sandimolata
sandimolata
Ketikan Hati
1K posts
Sedang menata potongan hidup yang tertinggal sebelumnya.
Don't wanna be here? Send us removal request.
sandimolata · 2 days ago
Text
Tahapan Dalam Belajar Skill Baru
Ketika kamu pertama kali belajar sesuatu, motivasi kamu meningkat. Rasanya skill baru ini tidak sesulit yang orang-orang bilang.
Ini adalah tahap "Hand holding honeymoon".
Tumblr media
Setelah berjalan beberapa lama, kamu mulai menemukan masalah-masalah yang sulit dipecahkan. Muncul skenario-skenario yang ngga dijelasin dari text book atau tutorial.
Kamu berada pada "cliff of confusion". Di sini, confidence kamu mulai menurun.
Tumblr media
Semakin kamu menggali ke dalam topik yang kamu pelajari, rupanya masalah yang kamu temukan semakin kompleks, sementara petunjuk jalan keluar semakin sedikit.
Di sini kamu mulai frustrasi, hilang arah, dan mungkin putus asa.
Inilah "desert of despair".
Tumblr media
Kalau kamu cukup persisten untuk menemukan dukungan dan solusi yang kamu butuhkan, kamu akhirnya akan sampai pada tahap di mana kompetensi dan kepercayaan diri kamu meningkat lagi,
Kamu sudah jauh lebih pandai dari sebelumnya, confidence level kamu berada pada titik yang sehat.
Kamu berada pada tahap "upswing of awesome".
Tumblr media
Gimana cara melalui semua itu?
Di awal, eksplor banyak pilihan sumber pembelajaran. Tujuannya untuk mencari pembelajaran yang kamu bisa komit sampe akhir.
Cari temen belajar. Gabung ke komunitas. Tujuannya supaya punya akuntablitas (lebih bertanggung jawab menyelesaikan pembelajaran) dan belajar dari orang lain.
Start small dan bangun kebiasaan belajar. Daripada belajar 1x sepekan, lebih baik belajar setiap hari meski sedikit demi sedikit.
Milikilah tujuan yang jelas dan bener-bener kamu inginkan. Kenapa kamu mau belajar ini? Apa yang ingin kamu capai? Mau jadi orang seperti apa kamu?
Pastikan sumber pembelajaran kamu bisa mengantarkan kamu sampai tujuan. Pelajari dengan kritis kurikulumnya. Cek kredibilitas dan portofolio sumber pembelajaran kamu.
Fokus. Selama belajar, mungkin kamu akan nemu hal-hal menarik lainnya. Kalau kamu masukin tanpa meregulasi diri, itu bisa jadi rabit hole yang membawa kamu semakin dalam, tapi semakin jauh dari jalan utama. Jadi sadari dan batasi sampai sedalam apa kamu mau mengikuti rabit hole itu.
Ikutin best practices. Cari gimana orang-orang di industri melakukan sesuatu dan ikutin aja dulu. Nanti ada masanya kamu bisa bikin cara kamu sendiri yang menurut kamu lebih baik, tapi itu bukan sekarang.
Sekian dan terima kasih.
Sumber gambar.
82 notes · View notes
sandimolata · 5 days ago
Text
Yang Lelah, Tapi Tidak Kalah
Tak ada yang benar-benar tahu seberapa berat langkahmu hari ini. Seberapa sering kau ingin berhenti, seberapa sering kau menatap langit dan bertanya, sampai kapan? Tak ada yang tahu berapa kali kau berdiri di tepi jurang keputusasaan, lalu memutuskan untuk tetap bertahan, meski tak ada yang menjanjikan esok akan lebih mudah.
Dunia terus berjalan, seakan-akan kesedihanmu tak pernah ada. Orang-orang berbicara tentang harapan, tapi tak pernah tahu bagaimana rasanya memeluk kehampaan. Mereka berkata, hidup akan membaik, padahal mereka tidak pernah ada di dalam gelapmu.
Tapi lihatlah dirimu. Kau masih di sini. Masih bertahan. Masih mencari jalan, meski berkali-kali kau tersesat. Kau mungkin lelah, kau mungkin terluka, tapi itu cukup menjadi bukti bahwa kau masih hidup dan menolak tunduk pada luka-luka itu.
Kadang, menang bisa sebatas tidak menyerah hari ini.
205 notes · View notes
sandimolata · 2 months ago
Text
Du-di-da-di-du
Bu, aku meneguk surga dari dadamu. Aruminya beribu-ribu memuntahkan rindu. Satu, dua, tiga. kuhitung daksamu, ah seluruhnya menderu haru.
Seperti taman bu, di wajahmu kulihat bunga mengakar padu, kelopaknya mekar du-di-da-di-du. Berterbangan kumbang dan kupu-kupu, aku berteduh rayu.
Seperti kemarin, di saku baju yang ibu kena ada jendela, tempat semua lukaku mengheningkan cipta, lalu beranaklah bahagia.
Dan di pipimu bu; ada begitu banyak do'a untukku, tumpah membanjiri mukenahmu, siang malam menegadah, sujud membuat semuanya reda.
Bu, dihatimulah segalaku bermuara, aku mampu berkaca; ada rasa yang dapat mengalahkan duka, ampuh meredam lara.
Ah bu, diseluruhmu adalah cinta yang tak pernah mampu ku-eja, penuh se-semesta, menggema, berbaur raga, hingga membuat mulutku gagap bersuara.
-Vivi Aramie-
Indonesia, April 2020 (puisi ini diikutkan dalam lomba puisi inspirasi pena bulan april lalu)
69 notes · View notes
sandimolata · 2 months ago
Text
Sabar itu, ibarat sebuah payung. Dimana payung ngga bisa menghentikan hujan, tapi dengan payung Kamu bisa melewati hujan.
Begitupun dengan sabar ngga bisa menghentikan ujian, tapi dengan sabar kamu akan mampu melewati ujian.
Tumblr media
149 notes · View notes
sandimolata · 2 months ago
Text
Tumblr media
Ornithomancy
part 1 of sheriff!john price x widowed!reader (fem)
🔗 masterlist
ornithomancy – the practice of interpreting the actions of birds to predict the future
────────────────────────────────────
There is a bird carcass by the well.
It is fresh, dewed with the evening’s breath, a mosaic of snapped bones and feathered ruin, the head twisted backwards as though it had tried to watch itself die. Its beak gapes, a tiny thing, glossy as obsidian, open in a silent note that will never finish.
You kneel.
The hem of your dress dampens in the dust, dark and silt-heavy, the scent of clay thick in the cold air. Two fingers press against the fragile chest, and you feel it—hollow, brittle. A thing no heavier than a secret. The ants are already at it, threading into the sockets, dismantling it piece by piece with an artisan’s patience. They know.
Everything here is meant to be devoured.
The chickens are restless. Claws scratch against the dirt, rhythmic, a slow percussion to a hymn only they understand. Their eyes, dark pinpricks of ink, stare from behind the slats of the coop, unblinking. Their small heads twitch, angular, wary. They know, too.
You lift the bird, curling it into the nest of your palms.
It weighs less than the ring you pawned last summer, the one that left a ghost of gold around your knuckle, the one that kept slipping loose from your fingers. You had never been thin enough for it. Or maybe you were never meant to wear it.
It had belonged to him, after all. Him.
The house behind you is an echo. A hollowed-out gourd, carved into something that only mimics a home, its walls flaking like old scabs under the weight of wind and time. The wood swells and shrinks with the seasons, like the lungs of something dying slow. The house breathes. Creaks. Expands under the strain of emptiness. No man inside. No voice to fill it.
Just you.
Just the birds.
You scatter seed as the dawn bruises the sky a bitter purple. The chickens rush forward, a tide of hunger on spindle-legs, wings flaring as beaks dart, sharp and eager. A robin lands nearby, its chest a furious red wound, its small feet flexing in the loose dirt. It watches you, wary, its head canting to the side in that erratic, clipped way—tiny heart hammering, all instinct, all hunger.
You can still hear his voice in the grain of the wood. The walls have been pickled in it, his laughter soaked into the floors, his anger pressed into the beams. You hear it when you scrape a knife across the cutting board, when the wind slithers through the cracks in the windowpane. You hear it in the rustle of his old coat hanging by the door, in the scuff marks his boots left against the threshold.
Two years.
Two years, and he is still here, in the most subtle of ways. In the rot of the wood. In the rust of the nails. In the hinge that groans when you push the door open, in the bite of the cold against your empty hand.
You had loved him once.
Had pressed your ear to his chest and listened to the slow, steady thrum of his heart, convinced it was a thing strong enough to last forever.
But you know better now.
Forever is nothing but bones in the dirt.
The well groans when you haul the bucket up, the old rope peeling in your hands, fiber by fiber, until it’s no longer rope but the suggestion of it—faint, unraveling, on the verge of forgetting itself. The water sloshes, heavy, thick with the scent of iron and stone. You dip the dead bird into it. Hold it under until the dust floats away, until the feathers slick back, revealing the small, pale frame beneath.
A burial, of sorts. Not one he would have bothered with.
Your husband never cared much for birds.
They were things to be shot from the sky, to be plucked and gutted, to be eaten and discarded, their hollow bones tossed into the fire, curling in the heat until they crumbled to nothing.
He had been like that. Always eating, always consuming, his hunger a cavernous thing that nothing could quite fill. Money, drink, the warmth of your body beside him in the night—none of it had ever been enough. A famine in the shape of a man, gnawing on whatever he could steal. Whatever he could gamble.
You wonder, sometimes, if the earth felt the same when it swallowed him.
The sun is rising now. The world stirs, stretching its limbs. The chickens are quiet, their bellies full. The robin is gone. Only the sky remains, an open maw of crystalline blue, swallowing the last of the night. The wind moves through the brittle grass, a slow sigh, the whisper of something distant, something inevitable.
You let the bird sink.
And the water closes over it, black and endless.
───────────────────
The house is hungry.
You feel it in the walls, in the way they exhale cold breath into your palms when you press against them. The wind seeps in, shivering between the splintered beams, licking at your ankles where the floorboards gape open like missing teeth on fleshy gums. It groans, soft and tired, settling in the night’s embrace. A carcass picked clean, nothing left but frame and sinew, waiting to be swallowed by time.
You don’t light a lamp.
The dark is kinder, in its way. It doesn’t show the dust creeping like moss across the furniture, doesn’t carve out the jagged edges of a home long since abandoned by warmth. Shadows soften the ruin, allow you to pretend—for just a moment—that nothing has changed. That he might still walk through the door, shaking off the cold, muttering about the damn horses again.
But ghosts don’t open doors.
And if he’s haunting anything, it isn’t this house. Men like him don’t linger. They rot.
The chair by the hearth still holds his imprint, worn smooth by the weight of him. You don’t sit in it. Can’t. It feels like trespassing. Like pressing your hand into wet cement and realizing it’ll never wash off.
Instead, you stand by the table, fingers brushing the lip of an empty cup.
He used to leave coffee rings on the wood, dark crescents where the heat bled into the grain, branding the surface. You hated it. Would scrub at them with vinegar, with salt, with the raw scrape of your nails—anything to make them disappear. But the stains remain.
Some things never wash out.
You remember the last time he sat there. Back curved, arms braced against the table, head in his hands. A man crumpled, worn at the edges, a candle burning too hot at the wick.
“I just need time,” he’d said.
You had watched him, waiting for something—anything—that would make you believe him.
“Just a little more time.”
He was always borrowing time. Hoarding it. Spending it in rooms where men made gods of luck, pressing his fingers into the green felt of a poker table like it might forgive him for the sins he carried under his nails.
You should have known, then, that he was speaking of time the same way a dying man speaks of air. Not as something he had, but something he was running out of.
And when it ran out—
You breathe.
The stove is cold. You haven’t cooked in days. The hens have gone to roost, their soft murmurs drifting through the cracks in the coop. Outside, something moves through the grass, a slow rustle, a whisper of life in the stillness.
A fox, maybe. Or something else. You don’t look.
Instead, you reach for the kettle, pour water into the metal basin by the window. The pump’s been temperamental lately, giving nothing but a cough of rust some mornings. You’ll need to fix it. One more thing to do. One more thing to mend.
You scrub your hands, nails digging into the beds of your fingers, scraping away the dirt, the cold, the ache. It doesn’t help. Doesn’t unmake the quiet that’s settled into your bones, curled against your ribs like a waiting thing.
A woman alone is a carcass waiting to be stripped clean. You dry your hands on the apron hanging from the peg.
Outside, the wind shifts. A change in the air. The night pressing in.
And the house—
The house is still empty.
74 notes · View notes
sandimolata · 2 months ago
Text
Merasa Berjasa
Setelah melewati sebuah peristiwa yang sangat memberikan pembelajaran besar, ada satu hal yang menurutku terasa sangat besar pelajaran dan pemahamannya. Meski dulu pernah kupikirkan, tapi sekarang rasanya lebih terinternalisasi dengan baik.
Seiring berjalannya waktu, kita mungkin terlibat dalam hidup orang lain. Dan melalui keterlibatan kita, orang tersebut bertumbuh, berkembang, menjadi lebih baik, menjadi lebih makmur, dan hal-hal baik yang menyertai orang ini. Nah, apakah ada muncul di hatimu perasaan merasa berjasa? Merasa karena kamu-lah, orang tersebut bisa semakin baik hidupnya? Nah, perasaan inilah yang sekarang kuwaspadai. Sebab menyadari bahwa diri ini hanyalah perantara. Menjadi perantara sendiri adalah sebuah anugrah yang luar biasa, karena kita turut mendapatkan kebaikan dari apa yang kita kerjakan terhadap orang lain sebagai amalan baik.
Akan tetapi, segala hal yang berhasil seseorang capai dalam hidupnya itu semua adalah karunia Allah. Bukan karena kita. Bahkan, mudah juga bagi-Nya untuk mengganti "cara dan jalan" agar orang tersebut tetap mencapai rezekinya tanpa melalui kita. Untuk itu, diikut sertakannya diri kita dalam proses hidup orang lain adalah anugrah tersendiri bagi kita yang patut kita syukuri. Karena ada amal baik yang kita kerjakan di sana.
Untuk itu, saat kita menjadi pengusaha dan menggaji karyawan hingga puluhan juta per bulan. Sejatinya kita sedang menjadi perantara rezeki orang lain. Maknai hal itu sehingga kita lebih bersyukur serta amanah dalam memerantarai rezeki tersebut, tidak mencuranginya. Saat kita sedang menjadi pengajar dan menyalurkan ilmu pengetahuan kepada seseorang. Sejatinya kita sedang menjadi perantara ilmu-ilmuNya. Jika seseorang bisa menjadi sangat pandai karena kita ajar, itu juga karena karunia Allah. Keterlibatan kita di sana sudah menjadi amalan bagi kita, ilmu yang nanti orang lain gunakan untuk kebaikan, juga akan jadi pahala bagi kita. Itu sudah merupakan karunia yang amat besar.
Banyak hal lainnya yang nanti kita akan terlibat dalam hidup orang lain. Bahkan mungkin, di masa-masa sebelumnya, orang lain pun terlibat dalam hidup kita. Orang-orang yang menjadi perantara rezeki-Nya, kebaikan-Nya, takdir-Nya yang akhirnya membentuk dan menjadikan kita seperti hari ini. Mereka layak untuk mendapatkan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya dari kita dan jika ada rezeki, maka berpikirlah lagi bahwa jangan-jangan kita juga bisa menjadi wasilah rezeki dan hal-hal lain bagi mereka saat ini.
Dulu kapasitas kita adalah menjadi perantara bagi mereka untuk mereka bisa berbuat baik. Kini, kapasitas kita mungkin juga sudah bisa menjadi perantara yang lebih besar lagi. Kita membalas kebaikan mereka, selain dengan mendoakan, juga menjadi perantara rezeki-Nya, pertolongan-Nya, dan hal-hal lainnya. Atas karunia-Nya jugalah, kita yang dulu diperantarai, bisa menjadi perantara. (c)kurniawangunadi
80 notes · View notes
sandimolata · 2 months ago
Text
"Dek, hidup itu adalah proses perjalanan panjang untuk menemukan niat yang hakiki. Bersabarlah. Pada ketidaksempurnaan saat ini, kelak akan kamu temukan kebenaran yang semestinya."
Begitu kiranya nasihat yang saya titipkan pada salah satu adik binaan saya yang datang dengan keluh kesahnya perihal rasa hampa pada amal-amalnya.
Hidup itu adalah proses perjalanan panjang untuk menemukan niat yang hakiki.
Budaya diri itu tidak tercipta seketika. Ada proses panjang yang harus dilalui. Ibarat pahatan yang berkelas, ia terbentuk dari ide, niat yang tulus, kemauan yang hebat, konsistensi dan persistensi untuk meramu hasil terbaik. Yang harus kita tahu, bahwa untuk meraihnya itu semua butuh waktu.
Maka dari itu, untuk memulai langkah yang hebat tidak apa jika kita belum mampu sepenuhnya menyerahkan hanya kepada Allah. Mungkin tadinya karena dipaksa, merasa tidak enak pada lingkungan orang-orang taat mau nggak mau ikut-ikutan, dan lain sebagainya.
Yang terpenting dari itu adalah kita sadar bahwa amalan yang kita upayakan itu, yang masih tertatih kita upayakan itu, memang belum sempurna, tetapi kita punya keinginan untuk terus memperbaikinya. Mulai dari awalnya, lalu pada pertengahannya dan menjaga konsistensi niat kita kepada Allah hingga penghujungnya.
Kemauan untuk terus megoreksi diri itu adalah hal yang mahal. Ia tidak akan hadir jika Allah tidak memberikan hidayah dan taufiq-Nya, maka dari itu sikap terbaik dalam menyambut kebaikan Allah itu adalah dengan menjaga dan mengupayakannya dengan maksimal.
Sehingga nanti dipenghujung pada pencarian itu akan kita sadari bahwa hanya dan untuk Allah-lah amalan-amalan ini mestinya tertuju, bukan untuk apa dan sesiapa selain-Nya. Semoga Allah memberikan kita semua kekuatan dan kemauan untuk terus belajar, menjadi hamba terbaik dalam menjemput ridho-Nya.
Aamiin yaa Rabbal 'alamin.
128 notes · View notes
sandimolata · 3 months ago
Text
Hidup semakin jauh lebih tenang, saat kita perlahan menerima bahwa tak semua orang harus sama dan sejalan dengan kita. Baik terhadap pemikiran, kebiasaan, dan juga nilai hidup yang dipegang. Karena setiap orang terbentuk dengan jalan dan caranya masing-masing.
Mari meluaskan penerimaan.
@milaalkhansah
295 notes · View notes
sandimolata · 4 months ago
Text
Until it's done,
tell none.
0 notes
sandimolata · 4 months ago
Text
Bagian dari ujian
Tumblr media
"Nak, ummi ingin berpesan"
Suatu saat apabila engkau dapati beberapa hal yang rasanya tidak membuatmu nyaman di hati, atau barangkali membuat mu terluka dan menitikkan air mata,
Tenangkanlah hatimu, ikhlaskan hal itu, jangan terlalu lama disimpan dalam hati,
Ingatlah, seseorang yang memebuatmu menitikkan air mata karena rasa kesal dalam hati itu, hanyalah seorang manusia.
Ingatlah, bahwa kita diuji oleh sesama manusia, pun kita juga sama, kita adalah bagian ujian bagi orang lain
Ingatlah, untuk selalu membeningkan hatimu, memurnikan adab dan akhlakmu, melepaskan segala penat itu dengan tarikan nafas dan kesadaran, bahwa ketenangan itu ada dalam hati, dan kitalah yang menciptakannya,
Maafkanlah, maklumilah, bersabarlah walaupun berat, karena bisa jadi, suatu saat kita yang menjadi ujian untuk nya.
Sungguh indah bukan, Nak?
#pesanmasadepan_fiqh sosial
247 notes · View notes
sandimolata · 4 months ago
Text
Kita tidak bisa menghindari yang namanya ujian, tetapi kita bisa memilih bagaimana cara mengatasinya, menemukan makna di dalamnya, dan melangkah maju dengan tujuan baru. Dorongan utama kita dalam hidup bukanlah kesenangan, tetapi penemuan dan pencarian dari apa yang secara pribadi kita temukan bermakna.
138 notes · View notes
sandimolata · 5 months ago
Text
jarak itu kian terbentang. mungkin sudah saatnya aku menerima kekuatan digdaya yang telah menulis takdir, sesuatu ketetapan yang tak bisa kutentang.
@hardkryptoniteheart || 19/11/2024 || 14:27 ||
12 notes · View notes
sandimolata · 5 months ago
Text
Jalan yang Jauh
Bertahun lalu, aku memiliki sebuah visi yang kubingkai dalam pigura dan kupajang di kamar. Kupandangi setiap harinya saat aku masih tinggal di sana.
Kemudian aku merantau. Aku meniti jalan yang bermacam-macam, tapi hatiku tidak bisa mengingkari bahwa aku punya mimpi yang ingin kuhidupkan. Tapi aku menyadari, bahwa realitanya aku butuh untuk memutar jalan.
Aku tahu persis, pasangan seperti apa yang kubutuhkan agar aku bisa mewujudkan mimpi itu. Cinta saja tidak cukup untuk membuatku mengiyakan rasa. Aku tahu, tidak semua orang bisa menerima mimpi itu, tidak semua orang bisa hidup di sana. Aku pun menyadari bahwa aku tak bisa hidup di mimpi orang lain.
Aku bertemu orangnya, istriku sekarang. Yang selalu percaya dengan segala anganku yang aku sendiri sering menyangsikan. Aku takut sekali untuk mewujudkannya, tapi ia memberanikanku. Mengatakan padaku bahwa ia tidak apa-apa. Biar aku jadi punya banyak nasihat untuk anak-anakku nanti. Aku harus menguji banyak hal dalam hidupnya.
Jalan yang jauh ini bukan jalan yang penuh dengan gemericik emas, bukan jalan yang riuh tepuk tangan. Memulai lagi sesuatu yang aku tidak familiar, aku tidak tahu bagaimana rintangan di depan. Aku hanya percaya bahwa ini panggilan hati.
Jalan yang sangat jauh ini benar-benar memerlukan banyak hal, dari semua hal yang kuperlukan. Aku tahu, aku telah memiliki satu syarat terbaiknya, pasangan yang tepat.
(c)kurniawangunadi
196 notes · View notes
sandimolata · 5 months ago
Text
Kita sering lupa bahwa setiap perjalanan itu ada ujungnya, ada titik berhentinya, ada waktu di mana kita telah sampai dan selesai dengan waktunya.
Kalaupun ada kesempatan berikutnya, suasananya pasti berbeda, pengalamannya tidak akan pernah sama.
Maka nikmatilah dengan penuh syukur untuk apa dan dengan siapa berjuangmu sekarang. Selagi belum sampai, selagi masih di perjalanan.
Karena ketika telah sampai, maka semua tugasmu juga ikut selesai.
—ibnufir
237 notes · View notes
sandimolata · 5 months ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
INSTAGRAM | YOUTUBE
1K notes · View notes
sandimolata · 7 months ago
Text
Inget ini;
Kalau kamu bantu orang sekali, orang tsb akan berterima kasih.
Kalau kamu bantu orang ke-2 kali, orang tsb akan mulai mengantisipasi kamu.
Kalau kamu bantu orang ke-3 kali, orang tsb akan mulai berfikir kamu pasti akan bantu.
Kalau kamu bantu orang ke-4 kali, orang tsb akan merasa berhak atas bantuan kamu.
Kalau kamu bantu orang ke-5 kali, orang tsb akan menganggap bahwa sudah kewajiban kamu untuk membantunya.
Dan saat kamu berhenti untuk membantunya lagi setelah itu, orang tsb akan membencimu & mengingatnya sepanjang hidup.
Gak percaya? Coba aja..
269 notes · View notes
sandimolata · 7 months ago
Text
Kamu telah berupaya keras untuk mengenal dirimu sendiri selama ini meski ujung dari pencarianmu masih belum ada tanda-tandanya. Apa yang telah kamu alami bisa jadi memberikanmu petunjuk atau justru malah membuatmu semakin kebingungan menerjemahkannya.
Kamu telah atau mungkin sedang melewati masa-masa banyak sekali hal yang dipikirkan setiap kali sendirian. Setiap kali pintu kamar ditutup, kegelisahan itu datang seperti hujan. Menyelinap ke pembuluh darahmu, seolah-olah semua hal yang kamu takutkan itu akan menjadi kenyataan. Meski kenyataannya, itu bahkan belum terjadi sama sekali.
Barangkali kamu bersedia untuk sejenak melihat lagi apa yang telah dilewati. Apakah kamu pernah menyakiti orang lain? Apakah kamu pernah mengatakan sesuatu yang tidak sebenarnya tentang orang lain? Apakah selama ini kamu tak pernah merasa bahwa kamu adalah pihak yang sebenarnya bersalah? Apakah kamu tidak mau minta maaf untuk kesalahanmu? Sebab barangkali memang ada kesalahan yang pernah kita lakukan. Dan kita tidak sadar atau tidak mengakui kesalahan. Dan hal itu yang membuat kita terus berjalan di jalan yang tidak seharusnya.
Entah kesalahan kepada sesama manusia.
Entah kesalahan dalam mengambil keputusan.
Entah kesalahan dalam memetakan konsekuensi.
Entah kesalahan-kesalahan lainnya yang saking keras kepalanya diri atau merasa benar, kamu gagal mengambil pelajaran pentingnya sehingga harus mengulang-ulang kondisi yang sama bertahun-tahun. Untuk satu tujuan, mengubah dirimu : cara berpikirmu - cara bertuturmu - caramu mengambil keputusan - caramu menghadapi kehidupan.
(c)kurniawangunadi
327 notes · View notes