Sedikit sambat, kebanyakan curhat🙏 Biar ga berisik di kepala🤧
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Wanita akan mencintai dengan tenang ketika ia sudah mencintai dirinya sendiri dan siap mencintai orang lain, serta ia tahu bahwa ia tidak sedang bersaing dengan wanita manapun.
153 notes
·
View notes
Text
Kita masih percaya orang-orang baik itu masih ada, dalam sistem terkotor sekalipun. Kalau kita ngga terlibat dalam perjuangannya, alih alih kecewa dan membenci, baiknya lebih banyak berprasangka baik, kalau melalui ini, ada banyaakkkk momentum besar yang mengarah pada kebaikan.
0 notes
Text
Pernah baca dalam satu postingannya ustad amar, kalau indikasi lelah itu bukan dari fisik, bukan dari malas ketemu atau balas pesan orang, tapi dari kualitas sepertiga malam kita.
0 notes
Text
Tapi yaaa kabar baiknya dewasa ini jadi punya mimpi, punya target yang mau dicapai. Jadi mari kita coba hidupkan kembali mimpi mimpi itu, meski masih ada takut dan khawatirnya. Lebih baik nyesel gagal daripada nyesel ngga nyoba~
0 notes
Text
Jadi dewasa tuh emang repot yaa
Waktu umur 12 tahun nekat sekolah pesantren, umur segitu ngga mikir ini itu nanti gimana, pengen sekolah ya sekolah aja, tapi makin nambah umur makin banyak pertimbangannya ternyata. Nanti adek-adek gimana? UKT mahal engga? Bisa cover dari gaji ngga ya? Tapi kuliah sambil kerja apa ngga tepar tuh? Terus kalo udah lulus proyeksinya kemana? Bisa nambah manfaat buat sekitar ngga? Atau ekstrimnya nambah gelar nambah ilmu nambah keimanan ngga tuh?
Ya pada akhirnya keputusan diumur 12 tahun itu jadi keputusan terbaik sih, tapi gila ya? Kok berani ambil resiko sebesar itu, jauh dari orang tua, biaya yang dibutuhkan juga banyak (ya walaupun ini yang nanggung bapak sih), ngga kenal siapa siapa, mapelnya juga pasti pusing karna dua kurikulum, dll. Kalo dipikir-dipikir mesti nekat ga sih?
Jadi dewasa emang repot ya, tapi yaallah sejujurnya hambamu satu ini emanv udah capek kerja jadi pengennya sih lanjut S2 tapi kok banyak pertimbangannyaaa😭😭😭
Terus sekarang lagi bingung (memang hidup adalah sekumpulan kebingungan). Yaudahlah dipikir-pikir lagi aja, sambil dijawab satu persatu pertanyaan itu, makanya bangun sepertigamalam itu curhat sama Dia biar ketemu solusinya gimana🙂🫵
0 notes
Text
Sampai pada titik pusingnya kepala
Kita tuh terlalu sering memikirkan hal hal yang diluar kendali kita ya? Ralat, bukan kita, tapi aku.
Hal hal diluar kendali kayaa, kenapa ya kok ditempatin disini? Abis ini selanjutnya apa ya? Bisa berhasil ngga ya nanti? Kalo nanti gagal gimana ya? Apa tanggepan orang-orang ya? Terus kalo ternyata ngga cocok gimana?
Padahal belum dicoba, belum berusaha.
Padahal kan tugas kita sebagai manusia tuh berusaha aja kan, dijalani dengan sebaik-baiknya. Respon yang bisa kita kendalikan kan cuma diri kita sendiri, respon orang lain mah diluar kendali kita (ya kalo itu baik ya syukur kalo jelek ya sabar aja).
Tapi kenapa seringnya mikirin hasil ya? Padahal itu kan ranahnya yang maha kuasa, suka suka dia mau nempatin kita disini kek, selanjutnya disitu kek, terus gagal atau berhasil kan suka suka dia ya. Toh kalo pada akhirnya banyak kejadian yang ngga enak kan siapa tau itu jadi pelebur dosa. Kadar susah dan lelah atas apa yang kita jalani tuh sama kaya pahalanya tau, jadi ngga usah khawatir lah.
Kita tuh kan cuma perlu memahami, kalau Dia itu sayang sama kita, masa iya kita ragu sama takdir-Nya?
Kurang-kurangi pikiran jelek dan pusing sendirinya, selamat memupuk kembali prasangka baik ya ti🥹🫶🏻
0 notes
Text
Untukmu yang sedang mengusahakan hal yang lebih baik dalam hidupmu, ingatlah bahwa kita seringkali bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dari lingkungan yang tak sepenuhnya kita senangi. Kita boleh memilih, tapi kita tak bisa menghindari takdir-Nya.
─ shafiranoorlatifah
264 notes
·
View notes
Text
Autopilotkan dirimu.
Kalau terlalu terasa berat, istirahat dan cobalah lepaskan sesuatu yang mengikatmu dengan kekhawatiran.
Kembalikan semuanya kepada yang memberimu hidup. Kamu terbatas, sedangkan Dia, tidak.
379 notes
·
View notes
Text
Entah seberapa jauh jaraknya. Entah sebanyak apa riuh perjalanannya. Entah dimanapun tempat berlabuhnya. Semoga selalu diyakinkan dengan: “pada akhirnya takdir terbaik Allah itu pasti datang.”
Tenang sayang, sebentar lagi ya, giliranmu. Bismillah. :)
463 notes
·
View notes
Text
Seringkali, air mata yang turun itu adalah pengganti dari lisan yang tidak berani mengucap, tangan dan kaki yang tidak berani bertindak, dan hati yang mungkin lelah dan ingin tenang. Andai ia turun, biarkan, jangan dipaksa berhenti. Sebab tidak semua orang bisa menangis.
Dan kamu tahu? Tangisan terbaik itu adalah tangisan di tengah kesepian, pada sepertiga malam, mengadukan pada Tuhan soal perlakuan manusia dan dunia yang bercanda, soal hati yang mati dan tak lagi nyaman ibadah.
Selamat menikmati air mata, untuk siapapun yang sedang bergemuruh hati dan jiwanya. Semoga Allah tenangkan dan lapangkan hatinya.
@jndmmsyhd
631 notes
·
View notes
Text
📮📮🇲🇨🇲🇨📮📮
*YANG "NONGKI" DI JALAN DAKWAH*
(Seri Indonesia Membina)
@ Dwi Budiyanto
Ada seorang murabbi di Yogyakarta, enam puluh tahun usianya. Tak banyak di antara kita mengenalnya.
Empat kali dalam sepekan ia menempuh jarak 60 Km lebih untuk mengisi forum pembinaan pekanan dan taklim rutin, di daerah Gunungkidul.
Dengan motor ia tempuhi jalan terjal dan menanjak. Ia tampil sebagai dai dan murabbi yang tak berpikir popularitas.
****
“Selagi konsisten membina, insya Allah, kita tidak pernah menganggur di jalan dakwah ini. Kalau tidak mau membina, terus kita mau ngapain?” demikian kata Ustadz Cholid Mahmud ~Allahuyarham, suatu ketika.
Pernyataan tersebut ditegaskan ulang Ustadz Cahyadi Takariawan dalam peluncuran Gerakan Indonesia Membina pada 20 Mei yang lalu.
Selagi kita merekrut dan membina tak ada seorang pun di antara kita menjadi pengangguran di jalan dakwah. Mungkin ada di antara kita akan mengatakan, “Apa peranku? Aku bukan pengurus lembaga, organisasi, bukan pula pejabat publik. Lalu apa peranku?
Ustadz Cholid Mahmud punya jawaban yang paling sederhana dan itu menjadi jawaban bagi kita semua: siapapun di antara kita selagi merekrut dan membina, tidak mungkin akan nganggur di jalan dakwah,” kata Ustadz Pak Cah.
Benar sekali. Di jalan dakwah ini, posisi itu sangat terbatas, tapi kontribusi tidak berbatas. Posisi ketua, presiden, pengurus lembaga, anggota dewan, kepala sekolah, bupati, atau jabatan publik lainnya itu sangat terbatas.
Sementara kontribusi untuk merekrut dan membina adalah kerja-kerja tanpa batas. Seorang murabbi tidak akan mengalami pergantian antar waktu atau dipensiunkan, selagi ia memiliki komitmen yang kuat.
Ketika orientasi untuk berkontribusi pada “yang tak berbatas” melemah, seseorang akan fokus pada posisi “yang serba terbatas”. Kalau tidak berambisi merebutnya, kemungkinan lain adalah putus asa dan merasa disisihkan.
Sementara itu, para dai yang menyibukkan diri dalam kerja-kerja perekrutan dan pembinaan akan senantiasa disibukkan dengan amal kebaikan. Nah, naluri untuk merekrut dan membina inilah yang perlu terus-menerus kita jaga.
Ada seorang murabbi di Yogyakarta, enam puluh tahun usianya. Tak banyak di antara kita mengenalnya. Ia jauh dari sorot kamera dan ingar-bingar pemberitaan.
Kiprahnya tidak pernah terunggah di laman Instagram manapun. Televisi tidak pernah menyiarkannya. Ia bergerak dalam kesunyian. Empat kali dalam sepekan ia menempuh 60 Km lebih untuk mengisi forum pembinaan pekanan dan taklim rutin di daerah Gunungkidul.
Dengan motor ia tempuhi jalan terjal dan menanjak. Ia tampil sebagai dai dan murabbi yang tak mikir berat.
Saya bayangkan, beliau tak pernah berpikir njlimet bahwa merekrut sekarang sulit. Orang lebih tertarik pada pembicara di Youtube. Seorang dai dan murabbi butuh viralitas agar punya daya tarik. Tak terlintas sedikit pun pikiran itu.
Beliau langsung bertegur sapa dengan masyarakat. Hadir di tengah-tengah mereka. Menyibukkan dalam program taklim, penyediaan air bersih bagi masyarakat, pengadaan hewan kurban, bakti sosial, beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa.
Beliau bukan anggota dewan, bukan calon bupati, bukan pengurus lembaga dakwah. Pada 2024 ini, di usia ke-60, beliau seperti tak kehabisan energi sebagai dai dan murabbi. Di hadapan para dai dan murabbi seperti ini, rasanya kami seperti remah-remah.
Para dai dan murabbi tidak pernah terjangkit “nongki-nongki syndroma”. Sindrom nongkrong-nongkrong tak jelas yang menunjukkan kemalasan untuk berjuang.
Dalam terminologi dakwah, seperti disampaikan Ustadz Aunur Rofiq Saleh Tamhid dalam buku “Pesan-Pesan Tarbawi untuk Para Murabbi” (2024) sebagai penyakit qu’ud.
Dalam Alquran, orang-orang yang tidak mau aktif berdakwah dan berjuang disebut sebagai qaa’iduun (orang-orang yang gemar duduk-duduk berpangku tangan). Mereka lebih suka kongko-kongko daripada gigih bekerja.
قَالُوا يَا مُوسَىٰ إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا ۖ فَاذْهَب�� أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ
Mereka berkata, "Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja". (*Q.s. Al-Maidah: 24*).
Mereka yang terjangkiti sindrom nongki-nongki, sering menciptakan alasan-alasan dramatik agar terhindar dari kerja-kerja dakwah dan pembinaan. Entah khawatir dengan resiko, takut tantangan, hingga menciptakan bayang-bayang kecemasan yang berlebihan.
Semua berakar dari bergesernya orientasi terhadap dakwah dan pembinaan. Ada juga yang menganggap kerja membina tidak lagi penting dan bergengsi daripada kerja-kerja meraih mobilitas vertikal. Lalu dengan enteng, pikiran dan perkataan mereka mengatakan, *“Silakan membina sendiri. Aku memilih duduk-duduk di sini. Meniti karir. Mengembangkan bisnis. Toh ini juga dakwah.”*
Betapa kita merasa iri melihat mereka yang tak pernah nganggur di jalan dakwah ini. Karir dan bisnis kita boleh jadi menanjak, tapi jangan-jangan kita adalah pengangguran di jalan dakwah ini.
Kita merasa cukup karena telah ikut berinfak, tanpa kita sadari itu tak istimewa, karena para murabbi yang produktif itu pun melakukan hal yang sama. Jangan-jangan infak kita itu tak seberapa dibanding apa yang dikeluarkan para murabbi untuk menjamu dan meringankan beban mutarabbinya.
Mari kita selisik diri masing-masing. Apakah kita sudah lama menganggur di jalan dakwah ini? Apakah selama ini kita hanya nongki-nongki saja di jalan dakwah? []
#IndonesiaMembina
[note: nemu tulisan ini dari grup liqo setelah 1 tahun ngga aktif ngebina rasanya agsj,&×*××[ajq8192pepshsl+;+&! sediiii tp bingung harus gimana, sengaja nitip ditumblr biar bisa terus dibaca]
3 notes
·
View notes
Text
ya kalo orang lain kerja cuma tidur-tiduran, scroll hp, males-malesan tapi gaji tetep full ya biarin aja mar, kalo kamu yang kesusahan, agenda selalu full, kerjaan terus ada bahkan ga sempet tidur atau scroll hp, bahkan sering lembur dan telat pulang karna harus nyiapin ini itu, justru yang bener kaya gitu.
barangkali emang rejeki kamu dg gaji yang segitu tapi beban pekerjaan yang banyak tuh bisa jadi dibalesnya nanti dipekerjaan selanjutnya dikelilingi sama orang2 baik yang positif vibes kantornya saling bantu saling dukung, barangkali rejekinya ada di temen dan keluarga yang selalu ada, barangkali rejekinya di kesehatan dan waktu yang luang, masih bisa belajar ini itu. Gapapaaa, semua yang kita lakuin tuh pasti berimbas lagi ke diri kita kok. Kalo kamu sekarang lagi nanem hal-hal baik, pasti nanti dapet hal hal baik juga~
0 notes
Text
sunday well spent><
Setelah 6 hari kemarin uring-uringan dan mood gajelas karna kecapean + pms wkwkw
Weekend kali ini fulfill my heart sekaliii, malem minggu ada kelas tahsin cc, paginya usar pekanan, agak siang kelas ngeslow, siangnya otw ke bogor bertemu teman-temankuuu. Obat dari lelah salah satunya emg diisi sama ilmu dan ketemu teman lama dan teman baru!
TANGKI CINTA UNTUK DIRIKU SENDIRI SUDAH PENUH! SAATNYA MENYAMBUT SENIN DENGAN RIANG GEMBIRAAA~~~
1 note
·
View note
Text
Akan ada hari di mana solat kita hanya berisi dengan air mata dan permintaan maaf. Tak lagi dipenuhi berbagai macam keinginan duniawi. Karena satu-satunya pinta kita kini ialah, bagaimana agar Allah mau memaafkan kita, dan ridho atas diri kita.
Akan ada hari di mana kita berandai agar diciptakan dalam rupa yang bukan manusia saja. Kita teringin menjadi berbagai bentuk lain. Apa saja. Sebuah tumbuhan, semut yang berjalan. Ataupun batu yang cuman diam. Asal bukan manusia. Karena menjadi manusia memang semelelahkan itu. Beban pertanggungjawaban yang menanti kita kelak di akhirat selalu membuat kita was-was, apakah kita bisa selamat darinya?
Akan ada hari di mana, mata kita kini tak lagi mengeluarkan air mata. Bukan karena kita tak lagi merasa sedih, ataupun terluka. Kita hanya telah merasa bahwa kepada tangis pun, hati kita tak lagi terasa lega. Hati kita menjadi mati rasa, karena dengan begitu, semua hal terasa menjadi lebih mudah & biasa-biasa saja untuk kita.
Akan ada hari di mana, kita tidak lagi berselera melakukan apa-apa. Hidup kita memang masih berjalan seperti biasa. Namun tanpa gairah di dalamnya. Kita hanya melakukan semuanya semampu dan sebisa kita. Mencoba untuk tetap waras, sembari menunggu waktu jadwal kepulangan.
Akan ada hari di mana, kita akhirnya mengerti, mengapa Allah menciptakan dunia semelelahkan ini. Karena Allah tidak mau kita ingin hidup lama di dalamnya. Karena Allah tak ingin kita menjadikan dunia sebagai tujuan segalanya. Karena Allah tak ingin membuat kita lupa bahwa kita tak selamanya. Karena Allah tak ingin kita terlena dan terlarut dengan apa yang ada di dalamnya. Karena Allah tak ingin kita melupakan tempat kita kembali.
Dan karena Allah menginginkan kita selalu mengingat bahwa hanya kepada-Nya lah ketenangan itu didapatkan, bahwa hanya kepada surga-Nya lah tempat segala kenikmatan.
@milaalkhansah
203 notes
·
View notes