Text
Birthday, they say.
It’s the happiest moment in life.
Katanya, hari paling bahagia setahun sekali. Katanya, harus bahagia di hari ulang tahun. Katanya, harus membuat permohonan yang baik. Katanya, harus bersyukur karena masih hidup.
Katanya.
Bagaimana jika seseorang meminta permohonan yang buruk? Ataupun, seseorang itu tidak ingin tetap hidup? Dan, seseorang itu tidak bahagia di hari ulang tahunnya?
1 Januari.
Menurut orang-orang, itu adalah hari indah dimana tahun yang baru sudah menyerbu. Lembaran kalender lama kini diganti dengan yang baru. Tahun yang bertambah satu dan disambut haru. Ada pula yang terlahir di tahun baru yang sedang merayakan ulang tahun.
Salah satunya, Roderick Qiandra.
Lelaki itu terduduk di sofa dengan kue yang ia beli beberapa jam lalu. Matanya menatap lurus dengan tatapan kosong. Hiruk-pikuk warga terdengar jelas meski apartemennya cukup tinggi. Kembang api berlomba-lomba agar menjadi yang terbesar dan ternyaring. Sedangkan dirinya meratapi nasib.
Ah, another year has passed. Batin Roderick sembari menyalakan lilin yang bertuliskan ‘happy birthday’ itu. Tak lupa ia berfoto dengan kue cantiknya dan mengunggahnya di setiap linimasa—agar penggemarnya tahu dirinya merayakan ulang tahun.
Ribuan orang yang mengucapkan ‘selamat ulang tahun, Kun!’ membanjiri notifikasi ponsel, termasuk keluarga dan teman-temannya. Oh, ada orang terdekat yang mengingat hari pentingnya, itu sudah cukup baginya.
Lelaki itu mulai berdoa di depan kue. Ia memejamkan mata, menyalurkan rasa di dadanya kepada yang di atas. Perlahan, isakan pun terdengar.
Dear, God. Please, lift my pain and suffering for this year. I’ve had enough and almost gone insane. If that’s all my karma, then I accept it. But, please, just for this once… help me. If not, then please just lift my soul.
“Amen.”
Meski melakukan hal tidak wajar di belakang publik, Roderick masih ingat untuk tetap beriman dan berdoa—meski sebenarnya sia-sia saja. Untuk apa seorang pendosa berbicara dengan Yang Maha Esa? Untuk apa seseorang yang sudah mencapai puncak meminta tolong kepada yang di atas? Apa dirinya bisa diterima kembali seperti manusia suci yang bisa dibilas kapan saja?
Ah, biarlah. Asal dirinya masih mengingat Tuhan, itu saja cukup lucu untuk ditertawakan. Roderick meniup lilin-lilin itu hingga padam, lalu mencabutnya dari kue. Perlahan ia potong dan ia santap sendiri. Vanilla dan coklat menguar di semua indranya.
Manis.
Kue-nya.
Ia pun menghela nafas. Netranya menatap ke arah jendela, dimana malam dipenuhi dengan cahaya dari kembang api. Senyumnya merekah.
Ah. Semoga saja tahun depan ia bisa melihat hal yang sama lagi.
0 notes
Text
Sonorous Allure.
Tahun 1997, ketika negara Bambu berada dalam masa-masa yang terombang-ambing di antara ketenangan dan kericuhan, ada keluarga kecil yang tengah menghabiskan waktu bersama. Keluarga kecil itu tengah bersantai di ruang tengah, dengan sang ibu yang membawa anaknya dalam gendongan, dan sang ayah yang tengah tersenyum sembari bermain dengan buah hati.
Ketiganya tertawa bersama, menunjukkan seberapa harmonisnya keluarga. Dengan perlahan, sang ibu menurunkan anak laki-lakinya, lalu membawanya dalam pangkuan.
“锟,你真的长得那么快!” itu dari sang ayah. Dengan arti, ‘Kun, kau tumbuh besar cepat sekali!’. Anak yang bernama Kun itu tertawa lebar, menatap sang ayah dan ibu bergantian.
“因为妈妈和爸爸很好的照顾我!” jawab Kun kecil sembari tertawa dan merentangan tangannya. Yang dengan arti, ‘Karena mama dan papa menjagaku dengan baik!’.
Ketiganya kembali tertawa dengan bahagia. Anak lelaki pertama mereka benar-benar bermulut manis. Entah dari siapa ia belajar—yang pasti, sang ibu memicing tatapan ke arah sang ayah. Curiga, bahwa ayahnya yang mengajarkan Kun untuk pintar menabur gula dalam ucapannya.
Kedua orang tua Kun pun mengecup pucuk kepalanya bergantian, sebelum memberikan anak lelaki mereka waktu untuk sendiri. Sang Ayah, Zhou Bi, bersama sang ibu, Sarah, berjalan menuju instrumen besar dalam ruangan itu—piano. Mereka pun duduk bersama, dengan Zhou Bi yang membuka penutup tuts piano.
Obsidian Sarah berbinar. Ia begitu menyukai suaminya bermain piano, dan akan selalu menjadi penggemar nomor satu. Memang, Zhou Bi dikenal sebagai seorang musisi yang baik dan cemerlang di China, dan sering mendapat penghargaan yang terpajang di ruang kerja. Sarah selalu bahagia ketika Zhou Bi menekan tuts-tuts hitam-putih dengan jemari lentik dan wajah menghayati.
周杰伦—可爱女人 is playing …
Melodi demi melodi dilantunkan, dan ruangan penuh dengan musik yang menenangkan. Tentu saja, Zhou Bi menyanyikan lagu dari salah satu seniornya, Jay Zhou. Keluarga Qian memang menyukai penyanyi legenda tersebut, bahkan Zhou Bi sendiri mengkoleksi seluruh album, musik, dan lainnya yang berhubungan dengan Jay Zhou.
Sarah yang mengetahui apa yang dilantunkan Zhou Bi langsung tersipu. Ia pun tersenyum malu-malu, dan bersamaan dengan itu, mereka pun bernyanyi bersama.
Kun yang tengah sibuk membaca buku pun mulai kehilangan fokus. Ia mendongkakkan kepala, menatap kedua orang tuanya yang tengah memadu romansa. Senyumnya merekah, telinganya mendengar lantunan piano, dan kepalanya bergerak mengikuti tempo.
Ketika Zhou Bi berhenti menekan tuts, Kun langsung berlari menuju sang ayah, menarik-narik bajunya. Matanya berbinar, mulutnya merekah lebar.
“爸爸,我要学这个!爸爸教我吧!”
Dengan semangat, Kun berkata,
“Baba, aku mau belajar ini! Baba ajari aku!”
Dari sanalah, Kun diajarkan untuk bermain piano, mengenal semua hal tentang musik, bahkan diajarkan oleh Zhou Bi sendiri tentang cara membuat musik sendiri. Semua ilmunya ia turunkan kepada sang anak tanpa sisa. Begitupula Sarah yang mendukung sang anak sepenuhnya. Semenjak itu, Kun tumbuh menjadi seseorang yang begitu peka dengan musik, dan selalu bersama dengan musik.
Qian Kun, 4 years old. (1997)
0 notes
Text
The Tragedy.
Semuanya terjadi begitu cepat. Waktu terus berjalan, dan seorang lelaki masih berdiri di tempat yang sama. Tidak bergeming. Ia diam, tidak mengucapkan sepatah katapun, hanya menatap seseorang yang tengah tergeletak tidak sadarkan diri. Salahkan dirinya yang terlalu mengutamakan emosi dibanding logika. Otaknya tidak berfungsi dengan baik, sehingga terjadilah hal seperti ini.
Rumah yang sedang ditempati oleh Roderick Qiandra, di sinilah kedua insan itu berselisih paham setelah lama tidak berjumpa. Bersitegang cukup lama hingga keduanya merasakan gejolak amarah hingga ke atas kepala. Sang wanita yang selalu memaksakan kehendaknya, sedangkan sang lelaki yang tidak ingin pusing dengan kehidupannya.
“I’ve told you, Na. Kalau hamil, gugurin! Kenapa masih dipertahanin? Lihat, perutmu sudah besar sekali sekarang! Lalu, siapa yang mau tanggung jawab?!”
“Ya, tentu saja kamu! Kamu ayah dari anak aku, Rick! Tega banget kamu minta aku gugurin anak kita?!”
Roderick mengusap wajahnya kasar. Tidak menyangka keresahan yang ia rasakan benar-benar terjadi. Sudah lama ia duga bahwa wanita ini akan mencarinya untuk meminta pertanggung jawaban. Benar, wanita ini adalah sex-buddy Roderick. Pasangan bersetubuhnya setelah beberapa tahun belakangan.
Lelaki itu tidak menyangkal bila ada yang mengatakan bahwa dirinya brengsek, bajingan, lelaki tidak bertanggung jawab, pemain wanita, dan sebagainya. Karena, semua hal itu benar. Roderick memang tidak se-suci itu. Ia selalu bisa berkelana kesana-kemari hanya untuk memutar wanita manapun menjadi miliknya. Tidak hanya wanita, namun juga pria.
Maka dari itu, tidak jarang ia mendapat hal memusingkan seperti ini.
Wanita ini, Natalia namanya, memang sudah bersamanya cukup lama. Tidak disangka, kekhawatiran Roderick akan Natalia yang akan berlaku gila terjadi begitu cepat. Awalnya, keduanya sepakat untuk hanya menemui satu sama lain ketika ingin melampiaskan nafsu. Entah kenapa, Natalia seakan menunjukkan ketertarikan padanya.
“Erick! Jawab, Erick! Ini anak kamu!”
“Ah, bangsat.”
Kesabaran Roderick habis. Ia menarik pergelangan tangan Natalia dengan kasar, lalu membawanya keluar dari rumah. Dengan cekatan, mereka masuk ke dalam mobil, dan Roderick membawanya ke suatu tempat yang begitu sepi dan penuh berbatuan.
Sadar akan apa yang akan dilakukan Roderick, Natalia berteriak kencang. Tentu saja ia tidak menyangka akan berakhir seperti ini. Namun, kekuatan lelaki yang lebih kuat berhasil menarik Natalia keluar dari mobil. Ia mendorong wanita yang mengandung anaknya itu hingga tersungkur.
“If you don’t want to kill it,” ucap Roderick memberi jeda sembari menatap tajam Natalia, “Then, father will do the job.”
Ia berjalan mendekati wanita yang berteriak histeris sembari berusaha berdiri dan memegang perutnya yang membuncit. Tujuh? Delapan? Sepertinya sudah berada di tahap delapan bulan kandungan. Dan, Roderick berniat memusnahkan mereka.
“Saya ga pernah butuh orang tidak berguna, termasuk kamu, Natalia. Perjanjian kita hanya untuk ngentot, bukan? Terus, kenapa ngelunjak?”
“TOLONG! TOLONG! BANTU AKU! TOLONG!”
Dengan cekatan, Roderick mencengkram rambut Natalia, menariknya agar bisa menatap wajah ketakutan sang puan, “Say hello to hell.”
Hanya memakai tangan kosong, lelaki itu menghempaskan kepala Natalia ke tanah yang penuh berbatuan, menghancurkan wajah cantiknya seketika. Ia pun menggunakan tangan kosong untuk memusnahkan kandungan si puan.
Cairan merah pekat berceceran dimana-mana, bahkan tangan Roderick ikut terciprat. Tidak menghiraukan itu, ia berjalan menjauh, mengambil rokok dan korek dari saku celana, menghisapnya seperti tidak terjadi apapun.
Ah, Roderick. Inikah yang kau sebut pertobatan? Berhenti melakukan asusila, namun tanganmu berlumuran darah?
Prologue: Act 3.
End.
Roderick Qiandra.
0 notes
Text
Way Back Home.
Bukan, bukan judul lagu maupun lirik lagu. Maksud dari tulisan yang disebut sebagai judul itu menandakan seorang lelaki hendak berpulang. Setelah semua hal yang terjadi, ia memutuskan untuk menginjak kaki ke dalam rumah.
Rumah, yang tidak pernah benar-benar menjadi tempat singgahnya.
Sudah diduga akan seperti tidak berpenghuni. Roderick melangkahkan kaki dengan gontai, berjalan menuju dapur yang sebenarnya terlewat mewah itu. Ia membuka kulkas dan mengambil sebotol air putih untuk ditegaknya hingga habis.
“Erick …?”
Suara lembut dari seorang wanita yang sudah cukup berumur itu memasuki indra pendengaran dengan sopan. Lelaki itu menutup matanya, berusaha untuk tidak melontarkan hal yang tidak pantas. Ia berbalik, menatap sang wanita dengan senyum manisnya, “Malam, Ma.”
“Kamu pulang? Akhirnya kamu pulang, Nak?”
Raut wajah sang wanita—Ibu kandung dari Roderick Qiandra—menunjukkan kekhawatiran dan kebahagiaan dalam waktu bersamaan. Tidak, Sarah benar-benar begitu bahagia. Anak sulungnya pulang, setelah sekian lama tidak terlihat batang hidungnya.
“Pulang sebentar, Ma,” ucap Roderick dengan suara seraknya. Sarah menatap lekat-lekat sang anak, memperhatikan apa saja yang ia rasa cukup mencurigakan.
Baju yang berantakan, rambut yang sudah menjadi pirang, raut wajah begitu kelelahan, dan suaranya yang begitu parau menyadarkan sang Ibu tentang betapa kacaunya ia. Semuanya tampak tidak benar.
Meski begitu, Sarah tidak ingin membuat sang anak merasa tidak nyaman. Meski sudah berada di usia ke dua-puluh-dua, Roderick masih seorang anak remaja di mata Sarah. Ia berjalan mendekati Roderick, menariknya dalam rengkuhan hangat, memberikan rasa aman.
Roderick membalas pelukan itu. Hangat, selalu hangat. Sang Ibu tidak pernah membuatnya tak nyaman, dan itu salah satu kelebihan dari Ibu yang begitu ia kagumi. Roderick selalu bisa merasa aman dan nyaman berada disekitar Sarah. Lamban laun, air matanya turun.
Lelaki sulung dalam keluarga itu menangis. Terdengar begitu pilu, begitu menyakitkan, begitu mengiris hati. Sarah ikut menangis, ia tahu seberapa besar beban dari sang Koko yang menjadi anak tertua. Hidupnya berantakan, sedangkan tidak ada siapapun yang bisa turun tangan.
“Ma … Koko capek …” ucapnya final sebelum kesadarannya menghilang. Sarah terkejut bukan main. Baru kali ini anak sulungnya pingsan di depan mata.
“Erick—! ANAK-ANAK!”
———
Who ever thought of the eldest child from the Qiandra’s family, can be this weak? He’s just a human, after all. What makes him, the man that they trust for being such a great and tough, becomes such a weakling?
Even Roderick himself got confused.
Prologue: Act 2.
Roderick Qiandra.
0 notes
Text
Sinner Must Sin.
Kembali lagi dengan kegiatanku yang selalu menyenangkan. Kini, seorang wanita yang begitu kupuja beberapa bulan belakangan tengah meliuk manja di bawahku. Kakinya terbuka lebar, memberiku akses untuk semakin mempercepat gerakan pinggulku. Menghujam kejantananku dengan kencang, membuat sang wanita mengerang nikmat.
Ini bukan kali pertama-ku. Entah sudah keberapa kalinya diriku kembali terjatuh ke lubang yang sama—the lust, yang tidak bisa diatur sedemikian rupa. Namun, ada yang berbeda di malam ini.
Persetubuhan yang begitu panas membuahkan hasil yang memuaskan. Aku kembali mencium seluruh badannya, mengucapkan kalimat-kalimat memuja, dan menumpahkan benih-benih cinta di dalam rahim hangatnya. Wanita yang baru saja kusetubuhi itu tersenyum dengan manis, membawaku kembali dalam ciuman yang memabukkan.
Gila, gila, gila. Rasanya badanku melayang.
“Erick,” ucapnya masih dengan suara yang parau, “I wish I’m your last.”
Aku hanya terkekeh, tidak menjawab maupun meng-iyakan perkataan si wanita. Sebelum akhirnya ia berbisik, “I hope this will be your last, since I’m going to bear your child soon.”
“You gotta be kiddin’, kalaupun lu hamil, gugurin.”
Keji? Tidak. Ini bukan seberapa.
Tangannya yang hangat mengusap pipi dan obsidiannya menatapku lekat, “Erick. Stop it. You can’t keep running away using this method. I’m willing to help you, and I’d love to try with you.”
Kalimat-kalimat yang terlalu manis hingga diriku tidak sadar meneteskan air mata. Lucu, begitu lucu, what the fuck is this?
—————
I didn’t make that on my own. It’s true that sinner must sin, they are sinner, right? Pendosa tetaplah pendosa, tidak akan bisa merubah apapun. Pendosa akan selalu melakukan dosa-dosa yang bahkan tidak mereka sadari. Pendosa, tidak akan pernah berubah.
But, what if I say, this sinner is willing to change?
Of course, nobody will believe it. That’s such a bullshit, don’t you think? He also thinks the same. How come a sinner like him have the urge to change himself? What is his motive? Will he really change? Or, he’s just talking on his shit to take people’s sympathy?
Prologue: Act 1.
Roderick Qiandra.
1 note
·
View note