Photo
0 notes
Photo
0 notes
Text
Serba-Serbi Wahana Apung yang Terombang-Ambing di Tengah Lautan
Awalnya saya menganggap hal ini biasa saja, sederhana, jauh dari kesan kerumitan. Setelah dilaksanakan ternyata rumit dan penuh perhitungan. Jauh sekali dari ilmu yang saya pelajari. Akhirnya untuk menjawab ini saya harus belajar kembali. Kata-kata wahana apung selalu terngiang. Konsep sebuah wahana atau struktur yang terbuat dari beton tapi mampu mengapung di air. Entah di laut, sungai, danau dan lain sebagainya. Mungkin di beberapa daerah di Indonesia sudah mampu untuk membuat, tapi bagi saya tetap awam. Ternyata belum banyak literatur yang dibuat sehingga sulit untuk mempelajari. Yang ada hanya referensi dunia perkapalan.Memang adanya demikian mau diapakan lagi.
Perlahan tapi pasti, akhirnya saya beranikan diri untuk mengatakan ya untuk mengerjakannya. Pemilik pekerjaan katanya orang-orang yang brilian dalam bidangnya. Banyak sekali berkumpul ahli pantai, ahli jembatan dan ahli beton. Pekerjaan yang sangat unik terutama sistem pekerjaannya. Jadi kita sebagai kontraktor dituntut untuk bisa mendesain sekaligus mengerjakan pekerjaan ini dengan waktu yang relatif singkat. Sistem baru di Indonesia.
Ada 4 pekerjaan yang dilakukan secara bersamaan di 4 lokasi berbeda yang jaraknya cukup jauh. Yakni di Cilacap, Semarang, Bandung dan Bali. Satu kontrak kerja dengan 4 lokasi dan tipe pekerjaan berbeda dan harus dilaksanakan dalam kurun waktu 180 hari. Pesimis terselesaikan pastinya. Tapi melihat semangat pemilik pekerjaan saya jadi optimis akan terselesaikan tepat waktu.
Pekerjaan awal yang dikerjakan yakni di Cilacap dan Semarang Jawa Tengah. Dari desain terkesan sederhana. Di Cilacap hanya merakit jembatan sesuai gambar kemudian mengapungkan diatas sebuah ponton lalu ditarik dengan perahu dan dipasang di lokasi yang telah ditentukan. Jembatan terbuat dari rangka baja khusus yang ringan. Saya hanya merakit jembatan yang sudah dibuat oleh pemilik pekerjaan tahun lalu. Karena pengalaman pertama rasa takut pasti ada. Semua kekhawatiran berkecamuk. Apakah bisa terapung? Apakah bisa dilewati sesuai fungsinya untuk menghubungkan 2 daerah? Karena terikat kontrak harus tetap saya jalani saja. Ternyata faktor-faktor eksternal sangat mempengaruhi penyelesaian pekerjaan. Entah dengan alasan kenapa. Warga menganggap setiap pekerjaan ini seperti kue yang harus diperebutkan. Sangat mengganggu dan menguras waktu. Padahal proyek ini dibuat untuk membantu masyarakat agar aksesnya lebih mudah. Akhirnya pekerjaan ini dapat terselesaikan. Terlepas kondisi akhir saat ini seperti apa dan bagaimana. 100% tidak bisa menyalahkan kami. Intervensi pemilik yang langsung mengambil keputusan sepihak tanpa adanya koordinasi. Fungsi supervisinya hilang dengan 1001 macam alasan.
Pekerjaan di Semarang hampir sama. Membangun sebuh rumah contoh kemudian mengapungkannya di atas sebuah ponton. Penempatannya pada area tambak yang dikelola oleh masyarakat. Masalah lahan menjadi tantangan awal. Kembali masyarakat mengganggap pekerjaan ini sebagai kue yang bisa diperebutkan. Akhirnya terselesaikan dengan menyedot dana diluar anggaran. Pembuatan ponton dan struktur atas dapat diselesaikan. Banyak sekali perubahan yang dilakukan oleh pemilik pekerjaan. Pekerjaan di Bandung dikerjakan hampir bersamaan dengan pekerjaan di Bali. Di Bandung kita membuat sebuah prototipe sebuah jembatan pula yang dipasang di sebuah kolam pemilik pekerjaan. Diantara ke 4 lokasi, pembuatan jembatan ini yang paling kecil nilainya karena sederhana. Dikarenakan permasalahan yang timbul di 2 lokasi sebelumnya, ternyata sangat berpengaruh pada pekerjaan setelahnya. Pekerjaan yang tidak terlalu serius dikerjakan. Kemudian pekerjaan di Bali saya laksanakan dengan segera karena tingkat kesulitan paling tinggi dengan nilai yang terbesar.Di rapat awal dengan pemilik sudah sempat saya sampaikan dan tanyakan, mengapa untuk lokasi di Bali dikerjakan paling belakang sedangkan memiliki tingkat kesulitan yang paling tinggi dengan anggaran yang paling besar. Entah apa yang ada di benak mereka. Pekerjaan di Bali yaitu membuat wahana terapung yang digunakan sebagai pelindung pantai. Bisa dibayangkan tingkat kesulitannya karena pemasangannya di laut lepas pantai Selatan dengan gelombang yang tinggi. Saya sendiri lebih berfokus pada pekerjaan di Bali karena berdomisili di Bali. Dari pembuatan desain awal sudah sangat lama. Perlu diskusi yang panjang dan lama dengan pemilik pekerjaan, Maklum konon katanya pemilik pekerjaan adalah orang-orang yang sangat ahli di bidangnya. Rasanya tiap centimeter mungkin milimeter struktur dihitung untung ruginya saking ahlinya. Seakan lupa dengan waktu, biaya dan tenaga yang telah dikeluarkan. Akhirnya desain disetujui dengan sedikit pemaksaan. Kemudian kita mulai dengan survey lokasi pembuatan.Wahana ini tidak dimungkinkan untuk dibuat di lokasi pemasangan secara langsung karena keterbatasan lahan. Jadi setelah berdiskusi diputuskan mencari tempat lain yang dekat dengan lokasi pemasangan. Survey ini memakan waktu yang lama. Terlalu banyak pertimbangan tetek bengek tentang metode pelaksanaan yang harus dipertimbangkan. Entah pemilik atau saya mengerti atau tidak tentang yang kita buat. Lokasi pengerjaan diputuskan di suatu desa dengan jarak lebih kurang 2 km dari titik pemasangan. Pemilihannya secara terpaksa dikarenakan tidak ada pemilihan tempat yang lain disamping waktu yang sudah semakin mepet. Sebenarnya saya sudah curi start karena melihat performance pemilik pekerjaan yang masih berkutat dengan desain dan lain-lain. Sebagian pekerjaan telah saya laksanakan di workshop. Bisa dibayangkan repotnya mengurus 2 grup pekerja di 2 lokasi yang berbeda dengan jarak hampir 150 km. Dimana pekerjaan yang dilakukan baru pertama kali di Indonesia. Perizinan ke desa dan perjanjian-perjanjian yang mengikutinya sudah saya laksanakan. Berjalan lancar karena mungkin sama-sama berasal dari daerah yang sama. Hampir tidak ada campur tangan dari pemilik pekerjaan lain dengan 3 pekerjaan sebelumnya. Waktu terus berjalan. Akhirnya apa yang saya takutkan terbukti. Permasalahan yang kompleks dan terakumulasi dari 3 pekerjaan sebelumnya pecah dan mempengaruhi di lokasi terakhir ini. Karena dimulainya pekerjaan ini terlambat tapi dengan item pekerjaan yang banyak, maka dapat dipastikan kita tidak bisa menyelesaikan dengan tepat waktu. Sebenarnya masih ada kans untuk menyelesaikna tepat waktu tapi kembali permasahan keuangan yang mempengaruhinya. Ternyata anggaran habis tersedot di 3 lokasi sebelumnya. Entah karena memang faktor eksternal dari masyarakat atau yang lain entahlah. Yang pasti ada beberapa data keuangan yang membuat saya tersenyum karena tidak masuk akal dengan istilah pengkondisian masyarakat dengan nilai fantastis untuk tiap-tiap pekerjaan. Semakin lama pekerjaan di Bali selesai maka makin menambah runyam keadaan dan kalau saya lihat tidak akan bisa terselesaikan karena memang anggaran sudah digunakan di tempat lain. Memang secara hukum tanggung jawab kontraktor pelaksana. Tapi perlu diingat intervensi pemilik pekerjaan dan masayarakat juga yang menyebabkan pembengkakakn anggaran. Memangnya kontraktor itu sapi perah? Ternyata pemilik pekerjaan yang sangat ahli pun tidak bisa memberikan solusi terhadap permasalahan ini. Kemampuan dan keahlian ternyata tidak menjamin dalam pelaksanaan. Seharusnya manajemen yang baik yang diperlukan pada proses penyelesaian pekerjaan. Ahli dalam bidang konstruksi jika memang tidak dibarengi dengan kemampuan manajemen tidak akan berjalan dengan semestinya. Apalagi jika dihubungkan dengan kebiasaan ASN yang hanya mementingkan ABS demi sebuah tujuan tertentu. Prestise lebih dipentingkan tanpa memikirkan prestasi dan menghalalkan segala cara.
0 notes