Text
Hanya aku dan Tuhanku yang paling mengerti, betapa sepi dan sunyi jalan yang kulalui.
0 notes
Text
Maaf
“Kai..”
...
Aku merasakan belaian hangat di kepalaku. Ia berdiri di hadapanku. Aku masih belum sanggup untuk menatap wajahnya. Kupeluk kedua kakinya yang lemah.
“Aku minta maaf..” tangisku kian pecah.
“Maaf karena aku jahat sama kamu. Aku abai dalam mencintai dan menyayangi seseorang yang senantiasa membersamaiku. Sedikit sekali aku peduli padamu. Sering sekali aku tak menghargai apa yang telah kamu lalui sampai detik ini. Aku selalu merasa tak cukup, tak layak, tak berharga. Tapi ada yang selalu menyala di dalam sana. Meski redup, cahaya itu mampu membawaku ke sini. Ke dalam diri. Apakah kamu memaafkanku kembali?” suaraku parau.
Hening. Aku hanya mendengar isak tangisku sendiri. Sungai kecil mengalir deras di pipiku.
Tiba-tiba aku merasakan tetes jatuh di kepalaku.
Kuberanikan diri untuk mengangkat wajahku dan menatapnya. Tangannya mengangkat tubuhku. Kami saling tatap. Ya Tuhan. Wajah itu. Wajah yang selalu membersamai—menghadapi ribuan peristiwa selama bertahun-tahun. Aku menangkap kerinduan yang mendalam pada wajahnya. Kerinduan pada sosok yang begitu dekat sekaligus jauh. Kupeluk erat tubuh dan jiwanya.
“Aku selalu menunggu momen ini. Momen dimana kamu kembali. Ke rumah yang telah lama kita huni. Bagaimanapun, aku telah memaafkanmu. Selalu. Kamu cukup, layak, dan berharga. Aku tak peduli masa-masa yang telah lalu. Aku bersyukur dan bahagia saat ini. Sejauh apa pun kamu pergi, sejatinya kamu melangkah pulang. Kamu hanya perlu merasakan cahaya di dalam dirimu.” Ia melepaskan pelukan dan menunjuk dadaku.
Seketika di sekitarku terasa menyilaukan. Aku memejamkan mata dan menghalau sinar itu. Saat aku membuka mata, aku berada di hadapan layar putih. Kata-kata berlarian di atasnya kemudian membentuk rangkaian kalimat yang indah.
“Terima kasih, Kai. Terima kasih telah menemuiku. Mendengarkan suaraku. Sering-seringlah menepi dan menjauh dari segala yang riuh. Terkadang suaraku hanya mampu terdengar di keheningan malam. Tenang, tetaplah percaya bahwa Allah selalu menuntun dan membimbingmu menuju diri, menuju Yang Sejati.”
Sungai kecil itu kembali menderas. Kali ini membawa ketenangan.
1 note
·
View note
Text
Pulang
Aku mengatur napas sebelum mengetuk pintu rumahku. Ketukan pertama. Tak ada jawaban. Aku menghela napas dan menjaga nyala keberanian yang sedang redup. Ketukan kedua. Tetap bergeming. Badanku gemetar, tapi tekadku tak gentar. Ketukan ketiga. Hening. Aku memutuskan untuk membuka pintu.
Krek.
Tak dikunci. Kudorong perlahan, melongokkan kepala, dan menyapu pandangan ke sudut ruang. Aku melihatnya duduk menghadap meja yang membelakangiku.
Aku melangkah masuk lalu menutup pintu perlahan. Kuamati seisi ruangan tapi pandanganku tak bisa menjangkau isi kepala dan hatinya. Di antara helai rambutnya tampak dedauan layu. Duri-duri menancap di pundaknya. Pakaiannya tercabik. Punggungnya yang bungkuk tampak memar. Rasanya aku tak sanggup membayangkan dan menatap wajahnya. Ya Tuhan, apa yang telah kuperbuat?
“Hh..hai, Kai..”
Suaraku bergetar. Aku memejamkan mata. Rentetan peristiwa mulai berkelabat.
“Ini aku.”
Mataku berkaca. Sungguh, aku tak kuasa menahan kepedihan.
Aku merasa menjadi manusia paling jahat sedunia. Aku hidup bersamanya tapi aku tak mengacuhkannya, aku membencinya, aku tak menerima kekurangannya, aku tak memercayai kemampuannya, aku selalu menyalahkannya atas apa yang terjadi dalam hidupku.
Aku terduduk. Air mataku tumpah. Tanpa suara.
...
“Kai..”
...
1 note
·
View note