Banyak kata yang telah terukir, namun tak sempat terucap
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Gigil malam itu
Menerabas rintik yang tak lelah jatuh
Rasanya ingin mendekapmu malam itu
Mengikis hawa dingin yang menyelinap
Tapi urung kulakukan
Malam semakin larut
Bayang itu semakin lekat
Nyatanya aku masih ingin mendekapmu
Bukan untuk mengikis hawa dingin
Tapi untuk mengikis rindu yang lagi-lagi menderu
-Ris- Jakarta, 6 Januari 2018
0 notes
Text
Bahkan, ketika malam hanya membisu. Angin pun ikut pilu. Salahkah? Ketika pendar sekadar memberi isyarat. Namun malam tetap tak bergeming. -Ris-
0 notes
Text
Pergilah jika memang kamu ingin pergi Aku tidak pernah melarangmu Bahkan menahanmu pun tidak Aku hanya ingin kamu bersikap biasa saja Tanpa memperdulikan rasa yang kau ketahui Aku tidak pernah memaksamu Bahkan mengikatmu pun tidak Atas rasa yang telah kau ciptakan Sekiranya, bisakah kita membicarakan hal ringan seperti biasa Tanpa membayangkan rasa yang ada Bisakah kita memanjakan hasrat tanpa mengingat rasa bodohku Seandainya waktu bisa diulang Aku lebih baik menertawakan pertanyaanmu Tanpa pernah kuanggap serius Atau mungkin kudiamkan saja Aku rindu Rindu bercerita hingga larut Rindu membicarakan hal bodoh tanpa beban Aku rindu menerka reaksimu pada pesan yang kukirim Sekali lagi, bisakah kau membuang apa yang telah kamu ketahui? -Ris-
0 notes
Text
Tuan, sekiranya, bolehkah saya menatap anda walau pun tidak kau izinkan untuk menetap? Sekiranya, bolehkah saya menitipkan harap walau tak kau indahkan? Dan, bolehkah saya meranumkan khayal tanpa pernah meminta untuk kau ubah jadi nyata? -Ris-
0 notes
Text
Jangan berpikir untuk pergi. Sebab membayangkannya saja, Saya enggan. -Ris-
0 notes
Text
kamu tidak harus melakukan apa pun ataupun membalas apa pun sebab ini rasaku dan kamu cukup menikmatinya saja
-Ris-
0 notes
Text
Jingga Cahaya Senja
-Ris-
Bunda pernah berkata, waktu yang selalu ia nantikan adalah ketika matahari mulai turun ke peraduan. Warna dan lukisan terindah yang telah diciptakan Tuhan kepada umat manusia, semburat senja. Bunda suka sekali dengan senja, dari kecil aku selalu menyaksikan senja bersama Bunda sampai hari itu hari di mana senja melenyapkan Bunda dari bumi. “Jangan pernah membenci senja” pesan itu yang selalu aku ingat sebelum Bunda meninggal, dan sampai sekarang aku yakin Bunda selalu menemaniku tetap ada bersamaku saat aku menikmati senja.
“Jingga…” aku menoleh sekilas kepadanya dan kembali menatap langit yang perlahan berubah gelap. “Jingga udah gelap, pulang yuk” aku kembali menoleh kearahnya. “Sebentar lagi boleh?” aku setengah memohon kepadanya. “Jingga…” “ Ya.. ya.. ya..” aku menyela omongannya. “gue tau omongan lo ngga bisa dibantah, yaudah yuk pulang.” Aku bangkit dari dudukku dan berjalan mendahului leleaki itu. Lelaki yang selalu menemaniku menanti senja setelah Bunda pergi. Lelaki yang sampai saat ini tidak bisa kugapai walau hanya pundaknya saja. “Tungguin gue dong, kebiasaan lo udah gue temenin gue malah ditinggal” “Salah sendiri jadi cowo jalannya lama” “Bukan gue yang jalannya lama, lo yang jalannya kecepetan” dia mengacak-ngacak rambutku. Kebiasaan yang tak pernah berubah walaupun dia tahu bagaimana perasaanku padanya. ☼☼☼☼ Sesampainya di rumahku, aku menyuruhnya menunggu di teras sedang aku membuat minuman untuknya. “Nih ice cocolate kesukaan lo” “Thankyou” dia menyuruput ice chocolate dengan sumringah seperti anak kecil yang sedang memakan ice cream. Beberapa saat kami terdiam, menyelami pikiran masing-masing, menikmati udara malam yang semakin larut. Hembusan angin yang berusaha membuatku nyaman dengan keadaan kikuk seperti sekarang. “Lo masih nunggu gue, Jingga?” aku menoleh menatapnya, pandangannya lurus menatap langit yang tak berbintang. Aku memperhatikan wajahnya, rahangnya yang keras, rambutnya yang gondrong, kumis yang samar-samar terlihat di bawah hidungnya, aku memperhatikan lekuk wajahnya. Sore itu, lagi lagi di bawah langit senja, entah apa yang ada dipikiranku saat itu. Aku mencintainya, entah sejak kapan perasaan ini mulai berubah kepadanya. Di bawah langit senja, aku mengatakan kepadanya bahwa aku mencintainya, dia terkejut dengan pernyataanku karena dia merasa selama ini dia tidak melakukan hal-hal yang membuatku jatuh hati padanya. “Sejak kapan?” tanyanya menatapku. “Entah, yang gue inget setahun lalu, Bela ngasih tau gue kalo dia ketemu cowo manis di taman belakang kampus.” Saat itu aku penasaran pria mana yang membuat sahabatku heboh. Aku mengikuti Bela yang berjalan terburu-buru, takut-takut pria yang tadi ia bilang manis itu pergi. Bela menunjukkan pria yang sedang duduk di bawah pohon dengan memangku laptop, entah apa yang sedang dikerjakan pria itu di laptopnya. Aku memperhatikan wajahnya yang teduh seperti Bunda. Seperti merasa sedang diperhatikan pria itu berpaling dari laptopnya ke arah kami yang membuat kami salah tingkah. Kami akhirnya pergi kembali ke bangku depan kelas dan sejak saat itu aku selalu teringat akan wajahnya yang teduh. “Hmm.” Dia mengalihkan pandangannya dariku dan menatap senja yang semakin menenangkan. “Gue agresif ya?” Tanyaku takut-takut dia akan ilfeel denganku setelah aku menyatakan perasaanku. “Engga ko.” Dia mengacak-acak rambutku dan tersenyum sumringah memamerkah giginya yang rata. “Gue cuma bingung kenapa lo bisa suka sama gue” pandangannya lurus kedepan seolah menikmati udara senja. “Gue juga bingung kenapa gue bisa suka sama lo” jawabku seadanya. Beberapa saat kami larut dengan perasaan masing-masing. “Jingga..” “Ya?” “Mau nunggu gue?” tanyanya sambil menatapku yang kemudian kubalas dengan anggukan dan senyuman. Aku semakin dalam menatapnya, menerka maksud dari pertanyaannya. Sejujurnya aku tak pernah sekalipun untuk berhenti menunggunya, tak pernah terlintas dalam benakku. “Jawaban gue masih tetep sama sejak pertama kali lo tanyaain itu ke gua.” Jawabku akhirnya. “Sampai kapan?” kali ini dia menatapku, aku tak mengerti arti dari tatapannya yang serasa mengganjal di hatiku. Seperti ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan. “Sampai aku bosan, Bagas Putra Langit” dia masih menatapku dengan tatapan yang menurutku aneh. Dia tak membalas perkataanku dan malah langsung pamit pulang dengan alas an besok ada kuis di kelasnya. Aku masuk ke kamar dengan perasaan campur aduk. Aku masih belum mengerti mengapa dia tiba-tiba menanyakan hal seperti itu padaku. Begitupun dengan tatapannya yang seperti sedang menyembunyikan sesuatu padaku, aku memikirkannya sampai kantuk menyergap dan aku tertidur. ☼☼☼☼
Aku baru saja selesai mengerjakan tugas bersama Bela di perpustakaan, aku beranjak ke rak sastra untuk mencari buku kumpulan puisi “Melipat Jarak” karya Sapardi Djoko Damono, aku tak pernah bosan membaca karya-karyanya. Aku kembali duduk di sebelah Bela yang masih serius membaca novel yang baru saja ia beli,
“Susah emang punya temen anak sastra kerjaannya baca mulu” lontar bagas yang tiba-tiba datang dan mengambil duduk di sebelahku dan mengambil buku yang sedang kubaca. “Gas, kebiasaan deh, sini balikin bukunya.” Pintaku sedikit kesal dengan kebiasaannya. “Apa nih, yang paling menakjubkan di dunia yang fana ini adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya, kita bisa membayangkan apa saja tentangnya, menjadikannya muara bagi segala yang luar biasa…” aku segera mengambil buku yang sedang dibacanya. “Udah sini ah” “Bentar-bentar kan gue lagi baca” “Ngga usah” “Galak bener lu jadi cewe, kantin yuk laper nih” Bagas menarik tanganku keluar menuju kantin diikuti dengan Bela. Tidak ada yang lebih sakit dari ketika seseorang tahu perasaanmu dan dia menyuruhmu menunggu, memperlakukanmu seolah kamu miliknya tapi pada kenyataannya kmu bukan miliknya. Kamu hanya bisa berada di sampingnya tanpa bisa menyentuhnya, kamu hanya bisa menjadi bayang-bayang yang selalu ada dibelakangnya. Aku memandangnya yang sedang berbincang dengan Bela, kadang tersenyum dan sedetik kemudian terbahak. Aku memandangnya yang sekarang sedang tersenyum pada wanita yang baru saja datang menghampirinya dan membicarakan sesuatu yang tidak kuketahui kemudian pergi tanpa berpamitan. “Gue cabut ya, bentar lagi ada kelas” Bagas berpamitan sembari mengacak-acak rambutku seperti biasa “Loh, Gas tumben, biasanya juga lo ngulur-ngulur masuk kelas” Tanya Bela heran. “Gue rajin nih sekarang jangan salah” “Sok rajin lo” celetuk Bela. “Yaudah gih, eh, Gas nanti sore di rooftop aja ya” bagas mangacungkan tanda o sambil lalu. “Tuh anak kenapa sih? Tumben banget, kemasukan malaikat kali ya?” “Temennya tobat malah dicurigain gimana sih lo” jawabku sekenanya. Sebenarnya aku juga bingung, tidak biasa-biasanya bagas seperti itu. “Bel, cewek yang tadi siapa sih? Lo kenal?” tanyaku penasaran. “Oh, itu, Gia. Kenapa? Cemburu lo ya?” tanyanya menyelidik. “Ih engga, apasih. Btw ko lo kenal?” “Beberapa hari yang lalu sempet dikenalin sama Bagas, emang lo ngga dikenalin?” “Engga” jawabku singkat sambil mengunyah makanan. Aku merasa ada yang aneh dengan Gia dan Bagas. Aku masih belum bisa melupakan senyuman Bagas saat Gia datang. Aku juga masih tidak bisa menafsirkan tatapan Gia ke Bagas. ☼☼☼☼
Aku melihat punggungmu yang terkena semburat jingga, membuatku semakin ingin memilikimu, semakin ingin merengkuhmu. Aku di belakangmu ingin sekali menggapaimu. Aku berjalan mendekatinya berusaha menyentuh punggungnya namun kuurungkan. Aku duduk disebelahnya dan beberapa saat hanya ada suara anging yang menggelitik telinga, dan mungkin debaran jantungku samar-samar terdengar.
“Udah lama, Gas?” tanyaku akhirnya membuka percakapan. “Lumayan” jawabnya singkat tak menoleh. Kami kembali terdiam, menikmati senja yang mulai datang bersama kami. Aku kembali merasakan kehadiran Bunda disampingku, aku menatap senja yang seakan ada wajah Bunda sedang tersenyum ke arahku, aku berbalas senyum kepada senja. “Jingga Cahaya Senja..” “Hmm” “Gue baru sadar kenapa lo sama Bunda suka banget liat senja, ternyata senja itu bagus ya, bikin hati adem. Sama kaya bau sebelum hujan.” “Kemana aja lo baru sadar” ledekku seraya tersenyum melihat raut wajahnya yang akhir-akhir ini selalu ceria. “Jingga” dia memindahkan posisi duduknya dan menghadap ke arahku. Bagas menatapku lekat yang membuatku salah tingkah dan jantungku semakin memburu. “Ya” jawabku pelan. “Kalo gue punya pacar gimana?” tatapannya masih lekat. Aku mengerutkan alisku, mencerna pertanyaannya. Pertanyaan yang entah hanya sekadar pertanyaan atau ada maksud tertentu dibalik pertanyaan tersebut. Pikiranku buyar melayang pada sosok yang membuat senyuman yang lain di wajah Bagas, perempuan yang tadi menemui Bagas di Kantin, Gia. “Ya.. ngga gimana-gimana. Terserah lo, kan gua bukan siapa-siapa lo” jawabku akhirnya dengan senyum dipaksakan. Bagas kembali menatap senja. “Sebenernya.. ada, tapi.. ya, gue belum lama sih pacarannya.” Aku terdiam, entah ini hanya lelucon, jebakan atau apa. Bagas tau gimana perasaanku padanya, bagas tau kalau selama ini aku hanya menunggunya. Air mata muengalir tanpa kusadari dan buru-buru kuseka agar Bagas tidak melihatnya. Dadaku bergejolak tak karuan, napasku memburu, mataku semakin panas. Aku diam mengatur napasku. “Kenapa ngga cerita?” tanyaku berpaling menatap wajahnya. “Gue ngga mau lo berubah” jawabnya membalas tatapanku dan sedetik kemudian kembali menatap senja yang mulai hilang. Aku kembali menyeka air mataku yang mulai kembali jatuh, entah perasaan apa yang kurasakan saat ini, sakit, kecewa atau apa aku tak tahu. Sakit ketika orang yang sudah ada bersama kita tetapi kita tidak bisa menyentuhnya. Aku terdiam mencoba mengelak bahwa semua ini adalah nyata, semoga semua ini hanya khayal belaka. Tapi pada akhirnya aku harus menerima ini bukan khayal, ini bukan imaji, dan ini nyata bahwa Bagas sudah bukan benar-benar miliknya. Langit berubah gelap, bau hujan mulai menyeruak. “Balik yuk” “Lo duluan aja” “Jingga ini udah..” “Gue bilang duluan aja, Bagas” aku menundukan kepalaku, berusaha menyembunyikan sedihku. “Tapi ini udah..” “Lo ngerti ngga sih kalo gue bilang duluan” aku menatapnya, air mataku kembali menetes. “Jingga” Bgasa menatapku, aku menunduk berusaha menyembunyikannya. “gue tau lo kecewa, lo sakit, tapi, sorry..” “Ngga apa-apa” jawabku singkat. “Oke gue duluan” “Gas, untuk besok dan seterusnya ngga usah nemenin gue lagi nunggu senja” Bagas terkejut dengan pernyataanku. “Tapi, gue udah janji sama Bunda” sergah Bagas. “Gas, gue bisa sendiri” “Oke kalo itu mau lo” Bagas pergi dengan raut marah, dia sempat menonjok tiang yang ada disebelahnya sebelum pergi. Esoknya aku sengaja menghindari Bagas, perasaanku belum sembuh. Luka ini masih teramat basah terkena goresannya. Hari ini pertama kali aku menikmati senja tanpa Bagas setelah kepergian Bunda, aneh rasanya tapi ini nyatanya, Bunda tetap ada bersamaku tersenyum kepadaku melalui senja. Terkadang kita dipertemukan seseorang hanya sekadar dipertemukan tanpa diizinkan untuk saling memiliki. Bahkan aku belum sempat tahu apakah Bagas punya perasaan yang sama walau hanya sedikit atau tidak sama sekali denganku. Aku pernah menantimu di persimpangan, Katamu kita akan berjumpa selepas senja. Aku terpaku menatap senja yang berubah pekat, kamu tak kunjung datang, dan aku masih di sini sampai saat ini di tempat yang kau janjikan selepas senja. ☼☼☼☼
0 notes
Text
Di Bawah Langit Senja
Kepada senja, di bawah langitmu kini aku berdiri. Menunggu, Entah apa yang kutunggu, mungkin malam, bintang, atau bulan. Senja, kunikmati kilau cahayamu yang indah tanpa pernah berkedip melihat kesempurnaan yang kau berikan untuk bumi ini. Matahari kini berada di bawah cakrawala di ambang batas persinggahan untuk segera kembali ke tempat persinggahan untuk sekedar beristirahat agar esok hari bisa kembali menyinari bumi. Senja, kusaksikan kau pergi meninggalkanku yang masih termangu di bawah langitmu yang indah, kini giliran malam yang menemaniku. Cahaya bulan yang indah ditemani kilauan bintang-bintang mengelilinginya adalah sebuah pemandangan yang begitu luar biasa di kala senyap menyelimuti malam. Kuhabiskan malam ini dengan menatap bintang dan bulan yang sedang dimabuk cinta. Ditemani deru ombak yang saling bersautan satu sama lain sedari tadi.
Hari ini matahari terlambat datang karena mungkin sedang demam, atau mungkin karena takut dengan kedatangan awan hitam yang sedari tadi berkeliaran tanpa henti di langit. Hujan sejak subuh tadi meninggalkan bekas tetes air di ranting depan jendela kamarku. Ah aku jadi teringat tentangnya, tentang dia yang telah pergi. Dia sangat menyukai hujan, dia sangat menyukai suasana seperti ini, cuaca pasca hujan. Banyak terisi air hujan di jalan, dan di ranting-ranting pohon. Rintik hujan kembali menyapa pagi ini.
“hai rintik hujan, aku pelangi. Apa kabar kamu? Lama kita tidak berjumpa haha.”
“hai pelangi, kabarku baik. Bagaimana denganmu?”
“Tentu saja aku baik, hai rintik hujan segeralah berhenti, apakah kau tidak lelah sedari tadi bermain tanpa henti?”
“tidak, aku tidak akan pernah lelah bermain.”
“hey kau butuh istirahat, kau tidak bisa terus bermain dan membasahi bumi. Kasihan orang-orang di bumi ini karena keegoisanmu ingin terus bermain di bumi, aktivitas mereka jadi terganggu. Segeralah berhenti bermain, kini saatnya aku sang pelangi bertugas membuat keindahan di bumi, membuat orang-orang tersenyum karena keindahanku. Membuat mereka terkagum dengan keindahan warna yang kupunya”.
“baikalh kalau itu maumu, aku akan pergi.”
Acap kali dialog itu muncul ketika aku sedang menatap hujan. Aku sebagai sang pelangi dan tentu saja dia sebagai rintik hujan. Dialog itu menjadi favorit kami dikala hujan melanda bumi. Rintik hujan dan pelangi, mereka sama-sama mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing, mereka sama-sama mempunyai keindahan tersendiri di mata para penggila mereka. Namun kini rintik hujan telah pergi meninggalkan pelangi seorang di langit menyisahkan sisa-sisa rintikan hujan dimana-mana. Hanya semerbak aromamu yang masih melekat jelas pada pelangi di langit.
☼☼☼☼☼☼
Senja akan segera datang, kuputuskan untuk pergi ke suatu tempat. Tempat yang biasa kusinggahi saat senja tiba. Tempat dimana aku mengikat hubungan dengannya dulu, di bawah langit senja. Disinilah tempat itu tepat di depan masjid dan gereja. Disitulah aku menghabiskan senja yang hanya datang sesaat sebelum malam menggantikannya. Bayangan itu kembali muncul, kami sepasang anak manusia berada di tempat ini. Kami Sepasang anak manusia dengan tembok besar ditengah-tengahnya yang tak bisa dipecahkan karena teramat sangat kokohnya.
“sekarang kita berada di tengah-tengah antara masjid dan gereja. Aku berjaji akan menjagamu, memperjuangkan kita di atas perbedaan ini”. Aku melihat senyumnya yang mengudara saat dia mengucapkan kalimat itu. Senyum yang selalu terlukis sempurna di benakku. Kalung salib dan kalung berlafal allah tergantung bebas di leher kami, kemudian terhimpit dengan dekapan erat yang kami ciptakan.
Ah.. kata-kata itu sangat menggangguku, mengganggu keindahan cahaya oranye yang menerpa pipiku. Hey tunggu, apa ini? Kristal bening? Hey kristal bening mengapa kau muncul disela-sela senja? Tidak sepantasnya kau muncul. Hubungan itu kini sudah tenggelam terbawa ombak, mengapa kau masih mengingatnya? bukankah seharusnya kau telah membuangnya kesebuah jurang yang tak berdasar supaya kenangan-kenangan itu tak lagi muncul ke permukaan, terapung di lautan. Senja akan segera pergi namun aku masih tertegun di sini bersama sebuah angan-anhan dari masa lalu.
☼☼☼☼☼☼
Di bawah langit malam yang tak berbintang, aku melihat sang bulan berdiri sendiri di atas sana, tak ada senyum dari raut bulan yang biasa terpancar malam ini. Ada apa dengan bulan? Mengapa kau bersedih? Atau karena tak ada bintang yang biasa menemaninya? Hey bulan tersenyumlah, janganlah kau bersedih ada aku dan debur ombak yang akan setia menemanimu malam ini, tenanglah kau tidak akan kesepian malam ini karena tidak ada bintang di sekelilingmu. Angin malam mulai menjalar, menusuk dan menyelimuti tubuhku. Aku ingat akan malam itu, malam tanpa bintang yang lain selain malam ini, malam terakhir aku bersamanya. Hey tunggu, bahkan aku tak tahu kalau itu malam terakhir aku menjalani hubungan dengannya. Angin malam itu sangat jahat dan dingin mengepung tubuhku. Namun kehangatan segera muncul seketika, dia merengkuhku, dia menenggelamkanku dalam rengkuhannya saat angin malam jahat ini mengepungku. Aku memandangi wajahnya, memperhatikan setiap lekukkan senyum yang tercipta dari senyummannya, sentuhan lembutnya, semuanya masih tergambar amat jelas dalam benakku. Ah sadarlah tak sepaptutnya kau mengingatnya lagi, kenangan-kenangan itu hanya akan menambah luka yang belum sembuh dalam hatimu. Perih kurasa acap kali aku harus berdebat dengan batinku tentang semua kenangan yang seharusnya sudah kubuang. Malam ini kuhabiskan dengan pergulatan batinku. Selamat pagi embun yang akan segera menguap, selamat pagi matahari, akhirnya kau muncul tepat waktu. Selamat bertugas matahari, tetaplah tersenyum seperti ini, jangan seperti bulan yang sedih semalam. Matahari apakah kau pernah merasakan sebuah kerinduan yang teramat sanagat saat kau tak bertemu langitmu? Apakah kau pernah merasakan ingin berada bersama langit sampai malam tiba? Bagaimana perasaanmu saat sebuah relung kosong yang tak berpenghuni di hatimu menrindukan sosoknya? Sosok penghuni lamanya. Apakah kau bisa menahan rindu itu? Matahari, apakah kau pernah merasakan patah hati? Pasti tak pernah, karena langit pasti setia padamu bukan? Oh oh oh sepertinya aku sudah terlalu banyak bertanya padamu pagi ini.
Kuedarkan pandanganku ke seluruh sudut ruangan yang tak begitu besar ini dengan isinya yang penuh disana sini. Aku terdiam sejenak mengamati setiap sudut ruangan ini, ruangan yang menjadi tempat peristirahatanku di kala lelah menerpaku. Kemudian kuputuskan untuk meninggalkan ruangan ini dan pergi keluar menikmati cahaya matahari yang sedang tersenyum ceria karena ada langit yang selalu menemaninya disaat dia sedang bertugas menyinari bumi di kala pagi menyapa.
☼☼☼☼☼☼
Senja sebentar lagi akan datang, aku segera beranjak dari dudukku dan pergi ke tempat kenangan itu. Aku tak pernah mau melewati senja sedikitpun, memang tak akan pernah sama rasanya melewati senja sendiri dengan melewati senja bersamamu. Hari ini tepat tanggal satu aku berada di tempat ini, di bawah langit senja, di hadapan masjid dan gereja. Aku menatap senja lekat-lekat mengingat tanggal satu yang lain, tanggal satu kesedihan.
“maaf..”
“maaf? untuk apa?”
“saat itu di bawah langit senja, di hadapan masjid dan gereja, aku berjanji akan menjagamu, akan memperjuangkanmu.”
“lalu?”
“di bawah langit senja ini pula, aku ingkarkan janji itu”
“maksudmu? Aku tak mengerti”
“kita tidak akan pernah bisa menyatu sampai kapanpun, sekeras apapun kita berusaha tetap tidak bisa, karena tembok ini tetap akan memisahkan kita, tembok kokoh ini tak akan bisa kita hancurkan.”
“aku tak mau dengar!! Cukup!
” dengarlah senjaku, sampai kapanpun perbedaan ini tak dapat disatukan, tasbih dan salib, gereja dan masjid tak dapat disatukan hanya bisa berdampingan. Begitupun aku dan kamu. Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak menyembah apa yang aku sembah. Kita berbeda.”
“tapi kau sudah berjanji akan memperjuangkan ini!!”
“maafkan aku yang tak bisa menepati janjiku, maafkan aku telah membuatmu menunggu, maafkan aku karena telah membuatmu jatuh cinta padaku yang sudah jelas aku bukan yang terbaik untuku. Berjanjilah padaku bahwa kau akan baik-baik saja setelah aku pergi, jaga dirimu baik-baik semoga kau menemukan seseorang yang bisa mengimamimu dalam masjid.”
Aku terduduk lemah di hadapan masjid dan gereja di bawah langit senja, aku menatap punggungya yang sedikit berguncang itu pergi menjauh,.ingin sekali aku berlari menyentuh pundaknya, merengkuhnya dalam dekapanku, namun aku tak kuasa, aku terlalu lemah untuk sekedar berdiri saat ini.
Aku tersadar dari angan masa lalu, pipiku basah dengan bulir air mata yang berebut keluar saat bayang itu kembali muncul. Sadarlah tak selamanya yang indah akan berakhir bahagia, bukankah memang selalu ada perpisahan disetiap pertemuan yang terjadi? Bukankah perpisahan pasti terjadi dalam sebuah hubungan? Senja, seperti itulah hubunganku dengannya hanya sementara, seteah itu tergantikan oleh malam. Sang waktu., bisakah kau berhenti berjalan saat ini? Aku hanya ingin menikmati senja lebih lama dari biasanya. Di bawah langit senja, aku tetap berdiri mematung, menunggu entah apa yang ditunggu hingga rasa bosan menggerogoti tubuh.
Teruntuk senja,
Di bawah langitmu ku lantunkan sebuah doa
Untuknya, berjanjilah padaku, jaga dia
Untukku.
Jakarta, 22 februari 2014
0 notes
Text
Wanita Pemimpi dan Pria Pendamba
“Aku ingin ke bulan ingin membangun rumah di sana”. Kalimat itulah yang kini memenuhi setiap sudut kosong dalam otakku. Kalimat yang meluncur dari bibir mungil wanita dengan sejuta mimpinya. Wanita pecinta hujan yang beberapa tahun ini selalu hadir dalam setiap mimpi yang kuciptakan. Hari ini entah sudah berapa banyak mimpi yang ia curahkan kepadaku, setiap hari mimpinya selalu bertambah, akupun heran dari mana ia menemukan mimpinya setiap hari. Dan aku selalu menyiapkan telinga sebagai pendengar yang setia untuknya.
“aku ingin terbang saat langit senja”.
Kini dia kembali berseru setelah sepersekian menit terdiam melontarkan mimpinya kembali, mimpi yang entah kapan akan ia wujudkan.
“kurasa otakmu terprogram sangat rumit”.
“ha?”.
Dia memiringkan kepalanya menatapku keheranan, sungguh aneh seharusnya aku yang keheranan karena ulahnya, bukan dia yang keheranan atas kata-kata yang kubuat.
“kau terlalu banyak beermimpi, tapi tak pernah mau mewujudkannya”.
“waktunya belum tepat”.
“bukan waktu yang belum tepat, tapi kamu yang belum siap mewujudkannya”.
Dia kembali terdiam sedikit menimbang perkataanku. Kuperhatikan setiap gerak yang ia ciptakan. Kini rautnya bagai profesor yang sedang menliti penemuannya. Berpikir keras akan berbuah apa dari penelitiannya. Lagi-lagi dia merubah pandangannya kini dia menatap langit-langit melihat awan yang sibuk hilir mudik di langit menikmati setiap hembusan angin yang sedang bermain ria di bumi. Aku membaringkan tubuhku di atas rerumputan yang sedang bersenda gurau, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Mungkin menertawakan aku yang sampai sekarang hanya bisa mendambanya tanpa pernah ingin menuangkan berjuta kata yang tersimpan rapat dalam ruang kosong dalam hatiku. Mungkin juga rerumputan itu menertawakan semua mimpinya yang sedari tadi ia lontarkan dari bibir mungilnya.
Kutatap langit lekat-lekat, kuperhatikan setiap bentuk awan di langit. Kini langit merubah warnanya menjadi gelap, pertanda akan turun hujan. Hujan, itulah yang sangat ia suka. Dia merebahkan tubuhnya di sebelah tubuhku, menggenggam tanganku erat. Aku terlonjak kaget tak percaya dengan gerak yang ia ciptakan kini tak pernah ia seperti ini. aku memalingkan pandanganku terhadap langit, kini aku menatapnya lekat. Dia menatapku mencari-cari sesuatu yang tersembunyi di balik bola mataku. Dia menatapku semakin dalam seprti harimau yang sedang meneliti mangsanya dan siap menyergap mangsanya ketika mangsanya lemah. Tersimpan berjuta kata yang ingin disampaikan dari bola matanya, namun kata itu sepertinya lebih memilih bersembunyi di balik bola mata yang coklat dan indah itu. Rintik hujan mulai turun berjatuhan di atas tubuh kami, tapi tak ada niat sedikitpun untuk kami beranjak dari tempat ini. aku menengadah dan mulai memejamkan mata menikmati setiap tetes hujan yang berjatuhan menyapaku, dia menggenggam tanganku lebih erat ikut merasakan tetes hujan yang juga menyapanya. Aku bisa merasakan getar itu, entah getar apa yang ia sampaikan mungkin getar cinta yang selama ini kunanti. Dia beranjak melangkah sepersekian meter dari tempatku berbaring. Aku terduduk menatapnya, dia mulai berputar-putar, menari-menari di bawah rinai hujan. Entah itu layak disebut tarian atau bukan, bahkan gerakan yang ia ciptakan sangat aneh tapi ia menyebut gerakan itu adalah sebuah tarian, tapi sejujurnya aku menikmati itu. Bahkan aku selalu menikmati setiap geraknya sekalipun itu aneh. Dia mulai menari semakin aneh mulai menengadahkan tangannya, merasakan hujan berjatuhan ditangannya, tertawa riang seperti anak kecil yang baru saja dibelikan ice cram secara cuma-cuma. Tawanya menelusup telingaku menari-nari bebas dalam pikiranku. Dia menatapku sesaat dan menghampiriku.
“mengapa kau hanya diam?”
“mengapa kau menari-nari seperti itu?”
“hey kau belum menjawab pertanyaanku”
“mengapa kau menari-nari seperti itu?” aku tak menghiraukan pertanyannya dan kokoh menanyakan pertanyaanku. Kami seperti dua anak kecil yang sedang berargumen hal bodoh.
“tentu saja aku menikmati hujan” jawabnya lantang.
“aku juga menikmati hujan dengan caraku tak sepertimu aneh menikmati hujan sambil menari”
Kami terdiam, menatap satu sama lain. Pertanyaan bodoh, jawaban bodoh selalu seperti ini setiap hujan. Kami mempunyai cara masing-masing untuk menikmati hujan. Tidakkah wanita pemimpi ini lelah dengan perdebatan bodoh ini? secara mendadak dia memundurkan langkahnya kembali ke tengah rerumputan yang basah dan kembali bermain dengan hujan. Dia satu-satunya wanita teraneh dalam hidupku, namun walau begitu aku sanagta mendambanya.
“aku ingin terbang bersamanya menggapai setiap tetes bulir hujan hahahah”
Aku tercekat mendengar impian barunya, bersamanya? Siapa yang ia maksud? Mungkinkah aku? Wanita ini mulai semakin gila, otaknya semakin rumit.
“aku ingin terbang bersamanya menggapai setiap tetes bulir hujan hahaha”
Lagi-lagi wanita dambaanku menyerukan impiannya dengan gelak tawa yang renyah di indra pendengaranku. Dia terus menari dan menari tanpa kenal lelah, menyeruakan semua impian-impiannya pada hujan. Seolah-olah hujan adalah teman barunya. Tak dapat kupungkiri aku sangat mendamba sosoknya yang seperti ini dia begitu lugu, apa adanya wanita dengan berjuta mimpi yang belum terealisasikan. Dia bagaikan nafas dalam setiap langkah yang kujejakkan bersamanya. Dia begitu dekat namun tak dapat ku genggam. Lagi-lagi ku katakan aku sanagat mencintainya sangat mendambakannya, senyumnya yang menyungging layaknya bulan sabit yang teramat indah. Suara tawanya seperti alunan lagu yang selalu ingin kuputar setiap waktu. Tubuhnya yang tak pernah kenal lelah untuk bergerak seperti robot. Aku mencintainya, mencintai semua yang ada dalam dirinya tanpa terkecuali.
Aku jadi teringat hari itu, hari dimana aku melihatnya menari di bawah rinai hujan seperti saat ini. aku pikir dia bukan seorang yang waras karena selalu menari di bawah rinai hujan. Namun sejak saat itu aku tak bisa untuk tidak melihatnya menari di bawah rinai hujan. Sampai sekarangpun, aku tak mampu melepaskan sosoknya di bawah rinai hujan.
“apa kau punya mimpi? Suara itu memecah khayalanku. Aku terdiam sejenak menimbang pertanyannya.
“tentu saja aku punya”
“apa mimpimu?”
“yang jelas mimpiku tak seaneh mimpi-mimpimu”
Di terdiam, dan mulai duduk menatapku lekat. Entah apa yang ada dalam otaknya yang rumit, aku tak dapat menebaknya karena teralu rumit.
“pejamkan matamu”
“untuk apa?”
“pejamkan saja”
Kulihat dia mulai memejamkan matanya, kugenggam erat tangan mungilnya yang kini mulai membeku akibat kedinginan. Aku menarik tangannya, menuntunnya berdiri dan berjalan ke tengah rerumputn. Dengan mata masih terpejam kuciptakan gerakan layaknya penari yang sedang menari di bawah rinai hujan.
“ini mimpiku ini impianku menari di bawah rinai hujan bersamamu Galaxy Yudha Pratama”
Aku mendengar rentetan kalimat itu keluar dari bibir mungilnya. Kupastikan indra pendengaranku tak kabur saat namaku disebut olehnya, kupastikan indra pendengaranku tak salah saat menangkap rentetan kata itu. Sontak aku menghentikan tarianku, aku menatapnya terlalu dalam. Dia berhenti menari dan perlahan membuka matanya, aku langsung menyergap bola matanya yang coklat, mencari celah untuk melihat kedalam bola matanya. Akhirnya aku menemukan itu, menemukan jawaban yang selama ini tersembunyi di balik sepasang bola matanya yang indah.
“kau tahu apa impianku?”
“tidak, kau tak pernah memberi tahuku”
“ini impianku berada dibawah rinai hujan bersamamu, wanita yang kucintai Senja Arini Putri. ini impianku, satu-satunya dan kau telah mewujudkannya”
Ucapku lantang, dia ternganga mendengar pernyataanku yang lantang. Sesaat hening menyergap menyelinap di tengah-tengah hujan yang sedang bermain. Sampai akhirnya dia menghamburkan pelukannya kepadaku. Kini salah satu mimpi wanita pemimpi itu terwujud, dan satu-satunya mimpi sang pria pendmba juga terwujud.
0 notes
Text
Lubang Hitam
Aku berdiri di hadapan lubang kecil yang kosong dan gelap. Aku mencoba menerawang dalamnya, tak terlihat sangat gelap. Nada demi nada tercipta dari hembusan angin yang menerpa, berkolaborasi dengan detak jantung yang berdegup dengan tidak stabil. Hey tunggu dulu, ada apa denganku? Ada apa dengan jantungku? Mengapa begitu bergemuru kurasakan. Lubang ini kian lama kian membesar, lubang hitam yang kelam, yang siap menyeretku kapan saja. Dengan langkah gontai dan ragu, aku perlahan pergi, mulai menjauhi lubang hitam dengan diiringi awan gelap dengan suara petirnya yang bergemuruh. Satu langkah… dua langkah… kemudian terhenti, aku berbalik menatap lubang hitam dengan penasaran. Kutatap lubang itu lekat-lekat, terlintas ada sebuah kenangan di dalam sana. Kenangan indah yang tertunda yang kemudian tersusul dengan kenangan yang menyakitkan. Perlahan aku mulai melangkahkan kaki beranjak menjauh dari lubang hitam itu, aku mulai memastikan langkahku.
Namun aku kembali terhenti, aku kembali berbalik menatap lubang itu. Kemudian aku terdiam, angin besar menerpa menerbangkan semua niatku menjauh dari lubang itu. Hawa dingin menyelimuti tubuhku, menususki tubuhku yang ringkih ini. Seketika tubuhku terhempas di atas tanah bersimbah air, aku mulai bangkit dengan bulir-bulir krista bening yang berjatuhan dari kedua bola mata kosong ini, melangkahkan kaki kembali pada lubang hitam. Aku sampai di ambang pintu lubang hitam tersebut, aku menatap lubang itu penuh lara. Seseorang menyentuh tanganku, menggenggam tanganku dan mulai menuntunku memasuki lubang tersebut, aku mulai mengikuti langkahnya memasuki lubang hitam itu, indra penglihatanku buta karena lubang ini sangat gelap, tak ada cahaya sedikitpun, aku tak bisa melihat sekelilingku. Aku hanya berpatok pada genggaman hangat ini. Langkahku terhenti sejenak, aku mendengar samar-samar suara yang tak nampak menyuruhku pergi meninggalkan lubang hitam ini. Satu, dua suara bersru, hingga kini berpuluh-puluh suara menyeruak dikegelapan lubang, suara-suara tersebut yang entah siapa pemiliknya kini mulai menggema di indra pendengaranku. Suara itu tanpa hentinya menyuruhku pergi dari lubang hitam ini. Kini batinku mulai bersuara bersamaan dengan fikiranku. Mereka mulai saling menguasai jiwaku dengan argumen-argumen yang mereka lontarkan.
“tetaplah bersamaku” suara itu memecahkan perang antara batin dan fikiranku yang bergejolak tak ada hentinya sedari tadi.
“ayolah ikut bersamaku, jangan hiraukan mereka” suara itu kembali berseru, aku menatapnya mencoba melihat wajahnya. Namun lubang ini terlalu gelap untuk indra penglihatanku. Tanganku mulai bergerak menelusuri tiap liku wajahnya, samar-samar aku mulai bisa melihatnya. Beramaan dengan itu, dia kembali memalingkan wajahnya mentap lurus kedepan, seakan-akan di depan ada jalan untuk keluar dari lubang ini.
Dia mulai melangkahkan kakinya kembali, namun aku masih tetap mematung. Dia berbalik dan menatapku, layaknya orang yang terhipnotis, aku mulai kembali melangkahkan kakiku. Tak lagi memperdulikan ribuan suara yang sedari tadi mencemoohku karena aku masih terus mengikutinya. Aku mulai memupuk sebuah harapan dalam dirinya. Lubang hitam yang tak berujung ini mulai berliku kurasakan, namun dia tetap berjalan dengan langkahnya yang tegas menggenggamku, seolah-olah dia tahu jalan menuju sebuah kebahagiaan. Aku bukan seperti mereka yang pergi begitu saja setelah tak mendapatkan hasil apa-apa, aku lebih memilih menunggu hingga berhasil. Aku menunggu dan percaya pada genggaman ini bahwa ia akan membawaku pada sebuah kebahagiaan. Jalanan yang berliku ini kini mulai kembali mulus kurasakan, aku menggenggam erat tangannya berharap ia takkan melepaskan genggaman ini.
Perubahan suhu mulai terasa pada lubang ini, dingin mulai menjalar di sekujur tubuhku, dia berbalik menatapku lekat-lekat dan perlahan mulai menghamburkan rengkuhannya dalam tubuhku. Aku terbelalak setengah tersadar saat tubuhnya telah menyelimuti tubuhku menciptakan sebuah kehangatan dalam tubuh ringkih ini.
“aku takkan membiarkan hawa dingin ini menyakitimu” suara itu samar-samar kudengar berbisik renyah di telingaku. Aku menatapnya, menyunggingkan senyum layaknya bulan sabit yang memancarkan keindahannya walau tubuhnya tak sempurna bulat. Dia kembali menuntunku menulusuri jalanan lubang ini dengan rengkuhannya yang erat. Aku percaya tuhan punya rencana yang teramat indah dibalik semua ini.
“mengapa kau bisa nenuntunku untuk terus berjalan di tempat ini, sementara lubang ini teramat gelap, dari mana kau yakin bahwa langkahmu akan membawaku pada sebuah kebahagiaan?”
“karena aku bisa melihat jalan ini”
“bagaimana kau bisa melihat jalan ini? Lubang ini sangat gelap, bahkan untuk sekedar melihat wajahmu saja aku tak bisa”
“aku bisa melihat dengan mata hatiku, mungkin mata hatimu masih tertutup awan gelap, oleh sebab itu kau tidak bisa menentukan jalan mana yang tepat untuk kau ambil”
Aku tertegun mendengar jawaban yang meluncur mulus dari mulutnya, mencoba mencerna setiap kata yang ia lontarkan. Apakah benar adanya yang ia katakan, bahwa hatiku masih tertutup awan hitam?. Aku kembali melangkahkan kakiku terus berjalan lurus tanpa tahu cobaan seperti apa lagi yang akan kami hadapi di depan. Kini suhu dalam lubang sudah berangsur normal, tak ada lagi hawa dingin mengikat tubuhku.
Baru saja batinku menutup mulut tentang cobaan apa lagi yang akan kami hadapi di depan, kini cobaan itu muncul ke permukaan. Terdapat banyak batu kerikil dan lubang di setapak lubang hitam ini. Makin lama jalanan ini makin tidak bersahabat, kini batu kerikil yang bertebaran di jalan ini mulai melukai kaki mungilku ini. Aku mulai merasakan kakiku basah terkena darah yang perlahan mengalir dari luka yang diciptakan oleh kerikil tajam setapak sang lubang. Langkahku tertahan menahan rasa sakit yang mulai menjalar di pergelangan kakiku.
“apa kau tak merasakannya?”
“merasakan apa?”
“jalanan ini mulai bertebaran batu kerikil dan lubang di sana-sini”
“tentu saja aku merasakannya”
“lantas, mengapa kau tak merasakan sakit sedikitpun?”
“tentu saja aku tak merasakan karena rasa sakitku sudah tertangani dengan adanya kamu di genggamanku.lagi pula cobaan seperti ini bukankah itu wajar? Untuk mendapatkan sebuah keindahan pada akhirnya bukankah memang selalu banyak cobaan? Ingatlah tersimpan sebuah keindahan dibalik jalan yang penuh lubang, asal kita mau bersabar semua akan terlewati dengan mudah”
Aku termangu mendengar kalimatnya, jalanan ini, kata-kata yang ia lontarkan. Entah ini semua pertanda atau hanya buaian semata. Entahlah aku hanya bisa melantunkan doa dalam setiap langkah yang kuayunkan. Aku kembali menelusuri lubang ini, lagi-lagi aku mulai menerka apa lagi yang akan terjadi di depan. Tak berapa lama langkahku terhenti akibat langkahnya yang juga terhenti di ambang cahaya yang sangat menyilaukan mata.
Cahaya indah yang kian lama membesar dan mejelma menjadi sebuah tempat yang teramat indah, belum pernah aku menemukan tempat sesempurna ini, sangat indah. Kini ia membuktikan kata-katanya, tersimpan sebuah keindahan di balik cobaan yang telah di telusuri dalam lubang ini. aku mulai bisa melihat setiap lekukan wajahnya, dia tersenyum kearahku dan mulai menuntunku memasuki surga ini. sungguh inidah kuasamu, aku setengah tak percaya ada tempat sesempurna ini di lubang hitam yang gelap.
Kulihat senja mulai menyelimuti tempat indah ini, sungguh sempurna senja di tempat ini.
“aku harus pergi”
“maksudmu?”
“senja segera pergi tergantikan malam, aku harus pergi”
“tunggu… kau tak bisa meninggalkanku seorang diri di sini”
Aku menggenggam tangannya erat, sangat erat. Namun dia menghempaskan genggamanku dan segera pergi. Ku lihat seorang gadis menghampirinya, sontak aku tak percaya ada gadis lain di tempat ini selain diriku. Aku menatapnya nanar punggungnya yang mulai menjauh dari rengkuhanku. Kini pandanganku yang nanar berubah redup, bola mataku panas dan bulir ini siap tumpah membasahi pipi. Aku memejamkan mata tak menyangka keindahan ini hanya bertahan sekejap. Suara itu kini mulai bermunculan lagi menertawakanku, mencemoohku. Aku mulai membuka mata melihat sekelilingku, sosok aneh ini mengepungku menertawakanku puas.
“sudah kubilang kau jangan mengikutinya, seperti ini kan akibatnya sekarang hahaha”
Satu suara berseru diantara kerumunan makhluk aneh itu. Dilanjutkan dengan seruan-seruan lainnya yang saling bersautan menertawakan nasibku. Kusumbat telingaku dengan tangan lemahku, kupejamkan mata dan berteriak sejadi-jadinya agar suara mereka tak lagi menusuk-nusuk indra pendengaranku.
Saat dunia menertawakanmu akibat perbuatanmu, tengoklah ke arah lain dan percayalah ini hanya ujian untuk kesabaranmu. Aku mulai membuka mata yang tengah tertutup rapat ini, kuedarkan pandanganku lekat-lekat. Kini aku berada di hadapan lubang hitam itu, tak lagi berada di dalamnya. Aku mulai bangkit dari dudukku, kutatap langit di atas sana, kubiskkan peasan terimakasih untuknya karena telah mengajarkanku sebuah kesabaran. Kupalingkan tatapanku terhadap langit dan berganti menatap lubang hitam itu, lubang htam penuh kenangan, aku menatapnya tanpa berkedip. Kupalingkan tubuhku dan beranjak menjauh dari lubang hitam itu dengan langkah pasti tak lagi gontai seperti sebelumnya.
0 notes
Text
Rasa Yang Sama
Rintik hujan pagi ini menyembunyikan mentari dalam sebuah ruang tak kasat mata. Menjerat tubuhku dengan nafsu birahinya. Aku melirik jam yang tergeletak di meja sebelah ranjangku, pukul 07:00 WIB, namun tak sedikitpun aku bernafsu untuk bangkit dari ranjang. Jam pertama perkuliahan dimulai pukul 08:00 WIB. Namun tak ada sedikitpun niat untuk beranjak.
-Risya Sarah-
Sungguh hujan ini membuatku tak mau lepas dari jeratan kasur ini. lagi pula siapa juga yang mau pergi ke kampus saat hujan seperti ini, sudah hujan pasti macet, ditambah ini hari senin pasti macetnya berlipat ganda. Ku gapai handphone yang tergeletak di samping jam. Satu pesan, ya siapa lagi kalau bukan dia, seseorang yang sebenarnya sangat aku cintai, seseorang yang selalu ada saat aku kesusahan. Dia seperti sayap pelindungku yang siap menerbangkanku di kala aku terpuruk. Dia seseorang yang mampu membuatku bangkit dikala aku terjatuh. Dialah Putra Hutama si pemilik hati bagai malaikat. Aku jadi teringat saat pertama kali berkenalan dengannya lewat socialmedia. Saat itu aku masih duduk di bangku SMA kelas satu dan dia kelas dua SMA. Sejak saat itu kami mulai sering catting dan bertukar nomor handphone, semenjak itulah hubungan kami jadi semakin dekat, dia selalu mengirimiku kata-kata manis setiap pagi hingga membuat hatiku berbunga-bunga layaknya bunga yang baru merekah. Enta semenjak kapan aku mulai menyukainya, menyukai perlakuannya, menyukai semua yang ada pada dirinya. Tiga tahun berlalu sampai sekarang perasaan ini tak pernah berubah untuknya. Entah sampai kapan aku akan menyimpan perasaan ini untuknya.
Aku menatapnya lekat-lekat, memperhatikan raut mukanya yang sangat serius. Wajahnya yang keras membuatnya semakin menyeramkan seperti macan yang siap menerkam mangsanya. Pandangannya tak lepas dari layar laptopnya, sudah hampir satu jam ia berkutat dengan laptopnya. Itulah dia selalu sibuk dengan laptopnya, mungkin karena sampingannya sebagai fotografer, entahlah.
“hy Tam” suara itu membuyarkan lamunanku, wanita itu lagi. Selalu dia yang mengganggu saat aku sedang bersamanya. Dia mengambil posisi duduk di sebelah tama dan memperhatikan apa yang sedang dikerjakan tama, aku tau sedari dulu wanita ini menyukai tama, namun aku tak tahu apakah tama juga menyukainya. Kini wajah wanita itu berdekataan dengan tama dan hampir menempel, wanita ini selalu memperlihatkan kemesraan seperti ini saat aku bersama tama, betapa aku semakin muak dengan tingkahnya yang semakin menjadi-jadi. Dengan tatapan nanar kutinggalkan mereka berdua di ruang itu tanpa sepatah katapun keluar dari mulutku. Aku terus berjalan lurus tanpa memperdulikan suara tama yang memanggil namaku.
-Putra Hutama-
Aku terus berkutat dengan laptopku sambil sesekali melirik wanita yang berada di hadapanku, wanita yang kukenal tiga tahun lalu melalui social media. Wanita yang telah mengisi ruang kosong dalam hatiku. Aku memperhatikannya dari balik layar laptopku, giginya yang tertata rapih, senyumnya yang menawan, wajahnya yang selalu mereka. Aku tak pernah bisa menghapus lukisan wajahnya yang telah kuukir dalam benakku.
“hy Tam” suara itu membuyarkan lamunanku wanita ini yang selalu membuat wanitaku uring-uringan tapi aku tak bisa menjauhinya karena dia sahabatku sejak kecil. Aku melihat wanita di hadapanku, raut wajanya mulai berubah nanar, selalu seperti ini saat Raina datang. Raina duhuk di sebelahku, dan masih dengan tatapan nanar itu dia pergi meninggalkan kami, aku sedikit tercengang, kuteriakkan namanya namun ia tak menggubris panggilanku. Aku terenyak dan teruduk lemah menatap punggungnya menjauh dari pandanganku.
-Risya Sarah-
Gemuruh petir membuka hari ini dengan ganasnya, suaranya yang menyeramkan memekik telingaku. Ah betapa aku sangat membenci petir. Aku meraih handphone yang tergeletak di samping ranjangku, seperti biasa dia selalu mengirimiku pesan setiap hari, namun kali ini isi pesan itu berbeda, bukanlah kata-kata manis melainkan kata-kata yang merobek hatiku. Seminggu setelah kejadian itu, aku tak lagi meresponnya, aku selalu menghindarinya. Aku pernah bertanya kepaanya apaka dia mempunyai seseorang yang dia sayang. Dan dia menjawab ya tapi dia tak pernah memberi tahu siapa seseorang yang dia sayang, dan detik ini aku tahu siapa yang dia maksud. Isi pesan ini sangat jelas, dia memberitahuku bahwa dia telah bersama Raina. Dugaanku tepat, ternyata benar wanita yang selama ini dicintainya bukanlah aku melainkan Raina, itu sebabnya selama tiga tahun kedekatan kami dia tak kunjung menyatakan cintanya kepadaku. Derai bulir-bulir air mata mulai berebut keluar dari mataku. Dadaku sesak seperti terhimpit batuan besar, aku tak lagi bisa berpikir jernih. Dengan perasaan kalut kuputuskan untuk segera pergi ke kampus dan menemui Adri di taman kampus. Aku ingin menceritakan ini semua dan ingin melupakan kekecewaanku padanya.
Aku duduk berhadapan bersama Adri mencurahkan semua kekecewaanku. Bulir-bulir air mata kembali berjatuhan. Adri menepis air mataku menarikku dalam dekapannya, aku melihat Tama bersama Raina berjalan berdampingan. Aku semakin tak kuasa menahan tangis, air mataku semakin tumpah. Sejak saat ini aku bertekad untuk tak lagi mmperdulikannya, tak lagi mengingat keindahan bersamanya.
-Putra Hutama-
Hujan menyapa pagi ini, aku masih menunggu Raina di depan teras rumhanya. Seminggu berlalu setelah kejadian itu, tak ada pesan sama sekali darinya. Aku ingin memanjakannya lewat pesan pagi ini, namun sejak tadi handphoneku dipinjam Raina, entah untuk apa aku pun tak tahu. Tak lama Raina keluar, kami langsung pergi ke kampus bersama. Aku memperhatikan gerak-gerik Raina yang tak seperti biasanya. Dalam diam kami akhirnya sampai di kampus, aku berjalan melewati taman kampus. Mataku menangkap sosok yang tak asing dalam indra penglihatanku, wanita tu wanita yang sangat kucintai berada dalam dekapan lelaki lain. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat, aku tak percaya wanitaku bercinta dengan lelaki lain. Raina menyentuh tanganku, dan mulai mendekap tanganku, sepertnya ia melihat apa yang sedang kulihat.
“aku sudah pernah bilang padamu, pasti mereka ada apa-apanya, tapi kau selalu tak percaya kepadaku. Sekarang kau lihat sendiri, wanita yang sangat kau cintai bersama lelaki lain.”
“aku harus minta penjelasan padanya”
“penjelasan apa lagi? Apa ini kurang jelas?”
Aku menatap mereka sekali lagi, mataku panas. Aku menatap wajanya yang biasa mereka dari kejauhan. Tersimpan banyak belati dalam rekaan wajahnya yang siap merobek-robek hatiku. Pandanganku kabur, aku begegas pergi sebelum air mataku jatuh. Aku merampas handphoneku dan segera berlalu.
-Risya Sarah-
Aku berjalan bersama Adri menuju tempat parkir, pikiranku kacau tatapanku kosong. Aku seperti mayat hiup yang sedang berjalan, aku seperti kehilangan jati diriku, aku tak lagi mereka seperti sebelumnya. Aku masih tak mempercayai ini, tiba-tiba aku merasakan cengkraman erat di pergelangan tangan kananku, aku menoleh ke arah pemilik cengkraman ini. aku terlonjak kaget, Tama? Ada apa? aku menatap wajahnya, sorot matanya redup, seperti bulan yang merindukan langit. Senyumnya tak lagi berkembang. Ah betapa aku sangat merindukannya.
“kita harus bicara” suaranya memecahkan lamunanku.
“untuk apa?” aku menghempaskan tangannya.
“ikutlah denganku, ada hal penting yang ingin kukatakan padamu”.
“nggak! Aku nggak mau!” aku berusaha melepaskan cengkramannya.
“sya sebaiknya kamu selesaikan masalahmu terlebih dahulu. Jangan selalu mencoba lari dari masalah, karena sejauh apapun kamu berlari masalah itu akan tetap mengejarmu”.
Aku menatap wajah Adri, ini yang membuatku nyaman bersamanya. Sorot matanya yang teduh pembawaanyya yang tenang dan dewasa. Aku selalu suka sifatnya. Dia pergi meninggalkanku bersama Tama, aku menatap Tama, Tama memperhatikan Adri yang perlahan menghilang dari pandangan. Kini tatapannya beralih ke arahku.
-Putra H utama-
Aku melihatnya bejalan menuju parkiran dengan pria itu, hatiku bergejolak menyimpan berjuta amarah. Aku tak kuasa meliat wanita yang kucintai bersama orang lain, aku mempercepat langkahku dan berhasil mencengkram tangannya. Dia menoleh dengan tatapan penuh tanya, sungguh aku tak kuasa melihat wajahnya. Matanya tak lagi berkilau seperti biasanya. Sungguh aku sangat merindukannya.
“kita harus bicara” aku mulai bicara.
“untuk apa? jawabnya. Betapa aku sangat terkejut saat ia mengehmpaskan tanganku.
“ikutlah denganku, ada hal penting yang ingin kukatakan”.
“nggak! Aku nggak mau!” ia mencoba melepaskan cengkramanku.
“sya sebaiknya kamu selesaikan masalahmu terlebih dahulu, jangan selalu mencoba lari dari masalah. Karena sejauh apapun kamu berlari masalah itu akan tetap mengejarmu”. Aku menatap lelaki itu, sungguh aku muak dengan rentetan kata yang keluar dari mulutnya. Kini ia mulai beranjak pergi meninggalkan kami berdua. Aku menatapnya lekat.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
“jadi, ini alasanmu menghindar dariku?” Suaranya keras.
“apa maksudmu?” tanyaku bingung.
“kau berpacaran denagnnya? Apakah kau tak memkirkan perasaanku selama ini? tiga tahun kedekatan kita, apa kau tidak merasakannya?” ‘
“tunggu, dia hanya temanku, aku tidak berpacaran dengannya!! Apa katamu? Memikirkan peasaanmu? Bukankah kau yang tidak menghargai kedekatan kita selama ini? kau mendekatiku, melambungkanku lalu kau pergi meninggalkanku begitu saja han berpacaran hengan wanita lain!!! “.
“tidak pernah berpacaran dengan wanita lain? Enteng sekali kata-katamu, lau ini apa??” aku memperlihatkan pesannya tadi pagi. Aku melihat ekspresi wajanya yang tak dapat ku terjemakan.
“hey aku tak pernah berpacaran dengan Raina, dia hanya sahabatku tidak lebih, lagi pula aku tak penah mengirimi pesan seperti itu padamu, handphone ku tadi pagi di pegang oleh Raina”.
“kau masih bisa berkelit? lalu ini apa?“ mataku mulai panas, pandanganku mulai kabur akibat air mata yang siap menetes.
“aku kira ini hanya salah paham “
“sudahlah, lagi pula kita tdiak ada hubungan apa-apa. Aku tak berhak mengikatmu, aku tak brhak melarangmu berpacaran dengan orang lain, karena aku bukan siapa-siapa mu“ aku beranjak pergi meninggalkannya. Dia menahanku, mencengkram tanganku, namun aku menghempaskannya.
“kau ingat kau pernah menanyakan padaku siapa oang yang sesunggunya kucintai?“.
Langkahku terhenti sejenak dan langsung membalikkan badanku, aku menatapnya dengan penuh air mata.
“ya aku ingat, dan wanita itu Raina bukanla aku! Aku bodoh kalau aku berpikir wanita itu adalah aku, aku bodoh karena aku terlalu berharap padamu”.
Dia berjalan ke arahku, menatapku, dan mulai menggenggam tanganku.
“kau salah, kau tidak bodoh, aku yang bodoh karena tak kunjung menyatakan ini padamu, aku bodoh karena aku terlalu lama membuatmu menunggu. Aku hanya tak mau kehilanganmu, aku tak mau saat aku bersamamu mengikat hubungan bersamamu, kemudiaan kita berpisah dan aku kehilanganmu. Aku tak mau. Sejak tiga tahun yang lalu, sejak aku mengenalmu hanya kamu yang aku cintai bukan Raina atau wanita manapun. Karena aku amat terlalu mencintaimu, aku juga takut kehilanganmu”.
“kau…. “ belum slesai aku berbicara dia sudah meneggelamkanku dalam dekapannya.
“aku mencintaimu, aku tak mau kau pergi, terlalu sakit melihatmu bersama lelaki lain, berjanjilah padaku jangan pergi lagi dariku”.
Aku tak bersura anya mengangguk haru.
Kepada lagit sore, berjuta untaian terimakasih ku lantunkan untukmu.
Langit sore, kau menjadi saksi bisu kisahku dengannya.
Di bawah langitmu pula, kini aku menemukannya
Menemukan pelabuan perahuku
Yang telah lama belayar.
0 notes
Text
Disela deru angin panas, langit berbisik tuk sekedar mengingatkan apa yang telah terjadi. Khayal terkembang bak layar kapal di lautan, segelintir rindu mulai kembali menyapa. Aku termangu meresapnya bagai ilmu.
0 notes
Text
"Setiap air mata yang jatuh membasahi pipi, tangan ini selalu bergerak mencoba menyeka air mata yang jatuh. Walau rasanya untuk sekedar menyeka saja tak mampu karena terlalu banyak air mata yang berjatuhan. Namun tangan ini selalu berusaha untuk tetap mampu menyekanya. Setelahnya mulailah merekah bunga senyum, senyum kepalsuan penuh dusta. Bunga Senyum yang merekah di atas tangkai yang menangis."
0 notes
Text
"Malam menjadi bisu, tak mampu berkata rindu. Semuanya menguap dan melebur di langit. Bahkan kini bulan tak kalah dengan malam. Bulan kini tuli, tak sanggup mendengar rindu yang mengudara."
0 notes
Text
"Menghapus jejakmu di setiap setapak yang telah kulewati, menghalau bayangmu dalam setiap sela perjalananku. Takkan mudah, pun ketika aku harus membuangmu ke jurang tak berdasar."
0 notes
Text
Iya kamu, pusat kerinduan yang selalu tercipta dalam setiap embusan napasku, kerinduan yang selalu mengalir dalam semua aliran darah dalam tubuhku. Kerinduan ini semakin mencekam ketika kata-kata janji berhamburan keluar dari bibir manismu. “nanti deh kalo ada pulsa di sms deh” hey entah sudah berapa lama kalimat itu tersimpan dalam direct messageku. Kerinduanku semakin menjadi dan menjadi ketika kata yang telah terukir itu tak pernah kau realisasikan. Sadarkah wahai pujanggaku, rindu ini bahkan sudah ranum. Semoga kau segera memetik buah kerinduan yang telah ranum ini.
0 notes
Text
Kita dulu pernah berjalan bersama di persimpanagn itu, dan kini ketika kita bertemu dalam persimpangan yang sama kita seperti 2orang yang tak pernah saling kenal, berselimut kebiusan. Dalam diam kita berlalu begitu saja, tanpa sapaan kita terus berjalan berlawanan tak mengingat bunga keindahan yang pernah kita tanam bersama dulu.
0 notes