Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
SAYA BERANI TUKAR APA PUN.
Saya ini pastinya sudah di sumpahi Eros.
Tiap datang ke sekolah, itu jejaka pada bercerita. Soal pergumulan hebat mereka dengan kekasih masing-masing. Tiap harinya juga mereka datang dengan kisah baru yang mengebu pingin di ceritakan, sampai saya pikir otak mereka hanya tahu caranya menyetubuhi perempuan.
Namun tak lantas itu buat saya jadi yang paling suci seantero kelas, toh saya juga jarang absen jadi pendengar setia (dengan catatan tanpa ikut setor cerita). Sebab saya masih serupa perjaka yang baru sekali mengencani anak perempuan dulu semasa SMP.
Bukannya tak pernah mereka desak saya untuk cari kekasih. Katanya, itu wajahmu kelewat tampan, perempuan pasti bakal mengantre untuk duduk diatasnya. Anjing, saya dibuat tersedak mendengarnya.
Tapi barangkali kegiatan mading lebih menarik buat saya ketimbang ikuti ucapan tak berbobot muda-muda itu, walau benar kata mereka, tiada hari tanpa satu dua perempuan menghampiri untuk sekedar basa-basi. Mulai dari yang namanya kurang beken sampai primadona kelas sebelah. Bah, sudah begitu saja saya jadi musuh kebanyakan lelaki.
Bukan, bukannya saya senang melajang. Tapi murni memang tiada yang sanggup menarik mata.
Maka beginilah jadinya nanti; saya beranjak dewasa tanpa sempat cicipi rusaknya masa muda. Eros memang senang buat saya nelangsa. Tapi barangkali dia sudah lelah dengar serentet permintaan juga sumpah saya sebab tak kunjung dapat perempuan atau lelaki buat dikencani, maka satu ketika Eros lempar dua anak panahnya. Satu menancap di hati saya, sedang satu lagi mendarat sempurna di seorang lanang.
Sejenak saya kira dia ini semacam peranakan Dewi Aphrodite, saya sedikit kena tipu oleh durja rupawannya yang entah lah, manis? Tampan? Maruk sekali bisa punya keduanya.
Saya ini kurang bernyali, maka bukannya menghampiri perkenalkan nama dengan gagah berani, saya lebih memilih buat mengagumi dia dari balik kaca jendela. Bagaimana bulu mata lentik itu sesekali bergerak turun naik, bagaimana kulit porselennya diterpa terik namun tidak juga gosong, atau gerakan jemarinya yang lihai menari diatas secarik kertas. Memang lah tindak-tanduk saya ini agak menyeramkan dan ketara pengecut, namun demi apapun, saya telah dibuat jatuh cinta.
Lalu saya tahu nama dia, yang sudah buat saya jadi pujangga kepayang cinta monyet saban hari, Rawikara namanya.
Berbekal keberanian yang cetek (juga paksaan dari kawan-kawan), saya hampiri Rawikara, memperkenalkan diri dengan tak tahu malu sebagai Jan Ekaraj.
Bah, rasanya, seperti dibuat terbang waktu tangan halus dia balas menjabat tangan saya yang sedikit lengket dan berkeringat sehabis tempel menempel poster lomba. Semakin saja saya yakin dia ini pastinya bukan manusia. Boleh jadi demigod atau apa lah, saya juga tidak tahu makhluk macam apa yang bisa menghisap habis kewarasan orang disekitarnya.
Setelah perkenalan canggung yang tak lebih dari sekedar tukar nama itu saya rasa sekolah jadi lebih mirip taman bunga. Memang lah saya agak hiperbola, tapi kamu mesti tahu rasanya jatuh cinta supaya mengerti. Dalam satu kedipan mata semua terpaku buat Rawikara seorang. Sulit buat saya tulis sajak dan cerita tanpa kepikiran dia, seolah apa-apa yang saya laku sebelum ini buyar begitu saja, seperti saya datang ke dunia buat memuja Rawikara semata.
Satu waktu saya kepikiran buat beranjak dewasa dengan dia. Menikah, pindah ke sisi nusantara yang jauh dari hiruk-pikuk kota, lalu menua sampai dikuburkan di satu liang yang sama. Namun mendadak saya jadi gundah gulana, belum tentu Rawikara bakalan terima saya jadi kekasih, sudah saja saya bermimpi jadi suaminya. Sialan, saya kepikiran semua ini cuma karena dilempar satu senyum manis.
Saya tiada kira bakalan jadi sedekat ini dengan Rawikara, yang semula hanya bisa saya kagumi dari jendela kelasnya. Nampak Eros betulan memaksa saya buat semakin jatuh, tanpa tahu dia bakalan senang atau memandang saya dengan roman wajah jijik kalau sampai tahu saya punya rasa sama dia.
Maka datang masa saya sudah rela tukar segalanya, (yang saya maksud ini pertemanan juga waktu kami bersama) hanya untuk pengakuan kurang dari lima menit. Tak apa lah semisal dia tak mau lagi berkawan atau jeleknya sampai pindah kota cuma karena pengakuan saya, sebab hati tak sanggup lagi tampung perasaan yang terlanjur tumpah ruah ini. Dengan berlagak berani saya hadapi dia, bilang lantang-lantang kalau saya cinta dan kepingin habiskan masa muda, tidak, sampai tua nanti bersamanya seorang.
Memang kedengarannya agak menggelikan, tapi setidaknya itu berhasil buat saya miliki hati Rawikara sepenuhnya.
3 notes
·
View notes
Text
JELITA PILIH JADI HANTU.
Saya tahu namanya, dia si hantu, Mayang Sekar. Barangkali memang ini alasannya disebut hantu, sebab suka mengentayangi bangku-bangku kelas saat manusia-manusianya sudah lebih dulu merebah di rumah. Waktu pertama saya temui, dia tengah menghisap selinting kretek, dengan kaki yang terangkat tinggi di atas meja dalam balutan rok abu. Dalam sekali pandang, saya pikir dia tengah rayakan euforia, meski roman rupa senyap saja sonder selintang kerut. Tubuhnya betul berada di sana, masih senang menerbangkan sekali dua asap tanpa tanda-tanda bakalan beranjak dalam waktu dekat. Namun gemingnya kasat bilang ruhnya sedang tak ada disana, seolah ikut terbang bersama kepulan awan kecil yang dia hembus. Untuk pertama kalinya, saya beranikan diri beranjak sisa lima langkah dari perwujudan jelita Mayang Sekar. Entah setan mana yang merasuki, tapi sapaan dia buat saya hilang malu sudah melangkah dari pintu sampai samping sisi mejanya. Saya duduk tepat di kursi depan meja Mayang Sekar, ikut memandangi kilau jingga mentari yang sesekali jadi atensi. Bibir bekasan tembakau itu membuka, memastikan bahwasanya nama saya betulan Jan Ekaraj. Tak disangka-sangka, rupanya Mayang Sekar kenal baik nama saya, sebaik saya juga mengenali dirinya. Dia kata, tulisan saya yang bertajuk Gembala Berang (yang memang saya pampang di papan mading) buat dia jatuh hati. Sekali lagi, saya agak terkejut. Tak menyangka pujian sekonyong-konyong itu meluncur dari hantu sekolah yang orang sebut lebih galak dari guru Bahasa Inggris dan lebih dingin dari air kemasan di kulkas kantin. Awal pujian itu jadi jalan buat saya buka konversasi. Mula-mula menanyakan kenapa karya saya yang kurang beken itu jadi pilihan, padahal Serapah Tua-Tua atau Renjani Bisa Malu lebih punya nama di kalangan para murid, sampai satu masa dimana kreteknya sisa dua linting saja dalam kotak. Rupanya saya lebih taruh perhatian pada kretek yang ia punya ketimbang langit yang perlahan memakan binar oranye dari matahari. Waktu sudah kelewat larut, saya intip dari jendela tak ada lagi yang ribut main basket atau suara-suara berbincang di lapangan. Maka saya lebih dulu pamit, katanya ia juga bakal balik sesaat lagi. Pertemuan pertama kami berlalu begitu saja, di ikuti petang kedua, petang ketiga dan seterusnya. Namun disatu petang ia termangu tanpa ditemani kretek kesayangannya. Saya tanya mengapa dan Mayang Sekar menjawab, “Krisis moneter.” Setelah banyaknya kunjungan saya di petang-petang tersebut, Mayang Sekar nampak lebih manusiawi. Dia tak lagi merusak paru-paru dengan mulut membisu, kepalanya lebih banyak bicara semesti bagaimana juara satu seantero sekolah bersuara; brilian. Mayang Sekar bilang, kalau dia bukan cucu komunis, orang-orang bakalan senang mendengar ia berceloteh ria. Namun isi kepalanya baru betulan digubris saat mengikuti kejuaraan matematika atau olimpiade sejenis, diluar itu omongannya hanya dianggap cerocos tak perlu. Maka baru saya mengerti alasan Mayang Sekar senang saja hidup sebagai hantu.
0 notes
Text
SENAR-SENAR NANAR.
Aditya Darmo Sasongko. Adit, biasa dipanggil.
Sejauh saya kenal, dia masih betah saja jadi gitaris sekaligus vokalis dari band sekolah kami (yang hampir mati sebab ditinggal 3/5 anggotanya).
Beda dengan dua yang sudah saya kisahkan sebelum-sebelum ini, saya mengenal Aditya sebaik saya mengenal telapak tangan sendiri. Jawabannya boleh jadi karena kami teman semasa SMP, meski baru banyak berbincang masa memasuki tahun putih abu-abu.
Dulu saya ada tulis satu sajak buat dia, di situ saya samarkan nama dia sebagai 'sang khali'. Meski saat sajak itu pertama terpampang di mading, dia dengan heboh bertanya pada saya, "Ini lo nulis tentang gue, ya?"
Bukan estetika semata, saya betulan maksud panggilan itu sesuai dengan dia. Aditya adalah seorang khali, dia bebas, selayak daun musim gugur yang diterbangkan kemana angin membelai tawang.
Aditya bukan Fajar yang mesti cerminkan sosok suci sonder dosa atau Mayang Sekar yang sadar tak sadar orang bisukan mulutnya, Aditya punya kebebasan yang orang-orang rela tukar dengan nyawa buat rasakan barang lima menit saja, anggap lah saya salah satu dari mereka.
Namun Aditya bukan senang makan bahagia seorang diri, dia sering ajak saya, buat selami hidup macam apa yang Tuhan titipkan padanya. Sesaat, saya kira saya tak lagi menapak.
Dia ajak saya, tiga hari tiga malam (itu tiga hari terakhir sekolah libur) buat saksikan pertunjukan band underground. Kami makan di pinggir jalan bila lapar dan cari emperan bila ingin tidur. Orang rumah menelfon saya berulang kali, tetapi saya balas dengan kibul bahwasanya saya tengah bermalam tiga hari di rumah seorang kawan demi menuntaskan satu proyek. Namun sependengar saya, nihil ada panggilan masuk dari telfon genggam Aditya. Seolah perginya dianggap lupa jalan pulang semata.
Tahu saya ditelfon begitu, Aditya mengejek, "Anak Papi banget lo. Duh, gue juga pengen deh sekali-kali ditelfon Ayah. Sayang kan ini pulsa nganggur."
Saya tak sanggup membalas, maka saya hanya bergeming menatap sol sepatu, sementara Aditya masih tertawa meski saya tahu hatinya amat teremat.
Setelah tiga hari penuh dikenalkan pada puluhan band underground pilihan Aditya itu, kami sama-sama mendadak sibuk. Saya dijejal banyak urusan sekolah, tapi saya sudah jarang lihat dia mondar-mandir di koridor sambil bernyanyi buat hawa-hawa disana. Saya tak tahu dimana Aditya dan tak punya waktu untuk itu.
Sampai satu hari penuh damai dimana segala perkara yang buat saya begadang berhari-hari itu tuntas juga. Saya mulai mencari Aditya. Menghampiri koridor dimana dia biasa berada, rooftop sampai ruang kelasnya, namun nihil. Presensinya tak nampak di mata.
Lalu saya teringat ruang band. Meski kecil saja harapan saya buat temukan dia disana, sebab ruang itu sudah lama terbengkalai, bahkan sepatu Aditya mungkin lama tak menjejakan kaki disana.
Namun dugaan saya patah begitu mendengar dawai-dawai gitar beradu dari jarak sepuluh kaki dengan ruangan itu. Saya kenal, tangan-tangan lihai itu mesti lah punya Aditya. Perlahan saya beranjak mendekat, tak mau mengejutkan si penghuni ruangan sebab masih mau dengar lebih permainan pilunya.
Saya termangu di depan pintu, syahdu mendengarkan petik senar yang melantun beriringan bersama suara magis Aditya. Saya kenal semua lagu yang si jenius bermusik itu tulis, dan ini bukan lah satu diantara mereka. Mungkin lagu baru yang belum sempat dia kenalkan, pikir saya.
Usai permainannya tuntas, saya berencana masuk buat pura-pura marah kenapa lagu sebagus itu belum pernah diberi tunjuk pada saya, namun urung sebab penutup lagu disusul suara isak Aditya.
Hati saya langsung saja merosot. Dua tahun lebih kami berkawan tak pernah sekalipun saya tangkap ia ketahuan menangis, maka ini pertama buat saya dengar tangis pilu seorang Aditya, yang dimata saya adalah seorang khali yang kebal dari rasa sakit.
Dan barusan, saya dengar senar-senar nanar paling molek sepanjang hidup.
0 notes
Text
SURAU PUNYA KESAYANGAN.
Fajar Wibisana. Seorang suci, katanya.
Sebetulnya siapa yang tidak kenal Fajar. Umpama kamu tak tahu ia orang suci atau ketua rohani Islam, setidaknya kamu mesti tahu dia wakil ketua OSIS. Memang betul mereka kata, Fajar ini epitome yang hilang dari kata sempurna.
Saya kenal dia sebab ekskul mading banyak berbasa-basi dengan anggota OSIS. Sebatas tahu nama dan lempar senyum bila berpapasan, selebihnya kami jarang bicara diluar tetek bengek urusan ekskul. Fajar hanya kenal saya yang banyak menerbitkan tulisan di majalah sekolah, dan saya hanya kenal seorang Fajar Wibisana yang taat bersembahyang.
Selain itu, saya enggan terlalu dekat dengan seorang taat agama. Memang lah saya ini bajingan, tapi buat saya agama ialah senjata paling mutakhir penghancur umat manusia. Bukti sudah banyak berserak dijalan, dan ribuan sudah dikubur karenanya. Boleh kata saya hipokrit, sebab sampai sekarang saya masih jadi seorang katolik meski berdoa hanya saat natal dan paskah tiba.
Saya pikir, Fajar hanya tertarik membahas topik berbau teologi, sebagaimana penampilannya yang santun dan banyak bicara soal agama. Namun satu waktu saya tangkap dia tengah membaca The Gay Science oleh Friedrich Nietzsche.
Seharusnya saya pergi, bukannya ikut bergabung di sebelah dia dan membahas buku yang sudah saya tamatkan lebih dulu itu. Namun Fajar nampak senang-senang saja dengar pandangan saya, sesekali dia balas timpali dengan pandangannya sendiri. Perbincangan kami mengalir begitu saja, melupakan kecanggungan yang dulu-dulu pernah terbentuk dan bertukar pikiran selayak kawan lama.
Hari-hari berikutnya saya datang ke ruang OSIS lagi, dimana dia bakal duduk seorang diri sampai saya datang membawa buku lain untuk dibahas selama berjam-jam kedepan. Lalu kami menemukan satu kesamaan yang jadi jembatan penghubung antara saya si penulis agak sinting dengan Fajar si taat beribadah, ilmu filsafat.
Saya hidup dalam pandangan nihilisme yang dikemukakan Friedrich Nietzsche, sedang Fajar menjalani hidup sebagai seorang stoic dari ajaran Marcus Aurelius. Maka bukan heran kami banyak berselisih saat mengutarakan pemikiran masing-masing, meski itu bakalan reda sendiri kalau sudah bahas urusan lomba yang mau sekolah selenggarakan.
Pernah satu waktu saya berujar, “Orang bilang, belajar filsafat bikin jauh dari Tuhan.�� sebagaimana saya yang hanya kunjungi rumah Tuhan dua kali dalam setahun, tambah satu kunjungan lagi bila Ayah memaksa. Namun balasan dia betulan tidak saya sangka-sangka, “Mungkin. Tapi kenal filsafat buat saya merasa lebih dekat dengan Tuhan.”
Kepala dia sama ruwet seperti benang-benang yang menumpuk dan tak pernah direntang, susah buat saya pahami bagaimana ia makan hal semacam sains dan filsafat untuk mendekatkan diri dengan Tuhan-nya sementara saya malah dibuat menjauh. Bukankah dua hal itu dicipta manusia untuk mempertanyakan bentuk mukjizat Yang Maha Kuasa?
Saya tak bisa mengenali isi kepala Fajar sebaik saya mengenali kepalanya Mayang Sekar. Jelita mudah saja dimengerti sebab pemikiran kami bagai pinang dibelah dua, namun saya dan Fajar seolah dipisah jarak lima barak tentara. Saya sulit mengerti, dia pastinya juga sama sulit memahami.
Seribu tahun pun tak kan mampu, maka dengan tak tahu malu saya berdoa, semoga masih ada esok hari, sebab saya belum sempat dengar soal surau yang sudah buat Fajar jatuh hati.
1 note
·
View note