Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
I HAVE BEEN THERE, TOO. (DEPRESSION TO NIQAB)
Judulnya emang kontradiktif karena terdapat kesenjangan yang besar antara depresi dengan obsesi bercadar. Dulu tepatnya selama kelas 11 sampai 12 SMA, adalah puncak aku merasa depresi. Jika dikaitkan dengan pengalaman hidup yang pernah aku alami, memang terdapat perbedaan yang sangat signifikan saat semasa dulu aku depresi hingga saat ini aku mulai bercadar. Apabila kalian berpikir disini aku akan menyampaikan dalil-dalil, hukum, dan ayat tentang depresi juga bercadar, nope you're wrong. Aku beralasan menulis ini karena aku ingin menjadi seseorang itu, seseorang yang mengerti alasan kalian yang membaca ini, seseorang yang mengerti saat kalian mencari pembenaran atas kegundahan yang sedang kalian rasakan. Depresi tidak pernah muncul dari permasalahan yang tidak kompleks. Perasaan depresi seseorang tidak bisa dihakimi hanya karena satu alasan saja. Faktor permasalahan yang begitu banyak dan beragam terintegrasi menjadi suatu chaos yang bukan hanya merusak perasaan, tapi juga kesehatan fisik, akademik, produktivitas, dan semua aspek yang ada dalam hidup. Kebahagiaan menjadi barang yang sangat mahal. Selalu merasa seperti orang yang paling bodoh karena konsentrasi yang semakin berkurang. Hujaman kata-kata yang melabeli orang depresi adalah orang yang tidak beriman dan tidak pandai bersyukur, hanya membuat tembok yang diciptakan untuk membatasi diri dan lingkungan semakin tinggi.
Mereka boleh saja melihatnya tertawa, tapi tanpa mereka sadari ada suatu jiwa dalam dirinya yang berkecamuk, memaksa, dan meronta.. -untuk apa? Entahlah. Hanya saja ingin sekali rasanya memukul-mukul dada ini agar dia yang bergejolak dalam hati diam sendiri. Sampai akhirnya mati. Saat itulah dia mulai kebal, tak merasakan apa-apa lagi. Benar-benar seperti orang mati. Depresi itu ibaratnya sedang meniti jalan di sebuah lembah yang di bawahnya tedapat jurang, lalu karena jalanan yang semakin curam seseorang tiba-tiba terjatuh. Selama dia terjatuh dan terjun bebas menuju ke dasar jurang, orang itu pasti mengalami perasaan antara hidup dan mati. Jika ingin mati ya tinggal jatuh lebih dalam, ingin hidup dia tidak tahu pada siapa meminta pertolongan. Semua orang yang dikenal dan dimintai pertolongan ada yang mencoba membantu dengan mengulurkan tali sepanjang-panjangnya, ada yang hanya berteriak membuat keadaan semakin panik, ada yang hanya berdoa, bahkan ada pula yang tidak peduli sama sekali toh sudah tidak bisa dibantu lagi pikirnya. Kejadian jatuh itu berlangsung dengan tempo yang sangat cepat, orang yang berniat membantu dengan tali pun tidak akan bisa membantu saat dia sudah terlanjur jatuh terlalu dalam. Noted in mind that manusia bisa survive karena dia (1)mempunyai sebuah faktor harapan yang menjadi motivasi hidup terbesarnya (bisa jadi karena cinta, harta, org tua, atau yg lainnya), (2)merasa aman. Disaat dia sedang terjun bebas dalam keadaan seperti itu, otaknya jadi tidak bisa menemukan apapun untuk dijadikan pegangan/harapan pertolongan. Harta yang dia punya tidak bisa dipakai untuk menolong dia yang sedang jatuh, orang-orang terdekat yang mencoba menolong pun penuh dengan keterbatasan. Lalu harus dengan apa lagi dan kepada siapa lagi dia berpegang? Sementara semakin otaknya bekerja keras menemukan sebuah pegangan untuk mengisi kekosongan, semakin terkikis pula harapannya untuk bertahan. Di kedalaman inilah, banyak orang yang akhirnya putus harapan dan memilih mati, hancur di dasar jurang. Apabila dia pikir orang-orang terdekatnya akan menyesal seumur hidup, tidak juga. Mereka mungkin akan menengok sesaat ke bawah dan merasa iba lalu menyesal, but eventually mereka akan tetap melanjutkan perjalanan dan meninggalkan jasadnya lapuk dimakan kegelapan. Tapi ada juga orang yang akhirnya nekat lalu memutuskan untuk berpegang teguh pada sesuatu yang diyakini lebih besar kekuasaannya dari seluruh alam semesta, yakni Tuhan. Yang tadinya ragu/tidak percaya, dia coba yakini sepenuh hati. Dia isi kekosongan itu dengan berpegang kepada pertolongan Tuhan. Masalahnya, Tuhan itu suatu konsep yang terlalu abstrak untuk otak manusia, tidak senyata bergantung kepada harta atau manusia. Maka untuk menguraikan pertolongan Tuhan dibutuhkan suatu media yg dipahami manusia, yaitu agama. Melalui agama sebagai terjemahan dari pertolongan Tuhan, dia diajari cara dan tahap-tahap untuk menghilangkan kesedihan/menyelamatkan diri dari jurang tersebut.
Saat kekosongan itu sudah terisi, maka otak tidak lagi bekerja keras mencari pengganti. Instead, dia akan mulai membenahi apa yg sebelumnya dia abandoned demi mengisi kekosongan tadi. Harapan mulai terisi kembali, tekad kuat dan berbagai positivity mulai menyeruak untuk mendukungnya bertahan hidup. Disitu pulalah, Tuhan mengkaruniainya dengan keajaiban seperti Dia mengangkat Isa ke langit. Karena tekadnya untuk berpegang teguh pada pertolongan Tuhan, dan usaha sebaik mungkin untuk mengikuti cara-cara keluar dari masalah dariNya, maka Tuhan turunkan keajaiban dengan mengangkatnya dari jurang, mengangkat kesedihannya, hingga yang tersisa darinya hanyalah perasaan positif dan kebahagiaan.
Apabila sekelas depresi saja bisa sembuh karena itu, I believe kesehatan mental yang lain pun bisa teratasi. Titip pesan jika sudah merasa baikan, sisanya tinggal bagaimana cara kita me-maintain kehidupan/perjalanan supaya tidak menginjak kesialan yang sama lagi. Kesimpulannya, manusia butuh pegangan untuk dijadikan pertolongan hidup, pegangan hidup manusia yang hakiki adalah konsep Ketuhanan. Kita tidak bisa menterjemahkan konsep Ketuhanan yang terlalu abstrak untuk otak manusia tanpa media agama. Jadi percuma bertuhan apabila tidak diimplementasikan dalam bingkai beragama. Sia-sia.
Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi, that was what i felt dan sekalian sharing how i coped the mental breakdown. Bukan rekaan perspektif dan pemikiran belaka. Semoga tidak lagi merasa sendiri, dan semoga ada sesuatu yang bisa diambil sebagai pelajaran. I've been there too, and now I'm in a much better place. Don't give up, I know you can be here too.
1 note
·
View note