Text
“Some cause happiness wherever they go; others whenever they go.”
— Oscar Wilde
23 notes
·
View notes
Text
“vorfreude”
— (noun) A German untranslatable word, vorfreude is defined as the intense euphoric sensation you experience from thinking about future plans and daydreams. This beautiful feeling is a natural reaction the human mind manifests from expectations of future pleasures and joyful anticipations, such as planning a trip, going on a date, and many other fulfilling, life-changing events. (via wordsnquotes)
213K notes
·
View notes
Text
“I am the ocean; the earth; whatever dies for you.”
— Alice Notley, from In The Pines: Poems; “The Black Trailor (A Noir Fiction),” (via wethinkwedream)
11K notes
·
View notes
Photo
things english speakers know, but don’t know we know.
506K notes
·
View notes
Text
Aku tidak ingin mencintaimu dengan sederhana. Aku ingin mencintaimu segila-gilanya, semabuk-mabuknya, sesakit-sakitnya.
Aku ingin berjuang sampai mampus, hingga seluruh rasa pupus. Aku ingin terjungkal lalu terjatuh kemudian tersungkur dan terperosok ke dalam jurang gelap tempat seluruh rindu bersemayam.
Aku ingin mengejarmu tanpa peduli aturan. Aku ingin memberontak atas seluruh kekangan. Aku tidak peduli siapa lelaki dan siapa perempuan. Pun takkan peduli siapa yang harus menunggu dan siapa yang harus bergerak duluan. Aku ingin sepenuhnya sadar mengejar-ngejarmu hingga kau jatuh dalam pelukan.
Cukuplah separuh dekade kita diam. Cukuplah seluruh waktu itu membiarkan kita bungkam.
Aku ingin terlena dalam pesonamu lalu terisak-isak karena siksamu. Aku ingin terbuai dalam pikatmu lalu tertatih-tatih karena kejammu. Aku ingin tertawan, tanpa melawan, sebab kau menawan.
Pada akhirnya aku hanya ingin kau tahu, cintaku sekarang tak sesederhana cintaku yang dulu. Cintaku ialah seluruh kombinasi kegilaan-kegilaan dan kesialan-kesialan dalam hidupku. Cintaku adalah sekumpulan amarah dan darah yang merenggut seluruh kewarasanku. Cintaku bukan lagi senja di hari gerimis, bukan lagi purnama di remang malam.
Cinta bagiku sekarang ialah api yang menyala-nyala. Kadang ia membara lalu menghangatkan, kadang ia berkobar lalu menghanguskan. Bahkan jika aku hangus, Sayang, bahkan jika harus menjadi abu, kau tetaplah tujuan atas seluruh perjalananku.
Selamat ulang tahun sekali lagi. Harapanku di nomor tiga kutarik kembali. Aku belum menyerah mencintaimu. Aku ingin mencintaimu segila-gilanya, semabuk-mabuknya, sesakit-sakitnya.
# Malam ini sakit pinggang terbaikku. Semoga disana, nun jauh disana, malam ini kau jadikan susah tidur terbaikmu. #
0 notes
Text
Aku menatap gadis di hadapanku yang sedang cemberut. Sungguh, dia manis sekali ketika merajuk.
"Kenang-kenangan macam apa ini?" Tanya Nilam padaku.
"518 biji permen rasa buah." Jawabku jenaka.
"Pras, kau bercanda? Bahkan di hari perpisahan kita kau masih sempat bercanda?"
"Kamu sih ngasihnya cuma setoples tempe sama ikan teri. Murahan dibalas murahan." Aku mencoba membuatnya semakin jengkel.
"Tapi aku tahu kau akan suka itu. Ini perjalanan jauh dan lama, kau tidak akan mudah beradaptasi dengan makanan di sana."
Aku tau ada rasa cemas di balik seluruh ocehan Nilam. "Makanya kau harus beradaptasi juga."
"Aku tidak suka permen dan tidak perlu beradaptasi!" Bentaknya
"Nilam bodoh." Jawabku dengan galak. Aku harap dengan menjadi galak bisa menyembunyikan betapa aku ingin memeluknya.
"Aku.. Aku sungguh tidak suka, Pras." Matanya mulai berkaca-kaca. Ya Tuhan, bagaimana cara menyembunyikan perasaanku padanya?
"Nilam, 518 biji permen ialah 518 hari aku tanpamu. Aku ingin ada sesuatu yang mengingatkanmu padaku saat kita jauh. Dan, apa yang lebih kau tak sukai selain permen?"
Nilam menunduk menatap permen di hadapannya. Bandara amat ramai hari ini, Nilam pasti terlalu malu untuk menangis.
"Tapi, kenapa permen, Pras? Kenapa bukan kotak musik atau coklat, atau lagu yang kau ciptakan sendiri, atau apapun yang mengingatkanku padamu tapi bukan permen?"
Tuhan, Nilam hanya tidak tahu semalam aku tidak tidur menghitung permen-permen itu sendirian. Memastikan jumlahnya tepat 518 biji. Sampai kuhitung berulang kali.
Tuhan, nilam hanya tidak tahu semalam aku tidak tidur memisahkan permen-permen itu. Permen yang setiap bungkus rasanya bercampur, dan harus kupisah sendiri untuk memastikan hanya rasa buah yang asam yang kuserahkan padanya. Tuhan, aku tahu dia tak suka rasa manis, tentu saja aku tidak akan memaksanya.
"Kan sudah kubilang, biar kamu beradaptasi." Jawabku datar.
"Aku tidak suka permen, Pras!"
"Sudah tahu. Sudah dengar berkali-kali." Jawabku sambil menutup telinga.
"Kalau begitu kenapa tetap dikasih?"
"Karena mau."
"Kenapa mau?"
"Nilam, ada banyak sekali hal-hal di luar sana yang tidak kita mengerti, tapi harus kita jalani. Terkadang makna yang kita cari tidak ingin dicari, makna itu ingin datang sendiri. Jadi tidak perlu banyak tanya, tidak perlu curiga, tidak ada racun di permen itu. Sudah kupastikan." Aku menatapnya kali ini. Semoga tidak terlihat betapa aku mencintainya.
"Tapi kenapa 518 biji?"
"Agar kau bisa memakannya sekali sehari, sampai aku pulang kembali."
"Pras?"
"Ya?"
"Akan kuhabiskan permennya. Sekali sehari. Jadi pastikan kau kembali."
"Pasti."
Aku harus segera pergi. Bisa kulihat Nilam melambai-lambai dari jauh memeluk erat kotak berisi permen pemberianku. Gadis itu selalu kuat, semoga malam ini tidurnya nyenyak.
0 notes
Text
Seperti pertanyaan Rahwana pada Tuhannya, seperti itu pula aku bertanya:
Tuhan, jika cintanya tidak untukku mengapa pada cerita ini Engkau menaruhku berlama-lama?!
509 notes
·
View notes
Text
"Aku ingin besok gerimis saja." Ucapku pada seseorang yang masih saja diam di sampingku.
"Kenapa?" Kurasa aku mulai membuatnya penasaran
"Sudah lama aku tidak melompat-lompat berusaha menghindari genangan air di jalan menuju rumahku. Aku juga ingin besok gerimis saja agar aku punya alasan meminta ibu membuatkan susu coklat. Ia selalu menolak, bilang aku sudah besar." Jelasku.
"Kau memang sudah besar." Jawabnya datar.
"Sembilan belas belum besar." Balasku tak kalah datar.
"Aku juga ingin besok gerimis saja."
"Kenapa?" Sungguh aku penasaran
"Agar aku bisa memastikan anak kecil dalam dirimu tetap hidup"
0 notes
Text
Aku ingin ada jeda,
Batas yang memisahkanku dari realita.
Husnul
1 note
·
View note
Conversation
An INTJ's life - No INFP was harmed
INTJ: So why are you sad?
INFP: My sensibility is daily hurt
INFP: Other people keep telling me things that from my perspective are incredibly insulting
INFP: So I end up getting upset
INFP: The End
INFP: Directed by INFP
INFP: Screenplay INFP
INFP: Starring INFP
INFP: With INFP as INFP
INFP: No INFP was harmed during the production of this movie
INFP: Just kidding he's been harmed
INFP: A lot
INTJ: Not sure if I should laugh or cry
hahahahaha
380 notes
·
View notes
Quote
Aku tidak ingin bertemu denganmu seperti dalam dongeng; pesta dansa dan jamuan istimewa. Aku hanya ingin kita tidak sengaja bertemu pandang di desak bus kota atau di kedai teh dekat stasiun kereta. Kau tidak perlu berasal dari tempat yang jauh atau suku yang masyhur, sebab kuharap kita berasal dari talang yang sama.
Husnul
1 note
·
View note
Text
Meja nomor empat. Tidak, saya tidak terlambat. Benar ini waktunya, benar ini tempatnya, benar ini kotanya. Baiklah, saya akan menunggu lagi seperempat jam. Barangkali kamu tersesat, semoga tidak dahulu pulang namun kemari sebentar.
Pianis memainkan lagu indah, saya dengar itu lamat-lamat. Berkali-kali saya menengok ke arahnya. Saya pesan agar ia memainkan Clair de Lune saat kamu tiba.
"Belum, belum saatnya tuan, maafkan saya, saya pun masih menunggunya."
Saya gusar memotong daging berkerat dengan berkeringat. Kamu tak suka daging merah kan? Saya ingat, selalu ingat. Kamu tak suka daging hewan berkaki empat. Pemilik kedai keluar, saya sebegitu tidak adanya kegiatan sampai-sampai memperhatikan, botaknya mengkilat, ia menurunkan bir berkrat-krat. Mendorong, memindahkan pada seharusnya mereka bertempat.
Dua tahun lalu, saya lima belas menit berada di depan kaca, memastikan jika rambut sudah terisisir rapi. Kemeja dan mantel yang saya gunakan tidak kusut pada masing-masing tepi. Dengan langkah cepat, saya buru-buru menutup pintu. Memasang kunci ganda, membetulkan letak syal yang sebagian menutupi dada. Saya bersumpah, kereta malam itu lambat sekali lajunya, entah benar demikian atau saya merasa begitu akibat sedang jatuh cinta? Entahlah.
Hingga pada belokan terakhir sebelum gedung pertunjukan, saya sempatkan singgah, membeli beberapai tangkai bunga krisan kuning muda. Sebetulnya saya ingin membeli mawar merah, yang mewakili perasaan saya, ah tapi, bukankah tak baik terlalu tergesa? Belum tentu dirinya merasakan hal yang sama.
Dia sudah menunggu di depan gedung pertunjukan, pipinya memerah, senyumnya sumringah; "Kamu lama sekali, mari cepat masuk. Sebentar lagi mulai."
Saya masih terdiam beberapa detik hingga teguran itu membuat saya kembali bernapas dengan baik.
Pintu masuk teater telah ditutup. Dengan mata melotot dan galak, lelaki separuh baya itu melarang kami masuk. Diketuk-ketuknya tanda harap diam, agar mulut kami bungkam.
Gagal menonton pertunjukan teater akibat keterlambatan saya. Dengan segera saya mengajaknya menuju gedung bioskop pada ujung blok yang sama. Kami berjalan kaki, bergandengan tangan, sambil mengusir dingin malam khas Belanda pada penghujung bulan.
Dua tiket, serta satu buah jagung letup karamel berukuran besar dengan dua coklat panas mengisi tangan saya kemudian. Kami menonton film, dengan masih berpegangan tangan. Dengan pipinya yang makin bersemu kemerahan tiap kali jagung letup karamel meleleh pada lidahnya, manis ia rasakan.
Malam masih panjang, dan kami memutuskan menyeberang ke sebuah bar. Suasana bar sangat menyenangkan, banyak yang duduk minum bersama teman, banyak pula yang menari mengikuti irama riang pada lantai dansa, tak pedulikan tatapan orang. Semua tertawa. Dia memesan dua gelas besar gin, satu untuk saya dan sisanya untuk dirinya. Kami berbicara tentang apa saja, semakin dimabuk cinta, tanpa sadar kami sudah berada di lantai dansa. Dia menari dengan lincah dan saya yang malu-malu memeganginya.
Pada tepi jalan diluar bar, dibawah lampu kota yang redup temaram. Kami berciuman.
Dia pulang, berjanji bertemu lagi minggu depan, minggu pertama bulan Juni. Dia menunjuk restoran diujung jalan;
"Tunggu aku disana, minggu depan, jam delapan malam. Jangan terlambat, sebab aku tak mungkin terlambat." Dia mengecupku sekali lagi, dan kami berpisah.
--- Enam puluh menit ditambah seperempat.
Tidak, dia tidak mungkin terlambat.
Dua gelas bir diatas meja terdiam. Satu utuh, satu runtuh.
Kencan usai, pada waktu singkat, pojok meja nomor empat.
—9996 // Seratus Empat Minggu Menunggu, Jam Delapan Katamu.
1 note
·
View note
Quote
And one you should know, my vincent-van-gogh-wannabe, it terrifies me how talented you are at turning your emotions on and off. How you could be so careful with your paint on your canvas then so careless with me on your mind.
status saya 2 tahun lalu, untuk seorang pelukis yang tak pernah mau peduli.
2 notes
·
View notes
Quote
Pernahkah kau dengar sebuah kisah tentang waktu diantara pagi utuh dan malam tua? Waktu fajar. Tentang penantiannya, tentang keikhlasannya, tentang kelapangan langitnya yang membentang, tentang diamnya…
status facebook saya 5 tahun yang lalu
2 notes
·
View notes
Text
Aku Pulang
Langit masih temaram bersama tangis yang makin kelam. Aku berbaring sendirian di ruang keluarga. Orang-orang menatapku iba, tapi aku tak peduli. Hatiku sepi. Di sampingku mata ibuku telah sembap, tak sedikitpun aku mengusap air matanya. Bahkan, di hari-hari sebelumnya sudah kukatakan bahwa mungkin aku akan pulang, tapi ia tak pernah mengerti bahwa aku akan pulang. Rumahku ramai, namun rasanya masih saja sepi. Toh, sebentar lagi aku akan merasakan kesepian yang sebenarnya, jadi tak ada salahnya melakukan pemanasan. Sesekali kupandangi sekelilingku. Cat dinding yang memudar, kursi kayu tua yang makin rapuh, dan lantai keramik yang mulai retak. Ya, semuanya memang berubah bersama waktu, termasuk perasaanku padamu. Kemarin kukatakan pada ibu untuk mengundangmu. Ku katakan pada ibu agar ia mengajakmu, meski ku tahu kau akan datang tanpa harus kupanggil. Karena kau masih separuhmu yang dulu. Separuhnya? Entahlah. Sejak semalam, saat aku pulang, aku hanya menunggumu. Tepatnya, menunggu reaksimu. Aku penasaran bagaimana caramu menatapku jika keadaanku seperti ini. Ah, sepertinya menyenangkan.
Matahari mulai mengintip saat kau tiba. Kau menghambur masuk meski kemudian kau hanya terpaku di daun pintu. Di balik punggungmu, dia mengekor, sesekali mengintip. Ah, dia lagi. Ah, si gadis berpita biru lagi. Tunggu dulu, ah ternyata bukan pita biru, tapi pita hitam. Ah, munafiknya. Aku masih ingat ketika kau menggandeng tangannya di hari ulang tahunku. Sebagai sahabatmu, tentu saja aku senang. Namun sebagai pengagummu nomor satu, potongan hatiku pergi dan belum kembali. Sungguh, aku takkan lupa cara dia merajuk padamu. Ah, kau takkan pernah tahu kalau dia hanya pencari perhatian. Ah, kau tak cocok dengannya. Sungguh, menjijikkan sekali melihat wajah pucatnya tersenyum padamu. Ah, Dan sekarang meski masih berat, meski selalu berat, aku melepaskanmu. Merelakanmu bersamanya.
Ini hanya soal waktu. Ketahuilah meski ragaku tak disini, aku akan tetap disini. Matahari telah separuh terbit, waktu kesukaanku, dan kesukaanmu sebelum dia datang mengubahmu jadi separuh berbeda. Kau gemetar melangkah masuk. Mungkin terpesona pada wajah pucatku yang hanya butuh sedikit polesan agar mirip dengan bintang pujaan dia. Matamu nanar, mungkin ingin mengucapkan sekedar basa-basi yang justru tak terucap. Kau duduk di sampingku. Tubuhku dingin. Tinggal kau yang aku tunggu. Hanya aku yang kau tuju. Matamu berkaca-kaca, mungkin terlampau rindu. Kau tampak tak bertenaga. Kau usap dahiku perlahan yang tentu saja aku sedari tadi telah kaku dan tak mampu melawan. Sebentar lagi aku pulang. Dia di sampingmu takut-takut ikut menatapku. Ingin rasanya mengganggunya, namun dia terlalu indah untuk kuhina. Waktu kesukaanku sebentar lagi berakhir. Aku ingin pulang di waktu kesukaanku, diantar olehmu. Karena meski dengan cara apapun, kau tak akan ikut pulangbbersamaku. Kau memeluk erat tubuhku padahal aku tidak sedang kau peluk. Ah, bisakah kau segera membawaku pulang? Aku bosan semalaman hanya ditatap penuh rasa kasihan. Kau masih menangis meratapiku, dan ingin aku tertawa keras-keras. Mengapa baru sekarang? Mengapa bukan sebelum dia datang? Kau terlambat. Terlalu lambat. Dengan gontai kau mengantarku pulang. Akhirnya dunia baru itu kini kujalani. Akhirnya aku menyatu dengan asalku. Orang-orang melepas kepulanganku. Dan dari bawah batu nisan, masih bisa kudengar langkah berat kakimu meninggalkan pusaraku.
Husnul Khatimah 28 Agustus 2014
2 notes
·
View notes