Tumgik
rizkizakaria · 5 years
Text
Para Pecundang Melawan Rasa Takut
Tumblr media
Selalu ada konotasi negatif melekat pada frasa pecundang. Persoalan yang mengemuka di masyarakat, kata pecundang memiliki makna yang multitafsir. Terkadang disematkan untuk para pembuat onar, kadang juga untuk orang yang selalu menemui kegagalan, atau mungkin untuk orang-orang yang selalu lari dari sebuah masalah. Semua penyematan itu hanya disesuaikan dengan selera pengucapnya. Penyematan frasa yang sebenarnya hanya bersifat subjektif.
Hal yang sama juga disematkan kepada Bill Denbrough dan teman-temannya sebagai para pecundang (The Losers Club) dari kota Derry. Dalam film It: Chapter 2 mereka harus kembali ke kota Derry untuk melenyapkan Pennywise si Badut yang bangkit dari hiatusnya selama 27 tahun.
Tidak dapat dipungkiri memang banyak yang merasa kecewa dengan It: Chapter 2 karena tidak sesuai dengan ekspektasi orang-orang. Karakter Pennywise yang diharapkan digali lebih mendalam, nyatanya tidak. Mungkin bisa ditaksir di  Chapter 2 ini hanya mengkombinasikan 60% drama + 40% Horor. Namun hal itu tidak menjadikan film ini buruk karena sutradara Andy Muschietti tetap menampilkan horor yang tidak generik dan diperkuat oleh aspek dramatik yang tidak mudah membuat bosan.
It: Chapter 2 mengawali film dengan mengangkat tiga persoalan, yaitu mengenai homofobik, bullying, dan perlawanan. Untuk beberapa saat Adrian Mellon didapuk menjadi tokoh utama disini, ia adalah korban homofobik yang mengalami bullying di sebuah karnaval di Derry. Ia juga menjadi yang paling vokal dalam melantangkan perlawanan. Namun kisahnya tidak berlangsung lama karena ia dilempar dari atas The Kissing Bridge ke sungai oleh ketiga pelaku bullying sebelum pada akhirnya Pennywise muncul dipermukaan dan melahap jantung Adrian.
Cerita berlanjut ke petualangan The Losers Club di Derry. Bill Denbrough, yang di chapter sebelumnya bertindak ibarat pemimpin klub, kini tidak terlalu menonjol. Seluruh anggota The Losers Club diberi bobot cerita satu per satu secara adil. Dan disinilah set-up cerita dibangun dengan solid. Meskipun memang pola penuturan dari masing-masing karakter bisa dibilang cukup repetitif. Dimana mereka masing-masing akan bernostalgia dengan masa lalu yang kemudian Pennywise muncul dengan teror bertubi-tubi.
Sebagaimana nama klub mereka, semuanya diselimuti rasa takut berlebih. Label pecundang seakan-akan memang layak disematkan kepada mereka. Bahkan sejak awal sebelum mereka berkumpul, Stanley Uris sekonyong-konyong memutuskan untuk meninggalkan dunia lebih awal dan tidak ikut dalam reuni The Losers Club di Derry. Dia menyadari satu-satunya cara mengalahkan Pennywise adalah The Losers Club harus bersatu. Semantara ia adalah pecundang yang paling penakut diantara kelima temannya. Sehingga memilih untuk tidak ikut ambil bagian dan mempercayakan semuanya kepada lima temannya. 
Betapa drastisnya rasa takut dapat mengubah keputusan seseorang. Franklin D. Roosevelt, mantan Presiden AS pernah berkata yang mungkin agak klise bahwa satu-satunya hal yang harus kita takutkan adalah rasa takut itu sendiri. Hal inilah yang kemudian coba diatasi oleh kelima anggota The Losers Club yang tersisa.
Mereka menyadari betul meskipun sudah bertambah usia tetapi mereka tetaplah para pecundang yang sama seperti 27 tahun yang lalu. Mereka dihadapkan dengan dua pilihan yang sama mengerikannya. Lari atau melawan, Pennywise tetap saja mungkin bisa dengan mudah melahap jantung mereka. Namun yang mereka pahami jalan yang terbaik adalah bersatu dan melawan. Perlu beberapa kali Mike sebagai inisiator meyakinkan teman-temannya, bahkan hingga akhir cerita.
Mereka teringat kembali kejadian nostalgia sebelumnya saat mengumpulkan artefak bagaimana mereka bisa lolos dari teror Pennywise. Diawali dari Eddie yang teringat di gudang apotek tempat biasa ia mengisi ulang inhaler, dalam keadaan takut ia mencekik balik hantu yang menerornya. Ia merasakan sebenarnya hantu itu lemah, hingga akhirnya memuntahkan cairan yang menjijikan sebelum menghilang. Hanya rasa takutnya sajalah yang membuat hantu itu menyeramkan. 
Hal yang sama juga dirasakan oleh Bill dan Richie. Bill terbebas dari rasa bersalah atas kematian adiknya setelah menyadari bahwa semua yang terjadi hanya akal-akalan si Badut. Begitu juga Richie yang menyadari semua rasa takut yang dialaminya hanya ilusi Pennywise. Keduanya memberontak dari teror-teror yang dilakukan Pennywise. 
Inilah mungkin yang dimaksud salah satu self-defense mechanism ala sang psikoanlisis Sigmund Freud, yaitu pembentukan reaksi. Tindakan defensif dengan cara mengganti impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan impuls kebalikannya. Seperti yang dialami Eddie, Bill, dan Richie. Semakin mereka takut maka semakin tenggelam pula mereka dalam teror Pennywise. Maka dari itu mereka masing-masing memberikan impuls yang berkebalikan untuk terbebas dari teror. Mekanisme inilah yang kemudian dijadikan senjata untuk melawan Pennywise. 
Di awal cerita sebenarnya karakter Pennywise merupakan representasi dari bentuk bullying dengan bertubi-tubinya teror yang ia lakukan. Namun pada akhirnya ia dikalahkan oleh bullying balik yang dilakukan oleh The Losers Club. Mereka meneror dan mengintimidasi balik Pennywise dengan mengatakan hal-hal yang berlawanan dari apa yang mereka terima secara sadar. Pennywise pun terdesak dan semakin menciut hingga akhirnya jantungnya direnggut dan dihancurkan.
Perlawanan para pecundang akhirnya membuahkan hasil hinnga Derry terbebas dari teror Pennywise. Rasanya mereka tidak masalah dengan label pecundang disematkan kepada mereka sejak sekolah dasar. Kegagalan mungkin akan menjadi hal yang lumrah bagi mereka. Namun merekalah yang akan bangkit lagi setiap kali terjatuh. Seberapa banyak pun mereka jatuh, sebanyak itulah mereka akan bangkit kembali. Merekalah para pecundang dari kota Derry.
Mungkin saya bisa sedikit menukil bait favorit dalam lagu Nyanyian Perang milik Koil, yang menurut saya cukup relevan dan juga sering saya jadikan pijakan untuk melawan rasa takut. Kurang lebih seperti ini: "Badai (memang) pasti akan datang (dan jika) kita tak akan menang, (lalu) mengapa harus bimbang?" Lawan!
Ya memang agak sedikit kontradiktif. Namun yang saya pahami bait tadi berusaha mengingatkan saya untuk jangan pernah memberi ruang untuk rasa takut (pada kegagalan) dan pesimisme, jika tidak kita akan merasakan mati tergantung dalam kebimbangan.
3 notes · View notes
rizkizakaria · 6 years
Text
Egoisme dan Mencintai Diri Sendiri
Tumblr media
Pada dasarnya, hubungan antara manusia hanya akan menimbulkan ketergantungan. Ketika seseorang membuat ikatan dengan orang (luar) lain, secara tidak langsung menjadi ungkapan ketidakmampuannya untuk menjadi diri sendiri dan ia sedang melarikan dirinya dari kebebasan hidup seutuhnya. Maka selain menjadi sebuah bukti kelemahan, saya juga sepakat  jika cinta dan altruisme merupakan tanda dari degenerasi.
Erich Fromm mengatakannya seperti ini: “Mencintai orang lain hanya akan menjadi sebuah kebajikan ketika keluar dari batin ini, tetapi ia menjadi sangat menjijikkan jika ia ungkapan dari ketidakmampuan untuk menjadi diri sendiri!”. Dengan cinta mungkin seseorang akan merasa senang. Namun itu menjadi buruk ketika diketahui bahwa sebenarnya ia telah menyelamatkan diri dengan bergantung kapada orang lain.
Ambivalensi acap kali muncul ketika membicarakan cinta dan kehidupan. Tanpa disadari cinta telah menolak kehidupan ini, namun terkadang kita akan memintanya untuk menerima sebagaimana adanya. Tetapi pada kenyataannya cinta seringkali memfalsifikasi keadaan hidup sesungguhnya. Seolah-olah, segala realitas bertumpu pada eros, dimana cinta menjadi pusat dan pegangan.
Saya teringat dengan kisah Nietzsche ketika dua kali lamarannya ditolak oleh perempuan yang dicintainya. Secara afektif itu memang satu gambaran tragis. Namun secara normatif ia terlihat biasa saja. Tentunya ini bukan satu-satunya kegetiran yang pernah ia alami. Dalam hal ini, ia sudah bisa menguatkan dirinya sendiri. Segala kemalangan dalam hidupnya mengafirmasi pemahamannya yang mencintai takdir dirinya sendiri. Nietzsche menyebutnya sebagai Amor Fati.
Di sini saya melihat Nietzsche sebagai individu yang otonom dan berkarakter. Individuasi pada Nietzsche adalah sebuah ungkapan untuk menjadi dirinya sendiri yang berangkat dari egoismenya. Ia tidak akan mudah berkompromi dengan banyak hal. Sebagai individu ia sanggup menguatkan dirinya tanpa pretensi dari pihak luar.
Saya meyakini bahwa individuasi--mungkin egoisme menjadikan seseorang memiliki karakter yang kuat. Ini tentu menjadi sebuah pertentangan bagi doktrin altruisme yang mengajarkan kemanusiaan dengan mencintai orang lain. Namun doktrin yang diajarkan altruism tentang “jangan mementingkan diri sendiri” yang kadang ditafsirkan sebagai “jangan egois” secara tidak disadari telah menghentikan proses integrasi psikologi untuk pengembangan kepribadian individu dan otonomi diri.
Di dunia altruism, individu diminta mereduksi otonominya bahkan meniadakannya di hadapan banyak otoritas, baik masyarakat, norma, maupun agama. Sebagai individu, kita harus bersedia berkompromi dengan dan untuk banyak hal: merawat ikatan, menjaga keharmonisan, menaati aturan, menghormati norma, dll.
Saya tidak bisa membayangkan seperti apa jadinya jika suatu saat nanti saya benar-benar berada di posisi yang sama seperti Nietzsche. Namun dengan membayangkan hidup tanpa orang lain beserta perlindungannya, bantuannya, kehangatannya dan embel-embel lainnya, memang telah membuat kebebasan individu menjadi hal menggetarkan sekaligus menggentarkan.
***
Catatan:
- Amor Fati:  Sikap manusia, kecintaan kepada takdir hidupnya --termasuk derita dan kehilangan--sebagai suatu hal yang baik dan menerima kenyataan seutuhnya.
- Eros:  Dewa cinta dalam mitologi Yunani.
Gambar dari http://bmindful.com/forum/thread/8277/
1 note · View note
rizkizakaria · 6 years
Text
Tembok Berpikir: Pengenalan
Berpikir mungkin bisa saya artikan sebagai sebuah kegiatan mental yang selalu diawali dengan pertanyaan. Adanya rasa keingintahuan dari dalam diri menyebabkan pertanyaan-pertanyaan itu muncul. Terkadang kita merelakan jiwa terganggu, dan benar-benar terombang-ambing dalam suatu pertanyaan. Semua itu terjadi hanya untuk mendapatkan sebuah jawaban.
Berbagai pertanyaan sering menghampiri saya. Lalu pertanyaan baru lainnya kembali muncul. Saya tidak bisa menolak rasa ingin tahu. Karena dalam keyakinan saya, Tuhan memang menganugerahkan akal untuk berpikir. Dan berpikir dengan sebaik-baiknya adalah bentuk rasa syukur kepada Tuhan. Maka dari itu mungkin tidak akan terlalu berlebihan juga jika kemudian semua proses berpikir ini dilakukan karena atas dasar “iman”.
Buah dari sebuah pemikiran tentu saja ditandai dengan ditemukannya sebuah jawaban. Namun masalah baru muncul berkaitan dengan ingatan saya. Ya, terkadang saya mudah lupa dengan hal-hal detail. Sehingga membuat saya harus mengingat-ingat jawaban bahkan hingga memikirkannya kembali. Oleh karena itu, maka saya berencana akan mengisi tumblr saya dengan sebuah konten yang bernama tembok berpikir, dimana pada tembok saya akan mencoretkan semua yang sedang saya pikirkan.
Semua pertanyaan dan jawaban yang saya pikirkan akan saya tulis kembali disini. Tujuannya sama seperti deskripsi blog ini, “Apa yang ditulis bukan untuk menggurui, setidaknya untuk menjadi pengingat diri”. Selain itu tentunya agar dapat menulis lebih panjang dan lebih mudah disunting. Tapi mungkin disini kita bisa juga berdiskusi, karena dari sebuah pemikiran tidak pernah ada jawaban final. Jika ada pemikiran baru mungkin saja akan ada jawaban baru lagi. Bisa bertentangan bisa juga melengkapi. Karena pada prinsipnya bicaralah ketika mengetahui, mendengarlah untuk memahami, dan berdiskusilah untuk saling melengkapi.
Semoga dengan adanya konten ini kita bisa saling terbuka dengan setiap pemikiran. Karena esensi dari tembok itu sendiri merupakan gambaran dari cara pandang seseorang. Jika pemikiran kita tertutup maka sudut pandang kita hanya terfokus pada satu titik saja, yaitu tembok yang terlihat didepan mata. Maka cobalah untuk terbuka, mundurkan beberapa langkah kebelakang dan kita akan melihat lebih banyak sudut pandang dan pemikiran yang tertulis ditembok itu. Yang tentunya akan ditemukan lebih banyak jawaban.
0 notes
rizkizakaria · 6 years
Text
Menutup Tahun di Burjo
Semangkuk bubur kacang ijo yang mengahangatkan telah habis sudah. Namun belum juga turun malam sudah diguyur hujan. Saya kira itu akan menjadi makanan penutup di akhir tahun ini. Di warung Burjo Pak Min, terpaksa saya memintanya untuk menyeduhkan 1 gelas kopi lagi. Waktu memang menunjukan belum terlalu larut malam, namun telihat jelas mimik kecewa mencuat dari wajah Ren. Sebelumnya kami berencana hanya akan menikmati semangkuk bubur kacang ijo, setelahnya kita akan pulang. Namun ternyata  suara hujan semakin lantang terdengar. Kami batal beranjak dari kursi kayu bundar yang sedang kami duduki.
Di atas meja panjang Ren meletakan ponselnya diikuti dengan membuka salah satu akun jejaring sosialnya. Tampaknya ia cukup malas menggunakan tangan untuk menopang ponselnya. Ia mulai menggulirkan lini masa dan mengeluh, jika lini masanya kini dipenuhi berita politik. Saya agak heran keluhnya, sebagai alumus Ilmu Pemerintahan mungkin seharusnya ia sudah tidak aneh dengan yang ada di lini masanya. Namun saya mulai paham dengan keluhan yang iya utarakan setelah ia melanjutkannya dengan bercerita.
Tahun ini memang tahun di mana politik dirayakan sebagai sebuah pesta. Dan ini akan berlansung hingga tahun depan. Menurutnya pemilihan umum tersebut seharusnya merupakan peristiwa-peristiwa berkala yang bermakna perbaikan di berbagai tingkatan dan dalam berbagai bidang. Akan tetapi, hingga kini politik yang dominan masihlah jauh dari berorientasi pada kebaikan bersama. Hingga kini kebaikan bersama lebih kerap sekedar nama untuk kebaikan pribadi dan atau golongan.
Pemilihan umum dikontruksikan sebagai kontestasi pertempuran penghabisan; bukan sebagai ranah agonistik, tapi medan antagonistik. Visi, misi, dan program tidak diedarkan dengan bahasa rasional dan mengakodomasi keragaman khalayak, melainkan dengan mengobarkan api yang membakar sentimen-sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan.
Konstruksi politik seperti ini menurutnya sudahlah tidak sehat. Di satu sisi dituntut olehnya kepercayaan dan kepatuhan. Begitu ada yang mempersoalkan, entah beralas data maupun hanya dengan argumentasi, mereka akan dianggap sebagai hewan buruan. Setiap darahnya yang mengalir diyakini akan membawa bahtera hidup menuju keabadian surga.
Di sisi lain ketidaksepakatan tujuan bernegara telah diterka sebagai bentuk perbuatan makar. Layak dibredel dan dipenjarakan. Bagi mereka yang enggan berbaur akan dicap sebagai anti-pancasilais dan sikap toleransi yang benar hanyalah milik mereka. Pada akhirnya masing-masing mengklaim sebagai representasi dari golongan yang unggul, bahkan kudus, namun ternyata hidupnya masih jauh dari kata patut.
Keresahannya memang cukup beralasan. Saya bersepakat dengannya. Saat ini pemilihan umum hanya seperti ajang barter, atau pertukaran hadiah dari penguasa untuk anggota tim sukses. Sementara kebanyakan dari mereka minus integritas dan kompetensi. Karena pada dasarnya, yang diberi hadiah oleh penguasa adalah orang, bukan lembaga, bukan pula warga negara. Maka dari itu hadiah ini berupa jabatan. Bukan agenda sosial. Bukan kebijakan maupun program.
Saya jadi terbayang ide konyol untuk mengubah tatacara pemilihan umum di negara ini menjadi layaknya seorang mahasiswa yang sedang membuat skripsi. Perlu riset dan pengujian program kerja. Tidak lagi diperdebatkan, melainkan dipresentasikan dan kemudian di uji dihadapan publik.
Namun tampaknya ide ini cukup menggilitik bagi Ren. Tetapi ia juga percaya jika dulu sikap melawan penjajah untuk merebut kemerdekaan pun mungkin saat itu dianggap sebagai ide yang konyol. Sebuah hal yang mustahil namun akhirnya terjadi. Dan saya kembali bersepakat dengannya soal itu.
Sementara itu genangan air mulai surut dan hujan telah menyisakan rintik. Ren telah mengemasi barang-barangnya. Ponselnya sudah ia masukan kedalam tas merah bermotif belah ketupat. Dia menutup obrolan kami dengan doa yang cukup singkat.
“Semoga tahun depan (negara) kita tetap dalam keadaan damai”
0 notes
rizkizakaria · 6 years
Text
La Shaira
Kalimat-kalimat ini sudah mengendap di dalam draft sejak 5 tahun yang lalu dengan keterbatasan kemampuan berbahasa. Setelah dibaca ulang ternyata saya tidak benar-benar ingat dengan makna-makna dari setiap kalimat yang saya tulis. Sangat mengawang-awang, menggelikan dan sangat “substansial” sekali ternyata tampaknya.. :D
Tapi satu hal yang masih saya ingat, ini tentang 5 hari setelah natal. Bertepatan dengan hari ini, maka akan saya tayangkan seadanya saja. Silahkan menerka-nerka.  
The light on the horizon was brighter yesterday In cards and flowers on your window I hope you know When you don't want to end up for the third time I want to give you something, more and more But you keep it going, and I was wrong I never knew what it was like
Ever thought to call when you go These feelings to flow in both ways Yes or no.. It’s just, like making nirmana
December will always be cold Every fifth days after Christmas are always so She thought it was just the usual greeting, but it is from where? Take back all the things that I said I didn't feel Like there was something I missed And it was like Shaira
The light on the horizon was remains on In cards and flowers on your desk I hope you know I dreamed about you nearly every night this week And I want to change your last name and being a wife Sort of hope that you will agree Everyone born of the pairwise, so do we
Ever thought to call when you go These feelings to flow in both ways Yes or no.. It’s just, like a parallel circuit
December will always be cold Every fifth days after Christmas are always so She thought it was just the usual greeting, but it is from where? Take back all the things that I said I didn't feel Like there was something I missed And it was like Shaira
Sekian dan terimakasih! :D
0 notes
rizkizakaria · 6 years
Text
Wani
Tumblr media
Sudah hampir sepekan saya berada di ibu kota. Di sebuah kota yang penuh dengan hiruk pikuk kehidupan manusia. Dari atas balkon kondominium yang disewa untuk beberapa pekan, saya perhatikan orang-orang berlalu-lalang. Diantaranya yang tergesa-gesa, tampak saling berebut untuk memasuki sebuah bis kota. Sementara sang kondektur tetap berusaha mengatur meski benar-benar kewalahan.
Di atas balkon ku bebankan berat badanku diatas pagar beton dengan sedikit membungkuk. Dahiku sedikit bekernyit ketika seorang wanita berjalan bersama anjingnya. Dia adalah sosok yang pernah saya temui sebelumnya di sebuah perempatan sepulang dari kantor surat kabar. Saat itu ia berbicara dengan anjing tersebut untuk dapat diarahkan ke arah yang benar, dan saat itu seketika saya paham jika dia buta.
Wanita muda ini berjalan dengan seekor anjing sebagai matanya. Tanpa disadari, Tuhan berbicara kepadaku tentang keberanian yang dimiliki wanita itu sehari-hari. Sepenggal kata “wanian” (kata dasar: wani) muncul dibenak saya pada saat itu. Sepenggal kata yang sering saya gunakan pada masa kecil. Yang saya tahu ada tiga bahasa daerah yang menggunakan kata “wani”, dan mereka bersepakat untuk mengartikan kata “wani” sebagai sebuah keberanian. Sebuah kata yang terkadang diabadikan untuk menjadi sebuah nama yang penuh dengan harapan. Dan soal wanita itu, menurutku dia sangat berani, bukan karena dia sangat berani terus menyebrang jalan melainkan menunggu petunjuk dari anjing pemandunya terlebih dahulu. Saya pikir betapa sulitnya hal itu bagi saya untuk dapat mempercayai dan mengandalkan panduan dari seekor anjing untuk menyebrang jalan.
Ingatan saya tertaut akan film “Into the Wild”. Film yang juga membicarakan soal ke-wani-an alias keberanian. Mengisahkan kehidupan Christhoper Johnson McCandless, seorang pemuda bermasa depan cerah dengan otak cemerlang, dan terlarih dari keluarga yang sama sekali tidak melarat. Tetapi ia mengambil pilihan hidup dengan begitu merdeka, yaitu melakukan perjalanan ke utara menuju Alaska, tanpa tabungan, untuk kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam kesunyian alam yang begitu mencucuk.
Sebagian orang mungkin bisa jadi akan menyebut Chris konyol. Dan mungkin saya pun akan berpikir berulang kali untuk melakukan itu. Saya tidak akan seberani itu. Padahal Chris mengatakan jika “Terlalu banyak berpikir (pertimbangan) akan menjadi masalah bagi manusia”. Sementara Chris tanpa berpikir panjang membakar uang tabungannya dan semua identitas diri. Uang menjadikannya untuk lebih berhati-hati untuk hidup. Chris tidak menyukai itu. Akhirnya dia melepaskan diri beban dunia, dibebaskan dari dunia yang mencekik. Senyum terakhir Chris beberapa saat menjelang kematiannya setidaknya membuat hati saya iri: betapa senangnya bisa mati ketika sedang berbahagia.
Saya tidak benar-benar mengetahui jika Chris benar-benar mati dengan bahagia. Tetapi senyum dan kalimat terakhir sebelum kematiannya cukup menggambarkan jika kematian seperti itulah yang layak ia dambakan. Pertanyaan kemudian muncul dalam benak saya “akankah saya seberani itu?” atau “dengan cara apa saya melakoni sisa hidup ini jika tidak dengan cara yang pengecut?” Sedangkan kematian adalah hal yang pasti.
Hal itulah yang mungkin coba disampaikan oleh Albert Camus dalam novel La Peste (Sampar). Dua tokoh utama, Dr. Rieux dan Tarrou tahu bahwa kematian adalah kepastian. Tetapi mereka enggan pasrah dengan absurditas itu. Mati hari ini atau besok mungkin sama saja, tapi sebelum kematian benar-benar datang, mereka harus berbuat yang terbaik bagi sesamanya selagi masih bisa. Mereka berani mengambil pilihan untuk memerangi wabah penyakit sampar yang mungkin saja bisa merenggut nyawa mereka.
Saat Rambert, wartawan yang terjebak di Oran dan sibuk berusaha kabur dengan segala cara, dan sempat menyindir tindakan Rieux dan Tarrou sebagai sebentuk “sok” menjadi pahlawan. Rieux membantah sindiran itu dengan mengatakan “dalam hal ini tidak ada yang namanya kepahlawanan. Ini mungkin sebuah gagasan yang akan membuat orang lain tersenyum sinis, tapi satu-satunya cara untuk melawan sampar adalah hal yang memang sepatutnya dilakukan.”
Pada dasarnya kita semua mampu untuk memiliki keberanian setiap hari. Namun kebanyakan diantara kita kerap terlalu sering bertimbang-timbang dan teramat sering menyusun alasan. Padahal tidak perlu banyaknya alasan untuk mendorong seseorang jadi berani. Begitu pula bagi wanita muda itu, tidak banyak alasan yang perlu ia pertimbangkan lagi. Karena hanya dengan keberanianlah ia akan mencapai semua tujuan dalam hidupnya.
0 notes
rizkizakaria · 6 years
Text
Keyakinan
Kita makhluk yang terpilih
Hidup berkoloni di bumi
Namun tak pernah bisa memilih
Tak terlahir menjadi ironi
Keyakinan itu pencarian
Dengan gaung-gaung pertanyaan
Tentang jiwa dan raga
Tentang makna dan karsa
Memilih untuk diri sendiri
Dan kebaikannya untuk seluruh umat manusia
Diantara keyakinan yang beragam
Yang berbeda upaya, namun dengan niat yang sama
Kadung hidup di dunia hancur tanpa arah
Dan ayat-ayat akan menuntun jiwa-jiwa yang lemah
0 notes
rizkizakaria · 7 years
Text
Manikmati Kegembiraan Bermain Sepakbola Bersama Anak-anak
Tumblr media
Kami main bola di jalan raya, beralaskan aspal, bergawang sandal. Tak peduli ada yang mencela, terus berlari mengejar angka. 
Begitulah penggalan awal lirik lagu “Bola Raya” yang didendangkan oleh salah satu band indie Surabaya, Silampukau. Salah satu lagu yang menggambarkan sebuah kerinduan anak-anak kecil (di kota) kepada tanah lapang yang kian langka dan menghilang. Karena lapang-lapang tempat mereka bermain kini telah disulap menjadi “gunung-gunung beton” yang menjulang tinggi.
Sepakbola anak-anak, saya kira, memang begitu terasa lebih mengasyikan untuk disaksikan. Eduardo Galeano, seorang sastrawan Uruguay dan penulis buku Football in Sun and Shadow pun mengaku masih sering berhenti di tengah jalan saat melihat anak-anak bermain bola. Kurang lebih dengan alasan yang sama, yaitu untuk mereguk “kemurnian” sebuah permainan yang penuh kegembiraan dan sukacita.
Sepakbola yang dimainkan anak-anak memang sangat sederhana. Hanya bermodalkan lahan kosong saja bagi anak-anak itu sudah cukup. Ruang sesempit apa pun tak akan pernah bisa memadamkan semangat dan kegairahan mereka untuk menyepak-nyepak si kulit bundar. Meskipun harus beralaskan aspal dan bergawangkan sandal.
Aturan permainan yang mereka terapkan pun cukup sederhana. Untuk kenyamanan saat bermain dan menendang bola, mereka harus menelajangi kaki mereka. Sementara sandal-sandal mereka dikumpulkan untuk membangun gawang. Hitungannya pun bukan menggunakan meteran, melainkan langkah kaki untuk menjamin ukuran gawang yang sama. Dan tinggi mistar gawang diukur dari bisa tidaknya penjaga gawang menggapai bola yang melambung diatas kepalanya, jika tidak tergapai itu artinya bola melambung diatas mistar gawang. Lalu sebuah friksi kecil pun muncul ketika bola melambung mengarah ke gawang.
“Masuk woy!” “Kagak itu jauh, bolanya gak nyampe” “Itu kamunya aja gak loncat” “Sumpah gak nyampe” “Demi apa? Awas masuk neraka loh kalo bohong”
Sampai disini seringkali para pemain yang tadinya mencoba curang akan mengaku, tersenyum kecil dan laga kembali dilanjutkan. Dan disitulah menjadi hal menarik saat anak-anak memainkan sepakbola.
Dalam urusan formasi, hal ini mereka buat sederhana juga. Setiap pemain yang dianggap paling jago akan menjadi penyerang, sementara sisanya akan menunggu dibelakang sebagai pemain bertahan. Tidak sampai disitu, untuk urusan penjaga gawang, maka anak yang bertubuh besarlah yang akan dipilih dengan alasan gerakannya lambat dan kurang piawai mengolah si kulit bundar.
Dalam bermain sepakbola anak-anak hanya mengenal yang namanya lawan, bukan musuh. Karena dalam setiap pertandingan pun kita memang lazim mendengar kalimat “Kesebelasan A melawan Kesebelasan B” bukan “Kesebelasan C memusuhi Kesebelasan D”. Seperti yang pernah diucapkan oleh Jean-Paul Sartre, tokoh Eksistensialisme, seorang filsuf dari Prancis yang termahsyur.
“Di dalam sepakbola, segalanya menjadi lebih rumit dengan hadirnya kesebelasan lawan.”
Disini Sartre menggunakan istilah “kesebelasan lawan”, bukan “kesebelasan musuh”. Karena memang “lawan” –meminjam definisi dari Zen R. Sugito– adalah prasyarat mutlak untuk terciptanya sebuah pertandingan. Tanpa “lawan”, tak akan pernah ada pertandingan. Dan “lawan” bukanlah musuh yang mesti dimusnahkan.
Anak-anak telah mengajarkan kita sebuah kegembiraan dalam sepakbola. Sebentuk kemurnian sukacita anak-anak dalam mengejar, berlari, dan menendang bola dengan penuh kesenangan, tanpa pretensi akan prestasi dan gengsi seperti yang orang-orang dewasa mainkan--hingga dapat menciptakan sebuah pertikaian dan kebencian. Dan yang mereka tahu, mereka bermain bola hanya karena mereka memang mencintai si kulit bundar.
Gambar:  alizaenal.co
0 notes
rizkizakaria · 7 years
Text
Berdamai dengan Kematian
Kematian itu dekat.         Dibanding denganmu, kematian lebih dekat denganku.       Dan dibanding denganku, kematian lebih dekat denganmu.
Tumblr media
Seandainya kematian memang benar tempat peristirahatan yang tenang dari seluruh keluh-kesah hidup di dunia, niscaya kematian merupakan suatu kabar gembira yang dinanti-nantikan. Namun bagaimana pemahaman akan kematian dapat ditautkan? Dan bagaimana pula cara menggauli kematian itu sendiri? Jika kematian itu berdiri di depan mata dan siap menuntun kita meninggalkan dunia ini kapan saja, adakah jalan yang lebih indah dalam mengisi waktu menanti ‘jodoh’ sejati kita ini?
Dalam cerpen The Wall karangan Jean-Paul Sartre—seorang filsuf sekaligus tokoh eksistensialisme kelahiran Paris, Perancis—diceritakan tiga orang yang mencoba untuk berdamai dengan kematiannya. Berkaca dari bagaimana ketiga orang tersebut mengakrabi kematian, ada tiga pertanyaan yang mesti dipersiapkan saat kematian menjelang. Mampu tidaknya seseorang untuk mengakrabi kematiannya dapat dilihat bagaimana cara seseorang memahami dan menjawab pertanyaan tersebut.
Mengapa seseorang harus mati? Ketidakmampuan untuk memahami pertanyaan ini membuat seseorang berusaha menghindari kematiannya. Hal ini menimpa Juan dalam cerita Sartre. Ia tidak memiliki alasan yang kuat untuk mati, hingga ia harus berteriak histeris dan memohon dengan sangat agar ia tidak dihukum mati. Juan didakwa hukuman mati karena dianggap terlibat gerakan anarki. Kakak Juan sendiri adalah seorang anarki tapi Juan sendiri tidak pernah terlibat dalam falangistas.
Ketidakterimaan Juan terhadap alasan mengapa dia harus mati, berdampak pada bagaimana dia menyikapi kematiannya. Ia menyikapi kematian seperti anak kecil yang lari ketakutan dari sosok shinigami yang tidak mungkin dia hindari. Kematiannya dianggap sesuatu yang tidak semestinya, atau setidaknya belum harus mendatanginya. Tubuh dan pikirannya melawan kepastian tersebut lalu melarikan diri dalam bentuk rasa takut, keringat yang luar biasa, rasa sakit, dan kekalutan pikiran. Juan merasa sosok kematian itu salah alamat, dan datang pada waktu yang tidak tepat, akibatnya Juan tidak sempat mempersiapkan diri.
Bagaimana caranya orang mati? Kalau bisa, orang-orang akan memilih kematian yang bersih, tanpa rasa sakit. Tapi tidak semua orang bisa memilih bagaimana dia akan mati. Dalam cerpen The Wall, Tom tidak punya jawaban yang mampu mendamaikan dirinya dengan pertanyaan ini. Tom seperti merasa dalam mimpi buruk. Ia membayangkan banyak hal, bagaimana jika dia akan mati dengan cara yang menyakitkan; seperti dilindas truk gandeng. Rasa takut saat mati inilah yang memenuhi pikirannya dan membuatnya melarikan diri dengan cara terus bercerita.
Tom sendiri menjadi terdakwa karena bergabung dengan pasukan Internasional Bridge dan ia tidak bisa mengelak karena bukti-bukti keterlibatannya dengan Ramon Griss ditemukan di dalam saku jaketnya. Berbeda dengan Juan, Tom mengetahui alasan mengapa dia harus mati. Akibatnya ia tidak begitu kalut seperti Juan–meskipun sebenernya ia takut–dalam menghadapi kematiannya. Meski begitu, dia tidak bisa menghalau resahnya saat memikirkan bagaimana dia akan mati.
Terkadang Tom hampir bisa mengerti, namun setelah itu dia kembali membayangkan akan peluru yang akan merajam tubuhnya, ledakan bubuk mesiu, serta sakit tak terhingga yang akan dia rasakan. Sama seperti Juan, kematian datang menghampiri Tom dengan sosok yang menakutkan. Bedanya Tom–meski takut juga–tidak berusaha lari, ia menerima kematian dengan mata terpejam, meski diantara kedua kakinya mengalir cairan pesing akibat dari ketidakmampuannya mengeluarkan rasa takut dalam dirinya. Ia merasa sudah tidak memiliki waktu untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi kematiannya.
Sementara Ibbieta memiliki cara unik dalam menghadapi kematiannya. Ia tidak membiarkan kematian melumatnya dalam ketakutan. Ibbieta tidak bermaksud lari menghindari kematian, tapi ia justru berusaha mengakrabi dan memahami kematiannya. Ia divonis mati karena memiliki hubungan dengan orang yang paling dicari, yaitu Ramon Griss. Ia menjadi orang yang paling mengetahui dimana tempat persembunyian Ramon.
Ibbieta berusaha melawan dengan cara tidak membiarkan kematian mengendalikan dirinya. Kematian boleh saja datang menjemputnya, namun Ibbieta sendirilah yang akan menentukan bagaimana ia akan mati. Ia bahkan sempat uring-uringan tidak mau kehilangan waktu dua jam terakhir dalam hidupnya. Ibbieta berfikir, dalam keadaan mengantuk dia bisa saja ditembak tanpa sadar sedang dihukum mati. Dia tidak ingin mati dengan cara seperti itu. Dia juga tidak ingin tertidur lalu didatangi mimpi buruk. Maka, dia berusaha berjalan mondar-mandir, mencari ide, atau kembali bernostalgia dengan ingatan masa lalunya.  Dalam kedinginan ruangan, tetes demi tetes keringat mengalir di wajahnya—sebagai manifestasi dari situasi patologi teror; dan ia merasa normal dalam keadaan itu.
Kemana kita akan pergi setelah mati? Meyakini bahwa tidak ada apa-apa setelah kematian tentu akan memberikan efek yang berbeda jika disatu sisi meyakini bahwa kematian adalah jalan untuk pulang. Entah itu jalan menuju Narak, Paataal, Swarga, Jana, Tapa, atau Satya. Pertanyaan mengenai dari mana kita berasal dan bagaimana cara menyikapi hidup, berikut apa yang kita tinggalkan setelah kematian, sepertinya juga memengaruhi bagaimana orang mengakrabi kematiannya. Ibbieta dan Tom juga sempat menyinggung hal ini di saat mereka mencoba mengkarabi kematian mereka masing-masing.
***
Dalam Serat Centhini II pupuh 64, bait 233-234, pemikiran orang Jawa akan kematian setidaknya telah tertulis dengan butir-butir yang didaraskan pada wewarah Syekh Amongraga tentang hakikat dan keberadaan kematian itu sendiri:
Allah senet neng sajro ning pati   Rasul Muhammad senet jro ning gesang     Urip kang kahanan kie     Urip iki kawibuh Pan kawengku ing dalem pati       Pati pan amisesa             Ing urip sawegung           Kabeh ginantungan rusak             Utama ning urip kang prasanak pati         Matia mumpung gesang  
Sing sapa kang ngeling-eling pati Ingkang bisa mati jro ning gesang             Tinetah supaya teteh       Titah ing Hyang Mahagung         Kudu eling ing dalem pati             Petitis ing kasidan           Uripe linuhung   Sebab uripe prasanak pati           Lawan pati urip tan kenaning pati Yeku dat ing Hyang Suksma
Dalam dua bait wewarah yang dirangkai dalam bentuk Dandang Gula ini menegaskan bahwa problem kematian bukanlah persoalan yang terentang jauh dari kehidupan. Kematian dipahami sebagai bagian penting yang melekat dalam kehidupan manusia karena ia menjadi bagian yang integral, yang manunggal, dengan kehidupan itu sendiri.
Bila kita kaji kembali, gagasan tentang urip sajroning mati dan mati sajroning urip (hidup ada dalam mati, mati ada dalam hidup) menjadi alur penting dalam skema kehidupan. Kematian bukanlah sekadar peristiwa bio-organik semata yang kemudian memutus relasi kehidupan sosial karena kebinasaan eksistensial, melainkan lebih sebagai transisi esensial menuju jagat keabadian. Maka kematian diakrabkan dengan kehidupan, dan bukan menjadi ancamaan yang mesti ditakuti kehadirannya. Ataupun tak mesti selalu “dirayakan” dengan genangan dan kenduri air mata.
Seperti syair yang dituliskan oleh Cholil Mahmud. Kematian adalah sebuah keniscayaan, akan tiba tiba datang, atau dinantikan. Dan kematian hanyalah perpindahan awal kekekalan. Karena kematian adalah untuk kehidupan tanpa kematian.
ref: Cerpen The Wall  karangan Jean-Paul Sartre, Essai Kuss Indarto
Catatan:
- falangistas: orang-orang yang terlibat dalam partai politik
- Narak, Paataal, Swarga, Jana, Tapa, atau Satya: alam-alam eksistensi setelah kematian
- Shinigami: dewa kematian  dalam cerita rakyat Jepang
0 notes
rizkizakaria · 7 years
Quote
Lamaran adalah bukti keseriusan cinta, sedang pacaran hanya sebuah canda yang tak lucu sama sekali.
1 note · View note
rizkizakaria · 8 years
Text
Mengkhidmati 21 Februari
Andai saja saat itu si Ayah benar-benar melanjutkan perjalanannya ke luar kota, mungkin saja seorang anak tidak akan terlahir di hari itu. Entah firasat apa yang menghampiri si Kakak yang tiba-tiba merengek meminta kembali pulang dan membatalkan perjalanan.
Sepulang di rumah–si Ibu yang ditinggal–ternyata dikabarkan oleh tetangganya bahwa si Ibu baru saja dilarikan ke rumah sakit. Si Ayah pun bergegas menyusul si Ibu yang mungkin mengharapkan kedatanganya.
Disanalah terjadi negosiasi alot antara si Ayah dengan pihak rumah sakit. Saat itu si Ayah belum menyiapkan uang sepeser pun. Kelahiran anaknya memang lebih cepat dari yang diperkirakan. Padahal asuransi kesehatan yang diurus si Ayah dari kantornya baru bisa keluar minggu depan. Dan akhirnya dengan berbagai persyaratan proses melahirkan di rumah sakit itu dapat di langsungkan.
Kelahirannya di malam itu diiringi dengan gema takbir di pelbagai masjid. Anak itu telah terlahir dengan selamat. Dengan proses melahirkan yang bisa dibilang merepotkan tim dokter, kini anak itu telah tumbuh dewasa dan kelak akan menanggung sebuah tanggung jawab yang besar.
Tidak terasa usia anak itu telah menginjak angka 21. Layaknya sungai waktu mengalir, begitu cepat dilalui penuh dengan jalan yang tidak melulu lurus. Tanggung jawab besar sudah mulai dipikul olehnya sedikit-demi sedikit. Dan beruntung pula ia bisa tumbuh di lingkungan yang menjadikannya bijak menghadapi segala masalah.
Dalam dirinya, ia percaya bahwa hidup ini hanyalah waktu tersisa yang diisi sebelum ia kalah. Mati sekarang atau nanti sama jika tidak ada kebaikan menyertai hidupnya. Dirinya yang kadung terlahir di dunia, berharap semesta tidak berakhir mendahuluinya.
Hari ini adalah hari kelahirannya. Tak ada banyak permintaan keluar dari mulutnya. Kepada Sang Hyang Widhi, ia mengingat doa yang membuatnya bergidik: “Semoga Aku diselamatkan dari umur yang terlalu panjang ini.”
21/02/2017
2 notes · View notes
rizkizakaria · 8 years
Photo
Tumblr media
Herbert menghela nafas panjang seturunnya dari kereta. Ia atur nafas nya pelan-pelan lalu menatap kedua tangannya. Langit timur tampak mulai gelap, dan kereta tadi kembali melaju membentuk awan tebal. Dan ia pun menepuk-nepuk kedua telapak tangannya
Herbert datang di sebuah kota yang orang-orang bilang sebagai kota yang memiliki tempat terbaik untuk menghayati senja. Inilah kota terbaik untuk merayakan kegembiraan, rasa riang juga kebahagiaan.
Ia mantapkan langkah kakinya menuju selatan kota. Dimana ia bisa mengkhidmati tenggelamnya matahari. Dan menuntaskan segala hal yang ia rencanakan di kota ini.
Ya, dia benar-benar melangkahkan kakinya sejauh 5 Mil. Trem pertama melewat begitu saja tanpa menarik perhatiannya. Ia berjalan diatas trotoar selebar 3 meter. Beberapa kali ia berpapasan dengan gerombolan anak-anak sekolah. Dan langkahnya sedikit terhenti di depan sebuah penginapan yang akan dipesan untuk ia tempati selama berada di kota ini.
Herbert sampai di sebuah kastil diperbatasan distrik. Sebuah tempat yang sudah ia rencanakan untuk dikunjungi. Tapi ia datang dengan mengabaikan satu peringatan. Ya, dia datang ke tempat ini seorang diri, sesuatu yang sangat tak dianjurkan oleh semua kabar burung, sebab tak ada tempat bagi orang-orang yang datang sendiri kemari.
Tapi, Ezachiel Herbert sudah di sini, ia sudah mantap dengan segala macam risikonya. Herbert ingin berdamai dengan kehilangan yang membuatnya lungkrah. Jika memang benar ini tempat terbaik untuk merayakan senja dan kebahagiaan, pastilah tempat ini akan menjadi tempat terburuk mengerek rasa kehilangan. Tetapi dia akan tetap membiarkan saja tempat ini bekerja semaunya. Seperti seharusnya. Sebagaimana mestinya tempat ini memperlakukan tamu-tamunya. Dan ia tetap dengan rencana menghabiskan semua tenaga yang dimiliki untuk bersedih dan berkaca-kaca. Agar terkuras semuanya. Biar tuntas segalanya.
* * *
Layaknya para paderi yang khidmat menggelar meditasi. Semua orang menikmati senja dengan memancarkan kebahagiaan yang tak tergambarkan. Semua terasa tenteram. Orang-orang seperti sibuk dengan hati dan pikirannya sendiri. Tapi, dari bahasa tubuh masing-masing, cukup jelas betapa mereka terlihat bahagia.
Di halaman kastil ini Herbert diam termangu menghadap sungai, selalu begitu, setidaknya dalam enam senja yang sudah dilewatinya. Seperti yang sudah ia duga sebelumnya, melewati senja di sini seorang diri menjadi pengalaman paling menggiriskan, juga mengharukan.
Herbert menyaksikan kebahagiaan, wajah yang merona, senyum yang terpampang di mana-mana. Sementara ia memandangi satu-persatu potretnya. Membakar 3 sampai 5 batang rokok. Lalu kembali ke penginapan untuk menunggu senja berikutnya.
Senja ketujuh ini seperti menjadi puncak siksaan itu. Herbert bukan hanya selalu mengingat Lecyenin, tapi bahkan seperti melihatnya di mana-mana. Selalu saja ada sosok yang seketika kembali menautkan Herbert dengannya.
Dia benar-benar tidak bisa menghilangan semuanya. Ingatanya kembali menautkan dengan pertemuan pertamanya. Di bangku panjang itu, Herbert baru saja seperti melihatnya. Ya, benar-benar mirip. Dia duduk membaca buku sembari menyilangkan kakinya, mengenakan celana jeans, dengan ear-phone yang membekam dua pasang telinganya.
Dengan perasaan tak jelas Herbert berbalik arah. Dia menyadari itu bukan Lecyenin. Dia hanya merasa semua ini mesti diakhiri. Cukup, cukup sampai di sini saja.
Bersambung...
0 notes
rizkizakaria · 8 years
Text
Cadar Sebagai Kebebasan Berpakaian
Tumblr media
Sanggita menceritakan ketakutannya kala ia mendapati seorang wanita disebuah transportasi umum. Gambaran seseorang yang fanatik, ekstermis hingga teroris muncul dibenaknya selama diperjalanan. Sebuah fobia yang wajar memang, terlebih kejadian itu terjadi belum lama setelah kasus tertangkapnya wanita bercadar sebagai “calon pengantin” peledakan bom panci.
Atribut memang sering dikaitkan dengan penilaian terhadap orang lain, ia menimbulkan stigma tentang suatu hal. Meski stigma sendiri–seperti yang pernah dikatakan oleh Goffman–membuat individu kehilangan kepercayaan dan dapat menjadi suatu hal yang menakutkan.
Sempat saya berpikiran sama, ketika bertemu atau pun berpapasan dengan wanita bercadar, bertapa mau-maunya dia dibuat repot seperti itu? Terkadang saya pun meng-amin-i apa yang teman saya katakan, jika pakaian wanita itu layaknya seorang ninja. Tapi kemudian saya kembali berpikir, ketika orang menyebut wanita pemakai hotpants dianggap lebih ‘murah’ ketimbang paha ayam KFC, sementara ditutupi begitu pun masih juga dicemooh. Maka betapa sedih rasanya jadi perempuan di negeri ini. 
Sejarah Indonesia mencatat bahwa Pemerintah memang pernah alergi dengan wanita-wanita pemakai jilbab. Bahkan di tahun 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan merilis aturan berupa pedoman seragam sekolah. Aturan itu membatasi atribut para siswi di sekolah. Bahkan pemakai jilbab kala itu diperlakukan dengan buruk seperti dikeluarkan dari kelas, dilarang ikut ujian, rapor tidak diberikan, bahkan hingga dikeluarkan dari sekolah.
Dalam sebuah buku—yang ditulis oleh Ariel Heryanto, seorang profesor dari The Australian National University—dengan judul Identitas dan Kenikmatan: Potret Budaya Layar di Indonesia (2015), dalam salah satu kolomnya tahun 1995 mencatat bagaimana bentuk represif Orde Baru kala itu: 
“Pada awal sejarah Orde Baru, sebagian warga negara didesak agar mengganti nama pribadi dan toko dari nama kecina-cinaan. Tahun 1970-an, Kopkamtib, aparatur militer paling berkuasa, sibuk memerangi rambut gondrong pemuda. Tahun 1980-an, dewan mahasiswa dihapuskan, lagu pop yang dianggap cengeng dicekal, jilbab sempat dipersoalkan, dan iklan di TVRl ditabukan.”
Namun aturan akhirnya mengendur juga sejalan naiknya politik Islam di perkotaan, pemerintah Orde Baru—yang mulai sempoyongan karena terjadinya krisis—mulai merangkul “umat Islam”. Aturan diskriminatif terhadap jilbab di sekolah akhirnya melunak dengan diterbitkan surat keputusan tahun 1991 yang membolehkan para pelajar mengenakan jilbab.
***
Seorang antropolog kelahiran Mesir, Fadwa El-Guindi, dalam buku Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan (2008), menulis bahwa ketentuan memakai veil sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Babilonia, Mesopotamia, dan Asyiria, dan dipakai oleh wanita-wanita terhormat.
Prasa veil biasa merujuk kepada sebuah penutup tradisional untuk kepala, wajah, atau tubuh wanita di Timur Tengah dan Asia Selatan. Sebagai kata benda, dalam bahasa latin prasa veil adalah bentuk jamak dari vêlum. Makna leksikalnya adalah “penutup”, dalam arti “menutupi” atau menyamarkan”. Hal ini bisa merujuk dalam penggunaan ‘abayah, burqu’, niqab, atau cadar.
Dalam ranah sosio-religius, tradisi berjilbab merupakan fenomena yang kaya makna dan penuh nuansa. Bagi umat Kristiani ia sempat menjadi simbol fundamental-ideologis, begitu juga halnya dengan umat Islam. Namun lebih dari itu, jilbab juga berfungsi sebagai bahasa yang menyampaikan pesan-pesan sosial dan budaya. Tradisi berjilbab pada awal kemunculannya sebenarnya merupakan penegasan dan pembentukan identitas keberagamaan seseorang.
Dalam riset etnografi di kalangan muslim Jawa pada 1980-an, Suzanne Brenner (1996), mengatakan bahwa jilbab merupakan “konversi” dari pakaian sekuler; ia menggunakan istilah berjilbab sebagai “baju lengan pendek yang nyaman untuk pakaian wanita muslim.”
***
Sepanjang sejarah yang ada, cara perempuan berpakaian memang kerap dipengaruhi oleh norma sosial yang berlaku dalam suatu wilayah. 
Cak Nun pernah bercerita, bagaimana dulu di tahun 90-an ia dan kawan-kawannya di Jogja terlibat aktif memperjuangan hak para pekerja toko yang dilarang juragannya mengenakan jilbab—yang kala itu tidaklah sepopuler sekarang, yang kini lebih mirip industri ketimbang simbol keimanan diri. 
Cak Nun menjelaskan, apa yang lakukannya tersebut bukan karena ia sebagai seorang muslim yang ingin melihat para perempuan Islam beragama secara kaffah. Beliau menganggap perempuan semestinya bebas menentukan apa yang ingin dia kenakan di tubuhnya. Dalam guyonnya ia pun berkata, bahkan kalau dari mereka ada yang tak ingin mengenakan pakaian sama sekali tapi ada yang melarangnya, pasti ia akan perjuangkan juga. Namun sayangnya sampai saat itu belum ada.
Sejak 2000-an, masyarakat muslim Indonesia sudah mulai umum dalam pemakaian jilbab, diterima secara luas karena telah mampu menembus batas-batas budaya. Belakangan ruang publik di Indonesia diisi oleh para perempuan yang memakai cadar—baik nikab maupun burka.
Meskipun masih ada cibiran bahwa “pakaian bercadar bukan kebudayaan Nusantara”, dan melabelinya sebagai “pakaian padang pasir”, kondisi itu tidak menyurutkan para wanita, dari pelbagai profesi, untuk mengenakannya.  Ada perjuangan ideologis dan kemampuan mengolah cita rasa yang luar biasa dalam pemakaian cadar. Tidak sembarangan orang mampu untuk mengenakannya.
Sungguh tak patut kita menerka-nerka orang lain hanya dari atributnya saja. Robert Langdon di Lost Symbols bahkan menyadarkan mahasiswanya bahwa ritual kelompok freemason pada titik tertentu sama mengerikannya dengan upacara agama atau kepercayaan lainnya.
Rentetan stigma yang disematkan seharusnya memang tidak membuat kita memperlakukan hal yang sama kepada orang yang berbeda. Betapa tidak enaknya dianggap buruk orang lain semestinya tak membuat kita memperlakukan hal yang sama.
Maka rangkul eratlah orang-orang yang sedang ingin berhijrah, jangan pernah meninggalkannya dan jangan pernah pula mengasingkannya. Dan diantara kebebasan berekspresi dan pembentukan identitas, maka tetap berbanggalah dengan cadarmu.
04/02/17
4 notes · View notes
rizkizakaria · 8 years
Text
Pria dari Abad ke-19
Tangan Sodimedjo meraba-raba bangku yang ada di sisi kanannya. Gerakannya melambat. Pandangannya sudah kabur, jarak terjauhnya tidak sampai satu meter. Namun ia masih bisa merasakan keberadaan orang-orang disekitarnya.
Kerongkongannya terasa mengering, sesekali ia tampak menenggak liurnya sendiri. Tak ada minuman yang ia temukan dalam rabaan tangannya.
“Aku mau minum dingin,” katanya berulang kali dengan logat bahasa Jawa kental.
Dari dalam rumah, Suwarni -- istri salah seorang cucunya -- bangkit dari duduknya, ia bergerak menuju sebuah lemari es di ujung ruangan. Digenggamanya sebotol minuman soda dingin yang telah terbuka dari tutupnya.
“Ini dingin, Mbah. Enak, coba minum!” kata Suwarni sambil menyorongkan botol minuman tersebut ke mulut Sodimedjo.
Umur tak membatasi Mbah Gotho untuk hal-hal tertentu. Pria itu masih bisa menikmati es krim, es teh, dan mengisap tembakau sembari duduk di kursi miliknya di teras rumah. Ingatannya bahkan masih cukup kuat ketika bercerita tentang kebaradaan Pabrik Gula Gondang Winagoen di kota kelahirannya itu. Sebuah pabrik yang didirikan pada 1860 oleh NV Klatensche Cultuur Maatschappijpabrik, yang semula bernama Suikerfabriek Gondang Winangoen pada masa penjajahan Belanda. 
Mungkin hanya ada dua orang di dunia ini yang dilahirkan pada medio 1800-an dan hingga kini masih hidup, salah satunya ialah Mbah Gotho. Selain Mbah Gotho, masih ada Emma Morano yang terlahir di era 1800-an yang masih hidup hingga kini.
Tercatat dengan nama Sodimedjo pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), Saparman Sodimedjo lahir di Klaten, Jawa Tengah, 31 Desember 1870 silam. Artinya, jika pengakuan Mbah Gotho benar, dia hampir berusia 146 tahun, melampaui rekor manusia tertua Jeanne Calment yang mengembuskan napas terakhirnya pada usia 122 tahun dan 164 hari.
Sodimedjo menghela napas kesegaran. Dahaganya berangsur menghilang dari kerongkongannya. Kini hanya tersisa 2/3 dari air soda yang tersisa dibotol. Ia kembali meraba-raba untuk menemukan meja panjang di sisi kirinya. Dengan mantap ia simpan botol di atas meja itu.
Badan tak lagi tegak, kakinya tak lagi kokoh menopang tubuh rentanya. Kulitnya pun kian mengeriput. Matanya terlihat mencekung. Pendengarannya sudah banyak berkurang sehingga membuat lawan bicaranya harus menaikkan volume suara untuk memastikan Mbah Gotho benar-benar mendengarnya.
“Saya lahir di hari Kamis Wage, Bulan Safar. Karena itu saya diberi nama Saparman. Tahun lahir saya tidak ingat pasti. Yang saya ingat ketika peresmian Pabrik Gula Gondang, saat itu saya sudah ikut datang menonton. Saat itu saya mendengar cerita bahwa Belanda kurang berkenan dengan posisi pabrik yang baru dibangun itu. Saat itu saya sudah besar dan bisa membantu bapak membajak di sawah. Anak desa sudah diajari membajak sawah itu ketika sudah umur 10 tahun ke atas,” tuturnya lancar. 
Tidak banyak yang ia ingat dengan kelahirannya. Mbah Gotho pun bersyukur karena ia dianugerahi umur panjang, disaat keempat istrinya dan anak-anaknya sudah tiada.
“Matur nuwun kaliyan Gusti diparingi mukjizat (Terima kasih kepada karunia Tuhan diberi mukjizat),” ucapnya
Kini ia berpotensi memecahkan rekor sebagai manusia tertua di dunia, Namun sepertinya Mbah Gotho tak suka dengan umur panjangnya. Dia pun sudah menyiapkan pemakamannya sejak jauh hari. Di samping rumahnya telah bercokol nisan bertuliskan namanya yang setengah pudar.
Sambil mengingat-ingat letak nisan, Sodimedjo mencoba mengubah posisi duduknya. Ia serongkan badannya, dan mengarahkan pandangannya kepada batu nisan yang sudah ia siapkan sejak tahun 1992.
“Kematian itu hal yang saya inginkan. Nisan itu untuk jaga-jaga, beli sendiri. Sudah komplet, rumah kuburan dan cungkup sudah siap, tinggal menunggu dipanggil. Kalau saya meninggal harus cepat dimandikan, didandani, pakai baju, celana, kaos tangan komplet, dasi, dan kacamata. Terus dibawa ke makam dan ditidurkan dengan petinya. Dicor biar tidak longsor,” ujarnya sambil menunjuk nisannya.
Tumblr media
Mungkin tak pernah terpikir jika ia akan berumur sepanjang ini. Dan mungkin dibenaknya pula ia sempat berpikir seperti apa yang dicatat oleh Soe Hok Gie.
“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.” 
Kini keinginannya berbeda dari orang kebanyakan. Tidak ada doa dan harapan untuk memperpanjang waktu hidup di dunia saat usianya kian bertambah. Bahkan ia kerap mengutarakan keinginannya untuk segera meninggal dunia. Dan di setiap ada tetangganya yang meninggal, dirinya selalu berucap, “Gusti Allah lali karo aku, mulo nyawaku ran dang dijupuk (Tuhan lupa dengan saya sehingga nyawa saya tak segera diambil).”
Kesiapan dan kemantapan Sodimedjo menghadapi kematian, bak menyambut ajal yang tak kunjung datang. Dan mengafirmasi doa yang pernah membuat saya bergidik : "Semoga kau diselamatkan dari umur yang terlalu panjang."
Aaamiiinnn..
------
artikel di tulis dari saduran berita BBC yang ditulis ulang dengan gaya menulis sebuah cerpen
0 notes
rizkizakaria · 8 years
Photo
Tumblr media
0 notes
rizkizakaria · 8 years
Photo
Tumblr media
Sebuah kemewahan yang tak terpemanai dan tidak akan bisa dinominalkan. Dalam hal waktu dan ruang. Untuk gelap ataupun terang, pernah kita lakoni penuh makna banyak rasa. 
Pendakian 3 hari 2 malam, langkah-langkah ke timur kota, ataupun dialog hingga dini hari adalah senarai kisah dan pengalaman yang kelak bisa kita ceritakan kembali dan berimpresi.
Kita adalah yang tercipta oleh waktu, berkilau dan bergerak bersama mencipta rasa rindu. Semua hal tentang kebahagiaan yang sehati, menyatukan jiwa dalam raga yang terbagi.
1 note · View note
rizkizakaria · 8 years
Video
youtube
Klip-klipan Let it Happen Cover (Tame Impala)
Vocal: Septian Arief Music: Rizki Zakaria Video: Clippings of Youtube Tools: Akai MPK 25, Behringer UMX49 Apps: Ableton, FL Studio, Videopad
1 note · View note