Text
Kriteria Ideal?
Bahwa berharap mendapat pasangan dengan kriteria seideal dan setinggi mungkin adalah hak setiap orang. Tetapi satu hal yang tidak boleh kita lupa, bahwa menikahi seseorang tidak berbicara hanya tentang 'menikmati nilai' yang kita peroleh dari pasangan kita semata. Melainkan menikah adalah sebuah proses membangun nilai bersama yang terus berkesinambungan dalam mencapai visi pernikahan.
Jadi bukan hanya proses menikmati nilai saja, melainkan menciptakan, menjalankan, menginternalisasikan, dan mengevaluasi nilai secara bersama di dalam bahtera rumah tangga yang muara akhirnya adalah tercapainya visi membangun rumah tangga.
Sebab betapapun sisi kelebihan dari pasangan kita, pasti tetap akan memiliki celah yang tidak pernah luput dari setiap insan bernyawa. Ketika sejak awal kita sudah membangun barier ekspektasi yang terlampau tinggi, spek langit, maka kecewa adalah karib yang tidak dapat dipisahkan. Masalahnya, seberapa siap?
Maka dari itu, alih-alih membangun barier yang jatuhnya terkesan muluk-muluk dalam menentukan apa yang harus ada pada calon pasanganmu, coba untuk juga siapkan diri menjadi calon pasangan yang memiliki value, dan siap menerima segala kelebihan dan kekurangan dari jodoh yang telah Allah pilihkan, dalam upaya menjemput visi pernikahan itu sendiri.
Sikap pertengahan ini yang coba kita bangun. Meminimalisir adanya rasa kecewa ketika harapan tidak berpihak sebagaimana realita, dan meneguhkan diri bahwa harus mampu menjadi insan yang adaptif pada pelbagai soal kehidupan.
226 notes
·
View notes
Text
6 Ramadan 1442 H
Hal-hal tak terduga dalam berwirausaha
Subuh sebelum sahur tadi saya menerima pesan singkat dari partner usahaku ramadan ini, Yaaa masalah lagi hahaaa. Sebulan sebelum ramadan dia memberi penawaran untuk membuat projekan hampers ramadan.
Saya melihat ini sebagai sebuah peluang
Bukan hanya untuk mengumpulkan cuan
Tapi untuk menambah referensi dan portofolio usaha buat kedepan bisa memilih bidang usaha yang potensial dijalankan.
Kami tidak punya forecase detail, pengalaman pro dan research market fit
Yang ada cuman niat dan nekat
Alhasil kami bertemu hal-hal tak terduga seperti pembelian produk yang terlalu mahal. Which is kalau beli ditempat lain kami bisa lebih hemat 2x lipat. Belum lagi saat membeli produk kualitas tidak sesuai dengan gambar dan pembelian sebelum. Ditambah ongkos kirim yang membuat HPP membengkak.
Ini semua hasil dari ketidakdetailan memahami produk distributor tapi tak apalaah. Dari sini kami mengumpulkan koreksi-koreksi yang kedepannya bisa selalu dinotice.
Sebagai pribadi yang selow bagi saya hal- seperti itu masih bisa ditolerir. Tapi bagi rekan saya yang cukup perfectionis ini mungkin dianggap sebuah kesalahan besar. Bisa jadi akan sangat berpengaruh di penjualan karena kualitasnya yang berbeda.
Tapi menurutku kejadian ini cukup dibuat jadi pelajar dan koreksian.
Untuk perkara laku atau tidak biar tuhan yang bekerja.
Fokus kita dikondisi ini adalah, MARKETING
Menguatkan pemasaran produk dan memaksimalkan market interest
1 note
·
View note
Text
Buat Kita yang Hidupnya Lagi Ada Aja Ujiannya
"Orang yang tumbuh dalam keadaan serba mudah", nasihat Ibnu Qayyim suatu hari, "ia tak akan merasakan apa yang dihadapi oleh mereka yang terbiasa dengan ujian."
Orang yang biasa nyaman, kena masalah ringan rasanya terombang-ambing. Orang yang sudah biasa, ya sudah terbiasa.
Ini bukan tentang cari-cari masalah. Jangan berharap dapat ujian. Itu yang Rasul ajarkan.
Tapi, hakikatnya hidup ini adalah gelombang ujian demi ujian. Allah ciptakan seperti itu, justru agar kita bertumbuh dan makin kuat. Allah menyayangi kita dengan menguatkan kita; lewat diuji.
Orang yang sudah biasa menjalani hidup yang penuh tantangan; ia lebih cermat, hidupnya dinamis, dan ia belajar dari pengalamannya.
Dan berpindahlah kita dari mentalitas berbunyi "kenapa aku yang diuji?", menjadi mentalitas: "apa yang Allah ingin ku pelajari dari ujian ini?"
—ceritaedgar, Founder Gen Saladin
332 notes
·
View notes
Text
“Jangan pernah lupa bahwa kerja kita tak hanya meminta dengan doa. Jika ada yang meminta, mesti ada pula yang menjadi yang diminta. Maka kerja kita juga adalah menjadi sebaik-baiknya sebagaimana yang mungkin diminta seseorang dengan doanya. Dengan begitu, semoga Allah pilihkan kita untuk menjadi jawaban atas doa seseorang yang memohon yang terbaik baginya.”
—
84 notes
·
View notes
Text
Aku mulai ngerti, kenapa Rasulullah nggak over-reacting saat orang-orang yang menyebabkan traumanya terus menerus melakukan hal-hal yang men-trigger "alarm" emosi itu. Jawabannya, kata Ust. Nouman Ali Khan, adalah tahajjud.
Ada banyak emosi yang terus menerus diarahkan kepada Rasulullah. Makian, kemarahan, perendahan harga diri, pembunuhan orang tersayang, tuduhan tidak benar, pemboikotan satu kaum, penganiayaan verbal dan fisik, serta perilaku biadab lainnya, nggak mungkin hal-hal kaya gitu nggak meninggalkan bekas trauma.
Aku, kalau jadi Rasulullah, kayanya nggak tahan untuk tetap diam. Kita sama-sama tahu, Rasulullah juga manusia, punya hati dan emosi untuk merasakan. Tapi kenapa, hal-hal traumatis itu nggak jadi penyakit hati? Nggak jadi bikin pengen balas dendam?
Rasulullah rutin me-release semua rasa sedih, rasa nggak terima, rasa pengen membalas, dan kemarahan itu dengan tahajjud. Beliau juga rutin membersihkan dirinya dari penyakit hati dengan istighfar. Beliau mampu menahan diri dari ledakan emosionalnya. "Alarmnya" nggak sesenggol bacok itu sebab ditahan oleh pemahaman yang baik tentang Allah dan manusia, dan hatinya tidak sempit karena ucapan-ucapan manusia.
"Tahajjud itu ibadahnya da'i dan orang-orang shalih."
Kenapa? Shalih artinya lurus, konsisten. Benar pikirannya, benar ucapannya, benar tindakannya. Ketiganya selaras dan sinkron, dan da'i memang seharusnya begitu. Mereka tidak akan mengucapkan apa yang tidak mereka perbuat.
Dan itu dimulai dengan tahajjud, yakni ibadah yang dilakukan di saat sendiri. Saat kita memang hanya ingin dilihat oleh Allah saja. Kalau udah jujur kepada Allah, artinya akan punya integritas untuk kemudian jujur dalam tindakan-tindakan yang akan dilihat manusia, sehingga meskipun tindakannya dilihat manusia, mereka tidak melakukannya untuk mengesankan manusia.
Maka diam itu benar-benar emas ketika hati ingin menjelaskan berlebihan hanya untuk membersihkan nama baik kita. Ketika kita mungkin ingin mengeluarkan muntahan emosional yang justru kadang malah merugikan martabat kita. Hanya orang-orang yang bertahajjud yang mampu tetap menahan diri dan memelihara kehormatannya saat satu dunia menyalahpahami dan mendzoliminya.
Diamlah, biarkan kekuasaan Allah yang bicara untuk meluruskan pemikiran dan ucapan orang lain yang bengkok. Diamlah, yang terpenting adalah kedudukanmu di hadapan Allah, bukan di hadapan manusia. Diamlah, manusia tidak menginginkan penjelasan darimu, tetapi Allah senantiasa menginginkan perbaikan darimu. Manusia mencemarkan nama baikmu sedangkan Allah selalu menjaga aib-aibmu.
— Giza, kali ini tolong lanjutkan perjalanan sambil hanya ingin dilihat Allah
668 notes
·
View notes
Text
If it's the right time, everything will be easy
Kalau sudah waktunya. Jalannya pasti akan dipermudah. Kamu tidak lagi perlu sekeras itu untuk mempertahankan seseorang. Kamu tidak akan lagi mempertanyakan kelayakan dirimu sendiri, karena kelak kamu akan bertemu dengan seseorang yang membuat kalian berdua merasa sangat bersyukur dan beruntung dimiliki oleh satu sama lain. Kamu tidak akan lagi sibuk memikirkan bagian mana dari dirimu yang membuat dia jatuh hati. Kamu tidak lagi perlu memaksa dirimu untuk berubah menjadi orang lain hanya untuk membuatnya bisa menyukaimu. Kamu tidak perlu lagi berandai-andai: "seandainya aku begini, seandainya aku begitu..." Karena kamu dan segala yang ada dirimu sangat cukup dan mudah untuk dicintai.
Kelak kalau sudah waktunya, semuanya pasti akan dipermudah: perasaanmu, restu keluargamu, proses kalian berdua untuk bersama. Kalian tidak perlu lagi bersusah payah. Tidak akan ada lagi sakit hati, apalagi air mata. Hatimu pula diberikan ketenangan dalam mempersiapkan segalanya.
Kamu pasti tahu, bahwa tanda kamu belum siap adalah perasaan tidak tenang, dan juga keraguan yang kamu rasakan. Kamu takut untuk mulai mengenal orang lain. Kamu takut menjalin sebuah hubungan. Kamu takut mencintai orang lain. Dan kamu pasti juga tahu semua perasaan itu datang dari berbagai hal yang perlu kamu persiapkan. Perlu kamu tuntaskan dan selesaikan terlebih dahulu. Sederhananya, semuanya pasti tidak akan serumit itu bila beban yang menahan langkahmu selama ini sudah jauh berkurang. Kalau kamu telah berjanji untuk menuntaskannya satu per satu dulu, sebelum memulai langkah yang lebih besar.
Seseorang pernah bilang,
Selesaikan dirimu sendiri dulu sebelum memulai hubungan dengan orang lain.
Selesaikan apa yang kamu tahu harus kamu selesaikan. Berdamailah dengan apa yang terjadi di masa lalumu. Jangan pernah berharap seseorang akan datang menyembuhkan dan menyelamatkanmu. Karena orang lain bukan tempat rehabilitasi. Setiap orang bertanggung jawab dengan lukanya masing-masing.
Jangan jadikan kehidupan orang lain sebagai segala alasanmu memulai sesuatu. Jangan pula jadikan apa yang ada di kehidupan orang lain sebagai standar atau patokan kamu terhadap sesuatu. Kita mungkin bisa mengambil pelajaran dari kehidupan mereka. Tapi tidak adil rasanya bila mengukur nasib kita akan sama dengan apa yang kita lihat.
Kelak, kalau semuanya telah kamu selesaikan. Kamu akan lebih ringan melangkah. Ketakutan mungkin akan sesekali kamu genggam. Namun tanpa adanya lagi beban yang memberatkan perasaanmu, kamu pasti akan percaya kalau kamu pun juga bisa bahagia seperti mereka.
Ayo mulai benahi segalanya satu per satu. Karena kelak kalau waktunya sudah tepat, tanpa bersusah payah lagi, kalian pasti akan saling menemukan.
192 notes
·
View notes
Text
Habis lihat story salah satu rekan komunitas, katanya:
Perempuan itu lemah dalam menghadapi ujian verbal.
Oalah, pantesan ujian terberatnya perempuan terbaik sepanjang masa alias Maryam adalah judgement terbuka dari orang lain.
Dan apa kata Allah tentang cara meresponnya? Yup, diam. Dengan diam, Allah membuat pihak lain (Bayi Nabi Isa) yang akhirnya akan berbicara membela Maryam.
Dan baru ngeh, pantesan sebagian besar perempuan betul-betul memperhatikan penilaian orang lain sehingga berlebihan dalam menyadari dirinya.
"Ih aku keliatan aneh ga ya kalo gini?"
"Ih orang mikirnya gimana nanti?"
Akhirnya jadi ngerasa perlu melatih diri untuk ga merasa too much karena sebenarnya orang lain tuh ga peduli-peduli amat. Semoga perempuan-perempuan baik dipasangkan dengan laki-laki yang juga tidak membuat perempuannya merasa too much.
Pinter-pinter jaga ucapan demi hati orang lain. Dan pinter-pinter jaga hati terhadap ucapan orang lain. Kalau kata Lee In Ah di drama Remember: War of The Son,
"Jangan membuat penilaian jika kamu tidak tahu bahwa hidup seseorang bergantung pada hal itu."
Dan ujian verbal tuh nggak melulu tentang yang menyakitkan hati. Di story rekanku itu, konteksnya justru perempuan lemah terhadap gombalan, pujian, validasi, dsb. Makanya, selagi bisa, ga perlu lah ngebuka pintu untuk celah-celah digombalin/dipuji/mengais validasi. Apalagi sekarang populer banget istilah word of affirmation. Gak salah sih kalau konteksnya percintaan di dalam pernikahan mah.
Tapi zaman sekarang WoA diromantisasi dalam bermaksiat kepada Allah. Rasanya lebih ke kocak. Udah tau kelemahan dirinya di situ, malah menyodorkan diri untuk dilemahkan. Malah menempatkan diri dalam kondisi keimanan diuji. Udah gitu, gak sadar lagi kalo itu tuh ujian. Gak jarang kan yang akhirnya berujung melakukan hal fatal hanya karena berawal dari pujian, janji manis, dan hal-hal verbal lainnya?
Buat anak perempuanku nanti, aku bakal mewanti-wanti bahwa dia nggak perlu menganggap serius ucapan-ucapan remeh dari lawan jenis. Aku bakal penuhin tabung cinta mereka dengan afirmasi positif sehingga mereka nggak perlu merasa pengen dipuji oleh laki-laki yang belum haknya.
— Giza, mencintai fitrahnya menjadi perempuan. Seru, tapi tricky juga kalo soal perasaan.
161 notes
·
View notes
Text
Bahasa Kasih
(Disclaimer: sebelum membaca ini, ada baiknya baca dulu resume sebelumnya tentang empati, di bawah postingan ini)
Selalu, setiap ditanya sama temen, "Za, love language kamu apa?" jawabanku adalah, "love language tuh cara kita memperlakukan atau cara kita ingin diperlakukan?"
Respon mereka balik nanya, "loh memangnya beda?" dan aku jawab, "beda, aku suka nge-WoA ke orang lain tapi sedikit geli kalau orang nge-WoA ke aku. Paling seneng nomor satu di AoS-in."
Nah jadinya ini nyambung ke bahasannya Zarry Hendrik waktu diundang ke podcast Bloom Media.
Beliau bilang, sering kita mengasosiasikan:
Word of Affirmation = puitis Act of Service = romantis
Romantis itu sebenernya pilihan. Ini selaras dengan tulisanku sebelumnya tentang compassionate empathy yang menyangkut tindakan seseorang, apakah dia memilih untuk menambah kebahagiaan atau nggak. Jadi seseorang gak bisa ngeklaim dirinya, "aku mah nggak romantis". Itu mah cuma nggak memilih jadi romantis aja. Entah terlalu malas ngeluarin effort untuk memahami dan berempati, atau gengsi dan geli nunjukin compassionate-nya. Cuek itu kan gak selamanya bisa dipakai jadi alibi (misalnya "kepribadiannya emang cuek") soalnya cuek itu pilihan juga.
Nah, kembali ke pembahasan mengenai love language, cinta itu sebenarnya adalah memberikan yang dianya nyaman, bukan yang kitanya nyaman. Nyambung lagi kan ke prinsip empatinya Stephen Covey, "seek first to understand, then to be understood".
Maka cinta adalah keputusan untuk mendahulukan kenyamanan orang lain. Selama dia nggak bisa nangkep sesuatu sebagai rasa sayang, berarti kita memang nggak sayang. Karena jika sayang, kita akan mengusahakan sesuatu untuk dapat dia cerna sebagai rasa sayang.
Dan salah satu sifat dari mencintai itu adalah tidak memaksa. Balik ke ulasan tentang niat baik di resume sebelumnya, bahwa memaksakan ngelakuin love bombing dengan bentuk yang seseorang nggak suka, jatuhnya malah annoying. Gak akan dapat dicerna sebagai bentuk cinta.
Tambahan lagi, dari postingan Pastor Raguel Lewi:
Karena cinta itu universal, jadi menarik kalau konsep ini diaplikasikan dalam hubungan 'abid-ma'bud (hamba-Tuan).
Idenya, cinta itu kan tadi diartikan sebagai aksi, tindakan, konsistensi, compassionate, keputusan untuk menambah kesenangan (atau dalam konteks bertuhan jadi keridhaan) yang didasari oleh kepercayaan (trust) dan pemahaman di level tertentu (understanding).
Sekarang kalau cinta didefinisikan dengan kata dedikasi, kata dedikasi sendiri bersinonim dengan penghambaan di KBBI. Nggak cuma itu, kata "Ilah" sendiri sebenarnya artinya adalah cinta. Jadi make sense kalau konsep empati, love language, compassionate, trust, dsb. diaplikasikan dalam praktek bertuhan. Nggak akan jauh beda.
Kalau dalam konteks bertuhan, tentu kita juga harus ada di level pemahaman yang benar dan baik tentang Allah (understanding with cognitive empathy). Siapa Dia, bagaimana sifat Dia, apa yang Dia mau dari kita, love language-nya Dia apa, dsb. Coba kenali Dia sebagaimana Dia memperkenalkan diri.
Dia nggak suka disalahpahami. Dia nggak suka manusia dengan asumsinya (suuzon) atau ekspektasinya (over husnuzon) malah melewatkan proses understanding itu sendiri. Maka sebenarnya pemutus overthinking terbaik adalah trust. Kepercayaan bahwa Dia Maha Bijaksana atas setiap keputusan-Nya dan Maha Understanding kepada hamba-Nya. Lagipula tidak pernah ada perintah untuk berprasangka baik terhadap Allah. Yang ada adalah perintah untuk menguatkan keimanan bagi orang-orang yang beriman (4:136). Sikap kita yang mempertanyakan keputusan-Nya dan menghakimi-Nya adalah akibat kita salah paham, tidak mengenal-Nya dengan baik.
Sebenarnya, Dia pun nggak susah kok untuk kita pahami. Sign-nya udah jelas, ada di kitabullah dan sunatullah. Contoh manusia yang paling peka terhadap sign-nya juga udah ada, Rasulullah saw. Adapun aktivitas memahami paling baik adalah dengan cara membaca (iqra, perintah pertama) terutama membaca surat-Nya, serta berpikir (aktivitas yang paling banyak dimention di surat-Nya).
Tinggal kitanya aja mau effort atau nggak, mau peka (berempati) atau nggak, mau nyontoh atau nggak. Gak usah alibi. Compassionate itu pilihan, cuek juga pilihan. Jangan sampai, saking lamanya kita bersikap non-compassionate, malah termasuk kaya di ayat ini:
"Demikianlah Allah mengunci hati orang-orang yang tidak (mau) memahami." (QS. Ar-Rum (30) : 59)
Bahas konsep bertuhannya nanti lagi deh aku lanjut. Aku juga belum eksplorasi ayat lebih jauh dan harus connecting dot by dot untuk mengelaborasinya. Sejauh ini, segini dulu ya resume dari aku.
Btw, aku sangat merekomendasikan pembaca di sini untuk follow (@raguellewi) di Instagram karena insight beliau sangat menarik dan membuka pikiran. Untuk versi Islami dan perempuannya, ada juga Dr. Aisah Dahlan. Beliau-beliau ini, dengan pemahamannya mengenai manusia, dapat menyelamatkan banyak rumah tangga keluarga di Indonesia.
Dan.. nggak tabu kok membahas hal-hal seperti ini sebelum menikah (dalam kadar secukupnya). Anggap saja bekal. Dan justru yang utama, dapat dipraktikan dengan orang-orang terdekat di hari ini. Dengan empati yang lebih terkonsep secara ajeg, kita dapat bersikap lebih manusiawi dan dapat memanusiakan manusia.
— Giza dan usaha menyimpan pemahaman-pemahaman baru. Sumber tercantum di alt gambar.
17 notes
·
View notes
Text
Mewujudkan Mimpi di Umurmu Kini
Takut ya? Lebih menakutkan daripada bertahun yang lalu? Saat mimpi dibenturkan sama realita dewasa, bekerja dari pagi hingga petang, bahkan kadang jarang pulang. Harus membiayai diri sendiri, sebagian yang lain ikut membiayai keluarga, adik-adik, bahkan saudara jaug. Saat tanggungan diri seolah-olah hanya bertumpu pada diri kita. Mimpi kita terasa semakin tak nyata, jauh tak tergapai. Takut untuk mengubah lajur hidup, karena penuh ketidakpastian. Takut mengubah arah, karena takut ditertawakan.
"Buat apa susah-susah ke sana, padahal yang sekarang sudah pasti. Cari yang pasti-pasti saja!" Ujar mereka.
Aku tahu hatiku bilang apa, tapi otakku tak bisa menerima. Bahwa hidup yang sementara ini, jangan hanya memikirkan diri sendiri, katanya. Tapi hatiku bilang, kalau tidak bahagia, tiada ketenangan, buat apa dipertahankan?
Aku ingin sekali mengikuti kata hatiku. Tapi aku sangat takut tak bisa membeli makan besok. Takut tak bisa hidup nyaman. Takut sekali seperti tak bertuhan. Astaghfirullah hal adzim.
Kalau aku meniliki diriku berpuluh tahun lalu, aku tak sebahagia itu. Apakah aku bisa hidup dengan pilihanku? Apakah aku bisa menjalani hidup ini tanpa harus berpikir materialistik? Ya Allah, anugerahkan kepadaku rasa cukup, anugerahkan kepadaku keberanian. Anugerahkan kepadaku rasa aman. Bahwa menjadi hambamu, aku tahu takkan Kau biarkan kekurangan, takkan kau biarkan tersesat di jalan. Sebagaimana Engkau anugerahkan kepadaku saat aku kecil dulu, untuk berani bermimpi, mudah bahagia, dan tak melihat dunia ini dari sudut pandang uang. Sehingga aku merasa sangat berkecukupan :) (c)kurniawangunadi
336 notes
·
View notes
Text
Mewujudkan Mimpi di Umurmu Kini
Takut ya? Lebih menakutkan daripada bertahun yang lalu? Saat mimpi dibenturkan sama realita dewasa, bekerja dari pagi hingga petang, bahkan kadang jarang pulang. Harus membiayai diri sendiri, sebagian yang lain ikut membiayai keluarga, adik-adik, bahkan saudara jaug. Saat tanggungan diri seolah-olah hanya bertumpu pada diri kita. Mimpi kita terasa semakin tak nyata, jauh tak tergapai. Takut untuk mengubah lajur hidup, karena penuh ketidakpastian. Takut mengubah arah, karena takut ditertawakan.
"Buat apa susah-susah ke sana, padahal yang sekarang sudah pasti. Cari yang pasti-pasti saja!" Ujar mereka.
Aku tahu hatiku bilang apa, tapi otakku tak bisa menerima. Bahwa hidup yang sementara ini, jangan hanya memikirkan diri sendiri, katanya. Tapi hatiku bilang, kalau tidak bahagia, tiada ketenangan, buat apa dipertahankan?
Aku ingin sekali mengikuti kata hatiku. Tapi aku sangat takut tak bisa membeli makan besok. Takut tak bisa hidup nyaman. Takut sekali seperti tak bertuhan. Astaghfirullah hal adzim.
Kalau aku meniliki diriku berpuluh tahun lalu, aku tak sebahagia itu. Apakah aku bisa hidup dengan pilihanku? Apakah aku bisa menjalani hidup ini tanpa harus berpikir materialistik? Ya Allah, anugerahkan kepadaku rasa cukup, anugerahkan kepadaku keberanian. Anugerahkan kepadaku rasa aman. Bahwa menjadi hambamu, aku tahu takkan Kau biarkan kekurangan, takkan kau biarkan tersesat di jalan. Sebagaimana Engkau anugerahkan kepadaku saat aku kecil dulu, untuk berani bermimpi, mudah bahagia, dan tak melihat dunia ini dari sudut pandang uang. Sehingga aku merasa sangat berkecukupan :) (c)kurniawangunadi
336 notes
·
View notes
Text
Saat aku mulai ragu pada doa-doaku pada-Mu ya Allah... Engkau datangkan orang yang bercerita tentang bagaimana Engkau mengabulkan doa-doa makhluk-Mu.
Robbi.. Untuk semua pintaku, aku pasrahkan semuanya pada-Mu ya Robb.. Engkau tau apa yang aku pinta.
49 notes
·
View notes
Text
Akhir - akhir ini kakak Hisan suka cranky kalo emaknya lagi muraja'ah, quran di depannya diambil diganti buku bacaan kesukaannya hehe, pesan ummaa :
"Nak, semoga Quran tumbuh subur di hatimu yaa.. nggak akan pernah rugi orang yang hidup dengan Quran.."
Salah satu obrolan dengan paksu:
Kami tidak akan menjadikan "banyaknya" hafalan anak sebagai acuaannya, tapi cukup tumbuhkan kecintaannya, karena itu yang akan menjadikan mereka akan terus kembali pada Quran.. sebagai jati dirinya in syaa Allah
Yaah maka dari itu, terus me-muroja'ah, terus berusaha me-mutqinkan, terus berusaha menikmati ayat - ayatNya setiap harinya adalah bagian kecil yang bisa dilakukan ayah dan ummaa.
8 notes
·
View notes
Text
Cara Pandang Baru Saat Dewasa
Menuju dewasa yang kemudian melihat kehidupan ini bergeser Point of View-nya " 1. Mulai memahami kalau nggak ada yang terlambat dalam hidup, selama kita masih hidup. Itu adalah takdir terbaik yang kita miliki, kalau kita baru memulainya sekarang karena memang sekarang saatnya, bukan karena kita terlambat. Namun, itulah perjalanan hidup kita. Jadi, jangan takut kalau orang lain udah sampai mana, kitanya baru mulai
2. Belajar untuk merasa cukup. Dunia ini nggak ada ujungnya kalau dikejar. Nasihat terbaik yang kudapatkan di umur 34 ini adalah kalau kita gagal satu dua hal terkait urusan dunia, kita masih bisa ngulang. Tetapi kalau gagal di akhirat, ngak akan bisa ngulang buat memperbaikinya.
Rezeki kita itu cukup, tapi nggak akan cukup buat ambisi dan ketakutan kita akan kemiskinan. Ya Allah, kita berdoa setiap hari biar dikasih hati yang benar-benar terus bisa merasa cukup. Biar nggak hasad sama orang, nggak iri sama rezeki orang lain, dan lebih bersyukur sama apa yang kita miliki sekarang.
3. Pondasi agama sangat penting. Sebagai generasi yang tumbuh di lingkungan yang biasa-biasa aja dalam beragama, dulu di sekolah negeri juga agama tidak menjadi materi yang prioritas. Di umur sekarang dan menjadi orang tua, baru ngerasa banget kalau pondasi agama sedari kecil itu penting sekali sebagai panduan hidup. Agar melihat dunia ini lebih bijak dan prioritas hidup lebih benar dan terarah.
Mungkin itu yang bikin sebagian besar orang tua di generasiku sekarang yang milih anaknya sekolah di sekolah berbasis agama. Sebab di fase dewasa ini, sadar jika pemahaman hidup atas landasan spiritual ini yang benar-benar menyelamatkan diri dari masalah-masalah anxiety (kecemasan), feeling lonely (kesepian), depresi, dan beragam isu kejiwaan lain. Itu yang kurasain.
4. Belajar jujur sama diri. Badan itu pasti punya sinyal tertentu sebagai respon terhadap situasi/hal yang lagi jadi beban pikiran. Jangan sampai dzalim sama diri sendiri karena hal-hal yang sebenarnya bisa diputus tapi tetap dipertahankan karena rasa nggak enakan. Dan berujung pada langganan IGD, obat antidepresan, dan segala macam.
Jangan lupa menolong diri sendiri dengan kejujuran. Dan jangan takut buat minta tolong ke orang lain, ke profesional, dsb. (c)kurniawangunadi
912 notes
·
View notes
Text
Cara Pandang Baru Saat Dewasa
Menuju dewasa yang kemudian melihat kehidupan ini bergeser Point of View-nya " 1. Mulai memahami kalau nggak ada yang terlambat dalam hidup, selama kita masih hidup. Itu adalah takdir terbaik yang kita miliki, kalau kita baru memulainya sekarang karena memang sekarang saatnya, bukan karena kita terlambat. Namun, itulah perjalanan hidup kita. Jadi, jangan takut kalau orang lain udah sampai mana, kitanya baru mulai
2. Belajar untuk merasa cukup. Dunia ini nggak ada ujungnya kalau dikejar. Nasihat terbaik yang kudapatkan di umur 34 ini adalah kalau kita gagal satu dua hal terkait urusan dunia, kita masih bisa ngulang. Tetapi kalau gagal di akhirat, ngak akan bisa ngulang buat memperbaikinya.
Rezeki kita itu cukup, tapi nggak akan cukup buat ambisi dan ketakutan kita akan kemiskinan. Ya Allah, kita berdoa setiap hari biar dikasih hati yang benar-benar terus bisa merasa cukup. Biar nggak hasad sama orang, nggak iri sama rezeki orang lain, dan lebih bersyukur sama apa yang kita miliki sekarang.
3. Pondasi agama sangat penting. Sebagai generasi yang tumbuh di lingkungan yang biasa-biasa aja dalam beragama, dulu di sekolah negeri juga agama tidak menjadi materi yang prioritas. Di umur sekarang dan menjadi orang tua, baru ngerasa banget kalau pondasi agama sedari kecil itu penting sekali sebagai panduan hidup. Agar melihat dunia ini lebih bijak dan prioritas hidup lebih benar dan terarah.
Mungkin itu yang bikin sebagian besar orang tua di generasiku sekarang yang milih anaknya sekolah di sekolah berbasis agama. Sebab di fase dewasa ini, sadar jika pemahaman hidup atas landasan spiritual ini yang benar-benar menyelamatkan diri dari masalah-masalah anxiety (kecemasan), feeling lonely (kesepian), depresi, dan beragam isu kejiwaan lain. Itu yang kurasain.
4. Belajar jujur sama diri. Badan itu pasti punya sinyal tertentu sebagai respon terhadap situasi/hal yang lagi jadi beban pikiran. Jangan sampai dzalim sama diri sendiri karena hal-hal yang sebenarnya bisa diputus tapi tetap dipertahankan karena rasa nggak enakan. Dan berujung pada langganan IGD, obat antidepresan, dan segala macam.
Jangan lupa menolong diri sendiri dengan kejujuran. Dan jangan takut buat minta tolong ke orang lain, ke profesional, dsb. (c)kurniawangunadi
912 notes
·
View notes
Text
Pencari Kerja
Hari ini ayah kasih aku saran buat kerja aja di SMA ku dulu. Tapi aku menolak karena ada beban moral dalam diriku sendiri. Entahlah, aku merasa malu kalau harus kembali. Aku tetap terima kasih ke ayah yang mau bantu aku untuk apply2 kerjaan.
August, please be nice.
0 notes
Text
Selektif Memilih Lingkungan
Pada akhirnya, burung-burung itu akan berkumpul dengan yang sejenisnya, jiwa dan ruh itu akan berkumpul dengan yang semisal dengannya.
Jadi, gimana biar ketemu temen-temen shaliha yang sefrekuensi? Setelah doa dan jujur dalam niat, teknisnya mulai dari perbaiki cara berpikir, tempat yang sering kita kunjungi dan orientasi hidup kita.
Mereka biasanya kumpulnya di mana? oh dimajelis ilmu, diworkshop bermanfaat, di komunitas ini, pada akhirnya akan ketemu kok karena aku percaya value attracts value.
kalau udah ketemu, kata ustadzuna: harus punya mental mengejar lingkungan yang bertakwa, harus sabar, perjuangin, ngga baperan, even kita introvert sekalipun harus belajar skill komunikasi interpersonal, ngga bisa itu dijadiin alasan karena memperjuangkan lingkungan yang bertakwa itu diperintahkan dan diantara bentuk taqarrub sama Allah.
Memang ngga langsung tiba-tiba ketemu, dan kalau sudah ketemu juga mungkin akan kita temukan kekurangan dalam diri teman kita, tapi sebagaimana kita ngga sempurna, teman kita juga. makannya point sabar dan syukur harus selalu kita tanamkan dan saling menasihati satu sama lain.
Bogor, 21 Mei 2024.
84 notes
·
View notes
Text
bayangkan
bayangkan sebuah pernikahan
yang masing-masingnya tidak perlu khawatir yang lainnya tidak setia. karena kuat agamanya, kokoh komitmennya.
bayangkan sebuah pernikahan
yang jarak separuh bumi pun tidak akan membuat jauh apalagi terpisah. karena rindunya diwujudkan dalam bentuk menjaga. karena hatinya sudah selalu bisa ditata.
bayangkan sebuah pernikahan
yang keduanya tidak perlu khawatir akan hari yang belum datang. karena kesadaran bahwa semuanya adalah titipan. karena keyakinan bahwa rezeki selalu tepat takaran. karena keimanan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.
bayangkan sebuah pernikahan
yang pasangannya tidak perlu khawatir menjadi tua, diuji kesehatannya, menjadi lupa, atau tidak lagi elok rupa. karena cintanya jauh lebih dalam dari yang terlihat, jauh lebih besar dari yang memikat.
bayangkan sebuah pernikahan
yang orang-orangnya hanya khawatir akan perpisahan. khawatir bilamana kehidupan yang selanjutnya tidak mempertemukan mereka. khawatir bilamana bekal mereka belum cukup. sehingga mereka pun berupaya bersama, mencukupkan semua perbekalan.
pernikahan itu bisa saja adalah pernikahan kita.
1K notes
·
View notes