rakaibrahim-blog
rakaibrahim-blog
raka ibrahim
1 post
HEADING SUB HEADING
Don't wanna be here? Send us removal request.
rakaibrahim-blog · 7 years ago
Text
Bertamu Kepada Arwah
Saya tahu, hantu semestinya tak pernah mengintip lebih jauh dari bayang-bayang. Mereka harusnya tersembunyi, hanya terlihat sekilas di pinggir pandangan kita. Kalau perlu, senyap sepenuhnya.
Sepanjang hidup saya, hantu-hantu yang berkeliaran di sekitar saya taat kepada sabda alam ini. Mereka tidak pernah iseng menampakkan diri kepada saya, mengusik saya pun tidak. Namun, malam ini di losmen, saya mendengar tawa nyaring yang saya kenali betul dari film-film. Di balkon losmen saya, agak jauh dari kamar saya, terdapat sesosok kuntilanak.
Maka saya merunduk, mematikan lampu, dan bersembunyi. Saat ini juga, saya menulis dari bawah meja, mewanti-wanti agar nyala redup dari komputer jinjing saya tak menarik perhatian sang kuntilanak. Jika pendengaran saya tidak bohong, ia tetap ada di balkon. Nampaknya ada sesuatu yang begitu menghiburnya di sana, sehingga ia tidak berkenan beranjak ke mana-mana. Barangkali sedang ada sesosok tuyul yang terkekeh-kekeh di sana, mendaku dirinya seorang komika. Ini semua spekulasi, tentu saja.
Kita perlu mundur sekian tahun untuk ‘pertemuan’ terakhir saya dengan hantu. Saya sedang ramai-ramai ke Ciwidey dan menginap di sebuah cottage. Dini hari hampir jatuh ketika tidur kami semua dipecah oleh seorang kawan, yang bersumpah ia melihat bayangan tinggi-besar lewat depan jendela kamar mandi — yang buram dan memantulkan cahaya rembulan. Kami semua kaget betul dibuatnya. Sisa malam itu kami habiskan dengan celoteh gugup, selagi kami berkerumun di sekitar perapian dan menghindari air putih seperti racun sianida. Tak satupun dari kami berselera pergi ke kamar mandi, setidaknya sampai pagi tiba. Bayangan itu muncul lagi ketika kawan saya nekat turun ke kamar mandi esok paginya, dan kami mendapati bahwa rupanya hantu itu hanyalah pekerja dari perkebunan yang iseng mengintip perempuan mandi. Entah mana yang lebih menakutkan — hantu, atau orang cabul gentayangan.
Pertemuan ini meyakinkan saya bahwa — rupanya — mereka betul-betul menepati janjinya, paling tidak dengan saya. Mereka tak berselera menampakkan dirinya kepada saya, dan saya pun tak ingin mencari mereka. Kecuali bertahun-tahun lalu, ketika saya masih belia.
Di RS Dr. Soetomo Surabaya, mereka mengenal legenda sang Suster Gepeng. Alkisah, puluhan tahun lalu, seorang suster yang apes mendapat shift malam terhimpit di antara kedua pintu lift. Tanpa ampun, lift tersebut tetap naik, sehingga tubuh suster naas tersebut terkoyak-koyak — gepeng, kira-kira begitu. Menurut kabar burung, pada malam-malam tertentu suster ini dapat kita lihat dalam keadaannya yang gepeng, berkeliaran di lorong-lorong sepi Rumah Sakit lama itu, mencari jalan pulang ke rumahnya.
Ketika Kakek Buyut saya terkapar dirawat karena sakit paru-paru, saya menemukan diri saya menyelinap pergi dari kamar beliau untuk mencari sang suster gepeng. Sepanjang sore itu, saya berkeliling ke seantero RS Dr. Soetomo, mulai dari gedung baru yang mewah hingga perkantoran lama yang masih mempertahankan arsitektur Belanda kuno. Bahkan, saat Maghrib tiba, saya menemukan diri saya berdiri di sebelah pintu lift yang tertutup — dihalangi tanda besar bertuliskan SEDANG DIRENOVASI. Saya ingin menemui sang suster gepeng, walau sekali saja.
Saya tidak pernah tertarik melihat wujud sang suster. Bila perlu, melihatnya langsung pun tidak perlu. Namun, bila ia hadir meski dengan tampangnya yang ngeri itu, paling tidak saya akan kembali ke kamar Kakek Buyut dengan membawa harapan. Bahwa alam baka itu nyata, dan tak semua jiwa mesti langsung pergi ke sana. Bila suster itu saja bisa menetap di lorong-lorong Rumah Sakit tersebut, tentu suatu saat nanti ruh Kakek Buyut saya akan bertahan selamanya di sana pula. Barangkali, suatu hari nanti, saya akan kembali lagi ke kamar tempat Kakek Buyut saya dirawat. Membawa buku sejarah, dan meminta beliau bercerita tentang bagaimana ia berjuang di garis depan perang Kemerdekaan, dan melihat sendiri ketika Inggris menyerah meminta gencatan senjata. Kita tidak tahu — mungkin di Soetomo ada banyak hantu-hantu lain yang juga hadir di Surabaya, lebih dari tujuh puluh tahun lalu. Sebagian dari mereka mungkin malah mengenal Kakek Buyut saya. Bayangkan: saya akan merangkum mitologi bangsa saya sendiri, dan hantu-hantu yang menolak punah.
Pikiran ini menjadikan saya tenang sebab saat itu, saya tahu kematian sudah dekat bagi beliau. Anak-cucunya mengenal beliau sebagai sosok yang keras dan luar biasa tegas, sementara saya mengenalnya sebagai Kakek yang ramah senyum dan bersahaja. Namun, tak pernah sekalipun saya melihat beliau nampak rapuh. Baru ketika ia terbaring di rumah, sebelum kondisinya memburuk dan kita mesti membawanya naik ambulans, ia menepuk pundak saya dan berbisik pada saya, “Terima kasih sudah care sama Mbah Kakung, ya.” Saat itu saya hanya mengangguk, namun jika saya mengingatnya kini, saya selalu berlinang air mata. Sekali ini saja saya melihat sosok bersahaja itu takut, dan barangkali kehadiran saya di sana telah menawar rasa ngeri-nya, walau hanya sejenak.
Karena saya tak pernah berani membayangkan surga. Ngarai yang panjang, disudahi air terjun raksasa yang mengalir ke sungai madu dan susu. Bidadari turun dari langit, malaikat menyeruak di angkasa. Adakah ini tempat tinggal Kakek Buyut, kelak? Saya tidak membayangkan di tempat itu ada Soto Madura, Taman Remaja, atau taman kecil tempat beliau menggendong saya ketika balita. Dalam bayangan naif saya, sepotong surga itu bernama Surabaya, dan setahu saya sungai Kali Mas tidak mengalirkan madu dan susu.
Lebih tepatnya, saya tidak berani membayangkan beliau begitu jauh. Lantas, suatu saat nanti istrinya akan menyusul di sana, kemudian Kakek-Nenek saya, dan — bergidik — orang tua saya sendiri. Mereka begitu jauh, dan kalaupun saya suatu saat nanti berhasil menyusul mereka, kita tidak akan tinggal di tempat yang telah menghadirkan begitu banyak memori indah dan rasa nyaman yang tak pernah pecah. Kita akan tinggal di surga, entah berapa ratus juta cahaya dari Surabaya. Dan kemungkinan ini membuat saya takut, begitu takut.
Maka, saya menunggu suster gepeng sampai malam tiba. Paling tidak, supaya saya tahu bahwa ada harapan bahwa ruh Kakek Buyut saya dapat bertahan — paling tidak untuk sementara waktu, sampai sangkakala ditiup dan kita semua betul-betul mati — di Surabaya saja. Di kamar rawat inap kelas II RS Dr. Soetomo, di mana saya dapat mengunjungi beliau sesuai jam besuk dan membawakan beliau tahu telur dan kikil Simolawang yang berulangkali beliau minta ketika mengigau. Saya masih menanti sang suster datang, sampai Paman menjemput saya dengan raut wajah panik. Ketika saya melihat ke belakang, saya melihat sekelebat seragam putih dengan bercak-bercak merah. Hampir saya hendak memanggilnya, sebelum bunyi keras menyadarkan saya — ia hanya suster biasa, yang mengenakan jaket merah sembari digandeng pacarnya ke tempat parkir.
Wajahnya cantik, cantik betul. Malam itu juga saya tertidur dan membayangkan bahwa perempuan itu adalah wujud sesungguhnya dari sang suster gepeng. Ia dijemput pacarnya pulang, untuk selama-lamanya, sebab ia baru mendapat kabar bahwa ada seseorang yang hendak mengambil giliran menjadi arwah gentayangan di tempat itu. Dan ketika Lebaran tahun depan tiba, saya akan menyelinap ke RS Dr. Soetomo dengan buku sejarah dan sebungkus tahu telur di tangan. Saat itu juga, mungkin rindu saya terhadap Kakek Buyut saya akan berkurang — walau hanya sedikit. Paling tidak, kita tak lagi dipisahkan oleh samudra madu yang keparat, atau kepak sayap malaikat yang kurang ajar.
Perlu waktu agak lama bagi saya untuk menerima bahwa mimpi tersebut — tentunya — tak benar-benar terjadi. Sebagaimana akan butuh waktu lama bagi saya untuk menyadari, bahwa suara tawa kuntilanak yang saya dengar dari lorong losmen saya itu sebetulnya hanya tawa nyaring anak-anak kos yang sedang mabuk.
Ketika cerita terakhir telah usai, kepala kita memang punya seribu jurus untuk mengarang akhiran yang lebih bahagia.
0 notes