oomrahman
𝖔𝖔𝖒𝖗𝖆𝖍𝖒𝖆𝖓
382 posts
The Perfect Thing
Don't wanna be here? Send us removal request.
oomrahman · 1 year ago
Text
youtube
I never know one’s could mean nothing and everything
Of all the person who went in and out of my life
Thought you’ll fade away, thats what I believe in my head
You show up in every corner unannounced
I kinda wish these feelings never real from the start
But its as much as real as the breath that I breathe
As real as I can feel your hair that stroke my cheek
This undeniably real things that we cant disguise
We’re nothing less, we never more
I never show, did you ever feel?
Oh please stay close, closely apart to me
Oh should I let, let the feelings grow?
Memories.. Memories..
Nothing and everything..
Nothing and everything.
0 notes
oomrahman · 1 year ago
Text
Pertama, siapa gua? Kedua, siapa gua? Ketiga, siapa gua? Keempat, semua sepakat.
0 notes
oomrahman · 2 years ago
Text
I really want to know myself without football.
8 notes · View notes
oomrahman · 2 years ago
Text
Sabar, sekalipun mungkin kau tidak dapat apa-apa.
0 notes
oomrahman · 3 years ago
Text
Semua tergantung pada seberapa besar kamu menginginkannya.
0 notes
oomrahman · 3 years ago
Text
After five years, I finally got answers. The end of waiting.
Thank you, 2021.
0 notes
oomrahman · 3 years ago
Text
404, Halaman Tidak Ditemukan
Sedikit yang tahu betapa sedihnya saya pulang ke rumah setelah menjuarai lomba level nasional pada akhir masa kuliah, ibu sekejap meminta, ‘Nanti daftar tes CPNS ya’.
Sedikit juga tahu betapa sedihnya saya pulang ke rumah beberapa bulan kemudian, saat mendapat kerja di media elite sebelum lulus kuliah dan membelikan ibu bingkisan, dia tetap bilang, ‘Nanti daftar tes CPNS ya’.
Tidak pernah menjadi masalah bagi saya menjadi PNS atau meremehkan pekerjaannya yang terkena stereotipe. Namun, ayolah. Saya telah berjuang cukup jauh menempuh pendidikan jurnalisme tapi mengapa tetap terasa tidak pernah cukup apa yang saya buktikan? Bisakah hal lain dibicarakan nanti?
Mungkin mereka tidak tahu apa yang saya lakukan, sekaligus kualitas yang saya punya. Ayah masih melulu mengonsumsi video copras-capres dengan dubbing robot google, ibu terus terpancing dengan sensasi selebritas di televisi, dan kakak juga masih membagikan info pelintiran  di whatsapp dengan keterangan ‘forward many times’.
Saya bukan tidak mencoba mengomunikasikan betapa cukup mumpuninya saya menekuni apa yang ingin saya kerjakan. Sanggup menembus kampus negeri dengan jurusan jurnalisme yang top sebetulnya jelas suatu pesan terang. Menunjukkan karya saya yang bagus selama kuliah dan memenangkan lomba juga jadi upaya yang jelas tidak mudah. Saya mengira memberi hadiah turut jadi cara yang paling gampang untuk meyakinkan kelak saya baik-baik saja.
Ternyata, masih terus ada ‘Nanti tes CPNS ya’. Saya tidak pernah bisa meyakinkan mereka.
***
Tentu saya paham tahun 2016 begitu krusial. Jenjang pendidikan waktu normal semestinya berakhir. Saya berhadapan dengan situasi di mana status pekerjaan dan asmara mulai teraba. Menentukan nasib hidup yang mungkin signifikasinya bukan dalam satu-dua tahun ke depan saja.
Saya jatuh cinta kepada seorang gadis dan memutuskan mengungkapkannya pada akhir tahun 2014. Bukan teman sekelas, hanya beberapa kali terlibat dalam kepanitiaan yang sama. Cukup mengejutkan untuk diri saya sendiri yang berniat tidak menjalin asmara setidaknya sampai menyelesaikan masa studi. Dia bukan orang pertama, tapi dia yang paling layak untuk dengar kalau saya mencintainya.
Keputusan tidak pernah berpacaran semacam permintaan dari kakak kedua yang bilang sebaiknya tidak melakukannya kalau belum punya penghasilan sendiri. Padahal, dia juga mengucapkannya paling-paling tidak lama setelah putus cinta secara dramatis saat SMA. Baru beberapa hari ini dia mengakui, apa yang dia ucap hanya sikap impulsif semata.
Saya kadung menurutinya dan banyak kehilangan momen. Sering saya tahu ada gadis yang menunjukkan ketertarikan dan saya pun suka. Apa yang ada justru hanya situasi mengambang. Sesal baru melingkupi saat melewatinya begitu saja.
Saya memang seperti bersembunyi dari permintaan kakak itu setiap kali merasa enggan menjalin hubungan. Padahal, saya tidak benar tahu plus-minus keputusan yang perlu saya ambil. Meski sering dengar efek minusnya, saya bisa menangkap perkembangan diri yang drastis dari mereka yang memadu kasih.
Untuk gadis yang mendengar perasaan sayang itu, saya tidak bisa menahan-nahan lagi. Mulanya dia pikir mungkin karena ketertarikan yang sama kepada tim sepak bola, seperti orang lain duga. Namun, apa yang paling saya suka yakni energi dirinya. Kombinasi dari paras cantik, penuh gaya, cerdas, ambisius, dan tidak begitu menonjol tapi terasa. Tidak pernah berusaha saya mereka-reka tipe perempuan dambaan, kecuali bantuan dari citra dirinya.
Apa yang saya dapatkan justru kegagalan spektakuler berulang. Terlalu clueless menjalani hubungan asmara dengan nol pengalaman. Konsep pribadi yang siapapun bisa mengekspos buruk celanya. Juga banyak minus yang tertangkap mesti dilihat sekilas: Tidak tinggi, kurang tampan, bukan orang berduit, dan tampak sedikit bergaul.
Dia memberikan satu hari indah yang mungkin saja satu-satunya yang bisa saya punya. Pada hari tidak lama dia bermuram durja putus hubungan dari laki-laki alpha yang dia damba bisa pergi ke Philadelphia bersama. Setelah itu, kesempatan terbuka lebar. Namun siapa lagi yang sanggup menyia-nyiakannya selain saya?
Dengan alasan yang bisa dikira-kira, kami berakhir tanpa pernah memulai. Apa yang ada justru durasi mengenalnya lebih singkat daripada dia mencueki saya pasca kelulusan. Jika tanpa embel-embel nyaris mati karena Covid, mungkin e-mail saya tentang puja-puji dan penjelasan yang belum sempat tersampaikan tidak berbalas. Setelah hampir lima tahun, akhirnya ada pesan balasan.
“Kamu teman yang baik, layak mendapat yang terbaik.” Saya tidak bisa mengharap apa yang lebih manis daripada kutipan itu. Satu sikap santun terakhir yang perlu disimpan.
Sejak hari pertama, dia tidak pernah suka. Sesuatu yang perlu disadari sedari dini tanpa perlu menampik. Saya baru tahu belakangan, saat mencoba mendekati gadis lain, responnya tidak sedingin dia. Sekalipun juga tidak berakhir dengan relasi asmara, tapi lalu lintas percakapan, alur cerita pendekatan, dan situasi setelahnya tidak pernah kelewat brutal.
Dengannya, saya terus berharap sembari mengutuki usaha yang kurang, bermuram durja tidak pernah menjadi lelaki ideal, atau apalah yang memicu sesal larut berkepanjangan. Pastilah dia juga memutar otak menemukan respon tepat dalam banyak situasi membingungkan.
Nyatanya berakhir. Tanpa memulai atau memang tidak perlu dimulai. Mungkin dia hanya melihat saya sebagai penguntit dari masa lalu yang menghantui langkah cepatnya. Aktivitas di media sosialnya dibatasi, relasi dengan teman-teman dekat saat kuliah juga buyar.
Dalam gebyar sukses hidupnya yang sudah saya prediksikan, saya sadar memang bukan dia yang tepat. Tidak ada yang perlu dipaksakan, termasuk mengutamakan berhubungan baik, misalnya. Sebaiknya memang berjarak, membatasi gerak, karena obsesi keterlaluan dan ragam hal terpahami yang tidak bisa diucapkan.
Dengan memborong penyesalan, saya berlalu ke depan.
***
Sekarang saya di sini. Menjalani dua tahun kerja sebagai karyawan kontrak atau tiga tahun dari waktu setelah kelulusan yang terlambat. Dua tahun sengaja menunda kelulusan dengan biang keladi: Ketidakpercayaan keluarga atas kemampuan saya melakoni kerja jurnalitisk dan cita-cita muluk tentang hubungan asmara yang tidak pernah kejadian.
Tahun 2016 semestinya momen lepas landas. Saya menunjukkan potensi, tapi tidak pernah cukup bagi mereka. Apa yang jadi sorotan melulu gaya komunikasi saya yang buruk. Seolah-olah saya tidak pernah menyampaikan. Sekalipun tersampaikan, seperti tidak pernah tepat sasaran.
Lima tahun berlalu, lambat laun saya mendapat jawaban. Obsesi ibu meminta saya menjadi PNS, sedikit banyak didasari kegagalannya di masa lalu yang pernah gagal lolos tes. Di balik alasan yang sering dia kemukakan, seperti keuntungan apa yang bakal didapat dari profesi PNS (siapapun tahu itu), akhirnya dia bercerita kegagalannya di masa lampau.
Kakak juga perlahan bertanya dengan siapa saya pernah berpacaran. Kemudian saya tanya kembali apakah dia ingat pernah meminta sesuatu yang begitu signifikan? Dia sama sekali lupa dan meminta maaf. Seolah semua hanya berdasar tindak emosional belaka. Impulsif, tidak ada kata lain.
Memang, saya terlalu menganggap keluarga sebagai sumber kebenaran utama menyoal pengambilan sikap. Terpatri sejak kecil, kalau keluarga sebagai satu-satunya tempat bercerita dan ‘ridho Allah adalah ridho orang tua’. Terkesan tidak akan ada masalah yang muncul dari sana.
Padahal, bagaimana kalau orang tua juga tidak tahu apa yang anaknya kerjakan? Bagaimana kalau perspektif perempuan yang berjarak 10 dan 7 tahun dari adik laki-lakinya ternyata tidak relevan? Tidak pernah saya tidak mengungkapkan ini, tapi apa yang mereka tangkap hanyalah kemampuan komunikasi saya yang rendah.
Mereka pun tidak pernah berhenti mengungkapkan harapan-harapan itu di waktu yang juga tidak proporsional. Mudah bagi saya mengingat mereka mengulangi saran itu di banyak kesempatan. Sampai kemudian saat segalanya tampak mepet, mereka justru menunjukkan apa yang ada di bawah alam sadar mereka. Ketika usia saya hampir menyentuh kepala tiga, saat gaji saya naik sedikit di atas UMR ibu kota.
Pendidikan sikap semacam itu begitu efektif untuk tumbuh kembang anak saat kecil. Menanamkan sikap fondasional yang kokoh untuk bertahan lama sampai dewasa. Namun, tatkala berhadapan dengan realitas yang tidak mereka kenali, semua salah-benar jadi relatif.
Keputusan akhirnya tetap yang saya ambil. Untung-ruginya yang saya terima. Konsekuensinya saya juga yang telan. Menyalahkan diri sendiri pun tidak pernah habis dan terpuaskan. Tidak akan pernah lupa, tapi kecewa berlama-lama juga buat apa.
Selang lima tahun dari masa krusial itu, situasi jelas lebih ringan dari sebelumnya. Saya akhirnya melakoni tes CPNS. Meraih skor 404 yang cukup tinggi, tapi sepertinya tetap tidak membawa saya ke tahap selanjutnya. Apa yang saya bangga, saya melakukannya dengan kesungguhan. Menuruti permintaan ibu dan mengalahkan skor kakak yang banyak bicara.
Saya mendapat respon balasan dari orang yang saya suka setelah sekian tahun diabaikan. Menimbang sikapnya selama ini, berada di level mana dia sekarang, dan beberapa kilasan amatan, sepertinya saya tinggal menunggu kabarnya tentang undangan pernikahan. Segeralah alih ambisi dari kenaifan tentang mencintai satu orang selama hidup.
Paling penting, kakak juga akhirnya tahu situasi asmara saya yang terpengaruh besar dari sikapnya.
Saya tidak juga menjadi PNS dan menjalin asmara. Situasi semakin menekan dengan melihat orang di sekitar yang berprogres mengikuti konvensi sosial secara ritmis. Mungkin selama 27 tahun hidup, isinya melulu kesalahan. Namun, tidak apalah. Saya berdamai dengan anggapan itu.
Seperti banyak orang, saya tidak benar-benar tahu ke depannya bakal seperti apa. Tentang karier, asmara, profesi, dan hal lainnya. Namun kembali lagi, apa serunya hidup kalau semua sudah diketahui?
Saat ini, saya hanya merasa segalanya tidak berjalan cukup bagus menengok potensi diri yang saya punya. Mungkin saya terlalu menilai diri saya terlalu tinggi, tapi saya tidak bergurau. Saya hanya prekariat, nol bulat besar jalinan asmara, tidak dianggap cukup mampu memegang kendali diri sendiri apalagi orang lain, komunikator bobrok, dan tidak punya keunggulan apa-apa. Orang lain pasti tidak sepakat dan berupaya meyakini pandangan keliru ini.
Jujur, saya cukup bahagia seandainya bisa sempat rilis novel sebelum hidup berakhir. Tidak ada yang begitu saya cari lagi dalam hidup ini. Sekalipun bukan sama sekali saya tidak bersyukur atas apa yang terlalui.
Barang kali hanya ada diri saya sendiri untuk disalahkan. Saya mesti kritis kepada diri sendiri atas segala pilihan. Jika ada kesalahan, saya yang paling pertama menengok diri saya tanpa menunjuk jari kepada kepala orang lain.
Saya hanya bisa terus melihat ke depan dan berikhtiar. Apa yang gagal terengkuh juga perlahan menunjukkan jawaban. Bahwasanya semua kehendak Tuhan. Menagih diri bersikap positif tanpa perlu bereaksi berlebihan.
Tampak banyak lembar halaman tidak ditemukan. Beruntung, selang lima tahun kemudian hadir jawaban.
1 note · View note
oomrahman · 4 years ago
Text
Overall, money that counts.
0 notes
oomrahman · 4 years ago
Text
Seberapapun layak, aku tidak pernah membayangkan dicueki seseorang selama empat tahun.
0 notes
oomrahman · 5 years ago
Quote
Membacalah sebanyak-banyaknya. Menulislah sebanyak-banyaknya. Anda perlu menulis cepat agar waktu anda tidak hanya untuk mematung di depan mesin tulis. Anda harus bisa menghasilkan tulisan yang banyak dalam waktu singkat, dan bukan sebaliknya, memboroskan banyak waktu dengan tulisan yang segitu-gitu saja dan tak bergerak ke mana-mana. Jika anda menulis sangat lambat dan terlampau banyak menimbang-nimbang, anda akan cepat kelelahan dan tidak sanggu melakukan pekerjaan apapun lagi. Jika anda menulis cepat, anda masih punya banyak waktu untuk membaca, mengerjakan urusan sehari-hari, atau bersenang-senang dengan hal-hal lain yang anda sukai.
A.S. Laksana, Creative Writing.
0 notes
oomrahman · 5 years ago
Quote
Baperan.
0 notes
oomrahman · 5 years ago
Quote
I'm done with everything.
0 notes
oomrahman · 5 years ago
Quote
Soft skill lemah, hard skill biasa saja.
0 notes
oomrahman · 5 years ago
Quote
Buat apa punya hard skill kalau enggak punya soft skill?
0 notes
oomrahman · 5 years ago
Quote
Berkuliah ilmu komunikasi hanya untuk tahu betapa buruk saya berkomunikasi.
0 notes
oomrahman · 5 years ago
Quote
Be a good person, be nice to the people. Don't be a douchebag.
2 notes · View notes
oomrahman · 5 years ago
Quote
Kadang saya merasa semestinya semua berakhir pada 2016 saja.
0 notes