Tumgik
ruangtemurasa · 3 years
Text
HIDUP ITU JANGAN DIBANDINGKAN, TAPI …
Wow, ngga kerasa ternyata saya sudah jadi warga Bandung selama hampir 5 bulan. Mungkin jika saya membayangkan diri saya 6 tahun lalu (saat pertama kali masuk kuliah), ngga akan pernah berpikir bahwa saya bisa merantau sejauh ini, eh uda pernah lebih jauh sih, saat jadi Pencerah Nusantara tahun 2017 di Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Well, pernah membayangkan menjadi Pencerah Nusantara terus ketemu dan dilantik oleh menkes (re: Prof. Nila Moeloek) aja ngga pernah ada sama sekali gambaran itu.
Bagi yang ngga kenal saya, mari kenalan dulu. Jadi, Nidya itu adalah orang paling overthinking. Nidya selalu ngga pernah mikir hasilnya yang penting jalanin aja dulu. Tapi, Nidya yang dulu akan selalu membandingkan proses pencapaian yang dia miliki dengan orang lain, kemudian berpikir “kenapa aku ngga bisa seperti dia?”. But today, I’m proudly present who I am now.
Oke, disclaimer dulu, saya emang ngga serta merta bisa menghilangkan kebiasaan “membandingkan” ini ya, tapi sungguh insensitasnya sudah jauh lebih berkurang dibanding saya yang dulu. Saya akan coba flashback perjalanan hidup saya yang pada akhirnya membawa saya hingga sejauh ini dan membuktikkan bahwa sebenernya membandingkan diri kita dengan orang lain itu sungguh jahat (mode Cinta ke Rangga).
Sejak saya kecil, saya jarang banget bisa masuk ke sekolah favorit di Surabaya. Inget banget, ketika mau kenaikan ke SMP nilai saya hancur berantakan, membuat orang tua kecewa yang akhirnya hanya bisa masuk sekolah pinggiran. Oh, nasib sungguh nasib, kejadian sama terulang lagi, nilai UNAS SMP hancur lebur bahkan saya hampir bersekolah di desa saat itu, karena ngga diterima di SMA negeri manapun di Surabaya dan sekolah-sekolah swasta lain pendaftarannya sudah pada tutup. Saat itu, hidup saya bisanya cuma bikin orang tua pusing, bikin orang tua mikir. Padahal dulu saat sekolah, saya selalu jadi kebanggaan sekolah, sering ikut lomba (dalam satu hari bisa ikut 2 lomba bebarengan), well bisa dibilang kesayangan guru juga karena nilai rapotku engga pernah hancur malah bagus banget (haha, sorry, ini justifikasi pribadi, no offense). Akhirnya disitu saya berpikir, kemudian mempertanyakan kepada Allah, “Kenapa sih yaAllah temenku bisa sekolah di tempat yang dia inginkan sedangkan aku engga. Aku ngga pernah bisa sekolah di sekolah yang bagus”. Pertanyaan ini menggantung tanpa ada jawaban saat itu.
Awal masuk sekolah malah menjadi momok, ketakutan karena tidak bisa bersekolah di sekolah impian dan hanya menjadi imajinasi saya saat itu, hanya tinggal kenangan. Menyerah? Engga! Dari situ saya punya motivasi begini, “oke ngga papa saya ngga bisa sekolah di sekolah favorit dan malah berakhir di sekolah-sekolah pinggiran ini, kalau gitu saya buat aja sekolah ini jadi terkenal”. Kemudian, saya coba aktif di segala ekstrakurikuler di sekolah bahkan gabung di OSIS yang akhirnya menjadikan saya ketua OSIS di SMP dan SMA.
Titik balik hidup saya terjadi ketika SMA. Saat itu, sekolah yang mau menerima saya adalah Madrasah Aliyah Negeri Surabaya dengan kondisi sekolah yang seuprit luas gedungnya, ngga dikenal (bahkan saat masuk itulah saat pertama kali saya tau wujud sekolah ini). Berbekal prinsip, “enjoy the process dan selalu lakukan yang terbaik”, saya belajar dengan baik dan tetap aktif di organisasi. Alhamdulillah, selama 3 tahun saya menjadi peringkat pertama ranking parallel (se-sekolah istilahnya), menjadi ketua OSIS, dan aktif ikut lomba sana-sini. Kemudian Allah menunjukkan sedikit spoiler jawabannya kepada saya, ohh Allah tidak tidur ya ternyata, saya dapat salah satu golden ticket untuk menjadi satu orang yang didaftarkan ke SNMPTN Undangan. Perlu diketahui, saat itu untuk masuk ke list siswa yang bisa mendaftar melalui SNMPTN Undangan sangat terbatas. Saya memutuskan memilih FKM UNAIR yang notabene adalah pilihan orang tua saya. Saya meyakini bahwa ridho Allah itu adalah ridho orang tua.
Benar saja, Allah menunjukkan sedikit titik terang dalam kesuraman hidupku saat itu. Saya keterima di FKM UNAIR!
Awal masuk kuliah pun ya ngga serta merta bisa langsung cinta, kan emang bukan pilihan sendiri, ibarat jodoh ya dijodohin gitu. Ada proses panjang yang harus saya lalui untuk mengenal lebih dekat sebenernya ini jurusan keilmuan apa. Bagaimana caranya? Masih sama dengan ketika saya di SMP dan SMA, ya ikut organisasinya, aktif disana, lakukan yang terbaik. Saya selalu berprinsip walaupun ngga sesuai dengan yang kita harapkan, bukan berarti kita menghancurkan diri kita sendiri, malah disitulah letak kekuatannya, saya akan membuktikkan eksistensiku, berkembang dan berproses sejauh yang aku bisa. Dari situ benih-benih cinta muncul, saya lebih mengenal apa itu kesehatan masyarakat, bertemu orang – orang hebat, dan berakhir pada saya menemukan passion saya.
Selanjutnya, fase terberat kedua adalah setelah lulus kuliah. Pasti sebagian dari kita sudah tau, fase quarter life crisis muncul. Pikiran berkecamuk, akan kerja dimana? Mau jadi apa? Dsb. Apalagi yang lebih menyesakkan dada adalah ketika magang sebelum kelulusan, hanya saya sendiri yang tidak ditawari melanjutkan kerja ditempat magang saya, sedangkan teman-teman magang saya yang lain mendapatkan tawaran bekerja disana. Menangis, kecewa, sedih, iri, bercampur jadi satu. Tapi kemudian saya ingat, oh sudahlah kalau memang Allah bilang bukan rejekinya maka bukan rejekinya. Jadi, sambil mencari lowongan pekerjaan, saya bantu dosen untuk melakukan penelitian, hanya agar saya bisa menghasilkan uang, tidak membebani orang tua lagi, sudah ingin lebih mandiri, dan terus berproses. Life is a never ending learning process.
Kegagalan hampir saja menghampiri saya saat mendaftar Pencerah Nusantara. Dimana saat itu seharusnya saya ngga lolos tahap 1 (tahap essay dan administrasi). Wallahualam, Allah Maha Baik, sekali lagi Allah membuktikkan janji-Nya, jika memang rezeki itu sudah digariskan untuknya maka apapun yang terjadi akan tetap kembali kepadanya. Ya, saya lolos menjadi Pencerah Nusantara 5 di Mamuju Utara.
Well, pastinya selama proses itu banyak hal terjadi. Saat dimana teman-teman lain sudah settle dengan diterima kerja ditempat yang mereka inginkan, dan saat itu lagi-lagi saya belum berhasil lolos. Saya bertanya kepada Allah, “Ya Allah, sebenarnya jawaban dari semua kegagalan yang pernah saya alami ini apa?”. Allah tidak serta merta memberikan jawabannya saat itu juga, namun Allah membiarkan hamba-Nya untuk berproses, meminta dan memohon petunjuk kepada-Nya. Karena baru bertahun – tahun kemudian saya bisa sedikit menemukan jawabannya. Ingat, baru seuplik jawaban yang Allah kasih, karena sampai sekarang pun saya masih terus = mencari jawabannya, dan selalu bertanya apa yang akan terjadi esok hari. Setiap waktu akan ada saja kegelisahannya, akan berbeda kegelisahan tiap saat, tidak ada habisnya. Tapi ya memang itulah hakikatnya hidup. Selalu berproses dan memaknai apa yang terjadi didalamnyas.
Jika dulu saya tidak gagal, tidak terseok-seok, mungkin saya ngga akan bisa berdiri seperti sekarang. Saya selalu berpikir bahwa diri kita yang sekarang adalah akumulasi proses dari diri kita yang dulu. Berproses dengan benar akan sedikit demi sedikit menunjukkan titik terang dan jawaban yang kita butuhkan. Asal, kita mau untuk selalu membuka hati dan mata bahwa pelajaran hidup itu ada dimana-mana.
Jadi, membandingkan proses hidup yang kita lalui dengan orang lain itu akan menjadi percuma dan tak berguna karena sejatinya proses setiap orang akan berbeda-beda. Hidup itu jangan dibandingkan, tapi dinikmati dan disyukuri.
Bandung, 16 April 2021
0 notes
ruangtemurasa · 4 years
Text
MEMUTUSKAN MENIKAH ITU…..
Menikah itu syarat mutlaknya cuma satu, “kalih sinten”, atau kalau diartikan sama siapa. Benar, ngga mungkin mau menikah tapi ngga ada pasangannya ya. Jadi ini syarat mutlak yang harus dipenuhi.
Nah, yang sering dilupakan adalah landasan menikah. Oke, pembahasannya sudah mulai berat ya. Saya memang belum ada di fase “akan menikah” (karena memang calonnya belum ada), tapi semakin kesini saya menemukan arti kata “mempersiapkan diri”, yang awalnya, beberapa waktu lalu, rasanya sangat abstrak dan berat sekali mendefinisikannya. Saya mengumpulkan dari berbagai sumber atau bahkan pengalaman pribadi, mengantarkan saya menemukan definisi itu. Bahwa mempersiapkan diri itu adalah tidak hanya dilakukan saat sudah menemukan calon, tapi jauh sebelum menemukannya malah.
Pertanyaan yang harus ditanyakan pada diri sendiri:
1.     Sudahkah kita belajar tentang diri kita?
Well, ini menjadi hal yang cukup penting menurut saya. Coba bayangkan, bagaimana bisa kita menuntut orang lain untuk lebih mengenal diri kita kalau kita saja tidak kenal diri kita. Bagaimana kita bisa meminta orang lain mencintai kita kalau kita saja tidak mencintainya. Dan bagaimana kita bisa meminta orang lain untuk memahami diri kita kalau kita sendiri saja tidak memahaminya. Proses penerimaan inilah yang harusnya menjadi modal agar bisa mengenalkan, mempresentasikan diri kita kepada orang lain. Dengan kita mengenal diri kita sendiri, atau sudah “khatam” dengan diri kita, maka ketika ada orang lain datang kita sudah siap menerimanya. Dengan kita menerimanya, maka kita sudah siap untuk saling membagi tanggungjawab, dimana memutuskan untuk membagi tanggungjawab bukanlah hal yang mudah dilakukan.
 2.     Sudahkah kita belajar berkomunikasi dengan baik?
Komunikasi menjadi salah satu landasan fundamental ketika memtuskan menikah. Jangan sampai, hanya gara-gara suami ternyata tidak suka pedas (ternyata dulu pacaran ditahan-tahan supaya ngga diputusin, hehe) dan si istri suka pedas, akhirnya bisa cekcok. Kesalahpahaman itu tidak datang dari masalah yang pelik, bahkan hal yang dikira simple dan receh, yang malah bisa menimbulkan masalah. Komunikasikan apa sukamu-apa sukaku, apa marahmu-apa marahku, apa aku bagimu-apa kamu bagiku, dsb. Sehingga, penting rasanya untuk bisa menemukan pola komunikasi yang baik.
Pembagian peran harus dikomunikasikan sejak awal, serta yang paling penting adalah berbagi visi dan value. Rasanya, kalau dari awal visi dan value sudah berbeda akan susah untuk berjalan bersama. Mungkin, ini hanya asumsi saya, bahwa terjadinya perceraian adalah ketika visi dan value masing – masing sudah tidak sejalan atau tidak bisa disatukan. Maka dari itu, untuk mengantisipasi ada hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari dalam sebuah pernikahan, maka sebelum menikah penting untuk berbagi gambaran masa depan, visi, value, bahkan issue yang ada pada diri masing – masing. Dari situ akan muncul “how to deal with” sebelum menapaki jenjang yang lebih tinggi, karena jika memang sudah tidak bisa disatukan atau dikompromikan, maka ya dia bisa jadi memang bukan jodoh kita.
Ingat, menikah bukan hanya perkara menyatukan dua hal menjadi satu, atau aku dan kamu menjadi kita, tapi bagaimana tetap mempertahankan dua hal agar bisa berjalanan beriringan dengan harmonis.
 3.     Sudahkah kita belajar bekerja dalam tim yang baik?
Bisa dikatakan bahwa rumah tangga merupakan organisasi paling kecil, namun paling kompleks. Jika diluar sana kita sudah merasa tidak cocok dengan organisasi karena (bisa jadi) ada perbedaan pandangan dengan ketua baru katakanlah, mungkin kita bisa dengan mudahnya untuk keluar dari keanggotaan organisasi tersebut. Tapi bagaimana dengan rumah tangga? Pastinya tidak mudah untuk berkata menyerah dan menyudahinya kan. Janji menikah, tidak hanya kepada keluarga atau pasangan kita, melainkan ikatannya lebih kuat daripada itu, janji kepada Tuhan. Mudahkah kita mengakhirinya?
Sama seperti organisasi pada umumnya, siapa pemegang keputusan tertinggi, tupoksinya apa, saling melengkapi (menutupi kekurangan dengan kelebihan yang lain) agar solid. Dalam organisasi butuh adanya leadership, managerial, system, shared value. Keempat elemen ini harus saling diipahami dan dikerjakan oleh kedua pihak, sehingga dasar-dasar bekerja sama dalam tim inilah yang menjadi modal dalam membangun sebuah rumah tangga.
 4.     Sudahkah kita belajar cara mengelola uang yang baik?
Uang-duit-money, selalu menjadi hal pelik dan sensitif dimanapun berada. Belajar mengelola keuangan bisa dimulai dengan mengelola keuangan diri sendiri. Tau prioritas apa yang harus dibelanjakan. Tau kapan harus berhemat. Tau kapan harus memberikan self reward kepada diri kita atau pasangan. Pastinya tau, untuk mempersiapkan kehidupan tidak hanya bagi pasangan, melainkan anak di kemudian hari.
 5.     Sudahkah kita belajar mengenai sex?
Pasti penasaran kenapa saya memasukkan poin ini kan? Ternyata, beberapa kali saya membaca artikel, banyak juga pengantin baru yang masih sangat awam dengan seks ini. Membicarakan seks masih menjadi hal yang tabu di negeri ini. Bahwa seorang wanita orgasme adalah hal mustahil, kepuasan hanya milik lelaki, dsb. Oke, awalnya saya juga seperti kalian, “ihh jorok kenapa harus ngomongin ini, kan belum nikah”. Justru karena belum menikah, maka itu adalah saat yang tepat. Jadi saat menikah, sudah tinggal mempraktikkan apa yang dipelajari. Saya ngga akan terlalu jauh membahas ini, tapi intinya menjadi perempuan juga mempunyai hak yang sama dengan lelaki lo dalam hal seks ini. Kalau boleh saya share, saya belajar mengenai seks ini hanya dari Instagram, boleh ditengok ignya @catwomanizer, @jennyjusuf, atau @inezkristanti, tapi perlu saya peringatkan bahwa kalian harus pintar-pintar memilih informasi dan konten yang mereka bagikan ya. Ambil yang bisa menjadi bekal di kemudian hari, buang yang tidak sejalan dengan prinsip kita.
 6.     Sudahkah kita belajar menjadi orang tua yang baik?
Hei, belajar menjadi orang tua itu harus dimulai dari sekarang, menurut saya. Risiko memutuskan menikah adalah menghalalkan segala hal yang haram saat sebelum menikah, contohnya berhubungan badan. Pastinya, risiko dari berhubungan badan (dengan pasangan halalnya, tentu saja) adalah mempunyai keturunan (jika diberi amanah oleh Allah, tentunya). Pertanyaannya, apakah cukup hanya dengan waktu 9 bulan, kemudian kita bisa mempersiapkan diri menjadi orang tua yang baik? (Anggaplah setelah menikah langsung dikaruniai anak).
Untuk mendapatkan gelar S1 saja, coba hitung berapa waktu yang harus kita lalui? 16 tahun! Kalau begitu, menjadi orang tua yang prosesnya melebihi waktu kita mendapatkan gelar S1 saja, kira-kira, apakah cukup mempersiapkan diri kita hanya dengan 9 bulan saja? #askmyself
Contoh paling mudah, belajar menjadi orang tua tidak hanya tanggungjawab perempuan. Laki-laki pun punya andil besar dalam pengasuhan anak. Jokes yang selalu saya lontarkan adalah buatnya bareng, ngasuhnya juga harus bareng. Kasih sayang yang lengkap akan membentuk anak menjadi pribadi yang utuh. Dari ibu kita belajar kelembutan dan kesabaran, dari ayah kita belajar ketegasan dan keberanian. Mengasuh anak sama dengan bahu membahu untuk menciptakan generasi paripurna.
Sehingga, jika kembali pada poin pertama, apabila kita belum selesai dengan diri kita sendiri, apakah sanggup membagi diri kita dengan titipan Tuhan ini? Memiliki anak sama dengan mengorbankan segala hal yang ada dalam diri kita. Uang, tenaga, waktu. Siapkah kita?
 Kalau ada yang mau ditambahkan lagi, silahkan!
Jadi, tulisan ini tidak bertujuan untuk menakut-nakuti agar tidak cepat menikah. Poin pentingnya adalah mempersiapkan menikah harus dimulai sedari sekarang, bukan menunggu saat sudah datang jodoh. Jodoh akan datang disaat kita sudah siap. Pastinya, tulisan ini bukan untuk menggurui, namun ini adalah pengingat diri di kemudian hari, jika sedang kosong atau tak tau arah, maka tulisan ini akan menjadi petunjuk untuk diriku sendiri.
Bagi siapapun diluar sana yang sedang kehilangan arah karena melihat kawan disebelah kanan kiri sudah bejalanan bersisian dengan jodohnya, jangan takut, Allah akan mengirimkan bagianmu disaat yang tepat, disaat kamu sudah siap, disaat kamu sudah selesai dengan dirimu sendiri. Tiada rencana terbaik selain rencana-Nya.
  Bandung, 16 Maret 2021
2 notes · View notes
ruangtemurasa · 4 years
Text
TIDAK BERJUDUL, HANYA MENGUCAP SYUKUR: Sebuah Refleksi Akhir Tahun
Lama tidak jumpa dengan platform ini. Jika saya katakan sibuk mungkin itu hanya alasan ya, semua itu bisa, asal mau menyempatkan dan menjadikannya prioritas. Kebetulan saat ini dipenghujung tahun, saya mencoba merefleksikan apa yang terjadi kepada saya di tahun 2020 ini. Banyak perubahan yang terjadi, mungkin sudah pernah saya tulis dibeberapa tulisan sebelumnya. Tulisan ini menggambarkan sebuah perjuangan, hingga tulisan ini dibuat masih diperjuangkan dengan kondisi yang serba berat ditengah pandemi saat ini.
Baiklah tulisan ini mungkin hanya tulisan singkat sebagai pengingatku di masa depan. Beberapa tahun atau puluh tahun mendatang, ketika saya membaca tulisan ini lagi mungkin saya akan mengingat betapa Allah itu sungguh baik sekali, sungguh besar kuasa-Nya, dan sungguh-sungguh seperti yang dipersangkakan oleh hamba-Nya. Tulisan ini ditulis ketika saya di Bandung, sedang bekerja, rezeki yang tak diduga yang Allah kasih sebagai wujud permohonan saya beberapa waktu terakhir.
Boleh dikatakan saya bukan bersalah dari keluarga yang wow, sederhana-cukup, mungkin begitu saya bisa mendefinisikannya. Bersyukur bahwa orang tua selalu ada untuk mendukung, mengarahkan dan membimbing ke arah yang baik. Orang tua selalu mengajarkan bahwa walaupun saya perempuan, wajib hukumnya untuk bisa berdikari alias berdiri dibawah kaki sendiri, walau nantinya harus patuh kepada suami tapi yang jelas harus bisa mandiri. Salah satu penunjang yang dilakukan adalah mengupayakan saya mendapat pendidikan yang setinggi-tingginya, tidak hanya saya melainkan adik saya juga. Mulai SMP hingga kuliah sarjana strata satu bisa dibilang Allah melancarkan rezeki orang tua saya, entah karena memang SPPnya masih bisa dijangkau oleh orang tua atau saya mendapat beasiswa. Namun, ketika mengambil keputusan melanjutkan sekolah S2 tanpa beasiswa harus melalui pertimbangan panjang karena biayanya yang bukan main, sehingga harus dipertimbangkan dengan matang mengingat saat ini orang tua tidak hanya memikirkan biaya sekolah saya, melainkan adik saya yang sedang berkuliah pun sedang mendekati semester akhirnya. Saya memberanikan diri memberi jaminan kepada orang tua akan mencari kerja, entah project atau apapun yang bisa menghasilkan uang demi biaya sekolah saya sendiri.
Singkat cerita saya diterima di salah satu universitas yang saya impikan yang ada di ibukota. Biaya daftar ulangnya bikin sakit kepala, bagaimana akhirnya saya harus merecoki teman-teman untuk meminjam uang demi bisa daftar ulang. Rasanya malu dan gengsi jadi satu, tapi demi masa depan saya hilangkan semua prasangka dan memberanikan diri saya. Disisi lain, saya tetap mengistiqomahkan sholat dhuha, sesekali sholat tahajjud, bersimpuh dan memohon pertolongan kepada Sang Pencipta. Wallahualam, kabar bahagia sampai ditelinga saya bahwa biaya daftar ulang bisa dicicil. Alangkah bahagianya saya dan orang tua karena berita itu cukup menjadi angin segar yang meringankan sekali. Akhirnya pun saya tidak jadi meminjam uang kepada siapapun, semua tercukupi dari uang tabungan saya mulai pertama kali bekerja hingga pekerjaan terakhir saya tahun lalu. Ujian pertama selesai.
Apakah berhenti sampai situ? Jelasnya tidak.
Disaat perkuliahan mulai berjalan, saya sudah memikirkan bagaimana caranya untuk bisa mengumpulkan uang guna membayar uang SPP semester berikutnya. Saya berusaha untuk mendekati kenalan, dosen, dan siapapun untuk bisa membantu memberikan saya informasi jika ada lowongan kerja. Berkali-kali mencoba apply ke beberapa pekerjaan, namun sayangnya tidak berjodoh, kebanyakan dari mereka ingin pekerja yang full-time, tidak sedang menyambi kuliah. Baiklah, saya mencoba untuk selalu berbaik sangka, bahwa jika rezeki tidak akan kemana, jika belum didapat berarti memang bukan rezeki saya, bukan milik saya. Akhirnya saya mencoba untuk mengikuti project-project lepas yang pelan-pelan bisa saya kumpulkan hasilnya. Namun, jika dihitung masih jauh dari kata cukup untuk membayar biaya kuliah semester depan. Sekali lagi, saya memohon, berserah tiap sujud untuk dilancarkan rezeki guna membayar kuliah semester depan. Sekali lagi Allah membuktikkan kuasa-Nya. Kantor lama menawari saya pekerjaan yang mirip dengan pekerjaan saya dulu. Sungguh, saat itu saya hanya berpikir bahwa inilah jawaban yang Allah berikan kepada saya. Kontraknya hanya tiga bulan, namun jika saya berhemat dan menabung, sungguh lebih dari cukup untuk membayar biaya kuliah semester depan.
Dan disinilah saya saat ini. Bersungguh-sungguh mengucap syukur bahwa jika hamba-Nya benar-benar percaya, maka tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Jangan pernah meragu. Bayangkan saja, tiga bulan sebelum deadline pembayaran SPP semester depan, saya mendapat pekerjaan yang hanya tiga bulan pula. Jika bukan karena kuasa-Nya, maka kuasa siapa lagi yang bisa mewujudkannya.
Dari sini saya bisa menarik sebuah pembelajaran bahwa percaya-berusaha-berserah harus menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Bahwa sekecil apapun permintaan, percayakan kepada Allah, berusaha sekuat tenaga, berserahlah maka Allah akan memberikan jawaban dan menunjukkan jalan terbaik-Nya.
Jalan saya masih panjang, masih ada dua semester lagi untuk mengumpulkan uang demi menyelesaikan studi, tapi saya percaya bahwa Allah akan membantu hamba yang percaya kepada-Nya. Menjadi kuat ditengah krisis menjadi suatu kewajiban, bukan menyerah tanpa perjuangan.
  Bandung, 27 Desember 2020
2 notes · View notes
ruangtemurasa · 4 years
Text
BERSERAH BUKAN PASRAH
Terkadang kita terjebak dalam retorika berserah dan memaknainya secara keliru. Jika saya ada di posisi saya beberapa tahun lalu, maka saya akan menganggap berserah artinya menerima segala kondisi apa adanya, apakah ada yang sependapat? Ternyata saya terjebak dengan pemahaman saya sendiri ini, jika dipikirkan sekarang rasanya ada makna yang kurang pas dan ada bagian yang perlu diperdalam maknanya.
Semakin berproses dan lebih mengenal hiruk pikuk kehidupan, saya baru menyadari bahwa sesungguhnya definisi berserah sesungguhnya yaitu 99,99% berusaha dan 0,1% pasrah, berusaha dan pasrah, sebuah kombinasi yang super ciamik jika kita bisa menerapkannya dengan benar, bukan sebaliknya. Dengan kita berusaha, makna mendalamnya adalah kita juga berusaha mensyukuri pemberian yang dititipkan Tuhan kepada kita dengan cara menjaganya sebaik mungkin.
Baiklah, contoh paling mudah dalam hidup saya seperti ini. Jika dulu, saya mungkin cuek dengan penampilan, masa bodoh dengan apa yang dilihat orang dengan dalih ingin menemukan yang bisa melihat saya apa adanya, asalkan kita memiliki prestasi-percaya diri-dan sebagainya, maka pasti ada orang-orang yang melihatnya. And I have to say that’s bullsh*t! Flashback terhadap pemikiran saya kala itu, rasanya baru disadari bahwa saat itu saya terjebak oleh angan – angan semu yang diciptakan oleh positivity mindset, well sejujurnya itu sangat baik dan tidak ada salahnya juga dengan catatan kita memaknainya secara komprehensif. Hanya saja sekarang ini bagi saya itu sama dengan mendorong seseorang tidak mau berubah ke arah yang lebih baik. Mengapa demikian?
Begini, beberapa tahun saya selalu denial dengan saran orang lain untuk mau merubah diri dan menolak fakta-fakta yang lingkaran saya paparkan bahwa hal pertama kali yang dilihat oleh seseorang adalah penampilan fisik (karena itu paling mudah) dan saya menjadi orang yang akan maju paling depan dengan issue body shamming. Kemudian suatu hari, saya menonton perbincangan Deddy Corbuzier dan Ade Ray (Full watch: https://www.youtube.com/watch?v=1h1GiPd6zU8) yang entah kenapa dialog dan analogi yang dipaparkan masuk akal di kepala saya (kalau kalian tonton, tolong abaikan nada mencemooh si Deddy dan fokus dengan yang dipaparkan Ade Ray). Dari situ saya menyadari bahwa positivity mindset harus digunakan untuk mengambil keputusan secara logis bukan hanya dengan bermodal perasaan, sama dengan yang disampaikan Ade bahwa event + respon = outcome.
Outcome menjadi berbeda hanya karena respon yang berbeda padahal issue (event)nya sama
Dicemooh badan gemuk + termotivasi = kurus atau berat badan turun
Dicemooh badan gemuk + tidak terima = terjebak dan stuck
(Bisa disesuaikan dengan case yang sedang kalian alami)
Dari situlah, menjadi trigger yang akhirnya membuat saya ingin pelan-pelan berusaha merubah diri dan menjadi open-minded. Jika ditarik garis lurus, mungkin ini menjadi salah satu jawaban dari pertanyaan yang mungkin sering kita sendiri tanyakan yaitu Memantaskan diri yang seperti apa? Berproses yang bagaimana? Menjadi lebih baik itu bagaimana? Syukurlah, semakin kesini akhirnya saya pelan – pelan menemukan jawabannya satu persatu. Kuncinya hanya satu yakni berusaha membuka hati, mata dan pikiran dan menyadari bahwa Tuhan mampu menunjukkan banyak jawaban dengan cara yang tak terduga.
Seperti rumus diawal, jika kita sudah berusaha semampu, sekuat dan semaksimal kita, maka serahkan sisanya kepada Tuhan dan biarkan Dia menuntun kita untuk menguak jawaban dari setiap pertanyaan dan doa yang sudah dipanjatkan, serta menunjukkan jalan yang terbaik dalam kehidupan kita.
Ahh satu lagi, berusaha juga menjadi bukti sebuah upaya agar kita selalu bersyukur dan menjaga pemberian yang diberikan oleh Tuhan kepada kita dan yang akan kita pertanggungjawabkan kelak dihadapan-Nya.
Surabaya, 27 Oktober 2020
Ps. Untuk bukti coba lihat bonus dibawah ini ya.
Tumblr media Tumblr media
1 note · View note
ruangtemurasa · 4 years
Text
MERACIK KEBAHAGIAAN
Kebahagiaan itu sejatinya bukan menjadi tanggungjawab orang lain, melainkan bagaimana diri kita menciptakan kebahagiaan itu sendiri. Benar, saya memang tidak menggunakan kata menemukan melainkan menciptakan. Rasanya jika menggunakan kata menemukan, kita cenderung mencarinya, padahal bagi saya kebahagiaan itu diciptakan oleh setiap individu yang berakal dan memiliki perasaan.
Kebahagiaan itu adalah kebutuhan yang harus dipenuhi. Coba bayangkan jika kita ‘merasa’ tidak bahagia, apa yang terjadi? Ahh paling parah semangat hidup akan berkurang drastis kan? Efeknya bisa kemana-mana. Maka dari itu, jangan pernah bebankan kebahagiaan kita kepada orang lain. Oh, bagaimana jika ada yang berdalih bahwa memang kebahagiaan seseorang berasal ketika melihat gebetannya ngajaknya makan bersama di tempat paling bersejarah mereka berdua sambil mengenang masa lalu, kemudian berbincang masa depan bersamanya, ditutup dengan ucapan selamat tinggal (ehh maaf bercanda, hehe)? Benar, itu bisa saja terjadi, tapi apakah pernah kita berpikir bahwa kebagaiaan atas dasar orang lain itu hanyalah sebuah kebahagiaan semu? Saya bisa bicara demikian karena tidak ada hubungan yang abadi kecuali hubungan kita kepada Tuhan. Pernikahan saja, pada akhirnya akan dipisahkan, oleh kematian. Jadi, mari kita berhenti untuk mengandalkan orang lain dengan dalih kebahagian kita.
Lalu bagaimana caranya menemukan kebahagiaan?
Jika ada yang mempertanyakan ini maka jawabannya hanya satu, sudahkah kita mengenal diri kita?
Kita bisa bicara seolah-olah tau apa yang membuat keluarga atau pacar atau gebetan atau selingkuhan kita bahagia, karena kita mengenal orangnya seperti apa. Tapi kenapa jika berkaitan dengan diri sendiri kita selalu abai?
Kesimpulan saya, jika orang lain saja kita tau bagaimana caranya membuat bahagia, seharusnya pertanyaan bagaimana membuat diri kita bahagia juga akan menjadi pertanyaan yang mudah dijawab, bukan? Dengan catatan kita memang sudah mengenal diri kita. Jika belum, coba renungkan kita ini orangnya seperti apa. Bagi sebagian orang, termasuk saya, mungkin jalan ninja yang bisa dilakukan adalah menanyakan kepada orang lain bagaimana kepribadian kita, tapi sekali lagi saya katakan, terkadang apa yang orang lain lihat adalah the best version of us dengan kecenderungan, kita memang ingin dilihat baik oleh orang lain, walaupun kepada sahabat terbaik dari orokpun sekalipun, pasti tanpa kita sadari ada bagian yang masih ingin kita jaga untuk kita simpan sendiri. Jadi, sekali lagi, hanya kamu yang harus mengenal dirimu sendiri.
Menciptakan kebahagiaan itu mudah, yang diperlukan hanya kesungguhan. Kesungguhan untuk mengenal diri kita. Kesungguhan untuk merenungkan, kita ingin apa disaat ini dan di kemudian hari. Kesungguhan untuk menerima apa yang ada dalam diri kita dan menjadikannya sumber motivasi untuk berkembang kedepannya. Kesungguhan untuk memaafkan diri kita bahwa kita memang tidak sempurna. Bahwasanya bahagia adalah tentang bersyukur terhadap apa yang terjadi dalam hidup kita.
“Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a GIFT. That’s why it’s called THE PRESENT” -Master Oogway-
  Surabaya, 16 Oktober 2020
0 notes
ruangtemurasa · 4 years
Text
TUTORIAL MENJADI MANUSIA
Beberapa waktu lalu saya sempat bertanya kepada kawan – kawan virtual saya, menurut mereka menjadi manusia itu seperti apa? Syukurlah masih ada beberapa yang menjawab, hehe. Bukan bermaksud menggurui, sekali lagi tulisan ini hanya sekedar sharing pengalaman, pun ini menjadi pengingat bagi diri saya sendiri. Pengalaman hidup masing – masing orang kan berbeda, pasti tempaan untuk bisa berdiri kokoh hingga sekarang juga pasti tidaklah mudah. Okay, let’s start!
1. Wajar untuk menjadi tidak sempurna (It’s okay to not be okay)
Hal paling pertama yang ingin saya tekankan adalah It’s okay not to be okay (ciah kek judul film aja, hehe), but seriously kamu tidak perlu sempurna untuk menjadi manusia. Kenapa? Kadang (atau bahkan sering), kita merasa dituntut lingkungan kita untuk serba bisa, untuk tau segalanya, padahal hei, tidakkah kita ingat kalau manusia ini makhluk sosial, oleh karenanya kita diciptakan untuk menjadi tidak sempurna agar kita bisa berinteraksi dengan yang lain, Manusia diciptakan untuk saling membutuhkan atau mengandalkan. Tapi bedakan dengan “menggantungkan diri kepada manusia”. Jangan! Kalau kecewa kamu akan yang akan sakit sendiri.
Pun sering kali kita diminta untuk menyembunyikan perasaan kita, ingat semakin lama kita memendam apa yang kita rasa, yang terjadi malah membuat diri kita semakin tidak sehat. Sehat itu tidak hanya secara fisik tapi psikologi menjadi aspek penting untuk bisa dikatakan sehat. Jika kamu merasa ada hal-hal yang kurang berkenan, maka satu – satunya jalan adalah berkomunikasilah dengan orang yang tidak sependapat denganmu atau malah bikin kamu sebal hingga ke ubun-ubun. Masalah tidak akan bisa selesai kalau dipendam, satu-satunya cara adalah menyelesaikannya dengan cara berbicara dari hati ke hati, menyatukan rasa dan mencari titik temunya. Melarikan diri atau menghindar hanya menunda dan semakin membuatnya berlarut-larut.
2.      Tidak papa bilang tidak tau
Rasa – rasanya hanya google yang akan bisa menjawab keingintahuan kita akan segala hal yang terjadi di dunia ini, kalau manusia? Pastinya memiliki keterbatasan. Sebenarnya, silahkan saja kalau kita merasa tidak tau. Sama sekali ngga dosa kok kalau bilang kita tidak tau, pun tidak akan mengurangi nilai kita menjadi seorang manusia. Dalam learning process menjadi tidak tau merupakan hal yang lumrah, tapi di negeri ini kita mendidik kita untuk tau segala hal. Sesungguhnya, dengan ketidaktahuan kita, bukankah kita bisa menuntun kita untuk melakukan interaksi dengan yang lain?
3.      Urip kudu urup
Ini adalah salah satu pepatah jawa yang artinya hidup itu harus menyala. Kalau saya diminta untuk mendefinisikan artinya sangat simple, bermanfaat. Jika kita mengetahui rasanya bisa bermanfaat bagi orang lain, saya yakin kebahagiaan akan menyertai. Seolah – olah ketika bisa bermanfaat bagi orang lain, kita bak menjadi orang yang paling berjasa, bukan untuk riba tapi perasaan bahagia yang melingkupinya yang perlu digarisbawahi.
4.      Saling memanusiakan manusia
Menjadi manusia itu mudah, menghargai sesama manusia. Saya rasa value hidup ini sudah ditanamkan sejak kita duduk dibangku Sekolah Dasar, tapi semakin bertambahnya usia, kita lupa hakikat kita terhadap sesamanya. Simpelnya adalah perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan. Titik tidak pakai koma.
5.      Hidup kita adalah cerminan diri kita
Jangan, jangan pernah memandang hidup orang lain, fokus pada hidup kita sendiri sepertinya lebih berfaedah. Saya selalu mengingat bahwa setiap orang punya timingnya masing-masing. Jangan bandingkan, karena jelas sekali bahwa proses hidup setiap orang beda – beda dan tidak bisa distandarisasi. Menetapkan nilai hidup itu penting, sebagai cerminan bagaimana kita menjalani dan memandang hidup kita,
Terakhir, namun menjadi yang paling penting dan fundamental adalah dimanapun kita pergi, kembalinya hanya kepada Tuhan. Seperti poin yang saya sampaikan diawal bahwa jangan pernah sekali – kali berharap kepada manusia, hasilnya kebanyakan hanya berbuah kekecewaan, jadi sebaik apapun kembalilah pada Tuhan. Hanya Dia satu-satunya yang memiliki jawaban dari segala pertanyaan di dunia maupun di akhirat kelak.
0 notes
ruangtemurasa · 4 years
Text
NIDYA, ADELE DAN REBEL WILSON, APA KESAMAANNYA? KAMU BAGAIMANA?
Baiklah saya akan mulai tulisan saya dengan sebuah pengamatan yang saya lakukan beberapa waktu terakhir. Hal ini (mungkin secara tidak sadar) saya lakukan karena memiliki rasa kesamaan dengan dua orang ini, mereka adalah Adele dan Rebel Wilson. Pertama kami sama-sama memiliki suara yang renyah dan empuk, baiklah bukan terlalu overproud menyamakan diri saya dengan mereka berdua, hanya saja memang begitu kenyataannya. Jika Adele adalah seorang penyanyi, dan Rebel adalah aktris sekaligus penyanyi, sedangkan saya sendiri adalah MC. Benar kan justifikasi saya kalau kami memiliki kesamaan dari segi suara?
Kedua, dimana alasan ini adalah yang mendorong saya untuk menulis tulisan ini. Yaps, secara kasat mata bisa dikatakan kami memiliki kesamaan dari segi bentuk tubuh, sebagian besar orang akan mengatakan kami gemuk, tapi tidak, kami menyebutnya menggemaskan, kami sexy dengan cara kami sendiri. Tapi akhir-akhir ini, secara tidak sengaja dan berturut-turut kami mengalami perubahan. Dimulai dari Adele, yang secara tiba-tiba muncul didepan publik dengan penampilan yang cukup mencengangkan. Kesan pertama saya? Kaget! Saya jadi rindu Adele yang dulu, Adele yang menggemaskan. Kalian sependapat tidak?
Kemudian baru – baru ini, diikuti Rebel yang muncul di acara kerajaan Monaco dengan penampilan yang, walau belum dikatakan mencengangkan seperti Adele, tapi cukup membuat saya terpana. She lost her weight, too! Kesan pertama saya? Sama, saya rindu dengan wajah chubbynya yang menggemaskan. Kebetulan saya sendiri, sudah dua bulan berkutat dengan per-diet-an dan syukurnya sama saya berhasil menghilangkan beberapa kilo lemak membandel dalam tubuh saya, ini pencapaian terbesar saya di tahun ini.
Jujur, saya tidak tau alasan perubahan mereka kenapa, disini saya hanya menyoroti betapa sebenernya pandangan publik bisa menjadi salah satu faktor perubahan itu. Coba cek kutipan dari sebuah berita berikut ini:
“Adele dengan tubuh tambunnya mendapatkan kritikan. Salah satunya dari perancang busana ternama dunia Karl Lagerfeld yang terus mengomentari penampilan Adele. Karl Lagerfeld mengatakan tubuh Adele gendut, tidak seperti artis pada umumnya…..” (Sumber: https://www.winnetnews.com/post/gara-gara-ini-badan-adele-jadi-bahan-bullyan)
Sedih sekali rasanya, ternyata standar kecantikan di sekeliling kita hanya terbatas pada ramping-putih-tidak berjerawat-dan sebagainya. Apa sih hak orang sehingga bisa melakukan justifikasi seperti itu? Coba tanyakan pada diri sendiri, apa kontribusi kita pada hidup seseorang yang kita judge dengan seenak dengkul pemikiran kita? Padahal coba lihat lebih mendalam pencapaian mereka dan seberapa besar effort yang sudah dilakukannya? Could anyone beat them? Huh!
Mulailah dari diri sendiri untuk menjadi society yang positif dengan menghargai setiap apa yang ada disekitar kita tanpa justifikasi tak mendasar.
Mungkin beberapa waktu lalu definisi self-love yang akhir-akhir ini marak digaungkan menurut saya adalah ketika kita menerima apa yang diberikan Tuhan kepada kita. Namun, semakin banyak berdiskusi, membaca atau mendengarkan insight dari berbagai sumber maka saya harus merevisi definisi ini bagi diri saya sendiri. Self-love berarti menghargai dengan menjaga pemberian Tuhan dengan merawatnya tidak serta merta hanya menerima. Alasan inilah yang akhirnya mendorong saya untuk melakukan sedikit transformasi pada diri saya. Saya sadar dengan bentuk tubuh saya beberapa waktu lalu, akan banyak risiko penyakit menyertai, tapi saya tidak mau seekstrim Adele, saya tetap ingin terlihat fresh, tidak bikin pangling dan tetap menggemaskan (haha, maaf menggunakan kata ini). Intinya, saya sehat dengan bentuk apapun yang akan melekat pada tubuh saya, better version of me is me. Karena cantik itu apa yang seharusnya dilihat dan diamati dalam jangka waktu yang cukup, tidak hanya sekelebat mata. Yang Nampak hanya akan bertahan beberapa tahun, namun yang tak nampak tak akan lekang oleh waktu.
 Surabaya, 27 September 2020
0 notes
ruangtemurasa · 4 years
Quote
Happiness comes from mind
0 notes
ruangtemurasa · 4 years
Text
HALO, INI SAYA!
Hai, saya pemain baru dalam dunia penulisan. Saya tidak tau entah di pagi ini saya tergugah untuk membuat suatu karya yang ingin saya kenang. Yaps, saya memang sangat random. Kamu bisa memanggil saya Nidya.
Sebenarnya sudah terpikir untuk membuat suatu konten, yang sempat  beberapa waktu lalu ingin sekali membuat podcast. Saya cukup percaya diri untuk ‘menjual’ suara saya, alih – alih tulisan saya. Namun, saya menyadari bahwa ternyata banyak faktor pendukung jika ingin membuat podcast. Sehingga saya berpikir memberanikan diri untuk menuangkan hasil pemikiran dan perenungan melalui sebuah tulisan ketimbang hanya becokol dalam kepala saya. Siapa tau apa yang saya pikirkan ternyata bisa bermanfaat untukmu dan kita mempunyai kondisi yang sama jadi bisa saling bertukar cerita. Nidya Ruang Pemikiran, selamat menikmati! “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”  (HR. Ahmad, ath-Thabrani)
1 note · View note