s4mlamberth-blog
s4mlamberth-blog
Samuel Reinhard
4 posts
"Mould and fashion me according to Thy will; lead me according to Thy will; make me in this world what Thou wilt; I put myself wholly at Thy disposal" -Marcus Dods-
Don't wanna be here? Send us removal request.
s4mlamberth-blog · 8 years ago
Text
WANDERLUST: Becoming a “truth wanderer” (part 1)
Tumblr media
Beberapa minggu yang lalu ketika saya sedang mencari buku sebagai bahan referensi bagi tugas kuliah saya tiba-tiba mata saya tertuju kepada satu buku yang ditulis oleh Francis A. Schaeffer. Saya menjadi sangat bergairah dengan buku itu seperti seseorang yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya tidak berjumpa dengan kekasihnya dan akhirnya dipertemukan kembali. Betapa tidak, buku tersebut berjudul “Ia Ada di Sana dan Ia Tidak Diam” sontak membuat seluruh keberadaan saya terdiam sejenak dan memikirkan kembali “Apakah Ia “memang benar-benar” ada di sana?” atau pertanyaan yang paling klasik, umum dan sering diajukan “Kalau memang Ia ada di sana, kenapa Ia hanya diam?” jujur saja meskipun saya sudah hampir berada di penghujung studi saya sebagai mahasiswa Teologi, saya masih merasa perlu untuk “meninjau” kembali kepercayaan saya yang saya yakini sebagai kebenaran mutlak. Bukan hanya supaya saya dapat memberikan jawaban yang cukup logis kepada mereka yang bersikap terlalu skeptis tapi juga sebagai “bahan perenungan” bahwa Ia memang benar-benar ada di sana dan Ia tidak diam. Finally, I ended up purchasing that book.
 Francis A. Schaeffer adalah seorang pendeta Injili berasal dari Amerika, Schaeffer juga adalah seorang teolog, filsuf, dan juga seorang presbiterian. Ia adalah pendiri L’Abri Fellowship di Swiss yang telah menarik dan mempengaruhi ribuan orang-orang muda.
Dalam bukunya, Schaeffer pertama-tama membahas mengenai keniscayaan metafisis yang merupakan asal usul keberadaan atau eksistensi dari manusia itu sendiri. Schaeffer menolak argumen-argumen dari behaviorisme dan semua bentuk determinisme yang mengatakan bahwa manusia tidak personal dan bahwa manusia secara intrinsik tidak berbeda dari hal yang impersonal atau tidak ada perbedaan intrinsik antara manusia dan non-manusia dan bahwa segala sesuatu yang ada sekarang ini memiliki permulaan yang impersonal. Impersonalitas ini mungkin adalah massa, energi, atau gerakan tetapi semuanya impersonal yang dimulai dengan partikel-partikel energi alih-alih dengan massa yang sebelumnya merupakan pendekatan lama. Schaeffer berargumen bahwa jika memulai dengan hal yang impersonal maka setiap hal termasuk manusia harus dijelaskan menurut hal yang impersonal (sebagaimana sains menjelaskan hal-hal yang bersifat kimiawi) dan hal tersebut menurut Schaeffer adalah tidak mungkin sebab tidak ada seorang pun yang pernah menunjukkan bagaimana waktu ditambah keacakan dapat menghasilkan alam semesta yang kompleks apalagi personalitas atau kepribadian manusia karena sederhananya bagi Schaeffer terdapat perbedaan yang begitu intrinsik antara manusia dan non manusia. Schaeffer memberi contoh setetes air yang adalah sebuah partikular, demikian juga seorang manusia. Jika memulai dengan impersonalitas, bagaimana partikular-partikular yang eksis sekarang termasuk manusia dapat memiliki makna yang signifikan. Pertanyaan tersebut bagi Schaeffer merupakan pertanyaan yang tidak akan pernah mendapat jawaban akhir. Pada akhirnya Schaeffer dapat membuktikan bahwa manusia itu personal mengikuti fakta bahwa Allah ada di sana sebagai permulaan yang personal dan yang infinit dan kita sebagai yang finit (terbatas) dan personal atau pribadi (mengikuti kebenaran yang Schaeffer kemukakan mengenai keberadaan Allah) membutuhkan kesatuan dan keragaman personal dalam Allah. Pada bab selanjutnya Schaeffer membahas mengenai keniscayaan moral di mana ia berargumen jikalau dalam kebudayaan Barat manusia yang melihat dirinya bermula dari hal yang impersonal, partikel-partikel energi dan tidak ada hal lain maka yang tersisa  bagi kita (manusia) hanya etika statistikal dan sama sekali tidak ada yang namanya moralitas. Menariknya Schaeffer kembali kepada argumen sebelumnya yang mengatakan bahwa manusia berawal dari personal dan personalitas itu merujuk kepada Allah yang ada di sana maka Schaeffer mengatakan kita (manusia) dapat memiliki moralitas yang nyata karena Allah adalah mutlak baik. Diri Allah dan karakterNyalah yang merupakan absolut moral dari alam semesta.
Dalam kedua pembahasan tersebut, Schaeffer mencoba meyakinkan pembacanya bahwa Allah (dalam Kekristenan) itu benar-benar ada di sana. Kebenaran dari pernyataan tersebut terwujud dalam "keniscayaan metafisis" dan "keniscayaan moral" yang Schaeffer kemukakan.
0 notes
s4mlamberth-blog · 8 years ago
Text
Merenung Sejenak
Tumblr media
“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”
Kolose 3:23
 Minggu ini merupakan minggu yang cukup melelahkan bagi saya sebab di minggu ini, saya harus  mempersiapkan diri saya (lahir & batin) untuk menghadapi ujian di minggu depan sebab minggu depan merupakan minggu ujian tengah semester setelah beberapa bulan menjalani pertengahan semester 6. Di sela-sela persiapan saya dalam menghadapi UTS minggu depan, saya mengambil waktu sejenak untuk merenungkan salah satu ayat yang cukup terkenal  dalam surat Kolose 3:23
Dalam suratnya Rasul Paulus kepada jemaat di Kolose pada pasal 3 ayat 22, Rasul Paulus menasehatkan kepada para hamba untuk taat kepada tuan mereka yang ada di dunia ini dalam segala hal, bukan taat hanya untuk menyenangkan mereka saja tetapi taat kepada mereka dengan tulus hati karena takut akan Tuhan. Pada ayat 22 sampai ayat 23, Paulus sedang berbicara mengenai “ketaatan yang sejati”, bahwa ketaatan harus benar-benar murni – yaitu ketaatan yang didasarkan kepada Kristus, bukan kepada manusia sebab Rasul Paulus sadar akan kemortalitasan manusia sehingga dengan demikian membuat Paulus hanya mengarahkan pandangannya kepada Kristus sebagai penyemangat hidupnya dan memotivasinya untuk tetap terus melayani sebagai hamba Kristus bahkan di tengah segala pergumulan dan penderitaannya dalam memberitakan Injil seperti yang dikatakan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus bahwa penderitaan ringan ini mengerjakan suatu kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, ia pun juga tidak mengharapkan pujian dari manusia atas pelayanan yang telah ia lakukan.  Rasul Yakobus mengatakan hal berkaitan dengan mortalitas manusia:  “apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.” Yak 4:14b
Kemudian, makna dari perkataan Rasul Paulus tersebut begitu sangat relevan bukan hanya bagi orang-orang percaya yang ada di Kolose pada saat itu tetapi juga bagi orang-orang percaya pada masa kini (band. Ibrani 4:12; 2 Tim 3:16) khususnya bagi saya secara pribadi, dimana ayat tersebut mengingatkan saya di tengah-tengah kesibukan saya untuk kembali mengarahkan fokus saya kepada Kristus sebagai yang terpenting dan terutama dengan kata lain apapun yang saya lakukan,  Kristuslah yang harus menjadi fokus utama dan yang harus menjadi dasar dari segala sesuatu yang saya lakukan, bukanlah ambisi pribadi, keinginan-keinginan saya pribadi maupun pujian manusia sebab jika demikian maka akan sangat mudah mengalami kekecewaan jika keinginan, ambisi dan pujian tidak didapatkan. akhir-akhir ini, ayat tersebut terus terpikirkan oleh saya dan membawa saya ke dalam dunia imajinasi dengan membayangkan Tuhan seolah-olah berdiri di depan saya ketika saya hendak melakukan sesuatu, entah belajar, membersihkan kamar, membantu sesama atau apapun itu dengan terus menerus berkata “Lakukanlah semua itu untuk-Ku.” Apakah saya kemudian akan mengatakan kepada Tuhan, “Ah Tuhan, masa saya harus mengepel lantai kamar saya seperti saya melakukannya untukMu? Saya kan melakukannya karena memang lantai kamar saya kotor.” Ya, memang benar bahwa saya mengepel lantai kamar saya karena kotor tetapi dengan saya mengerjakannya seperti untuk Tuhan (Baca: mengepel lantai kamar saya), maka saya akan melakukannya dengan sebaik mungkin meskipun rasa lelah menghampiri. Begitu juga ketika kita melakukan hal-hal yang lainnya, lakukanlah semuanya itu seperti untuk Tuhan karena dari Tuhanlah kita akan menerima upah.
0 notes
s4mlamberth-blog · 8 years ago
Text
HARI VALENTINE: SEJARAH VALENTINE DAN PERENUNGAN DARI 1 KORINTUS 13
“...Happy Valentine’s day, ya? I love you.” dan ucapan-ucapan lainnya juga seperti “..Happy Valentine’s Day, all!” yang diucapkan oleh mereka yang masih melajang. Ya! Seperti itulah kira-kira ucapan-ucapan sepasang kekasih yang saling mengasihi pada hari yang special yaitu hari kasih sayang atau Valentine’s Day. Perbedaan dari ucapan-ucapan tersebut mungkin terdapat di akhir kata atau yang merujuk kepada si penerima ucapan. Bagi yang masih melajang, penerima pesannya adalah  semua orang (all) sedangkan bagi yang sudah memiliki pasangan, tentunya penerima pesannya adalah sang kekasih tercinta. Pada hari ini, seluruh dunia sedang merayakan hari kasih sayang atau hari Valentine. Tetapi, apa sih sebenarnya hari kasih sayang (Valentine’s Day) itu.
Well, back to the topic! Hari Valentine merupakan hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta merayakan cinta. Dan kemudian, hari ini diikuti dengan pertukaran-pertukaran notisi (catatan pendek) umum seperti “Happy Valentine’s” yang sering diucapkan oleh kebanyakan orang, pria kepada wanita, pria kepada pria, atau wanita kepada pria, dan sebaliknya. Hari raya Valentine ini juga dihubungkan dengan beberapa perayaan-perayaan lainnya. Seperti perayaan kesuburan bulan Februari yang menurut kalender Athena kuno, periode pertengahan antara bulan Januari dan Februari merupakan bulan Gamelion yang dipersembahkan pada pernikahan dewa Zeus dan Hera. Kemudian, perayaan hari raya Gereja yang mengenang dan menghormati orang-orang Martir yang kudus yang diberi nama Valentinus dan nama Valentinus sendiri merupakan rujukan kepada tiga martir atau santo. Hari Valentine ini atau hari Santo Valentine dirayakan dalam gereja Anglikan dan juga Lutheran. Sebenarnya hubungan antara ketiga martir dengan perayaan cinta-romantis tidak jelas sebab hubungan pertama hari Valentine dengan romansa berasal dari sebuah puisi yang ditulis pada abad ke-14 oleh Geoffrey Chaucer. Sedangkan ekspresi modern hari Valentine berasal dari abad ke-19 yang memproduksi kartu-kartu ucapan di hari raya Valentine secara massal dan kemudian dicetak oleh Esther A. Rowland.  Oleh sebab itu, hari raya Valentine merupakan “produk buatan” dunia Barat yang telah mendunia.
Secara umum, hari Valentine merupakan hari kasih sayang dan ketika kita melihat hari Valentine dalam perspektif Teologis maka hari raya Valentine merupakan hari raya yang mengingatkan kita kembali akan kasih Tuhan yang ditemukan dalam berbagai macam ekspresi kasih. Namun, kecendurungan manusia yang “mencampur-adukkan” kasih Tuhan dengan kasih terhadap sesama (phileo), romansa (pomanikos), dan hawa nafsu (eros) dan kemudian kasih Tuhan yang tak bersyarat (agapeo) ke dalamnya maka menyebabkan kebingungan. Alkitab memberikan fondasi (yang mendasar) bagi ekspresi kasih yang sebenarnya mulai dari puisi-puisi, dan lagu-lagu Salomo yang terdapat dalam Kidung Agung sampai kepada surat Paulus yang ia tulis kepada jemaat di Korintus. Ketika kita membuka dalam 1 Korintus 13, Rasul Paulus berbicara mengenai “Kasih”, bahwa kasih merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan Kekristenan, bagaikan jantung bagi tubuh manusia yang memberi kehidupan, demikianlah kasih (v8, v10, v13). Rasul Paulus mengatakan bahwa kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Hari ini merupakan hari Valentine atau hari kasih sayang. Pertanyaan reflektif bagi kita sebagai orang-orang Kristen, apakah kita sudah mempunyai kasih terhadap sesama seperti yang Rasul Paulus katakan? 
Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Hari_Kasih_Sayang
http://www.biblicaltheology.com/1co/1co_13_01.html
0 notes
s4mlamberth-blog · 8 years ago
Text
SEBUAH PERJALANAN YANG SERU(!)
Hampir kurang lebih 1 tahun sejak saya menulis blog saya yang pertama dan (Yeay!) akhirnya saya menulis lagi setelah sekian waktu lamanya saya disibukkan dengan berbagai tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban saya sebagai seorang mahasiswa Teologi. Tidak terasa saya sudah menjalani studi saya selama 3 tahun artinya ada banyak pertolongan Tuhan yang telah Ia nyatakan dalam kehidupan saya secara pribadi maupun dalam kehidupan keluarga saya selama kurun waktu tersebut. Saya ingat ketika pertama kali saya akan menginjakkan kaki saya di suatu pulau yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya yaitu Jawa Timur dalam rangka memenuhi panggilan saya bersekolah Teologi sekaligus menuntut ilmu (Teologi), saya sangat sedih dan akhirnya saya mulai bertanya-tanya kepada Tuhan; bagaimana keadaan orang-tuaku nanti? Apa yang akan terjadi dengan saya nantinya? Jujur saja, secara manusiawi saya ragu dan tidak tenang memikirkan hal-hal tersebut. Tetapi, pada saat itu saya kemudian teringat akan satu ayat dalam Injil Matius 10:37a yang berkata:
“Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.”
Ayat tersebut tiba-tiba menyadarkan saya bahwa ada Lengan yang Kekal yang akan terus memelihara kehidupan saya dan juga keluarga yang saya tinggalkan sehingga saya tidak perlu kuatir. Saya harus mengasihiNya lebih dari apapun dan siapapun termasuk orang-tuaku dan hal ini benar-benar saya alami dalam kehidupan saya secara pribadi dimana Tuhan menganugerahkan kedua orang-tuaku kesehatan dan memberkati mereka sampai saat ini. Begitu juga (dengan) saya!
 Mulai dari semester awal hingga semester 6 saat ini, tentunya ada begitu banyak suka dan duka yang saya alami, khususnya dimana saya merasa tidak mampu lagi untuk menjalani panggilan saya menjadi seorang hamba Tuhan sehingga saya sempat berpikir bahwa menjalani panggilan saya menjadi seorang hamba Tuhan mustahil bagi saya dan hal itu tidak masuk akal. Mengapa saya mengatakan demikian? Karena menjadi seorang hamba Tuhan menuntut sikap hati yang benar dan pertanggung-jawaban dari Tuhan sendiri, apalagi seorang hamba Tuhan yang notabene adalah seorang panutan atau public figure dan juga seorang rohaniwan. Saya teringat akan perkataan salah seorang dosen saya yang mengatakan bahwa hamba-hamba Tuhan ibarat ikan yang berada dalam aquarium yang transparan dimana semua orang memperhatikan apapun yang kita lakukan, baik-buruknya. Keadaan seperti inilah yang membuat saya berpikir “...Kalau begitu, kenapa saya tidak menjadi seorang awam saja? Toh, yang penting saya tetap menjadi seorang Kristen yang taat dan setia kepada Tuhan. Kan cukup!” tetapi seiiring berjalannya waktu, Tuhan membuat saya kagum dengan kasihNya yang tanpa syarat (Unconditional Love) yang melayakkan saya yang adalah seorang berdosa untuk melayani Dia oleh anugerahNya sehingga saya dapat berkata seperti Raja Daud dalam Mazmur 16:8
“Aku senantiasa memandang kepada TUHAN; karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah.”
Ini merupakan sebuah perjalanan yang seru selama 3 tahun belakangan ini. Seru bagaikan menaiki roller-coaster, penuh dengan kejutan-kejutan yang tak terduga. 
0 notes