I write because I don't know what I think until I read what I say
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Adil
Bismillah,, Orang tua bukanlah manusia yang sempurna, tetapi seyogyanya mengupayakan seoptimal mungkin untuk tidak terjerumus pada posisi dimana anak harus menegur kita, karena itu merupakan hal yang sangat sulit bagi mereka.
Seperti semalam saat aku melemparkan bantal ke muka abinya, kemudian ia menepuk pundakku dengan keras dari belakang penuh dengan sensasi protes dan teguran.
Saat ku berbalik dan melihat wajahnya, terpampang jelas dilema dan konflik batin yang berat disana. Lisannya belum mampu berbicara tapi itu tertulis diwajahnya; "aku sayang umi tapi apa yang umi lakukan salah, walaupun umi adalah sosok yang lemah yang harusnya selalu aku lindungi (karena selalu playing victim kalo becandaan sama abinya) tapi keadilan tetap harus ditegakkan."
Melihat semua emosi yang semrawut diwajahanya, aku langsung berkata "maafin umi ya sayang, adabnya umi ga bagus ya."
Kemudian kerutan kening, mata yang menyipit, dan bibir yang mengkerut itupun berubah menjadi senyuman lega, ia tahu bahwa ia tidak menyakiti uminya dan keadilan telah ditegakan.
Ia, yang dari bayi tidak pernah diam melihat kedzaliman sekecil apapun, dan selalu berupaya menegakan keadilan tanpa pandang bulu, semoga engkau tetap begitu, semoga Allah kokohkan hatimu, Allah sempurnakan pribadimu, dan Allah indahkan akhlaqmu sebagaimana Ia bersihkan hatimu dan jernihkan pikiranmu.
Uhibbukafillah anakku sayang.
Semoga Allah mampukan umi dan abi jadi teladan yang baik bagimu. Semoga rahmat dan berkat Allah selalu menyertaimu.
GGB, Hammad 3 y.o
0 notes
Text
Bismillah,,
Dua tahun yang lalu, saat usianya masih tiga tahun, ia menegurku, ketika menurutnya aku sedang menzhalimi abinya. Ketika itu ia belum fasih berbicara. Ia hanya menegur dengan raut muka yang ga karuan antara sayang dan kecewa dan kebingungan. Kini, saat usianya sudah 5 tahun. Alhamdulillah kemampuan komunikasinya sudah jauh lebih berkembang, ia kembali mendamaikan kami dengan cara yang jauh lebih bijaksana lebih dewasa. Malam itu seperti biasa, abinya being menyebalkan, jadi ku cubitin lah kan, kemudian abinya, minta tolong biar umi ga nyubitin lagi. Lalu sang anak sholih berkata dengan lembut namun penuh ketegasan, sambil memegangi kedua tangan umi, "udah ya mi, ga usah cubit lagi ya", sambil tersenyum penuh kasih sayang. Tidak ada nada marah, ataupun menggurui. Tetap santun dan menjaga izzah umi abinya.
Maa syaa Allah, tabarakallah..
Sungguh, هذا من فضل ربّي
Meskipun bicaranya masih belum se fasih anak-anak seusianya, tapi aku tak pernah putus asa dan menurunkan standar do'aku. Yang kuminta tetaplah, agar Allah fasihkan ia dalam menyampaikan kebenaran, agar Allah santunkan ia dalam bicaranya, Allah hiasi dirinya dengan akhlaq yang mulia.
Barakallahu fiik abang Hammad sholih,, uhibbukafillah ❤️.
GGB, Hammad 5 y.o.
0 notes
Text
Benih
Bismillah,,
Abang Hammad senang banget nonton kartun yang temanya rescue dan management risiko. Qadarullah baru saja terjadi tragedi gunung meletus di kampung atuknya. Ketika bercerita, umi menyelipkan penggalan dialog salah satu kartun favoritnya tersebut, umi bilang "Kalo gunung meletus harus pakai masker dan jaket untuk tutupi tubuh ya bang”, lalu beliau menimpali "tapi harus do'a dulu sama Allah umi, baru pakai masker dan jaket". Padahal cuma selewat doang uminya komen ketika beliau lagi nonton "harusnya mereka istighfar dan minta perlindungan dulu sama Allah, baru menyelamatkan diri". Ternyata yang selewat itu telah Allah hujamkan ke hatinya. Ya Allah, bahagia mana lagi yg kami nanti, selain dari menyaksikan keimanan itu perlahan2 mulai tumbuh di jiwanya. Kokoh kan lah ya Rabb, teguhkanlah ia sampai Engkau ridho kepada kami, dan kami pun ridho kepada Mu.
GGB, Tangsel, 05122023
Hammad, 5 y.o.
1 note
·
View note
Text
Jika Allah mencintaimu maka bla bla bla.... Jika Allah mencintaimu? Allah memang mencintaimu, kamu nya saja yang selalu pergi menjauh.
0 notes
Text
Dear Love
Sebahagia-bahagianya aku ketika mendengar hafalanmu lancar bagaikan air yang mengalir, akan lebih bahagia aku ketika mendapatimu menangis sesenggukan membaca kalamullah sebagaimana yang biasa dilakukan oleh abimu, sayangku,, Semoga Allah tumbuh suburkan keimanan di dadamu, dan Allah jadikan engkau diantara keluarga dan orang khusus Nya di bumi, ahlul qur'an, ahluLLah wa khashshatuHu, aamiin
1 note
·
View note
Text
insyaa Allh nanti kalo Muhammad punya wa sendiri, ditambahin gambar anak singa 😬🦁
0 notes
Text
Dear Love
Bismillah,,
"Ga pernah lihat Muhammad nangis", berkata ustadzah Yusi dua hari yang lalu. Beliau adalah orang yang entah kesekian berapa kali yang melontarkan pernyataan tersebut.
Ya, dirimu memang setegar itu sholih, bahkan semenjak engkau bayi. Bahkan ustadzah Mayang pun berkata, ketika umurmu masih belum genap dua tahun, " Nangis aja kali dek kalau kamu sedih, kamu kan masih bayi, ga tega ustadzah ngeliat kamu sok tegar begini".
Tapi kemarin, engkau menangis histeris. Bukan karena terjatuh atau bersedih. Tapi karena cemas melihat anak kucing yang engkau kira akan terdzolimi oleh kawanmu yang masih balita itu.
Sungguh, engkau sanggup menahan tangis untuk dirimu sendiri, tetapi begitu histeris melihat kedzoliman yang engkau pikir mungkin akan terjadi.
Begitu mulianya hatimu, sayang. Umi dan Abi sangat bersyukur, Allah telah menganugerahkan hamba-Nya yang begitu penyayang dan lembut hatinya ini untuk kami didik dan kami sayangi sepenuh hati dan jiwa kami.
Semoga Allah ﷻ senantiasa membimbing dan memampukan Umi dan Abi untuk mendidik, mengasuh, dan membesarkanmu di atas keimanan yang benar dan menghiasimu dengan akhlak yang mulia.
GGB, Tangsel, 17062022
1 note
·
View note
Text
Setoran sama Allah
Bismillah,,
Salah satu caraku buat ngunci hafalan adalah dengan setoran sama Allah. Pokoknya kalo abis dihafalin musti dibaca dalam shalat dulu sebelum ziyadah lagi ke hafalan berikutnya. Yang paling nyantai waktunya ya pas tahajjud, atau bisa juga setelah itu dimuroja'ah per shalat fardhu beberapa ayat. Insyaallah dengan begitu hafalannya jadi lebih nancep. Demikian se-fruit tips dari aku yang masih jauuuuh banget dari kata hamilul qur'an ini, semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam bish shawab Aqulu qauli hadza, wastaghfirullahu li walakum walhamdulillahi Rabbil'alamiin
1 note
·
View note
Text
Buku Bayi
Bismillah. Selain Al-qur’an dan hadist, ada beberapa hal yang kujadikan standar dalam menakar nilai dari sesuatu; diantaranya adalah orang miskin bisa afford ga? Ketika anakku masih bayi, banyak banget sih aku liat iklan buku-buku bayi berseliweran di medsos. Kesan pertama kali ketika itu adalah, “wah, bagus nih, beli ah”. Tapi trus liat harganya, “subhanallah, kok pada mahal-mahal banget ya?”. Lalu kemudian aku memutuskan untuk tidak membelinya dulu. Aku berpikir, apakah harus? Apa sudah waktunya sekarang? Nanti aja kali ya, klo udah gede-an, udah bisa diajak membaca. Tapi katanya justru bacain buku dari bayi bagus banget untuk membantu perkembangan bahasa bayi. Tapi kan
harganya mahal-mahal banget, masa iya ada yang cuma tiga buku harganya sampai setengah juta rupiah. Alasannya sih karena bahannya khusus buat bayi, ga mudah rusak dan ga bahaya juga buat bayi, makanya mahal. Trus kalau gitu yang mampu beli cuma orang kaya aja dong, jadi yang bisa bagus perkembangan bahasanya cuma anaknya orang-orang kaya aja dong? Disitu akhirnya aku memutuskan untuk ga beliin buku dulu untuk bayiku. Karena khawatir dengan pertanggung jawabannya kelak, apakah ini memang kebutuhan yang harus dipenuhi atau cuma nafsu orang tua saja. Karena di lingkungan kami, masih ada saudara yang hidup dengan uang 20.000 rupiah untuk sepekan, lalu kami membelanjakan uang berjuta-juta hanya demi buku-buku bayi atau mainan “edukatif” yang itu nantinya cuma bakal dirobek atau dirusakin. Rasanya itu ga bener. Jadi uangnya kami sedekahkan saja dan berharap Allah ridho dan minta biar Allah saja yang memandaikan anak kami. Kemudian untuk melatih perkembangan bahasa anak kami, aku hanya menggunakan metode; sering diajak ngobrol dan memperkenalkan kata-kata dari benda-benda dan kegiatan sehari-hari yang ada disekitarnya yang bisa ia indra. Jadi seperti dinosaurus atau planet saturnus itu ga aku ajarkan, lagian apa juga manfaatnya buat dia tahu itu kan?
Nah, setelah anakku berusia dua tahunan, aku baru baca buku tentang “membacakan nyaring” (read aloud) untuk anak bahkan sejak dalam kandungan. Di buku tersebut dipaparkan tentang penelitian, manfaat, dan metode yang bisa diterapkan untuk ‘membacakan nyaring’ pada anak yang sangat baik untuk melatih perkembangan bahasa anak dan mengajari anak mencintai buku dan mencintai aktivitas membaca (bukan melatih anak membaca sejak dini). Dan kuperhatikan juga perbandingan antara anakku dan anak teman-temanku yang seumuran yang tidak dibacakan buku dari lahir dengan anak teman-teman yang dibacakan buku dari lahir. Memang sangat terlihat perbedaan perkembangan bahasanya. Aku ga tau kesimpulanku valid atau tidak karena jumlah sampel yang juga terbatas. Tapi ini sempat menyebabkan ku merasa sangat bersalah kenapa dulu tidak membelikannya buku dari sejak bayi. Kemudian teringat pula tentang perintah pertama yang Allah berikan pada Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam, yaitu; iqra’. Kemudian materi kuliah AKU, tentang bahasa, dimana kunci kecerdasan anak-anak yahudi itu yang mempunyai begitu banyak kosa kata sejak dini. Ini membuatku semakin terpuruk.
Tapi aku berpikir lagi, bagaimana memang dahulu para sahabat menstimulasi perkembangan bahasa anak-anak mereka? Apakah mereka juga membacakan buku pada anak-anak mereka yang baru lahir? Karena yang kupahami, anak-anak apalagi bayi itu adalah makhluk yang paling dekat dengan fitrah, sebenarnya walaupun kita biarkan saja mereka dan tidak kita halang-halangi, atas izin Allah nantinya mereka akan bisa tengkurap sendiri, duduk sendiri, merangkak sendiri, dan juga berjalan sendiri. Begitupun dengan bicaranya; harusnya dengan cukup dengan segala stimulus natural yang ada disekitarnya, tanpa harus meng-adakan material yang sulit dan mahal, seperti diajak bicara setiap hari dan menggunakan benda-benda di sekitar yang bisa diindra oleh bayi saja insyaallah cukup untuk melatih perkembangan mereka.
Tapi setelah membaca buku tentang ‘membacakan nyaring’ dan melihat perbandingan perkembangan anakku tadi, aku jadi berkesimpulan bahwa menggunakan buku-buku bayi sebagai media untuk melatih perkembangan bahasa juga cukup baik, meskipun bukan sesuatu yang mutlak, dibandingkan memberikan gadget atau menonton televisi. Buku juga bisa menjadi media yang baik untuk berkisah dan menanamkan nilai-nilai keimanan pada anak. Tapi memang kendalanya adalah ongkos yang cukup mahal untuk bisa menghadirkan buku yang berkualitas dan ramah anak. Dan juga anak cepat bosan, sehingga tidak cukup hanya punya satu atau dua buku saja. Akan lebih baik apabila negara menyediakan fasilitas umum untuk warganya membaca dan meminjam buku bukan hanya untuk orang dewasa tapi juga anak-anak, yang mudah diakses oleh siapapun dimanapun sehingga yang bisa menikmatinya bukan hanya anak-anak orang kaya saja.
Ya, faktor terbesar yang membuatku memutuskan untuk tidak beli buku bayi dahulu adalah masalah “pertanggung jawaban akhiratnya”, apakah ini memang kebutuhan atau termasuk foya-foya. Dan perasaan yang pedih ketika menghabiskan begitu banyak uang untuk membeli barang bayi yang sebetulnya tidak/belum terlalu ia butuhkan sementara saudara-saudara kami yang lain masih banyak yang kelaparan. Tapi apabila negara menyediakan fasilitas ini dengan gratis untuk warganya itu ide yang bagus juga menurutku. Wallahua’lam bish shawab.
3 notes
·
View notes
Text
aku : jangan deket-deket, aku abis masak, bau bawang!!
dia : (hug+sniff) bau istri sholihah
aku : 🥰 Selalu begitu, singkat, padat, on point, ga bertele-tele, ga menye-menye, ga alay, ga lebay. Apapun itu, he always manages to say the right thing. Walau semarah apapun, ga pernah keluar dari batas-batas syari'at. Dan mau segombal apapun tetap ada nilai-nilai keimanan yang terikat. uhibbukafillah 💕
0 notes
Text
Berkorban Bukti Cinta
Bismillah,,
Udah lamaaaa banget aku pengen bikin tulisan tentang “cinta”, tapi sampai sekarang masih belum kesampaian.
Aku merasa masih belum memiliki cukup ilmu untuk menuliskannya.
Aku udah punya bukunya Ibnul Qayyim yang Raudhatul Muhibbin ‘Tamannya orang-orang yang jatuh cinta dan memendam rindu’, tapi belum selesai baca. Aku juga lagi suka cari-cari tulisannya Rumi yang maa syaa Allaah,, sekasmaran itu mereka sama Allah, mengharu biru membacanya. Kemaren juga baru nemu rekomendasi buku ‘Love in the holy Qur’an.’ Kyaaaa,, mau beli semua, mau baca semua,, Sekasmaran itu aku emang. Kasmaran yang ga abis-abis.
Tapi kalo nunggu aku selesain baca itu semua dulu, kapan jadinya tulisanku ini?
Baiklah kita cicil dikit-dikit dulu aja ya.
Tulisan ini masih berkaitan dengan tulisan aku tentang self-love yang sebelumnya.
Di tulisan sebelumnya aku menyebutkan bahwa
segala aktivitas yang menjaga well-being kita itu, Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wassalam menyebutnya dengan ‘hak’. Melalui hadist tersebut kita mengetahui bahwa, tubuh kita juga punya hak, keluarga kita juga punya hak. Dan menunaikan semua hak itu juga merupakan bagian dari syari’at.
Perhatikan disini, betapa sayangnya Allah sama kita, sampai-sampai, tindakan menyayangi diri kita sendiri itu pun sebenarnya adalah perintah dari Allah. Pokoknya semua yang ada dalam syari’at itu udah lengkap deh untuk kebutuhan dan kepentingan kita. Dan pada dasarnya syari’at ini tu semua adalah bukti cinta Allah pada kita. Coba kalo ga ada syari’at, pasti pada bingung kan mau ngapain.
Tapi, Rasulullahu shallalahu ‘alaihi wassalam melaksanakan shalat malam sampai bengkak kaki beliau, para sahabat menyumbangkan semua harta mereka, dan tidak meninggalkan apa-apa kecuali Allah dan Rasul-Nya. Para ulama rela ga tidur-tidur demi mengkaji ilmu dan mengajarkannya.
Ada apa dengan mereka semua ini?
Apakah mereka berlebihan dan melampaui batas?
Apakah Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wassalam melampaui batas ketika kaki beliau bengkak karena lamanya berdiri ketika shalat malam?
Bukan saudara-saudara,, Itu semua mereka lakukan karena cinta.
Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wassalam merelakan hak kakinya, sehingga menjadi bengkak, demi cintanya pada Allah.
Para ulama merelakan haknya demi mengkaji ilmu yang mengantarkan mereka pada cinta kepada Allah.
Dan cinta memang harus dibuktikan dengan pengorbanan.
Ketika kita melakukan aktivitas-aktivitas untuk menjaga well-being kita tetap baik, kita baru sampai pada tahap “menjalankan perintah.”
Tapi ketika mengusahakan untuk melakukan amalan-amalan nafilah, yang dicintai oleh Allah, meskipun tidak ada kewajiban atasnya, maka disanalah nilai cinta kita.
Kita merelakan hak kita demi sesuatu yang lebih Allah cintai. Kita merelakan tidur kita yang berkurang demi bermunajat kepada Allah. Kita merelakan waktu bekerja kita berkurang demi menuntut ilmu yang menguatkan cinta kepada Allah, kita relakan harta kita membantu perjuangan di jalan Allah.
Tapi yang perlu diingat, yang kita korbankan adalah hak kita. Jangan sampai juga mengorbankan hak orang lain yang ada pada kita, karena itu akan membuat kita termasuk golongan orang yang zhalim. Wana’udzubillahi min dzalik.
Sebagai penutup tulisan ini, kita kutip ceramahnya Ustadz Budi di Idul ‘Adha pertama zaman covid, “bahwa puncak dari hari-hari yang mulia itu ternyata adalah pengorbanan”.
Pengorbanan yang justru dianggap sesuatu yang negatif oleh manusia zaman kini. Kenapa harus diputar balikan makna dari semua kata-kata. Berkorban itu memang mengandung makna yang ‘sesuatu yang tidak disukai bahkan menyakitkan’.
Tapi bukankah justru melakukan itu adalah bukti iman. Sebagaimana beratnya pengorbanan nabi Ibarahim ketika diperintah untuk menyembelih putra tercintanya. Apakah ia melakukannya dengan senang dan gembira?
Jadi, terimalah itu, bahwa kita memang tidak menyukainya, bahwa itu memang berat, bahwa tidur dan malas-malasan memang lebih kita sukai. Kemudian beranjak pada, "tapi ridho Allah lebih aku inginkan, jadi biarlah kupaksakan melakukan yang tidak kusukai ini". Dan semakin sulit yang kita rasakan, semakin berat yang kita korbankan, maka semakin besar juga nilainya di sisi Allah. Dan hari-hari dimana kita melakukan sesuatu karena Allah, hari-hari dimana kita berkorban karena Allah, maka itulah hari raya kita. Kita rayakan pengorbanan ini.
Wallahua'lam bish shawab.
Aqulu qauli hadza, wastaghfirullahu li wa lakum.
Walhamdulillahirabbil'alamin.
1 note
·
View note
Text
Self-love vs Self-sacrifice
Bismillah..
Udah hampir setahun sejak tulisan terakhirku tentang self-love.
Sejak itu, sampai sekarang aku masih belum paham betul tentang hal ini.
Tiap hari aku masih bergulat dengan kepingan-kepingan informasi yang masih belum tersusun menjadi gambaran yang utuh di kepalaku.
Sejak saat itu,
banyak sekali yang sudah terjadi. Maa syaa Allah..
Pikiranku benar-benar tak sama lagi.
Aku mulai mengenal pemikiran tasawuf yang kucurigai sebagai salah satu faktor yang menjadikan ‘T’ di MBTI-ku menjadi ‘F’, mengenal INSIST yang meng‘amin’kan semua ke sinisanku tentang segala sesuatu. Diantaranya tentang konsep self-love ini. Meskipun aku masih dalam usaha untuk memahami tentang konsep individualitas yang mendasari paham-paham semacam self-love ini, setidaknya satu hal yang aku mengerti bahwa memang ada sesuatu yang ga beres dengan semua ini.
Mengutip kalimatnya Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi tentang isu child-free yang sedang heboh itu, menurutku begitu juga dengan isu tentang self-love ini; “Kita harus menyadari bersama, bahwa setiap dari perkataan mengandung konsep, dan setiap konsep ia berelasi dan punya basis keilmuan yang melatarbelakangi. Fenomena ini bukan sekadar fenomena yang muncul dari ruang hampa, dan kosong isi. Ia bermula dan punya nilai tersendiri. Maka, sebagai seorang muslim, sudah seharusnya hal ini kita tilik lewat timbangan worldview Islam yang punya basis keilmuannya khasnya sendiri”.
Sependek pemahamanku, dalam Islam tidak dikenal konsep self-love. Konsep ini lahir dari budaya hustle atau hustle culture-nya peradaban kapitalis yang hedonis. “Kerja keras bagai kuda” kata mereka. Demi apa? Ya demi dunia. Demi karir, pencapaian, kesuksesan, ketenaran, dan yang sejenisnya. Hal ini tentu saja salah. Tetapi bagaimana hukumnya kalau kita berlelah-lelah untuk mencari ridhonya Allah?
Baiknya kita simak saja langsung perkataan Rasulullahu shallallahu alaihi wassalam yang bersabda “pahalamu sesuai kadar lelahmu”. Ibnul Jawzi rahimahullahu dalam al Mawa’izh menuliskan, “Wahai jiwa, berlelah-lelahlah engkau sebentar, kelak engkau akan mendapatkan ketenangan di surga firdaus selamanya”. Umar bin khattab radhiyallahu ‘anhu juga menyatakan bahwa “jikalau kita letih karena kebaikan, maka sesungguhnya keletihan itu akan hilang dan kebaikan akan kekal. Namun jikalau kita bersenang-senang dengan dosa, maka sesungguhnya kesenangan itu akan hilang dan dosa itu akan kekal.”
See?
Islam selalu memotivasi kita untuk berlelah-lelah dalam kebaikan selama di dunia ini. Bukankah Allah subhanahu wa ta'ala juga berfirman فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ , apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, maka bersegeralah mengerjakan urusan yang lain. Karena tempat istirahat kita yang sesungguhnya adalah surga. Dunia ini hanya sebentar, hanya sebagai tempat persinggahan. Dunia ini ladang amal dan memang tempatnya kita berlelah-lelah. Kalaupun lelah, ya lelahnya pun juga hanya sesaat dibandingkan waktu dan balasan di akhirat nanti.
Nah, balik lagi ke pembahasan tentang hustle culture-nya peradaban kapitalis tadi, budaya gila kerja membuat mereka sampai lupa pada kesejahteraan diri atau well-being nya sendiri. Bisa sampai lupa makan, mandi, bersosialisasi, bahkan sampai mengakibatkan mati, yang jelas-jelas ini semua pasti ga sesuai dengan Islam.
Kita ingat kisah Abu Darda yang sibuk beribadah, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menasehati bahwa, “sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut”.
So basically, anything that’s so called self-love or me-time, itu sudah merupakan bagian dari syari’at. Dalam seminarnya tentang self-care in Islam, Dr. Rania Awaad memberikan contohnya seperti mandi, sikat gigi, mengkonsumsi makanan yang sehat dan bernutrisi, tidur yang cukup, itu semua ada perintahnya dalam al qur’an dan sunnah. Tapi para ulama tidak pernah menyebut itu semua dengan sebutan me time atau self-love. Kenapa aku ribet banget dengan masalah terminologi ini sih?? Ya karena memang ga sesederhana itu. Pemilihan kata dalam hal apapun dalam Islam, itu ga pernah sederhana. Seperti yang disampaikan oleh Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi tadi, “Kita harus menyadari bersama, bahwa setiap dari perkataan mengandung konsep, dan setiap konsep ia berelasi dan punya basis keilmuan yang melatarbelakangi.”
Dari kata-kata yang terdengar innocent itu, bisa mengakibatkan berbagai implikasi sampai nge-lead orang ke self-worship.
Pahami, ketika kita melakukan usaha-usaha untuk menjaga well-being kita tetap baik, seperti istirahat yang cukup, menjaga kebersihan, mengkonsumsi makanan sehat, berpikiran positif dengan alasan “self-love”, maka itu ga ada nilainya disisi Allah. Tapi kalau kita melakukan itu semua “karena Allah”, maka semua pasti bernilai pahala. Sampai disini paham ya, dimana letak perbedaannya? Objek-yang ingin dipuaskan-nya berbeda. Pada “self-love” objeknya adalah “self”, kepuasan individu yang menjadi tujuan tertinggi (to please oneself). Sementara dalam syari’at semua hal tadi disebut sebagai ibadah, karena Allah yang memerintahkan, dan dengan tujuan meraih ridho-Nya (to please Allah). So you love yourself because Allah said so. Jadi Allah yang menjadi objek dan alasan dari semua itu.
Setipis itu memang celah-celahnya untuk menjerumuskan manusia. Dan kita memang dituntut harus selalu jeli menganalisis apapun itu segala sesuatunya yang berasal bukan dari Islam. Curiga lah. Inilah yang kusebut dengan “sinis pada tempatnya”.
Nah, baru ngomongin ini aja, belum ngomonin tentang self-sacrifice. Kalo dilanjutin bakal jadi panjang banget nanti tulisannya.
Insyaallah kita sambung di tulisan berikutnya aja ya,,
Wallahu a'lam bish shawab. Aqulu qauli hadza, wastaghfirullahu li wa lakum.
Walhamdulillahirabbil’alamin.
0 notes
Quote
Orang yang mudah lelah/capek berarti dia kurang ikhlas, karena kalau seseorang ikhlas, maka ia tidak akan merasakan hal tersebut.
Prof. Huzaemah (allahu yarham)
0 notes
Photo
0 notes
Photo
0 notes
Photo
0 notes