
Menjadi penuh, menjadi sepi, menjadi variatif
Satu waktu isinya delapan
Satu waktu isinya sepertiga
Satu waktu isinya hampa
Tak kurang satupun,
namun rasa yang hadir lebih dari satu, bias
Sepakatku pada akhirnya hanya untuk satu bilik
Dengan bilik-bilik perasaan yang lebih kecil di dalamnya
Karena cintanya meluas, melebar, menjalar
Untuk cantik, rumah, keluarga, dan lainnya
Untuk sandang, pangan, papan, cinta, dan apapun
Mari kita koleksi suasana asik
Dengan perasaan yang baik
Cintanya besar, meski mesranya kecil-kecilan, ya!
3 notes
·
View notes
Text
Bicara (Bodoh) Dengan Para Budak Cinta : Kenapa Pada Dasarnya Beberapa Organisasi Melarang Adanya Pacaran Antar Pengurus
Prolog "Dari dulu, gue selalu terdoktrin dengan kata-kata larangan berpacaran antar pengurus di organisasi yang sama. Gue tanya kenapa? Jawabannya pun variatif. Ada yang bilang menghindari kecemburuan sosial, ada yang bilang sudah menjadi tradisi turun temurun, ada yang bilang pernah ada kejadian yang kurang mengenakkan dan menyebabkan banyak masalah bagi organisasi tersebut, dan masih banyak alasan lainnya. Hari ini saya menyampaikan sebuah opini pribadi kenapa pada akhirnya banyak laranganan mengenai pacaran dalam satu organisasi yang sama"
-
Organisasi mahasiswa seringkali disepakati bersama sebagai tempat untuk berproses, adanya proses yang baik dalam berorganisasi lantas ditandai dengan profesionalitas kepengurusan di dalamnya. Profesionalitas kerja pengurus yang bentuknya beragam ini pada akhirnya sedikit demi sedikit tergerus dengan ego dan perasaan. Ada yang capek, lantas memilih pergi meninggalkan seluruh amanah yang dititipkan kepadanya, ada yang melanggar peraturan yang bahkan sudah disepakati bersama, tak sedikit bahkan mereka-mereka yang dikatakannya sebagai petinggi organisasi mahasiswa yang membuat peraturan tersebut yang justru melanggarnya. Lucu memang dengan banyak hal unik di lingkungan berorganisasi sebagai mahasiswa.
Kenapa banyak organisasi mahasiswa melarang adanya pacaran antar pengurus di organisasi tersebut? Beberapa orang lantas menanyakan dan mempermasalahkan "Bukankah sudah menjadi rahasia umum? Apa salahnya? Malah bisa saling support bukan?". Peluang tersebut memang ada, tapi sayangnya, hingga saya mengangkat tulisan ini dan menemukan pada fakta lapangan bahwa lebih banyak orang-orang yang lantas buta karena cinta dibanding menjunjung profesionalitas dalam menjalankan perannya. Tapi bukan peluang ada atau tidaknya orang yang tetap menjunjung profesionalitasnya, melainkan ada hal yang perlu disorot bahwa perihal asmara sebaik-baiknya, seyogya-yogyanya dan sebijak-bijaknya dipertimbangkan kembali dengan matang, kawan.
Kita kembali ke sebuah statement umum di ranah bersama bahwa seluruh manusia tidak bisa mengendalikan perasaannya terhadap siapapun bahkan perasaan suka dan sayang kepada lawan jenisnya. Mencintai dan menyukai seseorang pikirku merupakan suatu hal yang sangat logis dan masuk akal. Namun, lagi-lagi kita dihadapkan dengan sebuah ego, mengedepankan perasaankah atau profesionalitas dalam menjalankan amanah? Mencintai dan menyukai seseorang adalah wajar, namun tindakan setelahnya yaitu memutuskan berpacaran dalam satu organisasi yang sama sungguh akan berdampak buruk. Ya, mungkin tidak buruk bagi yang berpacaran, namun buruk bagi orang-orang lain yang merasakannya.
Menjaga
Satu kata yang menjadi pokok dalam semua alasan adanya larangan berpacaran ini. Perihal menjaga. Menjaga apa? Pertama, menjaga marwah diri sendiri dan juga organisasi mahasiswa. Mungkin, iya, kamu merasa terjaga dengan adanya pasanganmu yang selalu ada di sampingmu, menemani setiap rapat, berangkat-pulang rapat atau kumpul organisasi bareng dsbnya. Namun, organisasi bukanlah ruang individu, melainkan ruang bersama, di dalamnya terdapat kesepakatan-kesepakatan yang sudah disepakati bersama. Terlebih beberapa kali ditemukannya orang-orang yang berpacaran dengan mesra padahal ada banyak orang dalam ruang itu yang kemudian merasa risih terhadapnya. Ada yang rapat membahas permasalahan sesuatu, lantas jika kemudian salah satunya dipermasalahkan, mereka-mereka yang berpacaran dihadapkan pada 2 pilihan apakah hendak membela pasangannya atau menjaga respect rekan-rekannya. Kedua, menjaga perasaan banyak orang. "Ya kalau begitu semua pacaran saja, beres". Oh, tidak semudah itu ferguso. Kita dapat kembali ke paragraf sebelumnya yang disana disepakati bahwa memiliki perasaan ialah suatu hal yang wajar dan tidak dipermasalahkan. Melainkan menjaga perasaan banyak orang di dalamnya yang nantinya akan berdampak banyak. Ada banyak orang yang sejauh ini menahan diri untuk menyatakan perasaannya kepada sesama pengurus-pengurus lainnya karena menghormati peraturan yang ada, respect terbesarku untuk kalian atas sikap baik kalian. Namun ada juga yang memilih masa bodoh dan bahkan mengumbar-umbarnya di publik pengurus lainnya. Menjaga perasaan banyak orang dari kecemburuan sosial tentu perlu dan penting. Ketiga, adanya perlakuan istimewa jika dihadapkan dalam sebuah problematik, entah dengan adanya keberpihakan kepada pasangan jika dihadapkan dengan masalah organisasi meskipun sudah menyatakan tidak adanya keberpihakan, padahal terlihat jelas adanya keberpihakan dalam menyelesaikan problematik ini. Ada juga yang diistimewakan dalam menjalankan amanahnya untuk membackupnya dan membiarkan pasangannya dengan urusan pribadi, sementara tidak membantu yang lainnya. Sungguh menjadi perilaku yang parasit tentunya. Menjaga banyak praduga publik terhadap organisasi, dan masih banyak lainnya.
"Untuk apa kita memikirkan orang lain padahal itu urusan personal diri kita? Kok situ yang repot?"
Pada intinya, memiliki perasaan suka, bahkan cinta kepada sesama pengurus lainnya adalah perasaan-perasaan yang wajar, namun, ada baiknya untuk tidak melangkah lebih jauh selagi masih dinyatakan aktif beramanah. Ada mereka-mereka yang berusaha saling menghormati peraturan yang ada untuk tidak melangkah lebih jauh selama masih aktif. Jika pada akhirnya memang tidak bisa untuk melakukan itu dan tetap memutuskan untuk berpacaran, setidaknya tidak menunjukannya dalam ranah-ranah publik bahkan di sosial media sekalipun, sungguh. Jadikan pacaran kalian mungkin sebagai gerakan underground, pastikan juga setidaknya tidak menjadi permasalahan dan beban bagi yang lainnya. Silakan saling menghormati, dan menghargai. Bukan berarti dalam hal ini lantas ikut campur lebih dalam pada urusan-urusan personal, namun kita berbicara mengenai efek dan dampak di dalamnya dan bagi lingkungannya. Wallahu 'alam.
*Menjadi bagian dari opini pribadi, suka tidak suka silakan, memang susah nampaknya bicara kata dengan mereka-mereka yang sudah bebal hatinya
54 notes
·
View notes
Text
Nasehat Diri : Polemik Problematika Program Kerja Organisasi, Asumsi Humanis, dan Komunikasi (Hablumminallah)
Organisasi mahasiswa seringkali identik dengan berbagai kegiatan program kerja yang dilaksanakan sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Pada perkembangannya, keberjalanan program kerja menjadi salah satu faktor tercapainya eksistensi dan elektabilitas lembaga di ranah publik. Keberjalanan program kerja seringkali dinilai sebagai bentuk huru-hara formalitas belaka tanpa memperhatikan substansi dan urgensi yang dibawa dalam melaksanakan program kerja kegiatan tersebut. Berkaca dari hal tersebut, dalam keberjalanannya tentu hal ini memiliki proses yang tidak sebentar, jalannya panjang, penuh lika-liku dan terkadang terjal.
Seringkali dalam proses tersebut ditemukan banyaknya problematika mulai dari perkara administratif, birokrasi, bahkan lebih kompleks lagi yaitu permasalahan teknis dan juga pendanaan. Kegiatan event program kerja mahasiswa ini seringkali kita analogikan sebagai bentuk kreatifitas panitia pelaksana dalam mengkonsep kegiatan tersebut sedemikian rupa, menjadi ajang bagi panitia pelaksana untuk menuangkan seluruh ide-ide liar yang ada dalam setiap isi kepalanya. Pada bagian ini, tentu kita sepakati bersama bahwa hal ini yang kemudian dinamakan sebagai proses. Proses dalam membentuk kerangka berpikir sehingga menciptakan sajian kegiatan yang sesuai dengan apa yang direncanakan. Jika kita mundur sedikit ke bagian problematik tadi, ditemukan berbagai macam permasalahan yang ada seperti contoh yang telah disebutkan. Tapi ada satu kesalahan sederhana yang setelah dipikir-pikir bagi saya pribadi hal ini malah menjadi suatu hal yang fatal. Lantas apakah itu?
Perlu disepakati dahulu, bahwa dengan besarnya agenda, megahnya kegiatan, bahkan entah seramai dan semarak apa event itu, seluruh panitia pelaksana memiliki hasrat kehendak untuk menghadirkan kegiatan yang sesuai dan diinginkan oleh khalayak. Menjadi ajang pembuktian bagaimana terdapat sebuah titik lemah dalam melaksanakan program kerja organisasi menjadi sebuah kecemasan sosial. Perasaan cemas, gelisah dan bahkan takut jika kegiatan tersebut dirasa kurang sesuai dan bahkan tidak memuaskan. Reaksi sosial ini menjadi sebuah ketakutan sendiri tentu bagi internal kepanitiaan. Menggarisbawahi sebuah pernyataan bahwa "Sudahkah kita berusaha dan mengusahakan kegiatan program kerja ini semaksimal kemampuan yang dipunya?". Simpelnya, pertanyaan ini memiliki dua jawaban pada umumnya. Ada yang melihat ini kemudian sebagai bentuk evaluasi, ada juga yang melihat hal ini sebagai suatu hal yang kontradiktif, bahkan terlontar balik sebuah pernyataan bahwa panitia sudah berusaha dengan sepenuh tenaga. Reaksi sosial ini menjadi sebuah pemenuhan ekspektasi publik tersendiri terhadap kondisi teknis yang terjadi nantinya, dan tentu akan berdampak kurang menyenangkan jika dirasa banyak hal yang tidak terfasilitasi dengan baik.
Pada titik problematik tersebut, disaat ditemuinya sebuah permasalahan yang ada, seringkali terdapat judgement bahwa ini kesalahan birokrasi, kesalahan petinggi, pejabat kampus, kesalahan panitia yang dirasa kurang becus dalam melaksanakan tugasnya dan banyak kesalahan-kesalahan yang kemudian malah saling menyalahkan. Ya meskipun kita sepakat juga bahwa bisa jadi memang terdapat kesalahan dan kekeliuran yang seringkali disebut "human error". Namun, bukan permasalahan judgement human error ini yang kemudian dipermasalahkan. Yaitu ialah perihal komunikasi. "Lho kok komunikasi? aku dan staffku dekat kok. Aku dan SC ku dekat kok, dan sejenisnya". Mungkin kamu lupa sebuah formula sakti yang tentu akan sangat berguna dalam memperlancar kegiatanmu bahkan seluruh aktivitas hidup harianmu.
Pada titik evaluasi ini, perlu adanya sebuah renungan bahwa sudahkah kita menjadi seorang hamba yang baik? sudahkah memang kemudian kita melaksanakan agenda ini atas dasar perlindungan-Nya dan ikhlas atas segala bentuk usaha dan ikhtiarnya? Sudahkah kita menjadikan goals kegiatan bukanlah sebagai pencapaian sosial saja namun juga dari sisi spiritualnya? Sudahkah kita sadari bahwa seringkali kita acuh dengan suara adzan dan memilih untuk meneruskan rapat? Sudahkah kita sadari bahwa mungkin kita lebih terlena dengan timeline to do list yang harus diselesaikan segera mungkin dan malah menunda ibadah yang akhirnya malah dilewatkan dan dilupakan.
Seharusnya kita sadar, bahwa seburuk-buruknya masalah yang ada, Allah selalu punya jawabannya, Allah selalu punya rencananya. Bahkan sekalipun ditemukan banyaknya problematika di dalamnya, Allah selalu punya rencana yang lebih baik daripada rencana kita sebagai seorang hamba.
Sebaik-baiknya rencana kita, lebih baik rencana Allah yang mengaturnya. Jika usaha sudah maksimal secara segi duniawi, maka libatkan Allah dalam setiap keputusan yang diambil, dalam setiap langkah yang diambil, mohon petunjuk agar dimudahkan dan dilancarkan jalannya. Maka libatkan Allah sekalipun terkesan bahwa kita hanya butuh Allah di satu waktu tertentu, tapi percayalah, melibatkan Allah dalam sebuah keberjalanan yang sudah direncanakan sedemikan rupa oleh manusia akan semakin baik rencana yang di dalamnya melibatkan Allah.
Ini menjadi evaluasi pribadi bagi gue, karena gue pun masih jadi bagian dari orang-orang yang seringkali luput akan hal ini. Maka pelan-pelan coba kita sesuaikan, saling mengingatkan untuk sholat ketika memang sudah waktunya dsbnya. Dimulai dari hal-hal sederhana yang tidak sesederhana itu dampaknya. Gue masih banyak belajar, ini bukan bagian dari judgement gue terhadap kondisi saat ini.
Satu lagi, manusiawi ya dalam menjalankan kepanitiaan. Memang waktu terus berlalu, mengikis setiap usaha yang sedang dan akan dilakukan kedepannya. Tapi, jangan lupa istirahat, makan, bahkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri pun lupa, apalagi ibadah. Jika waktunya sudah larut, bisa dilanjut besok, banyak orang yang akses jarak dan akomodasi yang jauh untuk balik ke rumah atau kosnya. Ya, dan masih banyak hal-hal lainnya yang tentu besar harapan menjadi evaluasi dan impian agar kedepannya selalu libatkan Allah dalam setiap urusannya.
"Modal yakin, Inshaa Allah dimudahin" - Aiman Abdurrahman
0 notes
Text
Aku & 3/4 Hati (Ku/Mu)
Cukup
3/4 rasa,
3/4 suka, bukan duka.
Sisanya penuh pasrah.
1/4 itu ku pasrahkan terserah nanti atur-Nya Tuhan bagaimana.
1/4 perpaduan antara menang dan kalah.
Iya, setidaknya ku merasa bangga.
Pernah menempatimu dalam hati.
Sebagai hal bodoh yang terlalu dikultuskan.
Tapi, setidaknya, aku mencintaimu.
Untuk saat ini, kalau boleh hingga tua nanti.
Atau mungkin 1/4 lainnya berisi perasaan gila.
Tergila-gila pada dirimu.
2 notes
·
View notes
Text
Belajar dari Tukang Somay Kampus Idola Mahasiswa
Selepas mata kuliah siang tadi, ku sempatkan tuk menyapa tukang somay langganan teman-teman di kampus. Mengobrol basa-basi, bertanya tentang kabar dagangan yang beliau jual, kabar harga bahan baku di pasar, dan hal-hal lainnya. Sambil beliau menyiapkan hidangan yang saya pesan. Cukup banyak untuk porsi 5k bagi saya, kata beliau "Tidak apa-apa. Saya senang, mas, dagangan saya selalu laris manis disini. Ada bonus untuk anak Jakarta yang selalu berkawan baik". Ucap beliau tadi. Dagangan beliau kemudian didatangi beberapa mahasiswi yang hendak sholat, namun mampir untuk beli kudapan sejenak. Memang, terkadang jam mata kuliah selalu bertabrakan dengan waktu sholat, sudah biasa terjadi bagi ruang-ruang kelas negeri.
Salah satu mahasiswi berceloteh, "Ayo segera sholat, sudah hampir jam dua. Aku mau cari ketenangan. Biasanya selepas sholat rasanya tenang dan damai banget". Kawan-kawannya lantas mengiyakan, dan segera bergegas untuk sholat selepas somay siap untuk dimakan. Mungkin akan dimakan selepas sholat pikirku.
"Kadang saya ngelihat mahasiswa yang rajin sholat tuh adem banget ya, mas. Semangat banget mereka ibadah. Saya jadi malu sendiri. Kadang bertanya dalam hati kenapa kita tahu bahwa kita butuh sholat tapi kita rasa-rasanya abai, mas" Ujar beliau setelah kondisi mulai sepi. Ku jawab hanya dengan anggukan dan tersenyum, lantas berpamitan tuk melaksanakan ibadah juga. Tidak ada jawaban atas keresahan beliau. Selepas sholat dzuhur tadi, kembali terlintas pertanyaan atas apa yang disampaikan oleh beliau tadi. Kenapa kita sadar bahwa sholat itu wajib, tapi seirngkali kita abai terhadapnya.
Mungkin kita perlu bertanya juga mengevaluasi diri, terutama saya, mengapa pada dasarnya mengetahui sholat itu wajib, namun tetap abai untuk dilaksanakan. Sesulit itukah untuk melaksanakan sholat yang secara asumsi waktu mungkin tidak hanya sampai 10 menit adanya. Kepikiran kalau diri ini sesekali waktu terlewatkan untuk sholat subuh, entah waktu sudah terlalu siang, atau terlalu puas dalam terlelap. Kepala langsung berpikir berat atas segala kenyamanan yang dirasakan fana ini.
Mungkin kita perlu bertanya, mengapa membaca Qur'an sangat berat ketimbang membaca novel-novel kesukaan. Mungkin kita perlu bertanya, mengapa menghafal ayat-ayat Al Qur'an lebih susah ketimbang menghafal lirik-lirik lagu idola. Mungkin kita perlu bertanya, mengapa kesadaran akan beribadah itu hanya sekelibat saja tanpa kita sadari untuk mengambil hikmahnya, lantas mengulang maksiat yang seringkali dilakukan.
Mungkin kita perlu disadarkan dari lingkungan yang bahkan kita merasa asing di dalamnya. Tapi who know? Belajar tidak memiliki ruang mutlaknya, tidak pula dengan siapa gurunya. Semua bisa mendapatkan setiap ibrah dari apa yang didapat entah dimanapun dan dengan siapapun.
Mungkin kita perlu menderita, untuk tahu makna lebih yang ada di dalamnya. Mungkin kita perlu diberikan ujian, untuk tahu sampai mana batas kemampuan yang dimiliki kita. Sampai tahu seberapa batas sabar dan istiqamah serta tawakalnya kita sebagai seorang hamba. Wallahu alam.
2 notes
·
View notes
Text
Mungkin, Pada Dasarnya, Semua Orang Itu Baik, Tapi Tidak Semua Orang Suka Kebaikan
Pikirku demikian. Bahwa semua manusia itu pada dasarnya baik, sekalipun bahkan dikatakan kepadanya bahwa ia adalah makhluk yang hina dina. Meskipun semesta menyatakan bahwa ia jahat, buruk dan lain sebagainya. Sekalipun dunia membenci, bisa saja tanpa kita sadari dan ketahui ada segelintir orang yang kemudian melihatnya sebagai pribadi yang baik pekertinya. Entah dari sisi mana pada akhirnya kebaikan itu timbul menyeruak. Dunia mungkin boleh untuk tidak menyukainya, namun Allah SWT selalu memiliki ruang bagi hamba-hambanya atas seluruh hal-hal baik sekecil apapun itu. Sekalipun bahwa mungkin sisi baiknya ada pada menjalankan aktivitas rutin memberikan makan bagi kucing di pinggir jalan. Sungguh, kebaikan tiap-tiap orang tentu akan berbeda kawan. Standarisasi kebaikan itu luas, global dan universal adanya. Sekalipun penjahat? tukang tipu? pembohong? iya, sungguh tentu hal tersebut tidak dibenarkan adanya, namun, yang menjadi sorotan dalam tulisan ini adalah bagaimana pada akhirnya seluruh manusia memiliki sisi baik dalam dirinya. Walau sedikit, bagai sebuah titik putih diantara pekatnya hitam. Dimana kemudian ego merenggutnya, menjadi buruk, walau hanya setitik, namun rusak, walau hanya sedikit atas seluruh tipu muslihat dunia.
Menjadi baik adalah keharusan. Tapi, tidak semua orang suka dengan kebaikan yang kamu lakukan, kawan. Ada yang menganggap kebaikanmu sebagai suatu hal yang terkesan sepele. Ya, atau mungkin merasa bahwa kebaikan yang dilakukannya lebih baik daripada apa yang kita lakukan. Namun, tidak masalah. Jujur, tidak masalah sekalipun anggapan orang seperti apa mengenai perilakumu itu. Pikirku tetaplah senantiasa berbuat baik bagi semua,bagaimanapun dan apapun kondisinya. Susah, senang, kecewa, marah dan atau hal-hal lainnya. Pikirku tetaplah demikian. Berbuat baik. Senantiasa berprasangka baik, akan selalu menjadi cukup dalam perihal hal-hal baik. Prasangka baik ini kemudian membentuk "Kamu". Merangkum sikap, sifat, tabiat serta perangainya dirimu. Merakit rupa baik buruknya dirimu sebagai menuju seorang hamba yang baik orientasinya.
"Tapi kita manusia, kawan. Makhluk yang bahkan tidak sesempurna itu untuk berlaku baik bagi semua orang. Jika begitu, kenapa pada akhirny ada orang-orang yang berlaku jahat di muka bumi ini?". Sanggahmu.
Ya, manusia memang begitu adanya bukan? Tugas sebagai manusia bukanlah membuat orang lain merasa dan melihat kamu baik, tapi tugas sebagai manusia ialah senantiasa berbuat baik. Entah kemudian perspektif orang terhadap kebaikanmu bagaimana. Jika pada dasarnya kebaikan dilakukan atas dasar mengharapkan penghambaan dari orang lain atas kebaikanmu atau mengharapkan timbal balik di dalam kebaikannya, maka akan sia-sia. Menjadi sebuah pertanyaan besar kemudian, bahwa "Sudahkah kita ikhlas dalam berbuat baik?"
Mari kita perbaiki paradigma tersebut, berbuat baik lah tanpa syarat apapun. Percayalah bahwa Allah memberikan kapasitas bagi manusia untuk berlaku sesuai maunya, entah berbuat jahat sekalipun. Menggunakan akal pikir seutuhnya atas kuasa diri dan menentukan arah garis takdir. Kemudian atas seluruh daya jelajah pikir sebagai manusia, hal ini menjadi sebuah ujian, apakah kita termasuk ke dalam golongan-golongan yang baik tersebut atau sebaliknya?. Pantaskah pada akhirnya sebagai manusia, kita patut menjadi manusia atas segala nikmat yang telah diberikan.
Pada akhirnya, bukan kesempurnaan akan kebaikan lah yang kita perjuangkan. Namun, mempertahankan nilai-nilai kebaikan menjadi sebuah kebermanfaatan luas yang seharusnya diperjuangkan. Agar kemudian kebaikan ini bertebaran dimana-mana. Agar kemudian umat bukan hanya menjadi buih dalam luasnya lautan.
Tidak apa-apa, terkesan rumit. Toh hidup menjadi ruang belajar bukan? Jadi manfaatkan ruang belajar tersebut untuk menjadi hambanya yang baik. Perlahan, belajar untuk baik dan menjadi baik. Belajar baik menjadi manusia, menjadi hamba. Menjadi baik yang taat, yang bersama-sama, dan kebaikan yang disuarakan dan disemarakan bersama.
3 notes
·
View notes
Text
Menulis Agar Tetap Hidup
"Kalau kau bukan anak raja, dan bukan anak seorang ulama besar. Maka jadilah penulis"
Tulisan ini ku mulai dari bab keluarga, perspektif menulis pribadi, dan hal-hal lainnya
Perkataan Imam Al Ghazali ini seakan jadi cambuk bagi diri, mungkin bagi dirimu jua, semoga. Terlahir menjadi seorang anak laki-laki yang dibesarkan dari seorang Ayah "Pelaut Kehidupan" yang hebat, hidup mandiri sejak usia terbilang belia (13) dan sudah khatam dengan keras dan pahitnya kehidupan dunia, dikhianati oleh keluarga terdekatnya sekalipun, bahkan satu pesan terakhir menjelang ajalnya, bahwa "Untuk tetap hidup, selamanya kamu harus berbuat baik, mas. Entah kemudian orang-orang membencimu sekalipun, tidak suka dengan baiknya dirimu, selalu ada rumah yang terbuka untuk seluruh niat baikmu itu". Beliau yang sering kusebut "Abi" ini menjadi salah satu alasan mengapa diri ini menulis. Beliau ajarkan banyak hal tentang hidup yang nyatanya bahkan seringkali diri merasa bahwa hidup sudah sampai pada titik terendahnya, ternyata tidak. Abi tidak mengajarkan untuk menerima begitu saja seluruh titik terendah hidup, Abi ajarkan arti usaha dan bermakna. Hal itu lebih dari cukup bagi seorang anak yang nakalnya minta ampun untuk hanya sesekali merekam jejak semasa hidup Abi. Ya, Abi yang saat ini telah terbujur kaku dalam pusaranya. Semoga Allah melapangkan kuburnya dan mengampuni segala dosanya.
Terlepas dari peran seorang "Abi" yang sangat dingin perangainya, namun sejujurnya diri ini yakin rasa sayang kepada keluarganya lebih hangat daripada teriknya sinar matahari pagi. Abi menjadi urutan pertama dalam alasan menulis bukan karena kemudian peranan ibu terabaikan begitu saja. Bahkan, ibu menjadi orang nomor satu yang selamanya takkan tergantikan peranannya dalam hidup. Ibu akan selalu jadi nomor satu bagi anak-anaknya, sungguh. Kehidupan masa muda "Abi" dan ibu yang seringkali kupanggil "Umi" bisa dibilang sangat jauh berbeda, meskipun dalam pengembaraannya juga banyak rasa-rasa sakit dan luka yang diterima atas seluruh kehidupannya. Umi yang merupakan anak kedua, dilahirkan dari pasangan muda yang dimana bapaknya merupakan seorang jurnalis ternama Banyumas pada masanya. Penyiar radio RRI, dan penulis buku-buku berdialek jawa, bahkan menjadi pembicara pada ajang-ajang prestatif skala lokal, dan regional menjadi suatu hal yang patut dibanggakan. Namun sayangnya, terkenalnya kakek lantas tidak begitu berpengaruh dalam keluarga. Kakek dan Nenek yang seringkali beradu mulut, beradu argumen dengan teriakan-teriakannya, bahkan lemparan-lemparan perabotan rumah yang sering terdengar, menjadi permasalahan sendiri dalam hidup Umi yang dengan hebatnya mampu tegar dan menjadi panutan bagi adik-adiknya, syukurnya bahtera keluarga tetap aman meskipun banyak amarahnya, adalah kakek yang selalu menurunkan egonya terhadap hal-hal sentimentil akhirnya. Umi menjadi sosok anak tertua (Ya, karena umi terlahir kembar dan kembarannya meninggal beberapa jam kemudian) diantara adik-adiknya, Umi menjadi sosok kakak yang tabah dan kuat, bahkan hingga saat ini, dalam berbagai perjumpaan dengan keluarga besar selalu diceritakan berulang-ulang betapa kuatnya umi dahulu.
Berangkat dari seluruh hal-hal baik yang diberikan oleh Umi dan Abi, menjadi satu langkah kuat untuk bagaimana menjadikan menulis sebagai sebuah pembiasaan. Hal ini sudah terbiasa dan dibiasakan sejak MTs dahulu, meskipun sebatas menulis hal-hal absurd yang menjadi isi dari kepala, setidaknya mulai terbentuk kerangka berpikir untuk mencoba menulis. Hingga saat ini. Menulis menjadi salah satu cara bagaimana diri mengapresiasi atas seluruh hal-hal baik yang pernah ada. Sebagai ungkapan terima kasih tak terucap tentang bagaimana hebatnya hidup yang tiap-tiap insan jalani. Aku mencintai keluargaku, sungguh. Terima kasih, Umi, Abi, juga Zi. 3 Orang tersayang yang perannya akan selalu hidup walau jarak memisahkan.
Bagiku pribadi, menulis menjadikanku hidup. Menulis menjadi ruang eksplorasi bagi diri untuk menyampaikan segala bentuk perasaan-perasaan. Entah perasaan-perasaan baik, atau bahkan sekalipun duka lara. Menulis menjadi ruang tersendiri untuk diri memposisikan diri sebagai seorang pencerita, menceritakan segala hal tanpa terkecuali. Sejujurnya secara pribadi, diriku merupakan orang yang sering banyak ceritanya lewat menulis, dimulai dari tulisan-tulisan di story WA, hingga sampai saat ini mulai berani menuliskan segala hal. Menulis ini memberikanku ruang untuk setidaknya meletakkan opini dan sudut pandang dari perspektif diriku mengenai suatu hal, maka kedepannya entah kemudian akan ada beragam tulisan-tulisan yang mungkin akan secara acak kamu temukan temanya. Entah tentang kehidupan, pendidikan, bahkan sajak-sajak tak berpuan. Dengan adanya menulis, setidaknya atas seluruh hal-hal yang tidak bisa tersampaikan lewat lisan, dapat tersampaikan dengan baik lewat tulisan. Menulis menjadi permulaan bagaimana seorang diri merangkai narasi-narasi hebat tentang mimpi, mimpi-mimpi yang tidak dapat digubris oleh orang banyak. Teringat pula salah satu pesan yang dulu ustadz-ustadzku sampaikan, bahwa kita semua adalah dai sebelum apapun, kita semua adalah penyeru kebaikan sebelum apapun. Bicara mengenai dai dan korelasinya dengan dakwah, tentu akan menjadi suatu hal yang seringkali memiliki konotasi yang sempit, yaitu hanya berceramah di suatu majelis atau kajian-kajian. Padahal menjadi dai dan berdakwah bisa melalui apapun, maka ku jadikan tulisan-tulisan ini juga sebagai media dan sarana bagiku untuk berdakwah, setidaknya menyerukan dan mengajak atas seluruh hal-hal baik yang ada. Semoga senantiasa begitu adanya, senantiasa dibulatkan niat dan tekadnya, diluruskan niatnya, diberkahi setiap langkahnya, dirahmati seluruh perjuangannya. Pun lagi, dengan adanya menulis, aku ingin meniru para pahlawan-pahlawan bangsa yang kepintarannya tercatat dan terangkum baik karena menulis. Menulis menjadikanku hidup. Menulis menjadikanku bahagia, sungguh.
Terakhir, kawan. Tulisanku tidak bermaksud untuk menggurui, sungguh. Tidak sekalipun demikian. Hanya seluruh isi kepala kutumpah ruahkan di dalam tulisan ini, begitupun untuk kedepannya. Sejatinya diri masih jauh dari kata benar, bahkan baik. Perlu banyak belajar untuk itu. Belajar kepada kalian, guru-guru terhebat selain pengalaman dan pendidikan formal. Ku titipkan seluruh rasa banggaku atas bacaan ini kepada kalian. Kiranya satu-dua kata menyakiti, mohon maaf.
Terima kasih sudah mau membaca hingga akhir, aku sayang kamu. Siapapun. Sebagai keluarga, rekan, teman sejawat, adik, kakak, atau apapun itu bentuk sayangnya.
"Jika ajalku tiba dan takdirnya sampai pada usia 60 nantinya, entah kurang atau lebih darinya, maka dengan menulis, umurku akan bertambah. Seratus, dua ratus, milyar-milyar, juta-juta, ratus-ratus sekian. Ragaku boleh mati, Pikiranku tidak. Ia akan tetap hidup sekalipun semuanya padam."
Serta Mulia
5 notes
·
View notes