Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Aku tidak begitu yakin sebenarnya, aku ini jatuh cinta dengan bagian yang mana. Dengan Surakarta atau dengan kamunya? Atau malah dengan keduanya? Yang pasti Surakarta akan selalu jadi milik kita. Ada banyak bagiannya yang menyimpan kita. Ruko-ruko di emperan Slamet Riyadi, sampai kaset-kaset yang ada di sepanjang gatsu, itu semuanya kita. Dan yang aku mau, kita terus begini selamanya.
Semoga kita bertahan lama, ya, K.
0 notes
Text
Kita Selalu Punya Cara Untuk Jadi Senang Berdua, Dimana Saja.
Waktu aku bilang aku mau pindah ke Solo, dahimu langsung berkerut tanda tak setuju. Katamu, "Ngapain ke Solo? Enakkan juga di Jogja." Lalu aku dengan lantang berani mengucapkan, Jogja adalah kota paling memuakkan dan rasa-rasanya aku bisa muntah sepuluh kali sehari kalau harus tinggal disini lebih lama lagi. Kalau bisa akan aku bawa kaki ini berlari sejauh mungkin, tak kembali lagi.
Tapi lagi-lagi kau tak setuju. Katamu Solo terlalu kecil buatku serta mimpi-mimpiku yang besar itu. Katamu aku pantas tinggal di kota dimana aku bisa menerbangkan semua mimpiku ke langit dan itu bukan Solo. Kita berdebat lama sekali sampai akhirnya kau menyerah dan membiarkan aku tetap meromantisasi kota ini. Aku tahu semua perkataanmu benar. Solo memang kecil dan aku tak masalah dengan itu.
Aku bisa lewati jalan yang sama sampai sepuluh kali dan yang ini tak akan buatku muntah tiap pagi. Aku bisa kunjungi Pasar Triwindu tiap hari dan aku takkan berteriak dengan lantang kalau Solo memuakkan karena ia tidak. Aku bisa dijejali dawet telasih tiga kali sehari atau mie sumatera yang katamu mahal tapi enak. Solo dapat buatku tenang dari segala hiruk pikuk yang ada di Jogja. Entah itu kotanya saja atau karena ada kamu di dalamnya.
"Tapi nanti kamu kangen pantai gak?" aku menggeleng. Aku sudah cukup dengan pantai. Dengan matahari tenggelam pun dengan ombaknya. Mungkin aku sudah cukup dengan Jogja. Aku sudah cukup dengan segala hal yang ada di dalamnya. Aku bisa gantikan pantai dengan duduk di emperan ruko Jalan Slamet Riyadi. Dengan dua batang rokok, kamu marlboro aku juara kretek. Mengobrol banyak sekali sampai pagi. Aku bisa gantikan matahari tenggelamnya dengan melamun di es kapal dekat stasiun. Aku tak suka manis tapi yang satu ini pengecualian, karena kalau kamu suka maka aku juga. Pun aku bisa gantikan deburan ombaknya dengan suaramu yang sibuk memaki nirmana yang rasanya bisa buat kamu mati. Sama-sama merdu pun sama-sama seperti lagu.
"Kalau aku betulan pindah ke Solo, kita bisa ketemu tiap hari. Aku gak perlu capek-capek naik kereta yang tempat duduknya penuh sampai aku harus berdiri," dan kamu tersenyum waktu mendengarnya. Kau betulan sudah menyerah untuk mencegahku datang ke kota yang katamu kecil ini. Lalu memberikan rekomendasi tempat mana saja yang harus aku kunjungi walau semuanya tak jauh dari kaset-kaset tua dan juga buku.
"Tapi nanti kalau aku pengen ke Jogja gimana? Kita belum jadi makan pecel lele bawah jembatan. Belum jadi juga ke Theotraphi lho," dan aku hanya bisa tertawa. Lupa bahwa kau juga punya mimpi untuk berkeliling Jogja denganku. Lupa bahwa sebenarnya kau ingin untuk tinggal disini dan bukannya di Solo. "Iya, itu nanti gampang. Kita juga bisa kok jalan-jalan di Jogja. Kamu mau kemana aja juga boleh, kita keliling Jogja sama-sama ya?"
Mungkin begitulah akhirnya. Solo akan selalu jadi tempat pelarian terbaikku, sedang Jogja adalah tempat yang akan kau kunjungi ketika kehidupan sudah mulai mencekikmu hingga mati. Aku lari ke timur, sedang kau ke barat, lalu kita bertemu di tengah-tengahnya. Mungkin mencari buku lama di dekat Kraton Surakarta atau mendiskusikan puisi-puisi Joko Pinurbo di alun-alun Selatan.
Kita selalu punya banyak cara untuk jadi kita, entah di Solo atau Jogja. Atau bahkan di tengah-tengahnya.
0 notes
Text
Halte Bus dan Angkringan, Mungkin Ini yang Namanya Kasih Sayang.
Malam ini kita putuskan untuk menggelar obrolan panjang di halte bus dekat rumah yang sudah lama tidak dipakai. Ditemani teh hangat dan nasi kucing serta gorengan yang kita beli di angkringan dekat sini. Kali ini tanpa rokok karena paru-paruku tak lagi bisa menghisap asap, meskipun aku yakin kalau hanya dua batang nyawaku tidak akan langsung melayang. Tapi katamu lebih baik jangan karena kamu takut aku hilang.
Aku menemukan ilmu baru akhir-akhir ini dan aku mau membaginya sedikit denganmu. Tentang cinta dan kasih sayang yang tadinya aku pikir cuma bualan belaka. Namun aku salah, ia benar-benar ada dan nyata. Pun wujudnya berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Kamu mulai makan nasi kucingmu, "Iya, cerita aja. Nanti aku dengerin sambil makan ya." Lalu aku mulai membabarkan pernyataanku.
Bagiku mungkin cinta dan kasih sayang itu dapat aku temukan di antara pukulan yang ibu layangkan waktu aku berbuat kesalahan. Atau mungkin terselip di celah-celah rangkaian kalimat menyakitkan yang ibu lontarkan waktu aku dianggap bersalah olehnya. Pun mungkin ada ditumpukan kata-kata yang menjelaskan kalau anaknya yang membanggakan cuma satu dan itu bukan aku. Selamanya di mata ibu, aku cuma anak yang menyusahkan dan sakit mental. Layak masuk rumah sakit jiwa untuk rehabilitasi dan kalau perlu tak usah kembali.
Cinta dan kasih sayang wujudnya berbeda-beda dan bagianku disajikan dalam figur seorang ibu yang tersusun dari banyak luka di dalam hatinya. Aku berusaha untuk memaklumi dan melabeli segala tindakannya dengan, "Cinta dan kasih sayang kan beda-beda wujudnya, sial aja aku harus dapet yang kayak gini bentuknya." Kendatipun aku kerap merasa bingung karena pukulan dan teriakan yang ibu beri acap kali tak berdasar, dipicu oleh masalah sepele yang ia besar-besarkan. Kendatipun aku kerap merasa tak adil karena cinta dan kasih sayang yang ibu bagi kepada adikku masih terasa hangat sedangkan aku cuma dapat bagian dinginnya saja.
"Ibumu itu gak pantes jadi ibu. Gak ada cinta dan kasih sayang yang bentuknya begitu," ucapmu setelah aku menutup penjelasanku dan nasi kucing serta tempe gorengmu sudah habis dilahap lapar. "Lho, tapi kan cinta dan kasih sayang itu bentuknya beda-beda. Mungkin ibu bisanya kasih yang begitu," dan sekali lagi kamu menggeleng tanda tak setuju. "Gak ada cinta dan kasih sayang yang wujudnya amarah dan kekerasan. Kamu belajar dari ibu yang gak pantes jadi ibu, jadinya salah kaprah." Yang barusan sanggup buatku tertawa karena sebenarnya dari lama aku juga sudah berpikir begitu. Mungkin ibu harusnya tak jadi ibu, harusnya ibu tak menikah dengan ayahku, sehingga ia tak perlu melahirkanku.
"Terus cinta dan kasih sayang yang bener itu kayak gimana sih?" kali ini kamu cuma bisa menggeleng sambil tersenyum. "Aku gatau ya, aku juga gak pernah belajar cinta dan kasih sayang yang bener itu kayak gimana. Tapi yang jelas ilmumu itu masih salah. Ibumu sih yang salah." Lalu aku kembali tertawa mendengar kalimat terakhirnya. Ya, memang harusnya begini. Aku tarik kesimpulan pada ibuku yang salah, bukan aku yang layak dapat cinta dan kasih sayang berwujud dingin sampai ke tulang.
"Mending kamu makan nasi kucingmu, gak usah dipikirin ibumu yang begitu. Bikin sakit hati aja kan?" Aku mengangguk, mulai membuka bungkusan nasi dengan lauk sambal teri kesukaanku. "Abis ini mau kemana?" aku diam sebentar memikirkan sisa duit di dompetku yang tinggal lima belas ribu ini mau dibelikan apa. "Terserah sih, tapi kalau aku pengen ke Syuhada. Kita lompat aja yuk darisana?" aku menjawab dengan sedikit bercanda, menyelipkan lelucon bunuh diri seperti biasa. Namun, siapa sangka kamu akan tertawa. "Iya boleh, mati bareng-bareng itungannya peak romance kan? Aku mau kalau gitu."
Ah, mungkin ini ilmu tentang cinta dan kasih sayang yang benar. Yang ada di antara onggokan cakap-cakap ingin bunuh diri. Yang ada di antara nasi, gorengan, dan teh hangat yang kita santap malam ini. Sederhana saja, cinta dan kasih sayang wujudnya beda-beda dan yang betulan aku dapatkan itu ada di kamu.
0 notes
Text
Di Stasiun Lempuyangan, Solo Balapan.
Entah bagaimana cara cinta bekerja, tapi aku selalu merasakan kasih sayang kita lebih besar jika kaki kita sudah mulai menginjakan langkahnya di stasiun. Mau Lempuyangan atau Solo Balapan, kasih sayang adalah satu-satunya teriakan yang lebih lantang dari tindakan yang kita berdua tunjukkan. Pelukan cuma hal sederhana yang bisa kita lakukan di depan indomaret Stasiun Lempuyangan, "Besok-besok ketemu lagi ya," paham benar bahwa ada satu bulan setelahnya kita tak lagi bertatap karena waktu, kesibukan, dan jarak adalah apa yang menjadi musuh kita sekarang.
Nyatanya, Jogja-Solo yang katanya dekat itu tak pernah benar-benar dekat. Ada sekitar 60 menit yang harus kita habiskan di dalam kereta yang biasanya padat merayap. Dan sayangnya lagi, kita bukan anak presiden yang bisa pergi kemana-mana tanpa perlu pikir dua kali. Padahal sudah ada daftar yang kita buat berdua, isinya tempat-tempat yang harus kita kunjungi entah di Solo atau Jogja. Katamu toko buku di Alun-Alun Solo sudah lebih bagus, ada banyak koleksi baru yang ditambah waktu kau berkunjung kesana minggu lalu. Bahkan kau beli satu judulnya, 'Sergius Mencari Bacchus,' yang tak sengaja kau temukan di tumpukan buku paling bawah.
"Kalau ke Jogja berarti kita harus ke Theotrapi, kak! Dia kayak toko buku indie gitu, tempatnya kecil sih tapi koleksi bukunya bagus-bagus. Kemarin aku kesana sama temenku, pengen balik lagi deh rasanya," lalu gantian aku yang memberikan rekomendasi tempat untuk kita kunjungi kalau kamu ke Jogja. "Iya, nanti ya kesana sama aku. Tapi aku cari waktu dulu, kuliah lagi sibuk banget." Dan lagi-lagi, waktu adalah hal yang lebih nyata ketimbang janji-janji pemerintah kepada warga.
Malam itu obrolan kita mengalir panjang sekali, tapi yang bisa aku rasakan cuma sepi. Mau bagaimanapun sepi tak akan pernah bisa kita bagi lewat layar ponsel yang sedari tadi menyala enggan mati. Ada satu tembok transparan tebal yang seakan mengungkungku dalam sendiri. Lalu perlahan, aku mulai mengerti bagaimana cara cinta bekerja sampai buat kasih sayang kita terasa lebih besar tiap kali kita sampai di stasiun. Mulai mengerti kenapa tiba-tiba ada tangan yang merengkuhku hangat di depan indomaret Stasiun Lempuyangan, padahal awalnya aku pikir Jogja-Solo cuma sebentar dan perpisahan tak perlu sampai sebegininya untuk dilakukan.
Sekarang begitu aku sudah paham dan semuanya sudah masuk di akal, rasa-rasanya aku ingin pindah saja dan menetap di Solo selamanya. Kita bisa berkeliling kota yang katamu jauh lebih indah kalau malam itu tiap hari. Mencoba mie sumatera di Jalan Ir. Juanda yang katamu enak sekali. Atau kita bisa berbagi pelukan tanpa perlu tunggu pertemuan yang rasa-rasanya cuma bisa dilakukan tiap dua bulan sekali. Karena rasa-rasanya hidup sendiri-sendiri cuma buat aku dikekang sepi dan yang aku mau kita ada buat berdua, entah di Solo atau Jogja.
Di Stasiun Lempuyangan, Solo Balapan satu-satunya tempat dimana tembok transparan itu jadi semakin nyata. Aku mau kamu buat selamanya.
0 notes
Text
Bagiku Tuhan Sudah Mati Karena Aku Berserah Diri Pada Neraka Dan Pilih Untuk Membersamaimu Selamanya.
Aku bisa bangun rumah paling nyaman di neraka untuk kita tinggali berdua. Cukup yang minimalis saja, asal kau betah untuk tinggal disini selamanya. Ada ruang tamu dengan sofa paling empuk agar kau bisa menonton saluran televisi favoritmu. Kamar dengan kasur yang besar agar kita leluasa untuk bersenggama di atasnya. Kamar mandi dengan air yang aku jamin takkan pernah berhenti mengalir untuk membilas tubuh kotor kita. Pun tak lupa dengan dapur karena aku ingat kau suka sekali untuk coba resep baru yang kau temukan di ponselmu itu. Kalau sudah begini aku betah tinggal di neraka karena ada kamu sebagai pelengkapnya. Bahkan aku bisa sebut ini sebagai cita-cita, tinggal di neraka bersamamu karena kata orang-orang kita ini pendosa.
Dan saat aku ceritakan padamu, ada dahi berkerut yang menyambut titik akhir kalimatku. Tak sesuai harapan karena aku pikir kamu akan senang. Karena aku pikir kamu juga sama berdosanya sepertiku. Atau karena aku pikir, kau juga sama- sama akan mengorbankan dirimu sendiri asal tetap membersamaiku. Tapi alih-alih senang kamu malah mengutukku dengan amarah dan seribu sumpah serapah. Rupanya kau masih religius, mungkin kau akan tetap religius. Berpegang teguh pada Tuhan dan mempercayai segala hal yang dikotakkan oleh-Nya menjadi kesatuan yang kemudian ia beri nama dosa.
Tapi apakah mencintai seseorang bisa dianggap sebagai dosa? Tapi apakah jika aku laki-laki dan kau juga sama laki-lakinya sepertiku maka itu dianggap sebagai dosa? Ada banyak hal yang tidak aku mengerti di dunia ini, Birdy. Jika memang benar itu adalah dosa, maka akan aku masukkan kau ke dalam daftar dosa paling nikmat yang rela untuk buatku dilaknat. Dengan Tuhan, dengan gereja, dan dengan neraka yang berisi setan-setan dan api membara. Akan aku tinggalkan injil-injil dan rumah Tuhan ini, mengesampingkan akal sehatku karena katanya orang berdosa itu pasti tak berakal. Meskipun ada serdadu-serdadu yang akan menghukumku dengan pancung, pun mayatku setelahnya akan tetap mencintaimu. Cukup simpan potongan tubuhku dan disanalah aku akan hidup sebagai raga tanpa jiwa yang akan terus membersamaimu.
Ada begitu banyak hal yang aku biarkan hilang karena sedari awal aku selalu berpikir kaulah pelengkapnya. Tapi kamu tidak. Kamu pilih untuk lari ke tepi pantai, menyendiri, berusaha menghindar dari segala hal yang membuatmu tersandung dosa. Tapi kamu tidak. Kamu pilih untuk kembali percaya pada Tuhan karena kamu takut neraka. Padahal kata banyak orang, homoseksual seperti kita ini akan berakhir disana. Bukannya itu berarti malah ada banyak orang yang akan mengerti dan memaklumi kita jika yang kau cari adalah pembebasan dari segala dosa-dosa? Tapi kamu tidak, Birdy. Tapi kamu tidak. Tapi kamu tidak.
Tahun-tahun selanjutnya aku dengar kabar bahwa kau akan menikah dengan seorang gadis. Kau akan menikah, sedang aku masih berteman dengan duka yang merekah. Kau mungkin akan kawin dan beranak-cucu, sedang aku masih tinggal di rumah yang sama seperti dulu. Rumah yang dulunya sering kau kunjungi karena katanya inilah tempat paling nyaman untuk pelarianmu. Rumah yang aku biarkan atapnya reyot, tembok-temboknya mengelupas, dan ubinnya pecah-pecah. Aku masih tinggal disini, Birdy. Bersama duka yang kini menjadi teman baikku satu-satunya. Aku sudah kehilangan minat untuk berpindah karena inilah satu-satunya tempat dimana aku bisa hidup membersamaimu yang kini cuma berwujud sebagai kenangan yang masih menggantung di langit-langit kamarku.
Heavenly father, why is it a sin to love someone?
1 note
·
View note