no description no description no description no description no description no description no description, no.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
'ku tidak akrab denga gundah yang seperti ini
Halo, aku.
Kapan terakhir kali aku menulis di sini, ya? It's been a while ya ternyata.
Aku sapa diriku dengan "halo" karena ini kali pertama aku berjumpa dengan diriku yang baru di halaman ini. Dengan kegundahan yang asing, yang baru, dan perasaan yang jauh dari kata familier.
Aku, kini tidak lagi menggundahkan tentang aku, tapi lebih besar dari itu, yang menunas dari makhluk kecil berdama Ody Kariri.
Ah, anak manis itu. Dalam jantungnya yang kecil berdetak ribuan cinta yang aku sendiri pun tak mampu menyimpannya dalam tubuhku. Kasih dalam dirinya terlalu besar, sebesar mata bulatnya ketika melihatku pulang setelah seharian penat bekerja. Sebesar inginnya untuk segera berjalan dengan kaki kecilnya yang kewalahan menopang semua tekad dan kesungguhannya.
Makhluk kecil kesayangan. Tiada yang bisa mengalahkan cintaku untuknya, atau justru cintanya untukku. Sebagaimana tidak hanya sekadarnya rasa gundahku yang muncul untuknya.
Bagaimana jika aku tidak mampu memberikan yang terbaik untuknya? Bagaimana jika aku bukan ibu yang baik baginya? Bagaimana jika ia tidak bahagia bersamaku? Bagaimana, dan bagaimana jika yang menyiksa, yang menghantui malam dan pagiku akhir-akhir ini. Terutama jika aku sedang memeluknya, menghirup aroma tubuhnya.
Oh, Tuhan, aku sangat menyayanginya. Aku tidak mengerti mengapa ada cinta sebesar ini, tapi sungguh, aku hampir-hampir tidak mampu mengendalikannya. Cinta yang lebih besar, jauh, jauh lebih besar daripada cinta apapun yang pernah kurasakan kepada manusia sebelumnya.
Tuhan, ia adalah milik-Mu. Aku tahu Engkau akan menjaganya selalu. Engkau akan menyayanginya selalu, bahkan tanpa aku memintanya.
Tuhan, Tuhan, berikanlah kebahagian padanya, di dunia dan pada dimensi manamu.
Tiada yang mampu kuberikan padanya kecuali hanya doa. Doaku padanya melebihi segala dunia dan jiwa ini bisa berikan.
Tuhan, aku menyayanginya. Aku menyayangi makhluk kecil itu.
Aku menyayangi makhluk asing yang kau titipkan padaku melalui rahimku itu.
Ia adalah bagian daripadaku, sebagaimana aku baginya.
Semoga, ia bahagia. Aku harapkan ia selalu bahagia. Aku doakan bahagianya tiada tara.
Tuhan, aku mencintainya.
(Sfa.)
05 05 2023
di sebuah kedai kopi di sebelah toko buku di Yogyakarta
2 notes
·
View notes
Text
Lalu aku lahir kembali pada 27ku.
pada 27-ku
setiap partikel berkonspirasi
untuk menghadiah
bentuk paling indah
ialah aku dan kerudung putih
ialah pesta kecil di halaman rumah
ialah lelaki yang melepasku
dan lelaki yang merengkuhku
ialah ibu yang mengantarku
dan ibu yang menyambutku
ialah segala yang sederhana
S.
3 notes
·
View notes
Text
Kurasa kekosongan memang penjahatnya. Jika tidak kosong, maka tidak ada kejahatan.
kekosongan itu berengsek
tidak naif
tidak polos dan baik saja seperti yang dikata
penyamun yang datang untuk kepala
dan meninggalkan tubuh porak-poranda
kekosongan itu bajingan
merampas sisa separuh malam
menghempas setengah potong doa
kekosongan itu
tidak pernah isi
S.
#puisitwitter
2 notes
·
View notes
Text
Kangen tubuhmu. Hanya tubuhmu. Karena jiwamu selalu ada dalam dekap.
Mas,
malam ini kemejamu
melingkari tubuhku,
biasanya lenganmu
selimut berlagak jadi bahasa celoteh kita
yang mengantar tawa pada jam-jam separuh mata
sisa aromamu masih ada
meronta minta diseka
Mas,
biasanya asap tubuhmu ada di kursi
tapi sekarang, memenuhi ruangan ini
S.
#puisitwitter
1 note
·
View note
Text
Tulisan dalam kangen pada nyaris tengah Desember.
Mas,
aku kangen kopi hitam buatanmu
yang kau seduhkan sebagai teman
huruf-huruf di papan ketik
kadang kau tambahkan gula,
karena kau hafal dengan lidahku
seringnya aku keluhkan rasa pahit
dan selalu kau tawarkan dengan manis bibirmu
Mas,
aku kangen,
tapi bukan pada kopimu.
S.
10/12/2020
1 note
·
View note
Text
Aku menghabiskan sebagian waktuku di tempat ini. Terkadang aku datang untuk membaca buku, mengerjakan PR, menggambar di buku sketsaku, dan seringkali aku datang hanya untuk tidur siang atau sekedar menyendiri. Aku ke sini hampir setiap hari, sepulang sekolah. Kalau hari libur, aku datang lebih pagi.
Entah mengapa orang-orang selalu mengaitkan tempat ini dengan sesuatu yang berbau mistis, atau spiritual, atau metafisik. Bagiku, kompleks pemakaman memberikan kesan melankolis. Tempat itu seperti terminal, atau stasiun, atau bandara, atau halte bus, mungkin, pokoknya tempat di mana orang-orang mengucapkan selamat tinggal. Bedanya, di tempat ini mereka hanya melepaskan, tetapi tidak pernah ada perjumpaan kembali dan ucapan selamat datang. Hanya ada kata perpisahan, tidak ada peluk dan cium penyambutan.
Aku menyukai tempat ini karena suasananya yang hening dan sepi. Tidak ada orang, tidak ada siapapun. Kompleks ini sangat luas, sehingga aku bisa berpindah ke sudut lain jika ada yang sedang melakukan upacara pemakaman di blok pemakaman tertentu. Bloknya pun dikelompokkan sesuai dengan agama dan kepercayaan. Di sebelah utara adalah kompleks pemakaman untuk orang-orang muslim, di selatan untuk mereka yang beragama Hindu, di sebelah timur adalah kompleks pemakaman Tionghoa, sedangkan di sebelah tenggara untuk mereka yang beragama Buddha, dan kompleks itu yang paling kecil. Di bagian tengah hingga ke barat adalah kompleks pemakaman Kristen dan Katolik, meski aku tidak begitu mengerti perbedaan antara keduanya.
Baiklah, alasanku sebenarnya datang ke tempat ini bukan sekedar karena ketenangannya. Aku tidak memiliki orang tua. Maksudku, tentu saja aku punya, tetapi aku tidak pernah benar-benar mengenal mereka. Sepanjang aku bisa mengingat, tidak ada satu wajah pun yang menempati posisi ayah dan ibu di silsilah keluargaku. Aku tidak mungkin dikirimkan dari surga oleh burung bangau dan diletakkan di depan pintu sembarang rumah yang keetulan adalah panti asuhan, bukan?
Aku tidak hanya mengerjakan PR atau melamun di tempat ini. Terkadang, aku membersihkan makam seseorang, entah siapa, lalu berdoa untuknya dan berpura-pura bahwa ia adalah keluargaku. Misalnya saja kemarin aku mengunjungi sebuah makam anak kecil yang sudah cukup lama. Aku membersihkannya dan berpura-pura bahwa ia adalah adikku yang berusia lima tahun—jika dilihat dari tanggal lahir dan tanggal kematiannya, usianya memang lima tahun. Berbekal bacaan surat-surat pendek yang diajarkan oleh guru mengajiku di panti asuhan, aku berdoa sebisanya. Terkadang aku membacakan doa-doa yang kurangkai sendiri, karena aku tidak tahu doa apa yang harus dibaca ketika berkunjung ke makam.
“Ya Tuhan, semoga Hendra baik-baik saja, dan ampunilah dosa-dosanya selama hidup di dunia. Ia adalah anak yang sangat baik. Ia suka berbagi mainan dan membantu ibunya berjualan di pasar setiap pagi. Ia selalu menyeka air mata ibunya setiap kali wanita itu menangis karena dipukuli suaminya. Tuhan, berilah Hendra mainan yang banyak, dan manisan yang ia suka.”
Sesekali kusisipkan imajinasiku ketika berdoa. Aku tidak mengenal Hendra Ayodya, yang namanya terukir di batu nisan itu, atau orang-orang lain yang dimakamkan di sini. Tetapi aku seringkali membayangkan bagaimana mereka hidup, dan bagaimana mereka mati. Hendra mungkin meninggal dunia karena dipukuli oleh ayahnya yang pemarah. Mungkin juga tidak. Mungkin ia meninggal karena sakit, atau kecelakaan. Entahlah. Aku tidak pernah benar-benar tahu bagaimana orang-orang itu meninggal.
Sesekali aku mengunjungi dan berdoa untuk mereka yang berada di kompleks makam agama lain. Karena aku tidak tahu doa-doa yang diucapkan oleh orang Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Chu, maka aku berdoa dengan membaca surat Al-Fatihah dan surat-surat pendek sebisaku. Aku tidak terlalu mengerti konsep ketuhanan karena aku berhenti ikut mengaji sejak kelas 5 SD, tetapi aku yakin, jika doa dapat menembus ruang dan waktu, maka ia juga dapat menembus perbedaan. Aku percaya bahwa siapapun yang disebut ‘Tuhan’ oleh orang-orang yang beraneka ragam sebenarnya hanya satu, hanya saja kami mengenalnya dengan nama yang berbeda-beda.
Aku tidak selalu menghindari upacara pemakaman. Beberapa kali, ketika ada orang-orang yang sedang mengantarkan kerabat mereka ke liang lahat, aku membaur ke dalam kerumunan itu seolah-olah aku mengenal orang yang berpulang. Terkadang aku berpura-pura ia adalah ayahku, atau ibuku, atau salah satu saudara dekatku. Aku ikut menangis, aku ikut berdoa dan terkadang melihat wajahnya yang putih kaku untuk pertama, sekaligus terakhir kalinya. Aku tidak akan pernah merasakan hal-hal demikian, karena untuk siapa aku akan menangis dan mengunjungi makam? Aku tak punya siapa-siapa. Maka, aku mengunjungi tempat orang-orang mati supaya aku merasa hidup.
Hari ini aku sedang mengerjakan PR di bawah sebuah pohon kamboja. Aku sangat menyukai aroma bunganya, dan kata guru biologiku, akar pohon itu dapat membantu penguraian jasad yang dikuburkan di dalam tanah sekitarnya. Aku terlalu serius mengerjakan soal-soal Fisika sehingga tidak menyadari bahwa ada seseorang sedang berdiri di hadapanku.
“Hei, kamu duduk di atas makam ayahku,” teguran itu yang akhirnya membuatku menyadari kehadirannya,
“Oh, maaf,” kataku mendongak, kemudian berdiri. Aku meminta maaf sekali lagi.
“Iya, tak apa. Kamu sedang apa?” tanya perempuan itu. Ia mengenakan seragam SMA yang sama denganku.
“Mengerjakan PR.”
Aku berjalan menjauh dengan sopan, kemudian mengamati perempuan itu dari balik pepohonan. Ia membersihkan makam ayahnya, kemudian mulai berdoa. Aku terus memperhatikannya, lalu ia mulai menangis. Lagi-lagi imajinasi liarku mengarang cerita tentang ayah dari perempuan itu. Kali ini, aku berperan sebagai anaknya, adik dari perempuan yang sekarang sedang berdoa. Penampilannya tidak jauh berbeda denganku: rambut lurus panjang, postur tubuh serupa, dan seragam yang sama. Mungkin aku akan menjadi saudara kembarnya saja, karena sepertinya kami seumuran.
Sekar—tadi aku sempat membaca label nama di seragamnya—dan aku adalah saudara kembar. Kami hanya tinggal bersama ayah karena ibu sudah pergi dengan laki-laki lain. Ibu kabur ketika usia kami lima tahun, dan sejak saat itu kami hanya tinggal bertiga, dan kami sangat menyayangi ayah. Ayah bekerja sebagai buruh pabrik dan suatu hari ia mengalami kecelakaan…
Belum sempat aku menyelesaikan dan merevisi cerita itu, aku melihat Sekar hendak berdiri dengan agak sempoyongan. Sesaat kemudian ia terjatuh. Aku segera menghampirinya dan membantunya duduk.
“Sebaiknya kamu minum dulu,” kataku sambal menyodorkan sebotol air mineral yang selalu kubawa.
“Terima kasih,” kata Sekar sambal menerima botol itu, kemudian meneguk isinya perlahan.
“Kamu tidak apa-apa?” aku menanyakan pertanyaan yang jawabannya tentu saja tidak.
“Aku baik-baik saja.”
Tentu saja kamu tidak baik-baik saja. Aku hanya dapat mengucapkannya dalam hati.
“Siapa namamu?”
“Arum,” jawabku.
“Arum, kamu mau kan menemaniku sebentar?”
Aku mengangguk.
Ini adalah pertama kalinya aku datang ke pemakaman dengan seseorang. Maksudku, dengan seseorang yang benar-benar berinteraksi denganku. Ia memintaku untuk menemaninya berdoa untuk ayahnya, yang juga adalah hal yang baru bagiku.
“Kamu pasti sangat mencintai ayahmu, ya?” tanyaku ketika kami sudah selesai berdoa dan ia sudah jauh lebih tenang dari sebelumnya.
“Tidak, aku justru membencinya. Sangat.”
Aku menunggu ia melanjutkan ceritanya, tetapi sementara itu hanya ada keheningan.
“Ayah selalu sibuk, bekerja, ke luar kota, bertemu dengan kliennya, dan tidak ada waktu untukku dan ibu. Suatu hari, ibu jatuh sakit, dan hanya ada aku, aku sendiri yang merawatnya.”
Sekar menghentikan ceritanya karena tenggorokannya tercekat. Air mata mulai menggenang lagi di kelopak matanya.
“Aku merawat ibu sampai…,” ia menangis lagi. Aku mengerti apa yang akan ia ucapkan, dan aku memeluknya seolah-olah ia adalah teman lamaku, atau saudari kembarku.
“Aku benci ayah!” katanya sambil terisak.
“Aku yakin kamu tidak membencinya,” kataku.
Beberapa detik berlalu, tidak ada sanggahan dari Sekar, hanya tangisnya yang semakin kencang.
“Kamu tidak membencinya. Jika benar begitu, kamu tidak akan datang kemari, kamu tidak akan menangis, tidak akan membersihkan makamnya, tidak akan memintaku berdoa untuknya, dan kamu tidak akan berkata ‘aku benci ayah’. Kamu merindukannya.”
Aku tidak mengerti banyak hal tentang mereka yang hidup, tetapi, yang kutahu, mereka yang ditinggalkan hanya akan merasa kehilangan jika merasa memiliki. Rasa itu hanya ada jika ada rasa cinta dan kasih. Dua hal yang tidak pernah benar-benar kurasakan.
Sekar semakin kalut. Ia bercerita tentang ayahnya, hal yang biasanya akan membuatku iri ketika mendengar teman-teman sekelasku bercerita, tetapi kali ini justru aku merasa ikut merindukan sosok yang tak pernah kukenal itu.
Aku tersenyum ketika Sekar tertawa kecil di tengah tangisnya saat ia bercerita bagaimana sang ayah memberikannya kejutan dengan menjadi badut di ulang tahunnya yang kedelapan. Ia juga tersenyum mengingat ayahnya yang tidak pernah lupa membacakannya dongeng sebelum tidur, dan selalu mengajaknya bersepeda di akhir pekan. Itu semua hanya terjadi sebelum ayah Sekar mendapatkan pekerjaan di luar kota dan semuanya berubah. Imajinasiku meleset jauh, karena ternyata ayah Sekar adalah seorang bankir, bukan buruh pabrik.
“Hanya ibu, hanya ibu yang mencintai ayah.”
Sekar menggeser posisi duduknya hingga ke makam di sebelah makam ayahnya. Aku mengikutinya, lalu membaca nama di batu nisan makam itu.
“Ini makam ibu,” kata Sekar.
“Sekar, ayahmu juga mencintai ibumu,” kataku yang lag-lagi berdasarkan imajinasi saja.
“Tidak, ia tidak peduli pada ibu.”
“Lalu, bagaimana ia meninggal?” tanyaku.
“Entah, aku tidak tahu. Dan aku tidak ingin tahu. Sejak ayah pergi dari rumah, aku tidak ingin tahu apa-apa lagi tentangnya.”
Aku membayangkan ayah Sekar pergi karena bekerja lebih keras untuk membayar pengobatan ibunya. Bisa saja bukan seperti itu kenyataannya, tapi aku lebih suka membayangkannya demikian. Cintanya kepada ibu Sekar begitu besar, hingga ia sangat sedih dan terpukul dengan kematian istrinya. Ia sangat menyesal dan kehilangan, hingga ia jatuh sakit, dan sakitnya semakin parah, diperparah oleh penyesalannya kepada istri dan anaknya. Sebelum meninggal, ia berpesan untuk memakamkannya di sebelah makam istrinya. Dan saat ini, mereka berdua pasti sedang berpelukan di bawah sana, menuntaskan kerinduan yang tidak terbayarkan selama mereka hidup.
“Sebenarnya aku datang kemari untuk memaki-makinya.”
Sekar menatap makam ayahnya dengan kosong.
“Mungkin ayahmu sekarang sedang mengharapkan sesuatu yang lain selain makian,” kataku.
“Apa itu?”
“Ia ingin dirindukan. Sesuatu yang tidak didapatnya ketika hidup. Percayalah, tidak semua orang dapat merasakan bagaimana rasanya merindukan.”
Sekar terisak lagi, dan itu adalah tangisan terakhirnya hari itu. Sesaat kemudian kami beranjak pulang karena langit mulai merah.
Dalam perjalanan pulang, kami melewati makam Hendra. Setelah pertemuanku dengan Sekar, aku benar-benar ingin tahu cerita tentang anak kecil yang meninggal sepuluh tahun lalu itu. Aku ingin tahu kisah hidup kakek tua yang dimakamkan seminggu yang lalu, atau pastor yang makamnya seringkali dikunjungi oleh orang-orang. Karena ternyata, berpura-pura mengenal mereka tidak cukup untuk membuatku merasakan rasanya merindukan.
Aku tidak benar-benar mengenal mereka yang hidup atau yang mati. Aku bahkan tidak mengenal siapa aku dan dari mana asalku. Tetapi di tempat ini aku merasa aku merasakan sesuatu yang terasa sangat manusia.
Jadi, sekarang kau tahu kan, mengapa aku begitu menyukai kompleks pemakaman? Bagiku, tempat itu adalah tempat yang lebih hidup daripada tempat-tempat lainnya.
Itu adalah tempat kau dapat melihat kejujuran lewat air mata, bukan kata-kata.
.
(Sfa.)
16/06/2019
0 notes
Text
0 notes
Text
0 notes
Text
Pengen ngungkapin kebahagiaan, tapi nggak tau di mana. Pengen teriak, berasa dada tuh ngga cukup menampung kebahagiaan yang dirasain. Pengen meledak rasanya, saking bahagianya. Bahagiaaa banget.
0 notes
Text
He is a stranger as strange as I am, yet a closure as close as we could be.
0 notes
Text
0 notes
Text
0 notes
Text
Seumur-umur kalo pacaran atau punya cowo tuh selalu yang goodboy gitu. Eh, sekalinya mau nikah malah sama badboy. Hahaha. Ga tau deh, aneh hidup tuh. Tiap sama goodboy ga pernah jadi, eh yang jadi malah sama “badboy”.
0 notes