Bila waktumu terus berlalu, tetap waspada. Sebab dia berpacu sembari menyematkan kenangan.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Percakapan Terakhir
Pagi itu, masih sama seperti pagi yang kemarin. Tidak ada yang unik maupun aneh. Janggal pun tidak menunjukan batang hidungnya. Semua seperti biasanya dan setiap orang di rumah sibuk dengan urusannya. Aku yang masih terlelap tidur, nyaris tuli untuk mendengar mereka bergerak kesana kemari untuk melakukan persiapan menghadapi hari itu.
Pukul 07.00 WIB, seperti biasa papah tidak lupa membangunkanku. Semalam dia tanya kapan aku akan kembali ke Bandung? Ku jawab besok, ya hari ini.
"Kang, bangun. Nanti keburu panas, katanya mau ke Bandung". Nada yang selalu sama disetiap membangunkanku, tidak pernah ada sisipan nada tinggi. Ataupula paksaan yang sedikit mengganggu telingaku.
"Iya pah, bentar lagi". Seperti biasa pula, anaknya ini begitu bersahabat dengan kantuk. "Udah jam tujuh tuh, itu kopi diatas dispenser ya" jawab papah ketika dengar anaknya sudah bersuara namun belum pula menang melawan kantuknya.
Semenjak papah tau aku ngerokok dan doyan ngopi, dia selalu sediain rokok sama kopi hampir di setiap pagi ketika aku lagi di rumah. Baik banget kan?
Sulit memang perihal kantuk, sulit sekali untuk dilawan. Setelah mendengar pintu depan tertutup dan suara motor menderu menjauh, mata ini kembali terpejam. Kembali menuju alam mimpi, disaat yang lain mulai bergerak menantang hari. Matahari semakin tinggi, mata yang masih berat dipaksakan untuk terbuka. Kaget bukan main, melihat jam sudah menunjuk ke angka delapan. Bergegas mengambil handuk dan berjalan cepat tapi sempoyongan ke arah kamar mandi.
Asik mandi, terdengar deru mesin motor papah yang khas mendekat. "Pasti ada yang ketinggalan" gumam hatiku. Ya benar, papah kembali lagi ke rumah. Tapi bukan karena ada yang ketinggalan. Papah bawa beberapa pot dengan berbagai ukuran. Dari mulai yang kecil sampai yang besar.
"Kang, nanti kita masukin tanaman ke pot pas kakang pulang dari Bandung. Ini papah beli potnya tadi ke pasar." Kata papah sambil simpen pot di dapur. Ku jawab "Oce oke bosku".
Aku yang sibuk bergegas memakai pakaian, papah duduk di ruang tengah. Tanpa ada obrolan sedikit pun dari kami berdua. Jam menunjukan 08.30, papah bangun dari duduknya mengambil satu map yang berisikan pekerjaan. "Ketinggalan ini map, berkas buat ke BPK". Kata papah sambil menggulung map.
"Oh lagi audit dana BOS ya pah?"
"Iya, lieur papah mah kalo udah sama BPK teh" sambil ketawa.
"Papah ke sekolah dulu, kalo uang kurang telpon aja" papah bergegas.
Kemudian papah balik lagi dan nanya,
"Debit yang BNI di kakang kan?"
"Iya, ini ada pah. Oh buat tf ke adit ya? Yaudah ini papah pegang debitnya. Bisa kan setor tunai di ATM?"
"Pegang aja di kakang, nanti kakang yang tf in ke adit kalo uangnya abis. Ini uangnya kakang pegang" sambil ngasih uang.
"Papah berangkat dulu, kamu hati-hati dijalan. Jangan ngebut, pelan aja yang penting selamat".
"Iyaa siap pah, nanti dikabarin kalo udah sampe Bandung". Jawabku dari kalimat perhatian papah.
Dan Papah balik lagi setelah membukakan pintu,
"Kang ada rokok ga?" Tanya papah.
"Ga ada pah, ntar beli aja gampang lah".
Kemudian papah merogoh sakunya, mengeluarkan bungkus rokok favoritnya. Gudang Garam Filter. Di bungkus rokok itu ada 2 batang terakhir.
"Ambil satu sama kamu, kang. Satu ewang sama papah". Kata papah sambil nyodorin rokoknya.
"Hati-hati di jalan, kang. Papah berangkat." Papah mempertegas kalimat perhatiaannya. Lalu dia bergegas membukakan pintu untuk pergi ke sekolah.
Ini percakapan terakhir bersama papah. Begitu banyak lontaran kalimat perhatian dalam satu rentetan percakapan yang papah ucapkan. Jikalau aku tahu bahwasanya itu percakapan terakhir kami, kupikir memeluknya adalah hal wajib. Setidaknya ada satu pelukan sebelum melepaskan. Saling merasakan bahwasanya melepaskan adalah suatu ketidakmungkinan.
Namun papah ataupun aku sama, milik Allah. Pasti kembali kepada-Nya, meski yang jadi perbedaan adalah waktu. Ada saatnya papah ataupun aku harus melepaskan, sebab takdir adalah hal yang tidak mampu dinegosiasikan. Setiap orang punya itu dan berbeda satu dan lainnya.
Pah, ada beribu maaf juga terima kasib yang belum telingamu dengar. Mulutku terlalu kelu untuk itu, egoku terlalu keras untuk menunduk. Hatiku terlanjur mati rasa, untuk sekedar berterima kasih atas waktu dan peluh yang papah sisihkan semasa hidup papah. Maaf, anakmu ini begitu bebal mengurusi dunianya.
Sesal berubah sesak, tidak pernah pergi sejak 24 hari yang lalu.
0 notes
Text
Aku, kamu, dia dan mereka punya waktu. Tapi waktu memiliki batas.
0 notes
Text
Waktu yang Berjelaga
Pada waktu yang kian berjelaga.
Seraya sukmamu kembang merayu,
Kian meradang aku atas inginku.
Menepilah.
Pada waktu yang semakin berjelaga,
Pikat ragamu semakin menyeruak.
Membahananya rasa berteriakan ingin.
Dekaplah.
Benakku terikat masa yang lampau,
Berjejak peluh bertuan harap.
Ingin biarkan menjadi ingin,
Meski derap langkahmu,
Kudengar samar menjauh.
Pada waktu yang kian berjelaga...
0 notes
Text
Mengepul Asap
Malam semakin larut, bunyi "beep beep" dari token listrik yang sekarat menghasilkan rima yang stabil dan rokok yang kubakar mengepul asap ke arah atap.
Ketidaksengajaan, menjatuhkan diri. Untuk dibuai dan didekap bersama ilusi kenikmatan. Meracau semesta pikiran dengan berhias candu.
Paru apa kabar? Kuatkah?
Intensitas berpikir cenderung berpengaruh dengan tingkat konsumsi. Mengubah kearah yang begitu konsumtif. Tidak! Itu hanya segelintir alibi yang muncul dari alam sugesti. Yang mengatakan bahwasanya ini kenikmatan.
Ingin lepas? Selalu hadir, namun takut lebih kuasa untuk memunculkan prasangka dimana goyah mampu tercipta seketika. Tidak! Itu pun sama hanya segelintir alibi yang muncul dari alam sugesti.
Ini perihal menjatuhkan lalu terekatkan. Berontak diwaktu yang kurang tepat. Ada kesal dari setiap tundukan kepala yang menyeruak bersamaan sesal yang hadir kala diingat kembali.
0 notes
Text
Belum Jua
Benar kiranya akal logika memiliki dinding, ada ruang yang tidak pernah terjamah walau sekiranya dibuat mengerti pun cukup. Relief-Mu unik kupikir, ini Kuasa-Mu. Pemilik dari segala yang hidup.
Ada masa dimana jemu akan perasaan ini. Masa dimana bukan lagi jawaban yang di cari, melainkan alasan yang begitu didamba. Kepada siapa perasaan ini hidup bukanlah jadi masalah inti, namun mengapa aku yang diberi perasaan ini?
Pernah bertanya mengapa bisa muncul lalu hidup perasaan seperti ini, dikala waktu suasana dan kondisi berubah? Tapi perasaan ini tetap sama.
Pernah pula bertanya, ini tanda atau memang reliefku yang engkau ciptakan dengan alasan agar aku tahu. Setidaknya ini yang masuk kedalam akal pikirku.
Benakku dipenuhi tanya, dan tanya ini belum berbuah jawaban. Apalagi alasan.
Ya terkadang bukannya mensyukuri tapi lebih memilih menghakimi. "Naha sih?"
0 notes
Quote
Waktu dimana pergerakan dibelenggu konsep. Hingga pada akhirnya, satu langkah pun tidak berjejak.
Konsep adalah suatu keharusan, pemetaan secara detail dalam bertujuan. Namun sayangnya terlalu banyak asumsi yang masuk dalam berkonsep, berimbas terhadap munculnya kecemasan.
0 notes
Quote
No alarms and no surprises, silent.
Radiohead - No Surprises
4 notes
·
View notes
Quote
Adalah melepaskan dirimu untuk mampu memaksimalkan kesempatan. Selalu ada pertahanan diri untuk itu. Untuk kami yang pernah gagal, hati-hati adalah pedoman.
Ajudan Hitler
0 notes
Quote
Wanita itu handal untuk membuatku menabung rindu. Selalu mampu menciptakan jarak, jarak adalah pemicu munculnya rindu.
Susu Bendera
1 note
·
View note
Quote
Ada gundah yang kutaruh dalam doa. Tatkala itu tak cukup untuk mencurahkan, kutaruh pula dalam susunan nada-nada melankolis dan beberapa paragraf kalimat sendu.
Kopi ABC Susu
0 notes
Text
Kambing Conge
Ini menceritakan tentang percakapan 3 manusia dengan dua sejoli dan satu kambing conge. 👦 : Si Jalu 👧 : Si Bikang 🐏 : Kambing conge Berawal dari sebuah perjalanan menuju satu tempat, namun terhadang hujan yang memaksa menghentikan perjalanan sementara. Sebuah minimarket berinisial alfamart dipilih untuk jadi tempat berhenti, sekalian beli cemilan buat buka puasa juga. Setelah menunggu hampir 1 jam, ketiga manusia itu mulai habis kadar sabarnya. 👦 : "Kuy ah! Lain tungguaneun ieu mah hujanna." 🐏 : "Suka jahat siah, urg gada jas hujan" 👦 : "Rek ngadagoan nepi bangkotan sia teh? Hayu yang, kita cuskan." 👧 : "Hayu aja yang, biar jibrug juga" Si kambing mulai berpikir bahwasanya dua sejoli ini gak ngotak. 👦 : "Urang duluan atuh ya?" 🐏 : "Maneh gak berperiketemanan euy, jahat pisan aing ditinggal gitu aja." 👦 : "Tuda lain dagoaneun, tangkurak. Aing embung nepi bandung jol janggotan jiga habib habib." 🐏 : "Ari pas keur jomblo mah, didagoan hujan ge nepi raat. Geus boga kabogoh ditabrak hujan ge. Herman ah! Geus dagoan hela atuh. Ke urg eweh batur ngobrol, blay." 👦 : "Tah pan sisieun dinya aya genset, ngobrol weh jeung genset. Tong era." 👦 : "Hahahahahaha!". Seuri kuda na kaluar si jablay satu ini. 🐏 : "Tangkuraaak sia abrohah!" Dan selanjutnya si jalu langsung make helm beserta jas hujannya. 🐏 : "Heh tilil, eta awewe maneh moal di pakekeun jas hujan? 👦 : "Teu kudu lah, dia bersembunyi di balik tonggong aing ini, Mun tiris mah ke ge nangkeup." 👦 : " Iya gak, yang?" Sambil ngiceupan juga senyum pidagoreun. Si bikang cuman nyerengeh, senyum-senyum manis sambil kedua mata dua sejoli tersebut saling pandang. Si kambing menggerutu dalam hatinya "Kesel kieu ya allah ningalina, asa hayang ngaruntah." Lalu si bikang langsung pake helm, tapi dia kesulitan untuk nyetrekeun cecetrekna. Naon atuh ya namanya teh. 👧 : "Yang ini pang cetrekin, susah ih." 👦 : "Sok sini yang aku cetrekin." Keduanya saling pandang lagi sambil mesem mesem. Si kambing menggerutu kembali dalam hatinya. "Hayang utah kieu, ya allah". 👦 : "Aing duluan atuh ya, kop dagoan hujanna. Bieung pas ereun pas bareng oge jodoh sia datang, blay!." 👦 : "Kade tah ajak ngobrol gensetna, waas sieta ge jomblo jiga sia. Hahahahahahaa." Si jalu kembali mengeluarkan seuri kudanya. 🐏 : "Bener euy sia, geus kaluar dari komunitas kaum sodom nyalutaknya nambah. Heran anjis." Si jalu dan si bikang kemudian bergegas menaiki motor. 👦 : "Tiheulanya urg. Hampura ieu mah hahaha." 👧 : "Kita duluan ya, kamu tiati ka dijalannya." 🐏 : "Enya kalem, maraneh ge tiati. Si jalu kemudian menyalakan motornya. Dan kemudian ada percakapan penutup antara mereka berdua yang semakin membuat si kambing hayang nyiduhan. 👦 : "Meluk atuh, gakan meluk?" 👧 : "Hayang wae ah kamu mah." Sambil nyerengeh, lalu melingkarkan tangannya ke perut si jalu. Si kambing berkata dalam hatinya sendiri. 🐏 : "Goblog eta dua jurig jarian aya keneh kukulintingan keur bulan puasa ge." Nuhun hujan, nuhun alfamart, nuhun cipeuyeum, NUHUN WE LAH UNTUK SEMESTA YANG TELAH BERKONSPIRASI BEGITU SEMPURNA. HIRUP AING BERWARNA =))
0 notes
Quote
Waktunya tersita, angannya begitu khawatir. Sebab ketakutannya muncul tanpa alasan.
Kopi Torabika
0 notes
Quote
Jangan pernah bergetar, meski digetarkan. Binasalah, dan selalu seperti itu.
Kopi luwak
0 notes
Quote
Ya ini aku, Kayak matahari. Cuman bisa terbit sama tenggelam. Yang kadang terbitnya digerutu, Dan tenggelamnya didamba.
Kopi Kapal api
0 notes
Quote
Akhirnya rindu membiaskan keinginan berjumpa, bertatap senyum, bertukar kata. Kupikir rindu mudah kala ia seperti ini. Apanya yang berat?
Susu coklat pagi ini
0 notes
Text
Ya Begitulah...
Ya begitulah… Namanya manusia Sedang di terpa badai Malah sibuk berlari Tiba-tiba tidak tahu diri Lupa siapa diri Dirasanya hidup sendiri
Ya begitulah… Namanya manusia Kurang menghargai diri Kurang mensyukuri diri Akhirnya lelah berlari Biar disini Duduk bersama sesal Sembari menyepi
Bandung, 17 Februari 2017. Rk~
0 notes