Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Sukma dan Raga
Malam ini aku tidak bisa tidur, entah kenapa. Padahal sudah sengaja kubuat seharian ini capek secapek-capeknya. Pergi ke sana ke mari, mengerjakan beberapa kerjaan secara simultan. Tiada henti hingga malam tepat berada di puncak.
Lalu kurebahkan diri di atas dipan. Miring kanan, kupejamkan mata. Harusnya dalam hitungan menit aku sudah berkelana di alam mimpi. Lima menit. Sepuluh. Setengah jam. Hingga pukul satu dini hari, aku masih terjaga.
Sialnya, bukan hanya terjaga. Begitu rebah, kepalaku yang seharusnya tenang malah menjelma menjadi sautan-sautan yang ribut. Rasanya begitu penuh. Ketenangan yang kucari sama sekali nihil. Begitu ramai hingga kurasakan hidungku mampat. Napas memburu lewat mulut. Lalu tanpa bisa kucegah, butir pertama air mata jatuh.
Awalnya satu, lalu mengalir deras dan semakin deras. Tidak ada isak, napasku masih berupa hela yang rasanya hampa. Seperti sebentar lagi aku akan kehabisan udara. Kupanjangkan lengan, mencoba meraih apapun yang bisa kujangkau. Jemariku menyentuh kaca yang dingin. Kutarik ia dan kupeluk diriku sendiri. Kubenamkan wajah sedemikian rupa di antara kedua lengan dan permadani.
Hah, aku benci ini. Berulang kali kuusap mata yang basah. Hidung membersit sesekali. Kulihat dari celah pintu seseorang datang dan menyalakan lampu di luar. Orang itu menjengukkan kepala dari balik celah pintu. Kusapa ia seakan semua baik-baik saja. Saat itulah kusadari sukma dan ragaku hidup dalam dimensi yang berbeda.
Kalau kita?
13 notes
路
View notes
Text
Dekap
Aku adalah seorang egois yang ingin memilikimu dengan segala yang kau punya, apa adanya, yang tidak henti membekukanku dalam pukau. Ingin kudekap ragamu erat, demikian erat karena aku tidak tahu apakah kita akan bersama nanti di akhir cerita, sementara dalam diriku bersemayam seribu cela.
Izinkan aku mengikis cela itu hingga dekapanku layak menjadi tempat pulang paling nyaman. Tempat kamu boleh bercerita tentang semua hal. Tempat kamu tertawa bahagia, juga sebaliknya. Dunia kecil milik kita berdua dan tidak ada siapapun kecuali hanya kita.
Kuhirup udara tanpa aroma. Kudekap bayangmu sembari berharap ia menjadi engkau.
Yogyakarta.
0 notes
Text
Lambai
Adalah kebiasaanmu: melambaikan tangan tiap kita berjumpa dan tiap kita menjanjikan jadwal temu berikutnya. Langit ufuk yang terbenam menjadi latar dengan semburatnya yang belum tentu jingga. Kau tidak lantas menjadi dewi atau sang putri, kau tetap wujudmu dalam salam sederhana:
"(aku) duluan, ya."
Sementara kau pamit, kuyakini Tuhan menjagamu hingga nanti kembali bersua.
Pamer
Kamu itu suka betul pamer-pamer barang, ya. Apa saja yang kau bawa hari itu tidak luput kau perkenalkan kepadaku.
Sekali waktu pernah kau tunjukkan sepasang kaus kaki berwarna abu, ada gambar wajah berkacamata hitam di bagian atasnya. Lain hari kau perlihatkan masker yang menurutmu lucu karena berwarna merah muda (sampai sekarang aku masih bingung kenapa warna itu bisa dikategorikan merah muda alih-alih krem). Besoknya kau perlihatkan pengaitnya yang berwarna kuning berbahan karet. Ada juga pengikat rambut yang malah kau kenakan di pergelangan tangan. Ramadan kemarin ada sandal, yang hilang beberapa hari sebelum Lebaran.
Mulai dari warna tumbler sampai warna cat kuku. Mulai dari yang kau punya sendiri sampai yang kau pinjam paksa (wkk bisa-bisanya) dari salah satu saudaramu.
Sore tadi kamu pamerkan gaun bermotif bunga. Kamu dapatkan secara gratis dari seorang kawan yang seharusnya kamu bayarkan sejumlah uang kepadanya, namun jatuh tempo sudah lama berlalu hingga kawanmu itu memberikannya untukmu secara cuma-cuma.
"Mau kupamerin sesuatu, ga?"鈥攁tau yang lebih persuasif, "Aku mau pamerin kamu ini," adalah kalimat pembuka wajib yang selalu kamu ucapkan sambil menahan tawa. Matamu berkilat gembira. Entah apa yang ada di kepalamu tiap kali mengucapkannya. Inikah yang disebut jenaka sejak dalam pikiran?
Dan aku adalah yang paling tidak bisa berkata-kata setiap kali kau berpamer ria. Aku bukannya tidak tertarik. Aku hanya tidak tahu mana yang harus kupuji: barang yang kau perlihatkan, atau yang memakai? Karena sesungguhnya mereka menjadi menarik karena kau yang mengenakan.
Akhirnya kubilang, "Iya kok, sudah tahu." Satu-satunya yang bisa kukatakan, sementara kau masih senyum-senyum saja. Nantinya aku akan menyesal mengapa tidak kulayangkan pujian, dengar-dengar perempuan suka diperhatikan.
Barangkali kau juga.
Akhir-akhir ini yang sering kau pamerkan adalah cat kuku berkeling.
Catatan-catatan Kecil
Dan aku rasa dari sanalah semua ini bermula: kau suka meninggalkan catatan-catatan kecil pada waktu dan tempat yang sama sekali tidak dapat kuterka, sementara aku berusaha mempelajari dan meniru kelihaianmu yang sama-sama belum kukuasai. Mungkin sebaiknya memang begitu. Biar saja tulisan rahasiamu selalu menjadi kejutan kecil yang menyenangkan. Selamanya. Selama kau dan aku masih ada.
Dan semoga kita selalu ada.
Bagian 1. Sedikit Tentangmu yang semoga bertambah.
1 note
路
View note
Text
Tapi andai mau menghitung, mungkin sudah lebih satu juta ketakutan yang pernah hinggap dikepala. Setidaknya hanya satu persen ketakutan yang menjadi kenyataan. Sisanya hanya mekanisme semesta menegur kita. Bahwa kemahabaikan Allah lah yang menyelamatkan kita dari hal-hal yang tidak baik.
261 notes
路
View notes
Text
Bulan puasa ini banyak kejadian-kejadian unik, dan semuanya berhubungan dengan, entah padanan kata apa yang lebih elegan untuk menyebutnya daripada, pernikahan.
Waktu itu Rabu sore ketika aku dan salah seorang kawan pergi membeli ransum untuk buka puasa penceramah, yang rupanya beliau malah buka puasa di luar. Sementara kami duduk-duduk menanti pesanan siap, tanpa angin tanpa hujan kawanku bilang, "Aku udah lamaran hid."
Sudah jelas itu kabar yang mencengangkan. Seorang kawan seumuran akhirnya menapaki satu langkah lebih maju dalam dunia yang kami sama sekali awam itu. Kusebut nama untuk memastikan, ia mengiyakan. Percakapan selanjutnya merupakan cecaran pertanyaanku yang ia jawab dengan tenang. Hujanan tanya tidak berhenti hingga kami sudah duduk di atas jok motor, bersiap menyeberang jalan.
"Udah ceritanya lanjut nanti aja. Sekarang pulang dulu." Aku tertawa, menertawakan diriku sendiri yang terlalu penasaran.
Beberapa hari kemudian, bersama manusia yang berbeda. Kali ini percakapan bersama ibu-ibu langganan katering berbuka. Seberes menurunkan makanan dan melakukan pembayaran, beliau membuka tanya,
"Mas-nya udah semester berapa?"
Aku menjawab angka.
"Wah, sudah mau selesai ya."
Aku iya-kan saja.
"Sudah punya pacar pasti."
Aku tertawa. Aduh bu, kok sampai ke situ. Anehnya aku tidak mengiyakan, tapi juga tidak menampik.
"Biasanya kalau sudah umur segini, bapaknya minta supaya anaknya segera dinikahin."
Aku iya-kan lagi saja.
Lalu beliau bertutur tentang lika-liku keluarga, anak-anak, hingga masyarakat. Tentu dalam kacamata pengalaman sang ibu. Aku mengangguk macam menyimak, tapi kepalaku dipenuhi pikiran tentang kalimat beliau yang terakhir tadi.
Pagi besoknya, aku ditelpon orang rumah.
"Mas, hari ini ada yang ulang tahun lho."
Aku mengingat-ingat. Siapa? Jelas bukan aku dan anggota keluargaku. Kakek nenek? Sepupu? Apalagi. Hanya tersisa satu kemungkinan.
"Hari nikahan abi ummi kan?" Mereka tertawa. Tebakanku tepat.
Dan dapat ditebak, pembicaraan selanjutnya berbicara soal persiapan menuju ke sana. Tentu saja dalam satu sisi, karena sisi sananya, kan, belum ada. Dan seperti yang sudah-sudah, aku selalu tahu apa alasan sebenarnya di balik bahasan-bahasan seperti ini.
"Kamu udah boleh, kok. Ummi sama abi udah ngizinin. Yang penting satu: kamu mapan dulu." Yang ibuku maksud sebagai kemapanan adalah kemampuanku untuk punya penghidupan sendiri. Berapapun besarannya, yang jelas mampu menghidupi setidaknya dua insan secara layak.
"Apalagi, belum lama ini, ada satu keputusan besar yang baru kamu ambil."
Ahh, itu. Aku tertawa sedikit. Tawa yang tidak mantap. Seketika satu cuplikan kejadian lain berputar di kepalaku. Kejadian yang juga baru-baru ini terjadi.
"Oh ya mas, di sana kamu udah ketemu sama yang klik belum? Jangan-jangan sudah ada ya?" Itu suara bapak. Tentu saja itu kelakar. Tetapi aku menganggapnya bukan.
Kuambil napas dalam-dalam, lalu kulepaskan perlahan. Soalan yang satu ini tiba-tiba menjadi teramat rumit.
Yogyakarta. Tentu saja sudah.
0 notes
Text
Manusia memang sangat aneh; gemar sekali mempersulit diri dengan hal-hal di luar apa yang ia mampu. Misalnya saja terlalu memikirkan ketidakpastian nasib masa depan, atau ketidakjelasan isi hati orang lain.
Padahal sudah sangat terang konsep pemecahannya: fokuslah pada hal-hal yang mampu kita tangani. Agama kita mengenalnya dengan sebutan ikhtiar, lakukan saja apa-apa yang sanggup kita lakukan. Poinnya jangan biarkan rasa takut itu semena-mena menganiaya kita. Sibukkan tangan kita dengan pekerjaan yang bisa kita lakukan hari ini, sibukkan hati kita dengan zikir dan afirmasi keberserahan diri.
Tentu bukan berarti kita sempurna berlepas diri atas apa-apa yang tidak bisa kita pegang鈥攈itung saja secukupnya, sisanya serahkan pada Dzat yang Mahamampu menyelesaikan segala urusan. Praktiknya memang sulit, tapi aku yakin dengan banyak-banyak dilatih, kelak kita akan terbiasa.
Kuncinya adalah kesabaran. Toh hidup kita di dunia tidak akan lama-lama.
Yogyakarta. Ini catatan buat diri sendiri, soalnya dia masih sering seperti itu.
2 notes
路
View notes