Text
Tugas Perkembangan di Setiap Tahapan Kehidupan
Setelah bulan lalu membahas serba-serbi Self Assessment terkait pernikahan dan kesiapan mengasuh, bulan ini NuParents kembali mengadakan kegiatan meet up dengan tema yang berbeda, yaitu Tugas Perkembangan di Setiap Tahapan Kehidupan bersama Ibu Ayu Riana Sari, M.Psi, Psikolog.
Sebentar, tugas perkembangan itu apa sih? Ada yang sudah pernah dengar?
Jadi begini … Psikologi membagi individu ke dalam beberapa tahapan sesuai dengan kelompok usianya. Dimulai dari tahapan prenatal (sejak konsepsi – 9 bulan di dalam kandungan), infancy (sejak lahir – 2 minggu pertama kehidupan), bayi (2 minggu – 2 tahun), awal masa anak (2-6 tahun), akhir masa anak (6-10/12 tahun), pubertas (10/12 – 13/14 tahun), remaja (13/14 – 18/20 tahun), dewasa awal (20-40 tahun), dewasa tengah (40-60 tahun), dewasa akhir atau tua (60 tahun ke atas). Dalam setiap tahap perkembangan tersebut terdapat indikator-indikator tugas yang disebut dengan tugas perkembangan. Keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan tugas perkembangan pada suatu tahap akan mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan tugas perkembangan di tahapan selanjutnya.
Sebagai generasi milenial, kita berada pada tahap perkembangan dewasa awal. Maka, sudah semestinya kita paham tentang apa yang menjadi tugas perkembangan kita di tahap ini. Memilih pasangan hidup, menikah dan mengasuh anak adalah beberapa tugas diantara tugas lainnya yang harus kita penuhi (lebih lanjut mengenai tugas perkembangan dewasa awal klik disini). Dalam pemenuhan atau pelaksanaannya, boleh jadi kita menemukan kesulitan-kesulitan. Apa yang membuat kesulitan itu terjadi? Banyak faktor, salah satunya adalah kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan di tahapan sebelumnya. Lalu, apa urgensi kita mempelajari tugas perkembangan ini? Urgensinya adalah karena menikah dan kesiapan mengasuh perlu diawali dengan menyelesaikan masalah-masalah di dalam diri. Ya, kita terlebih dahulu harus selesai dengan diri kita sendiri.
Berikut adalah ringkasan super singkat mengenai tugas perkembangan sejak prenatal sampai dengan dewasa awal. Mengapa super singkat? Ya, karena normalnya meteri ini dipelajari dalam 2 mata kuliah, yaitu Tugas Perkembangan 1 dan Tugas Perkembangan 2 yang masing-masing berjumlah 3 SKS. Semoga yang singkat ini tidak mengurangi esensi pembelajarannya itu sendiri, ya!
a. Pre-Natal (sejak konsepsi – 9 bulan di dalam kandungan)
Kita mungkin berpikir bahwa pengasuhan diawali saat anak sudah lahir, padahal pengasuhan harus sudah dilakukan ketika anak masih ada di dalam kandungan. Kondisi psikologis ayah dan ibu pada periode ini akan mempengaruhi kondisi psikologis anak. Ibu hamil yang sangat gembira menanti kelahiran anaknya tentu akan menunjukkan sikap berbeda atas kehamilannya jika dibandingkan dengan ibu hamil yang merasa bahwa kehamilannya tidak diinginkan. Hal ini juga berdampak pada perlakuan orangtua setelah anak lahir.
b. Infancy (sejak lahir – 2 minggu pertama kehidupan)
Tahapan yang paling singkat ini merupakan tahapan yang radikal dan berbahaya. Tugas perkembangan pada tahapan ini adalah melakukan penyesuaian terhadap lingkungan, pernafasan, suhu tubuh, ritme tidur, dll.
c. Bayi (2 minggu – 2 tahun)
Pada tahapan ini, pertumbuhan dan perkembangan anak melaju pesat. Tugas perkembangan pada tahapan ini adalah eksplorasi, disinilah seorang anak untuk pertama kalinya mulai mampu bersosialisasi dengan orang lain selain orangtuanya.
d. Awal Masa Kanak-Kanak (2-6 tahun)
Tahapan ini adalah tahapan yang penuh berisi dengan bermain dan eksplorasi. Sehingga, kurang tepat kiranya jika orangtua memaksakan anaknya yang berada di tahap ini untuk menguasai berbagai keterampilan akademis. Terkadang, tahap ini adalah tahapan yang menyulitkan bagi orangtua karena anak mulai sulit untuk dikendalikan ketika tantrum.
e. Akhir Masa Kanak-Kanak (6-10/12 tahun)
Ini merupakan usia-usia sekolah. Biasanya, pada usia ini anak sedang sering bertengkar dengan adik atau kakaknya. Tugas perkembangan pada usia ini adalah mulai bermain secara berkelompok, menyesuaikan diri dengan kehidupan akademis dan menunjukkan kreativitas.
f. Pubertas (10/12 – 13/14 tahun)
Ini adalah masa singkat. Di masa ini terjadi kematangan alat seksual dan kemampuan reproduksi. Di usia ini, anak perlu menyesuaikan diri dengan perubahan tubuh dalam bentuk ukuran dan proporsi. Fase ini dapat menjadi fase negatif, teruama bagi anak yang kurang mendapatkan arahan dan pengasuhan yang baik.
g. Remaja (13/14 – 18/20 tahun)
Ini adalah fase dimana seorang anak banyak merasakan kebingungan karena sedang dalam tahap pencarian jati diri. Biasanya, banyak juga terjadi konflik dengan orangtua karena si anak sedang dalam fluktuasi emosi.
h. Dewasa awal (20-40 tahun)
Tahapan ini memiliki beberapa karakteristik, diantaranya adalah masa pengaturan, masa reproduktif, masa bermasalah, masa ketegangan emosional, masa keterasingan sosial, masa komitmen, masa perubahan nilai, masa penyesuaian diri dan masa kreatif.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan tugas perkembangan pada suatu tahap akan mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan tugas perkembangan di tahapan selanjutnya. Sebagai contoh, ada seseorang yang selalu takut memulai perkenalan dengan orang lain karena merasa tidak percaya diri, ternyata di masa anak-anaknya ia kurang diapresiasi oleh orangtuanya sehingga ia selalu merasa rendah diri, dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Bagaimana dengan dirimu dan permasalahanmu? Let’s look in! Apakah kamu memiliki masalah-masalah di tahapan sebelumnya yang ternyata menghambat pelaksanaan tugas perkembanganmu di tahapan dewasa awal, khususnya yang terkait dengan memilih pasangan, menikah dan kesiapan mengasuh?
Yuk kita berdamai dengan diri sendiri dulu! Mengapa? Karena menikah dan kesiapan mengasuh perlu diawali dengan masalah-masalah di dalam diri.
0 notes
Text
Becoming a NuParents, Are You Ready?
Hi, generasi milenials! Cie yang udah pengen nikah! Pembicaraan tentang menikah dan persiapan menemukan pasangan hidup belakangan ini jadi topik yang seksi, ya! Kapan pun, dimana pun, dengan siapa pun dan dalam konteks apa pun, tanpa disadari pernikahan selalu bisa menjadi topik yang diam-diam menyelinap.
Dengan luasnya jangkauan informasi di zaman sekarang, topik seputar pernikahan dan berbagai life-hacks menjadi pasangan yang baik bertebaran dimana-mana, seperti misalnya di sosmed, obrolan antarteman, seminar, text book, novel, komik, dan masih banyak lagi.
Tapi, sadarkah kalian bahwa akan ada peran baru yang kita sandang setelah menemukan pasangan hidup dan menikah? Yes! Kita akan menjadi baby sitter Tuhan yang dititipi makhluk imut nan lucu yang akan menyebut kita dengan panggilan ayah dan bunda. Lalu, mengapa topik yang sekarang ramai dibicarakan hanya berkisar tentang persiapan menuju pernikahan saja, ya? Padahal, satu hal yang perlu kita hadirkan dalam pemahaman kita adalah bahwa pernikahan salah satunya bertujuan untuk melahirkan keturunan dan membangun peradaban dengan cara mendidik dan mengasuh anak.
Sebagai generasi 90-an, tahun 2016 ini bisa jadi tahun mendebarkan untuk kita. Hayoo ngaku deh, pasti ada yang sudah mulai mengkoleksi referensi undangan nikah dan mulai kepo soal budget sewa gedung, kan? Ada yang lebih penting nih, guys! Kita perlu paham juga bahwa anak-anak kita nanti adalah calon-calon pemimpin di semua lini pada tahun 2045, tepat di 100 tahun Indonesia merdeka. Di tahun tersebut, anak-anak kita akan ada yang jadi dokter, pengusaha, birokrat, pengusaha, bahkan bisa jadi presiden. Maka dari itu anak-anak kita nanti disebut sebagai Generasi Emas Indonesia. Kece banget gak sih?
FYI, generasi kita saat ini sedang menghadapi tantangan besar, yaitu gap generasi dan perbedaan persepsi mengenai kesiapan mengasuh. Kebanyakan orangtua kita dulu membesarkan anak-anaknya dengan pengetahuan seadanya karena menganggap bahwa pengasuhan adalah hal natural yang bisa didapatkan seiring dengan berjalannya waktu. Selain itu, dulu ketika orangtua membesarkan kita, akses informasi terhadap ilmu parenting belum banyak tersedia seperti sekarang. Dampaknya, saat ini kita tidak tumbuh sebagai individu yang dipersiapkan untuk menjadi isteri, suami, bahkan orangtua. Padahal, perkembangan zaman dan situasi dunia hari ini menuntut kita untuk siap dalam menghadapi tantangan-tantangan dalam mengasuh anak. Nah lho, gimana tuh?
Kalian capek gak sih terus-terusan mendengar berita tentang permasalahan sosial yang timbul akibat kesalahan pola asuh? Sebut saja dari yang terparah seperti porn addiction, sex abuse, fenomena LaGiBeTe, sampe ke permasalahan kenakalan remaja, merajalelanya generasi alay, galau, baper dan lain sebagainya. Itu yang terjadi hari ini, guys! Kebayang gak apa yang akan terjadi di zaman anak-anak kita nanti? Sudah sejauh mana kesiapan kita sebagai calon orangtua?
Serem nih, ternyata kesalahan pengasuhan terhadap anak akan menghasilkan anak-anak yang bermental BLAST (Bored - Lonely - Afraid - Angry - Stress - Tired), sehingga mereka rentan terhadap bullying, peer pressure, konten dan nilai yang tidak baik, pornografi dan gaya hidup yang tidak sehat. Padahal, calon-calon Generasi Emas Indonesia 2045 ini perlu kita didik dengan baik agar mampu bermental BEST (Behave - Empathic - Smart - Tough).
Bisakah kita menghasilkan anak-anak BEST jika kita tidak mengupayakan dan memperkaya diri dengan kesiapan mengasuh? Bisakah kita mendidik anak-anak agar menjadi BEST jika kita sendiri bermental BLAST dan hanya berbekal perbekalan seadanya? Oleh karena itu, kita membutuhkan banyak persiapan. Persiapan tersebut perlu dilakukan dari sekarang. Iya, guys, dari SE-KA-RANG. Masa iya belajarnya mau sistem kebut semalam?
Lalu, bagaimana caranya agar kita dapat mempersiapkan diri untuk menjadi orangtua BEST?
Di awal tahun 2016 ini, beberapa inisiator muda yang tergabung dari berbagai latar belakang profesi mulai peduli pada permasalahan kesiapan pengasuhan dan telah menginisiasi sebuah wadah belajar bernama NuParents. Sebagai bagian dari gerakan Selamatkan Generasi Emas Anak Indonesia 2045, NuParents berfokus pada edukasi pra-nikah seputar kesiapan mengasuh. Selain itu NuParents juga memfasilitasi kita untuk belajar mengenal diri sendiri, mempersiapkan memilih calon pasangan dan tentunya mempersiapkan diri agar siap menjadi orangtua BEST yang akan melahirkan generasi BEST.
So, kamu mau nikah? Udah NuParents belum? Coming really soon, ya!
1 note
·
View note
Text
Jangan Salahkan Orangtuamu!
Sebagai generasi yang hidup, berkembang dan mendewasa di era digital, kita dapat dengan mudah mengakses informasi apa saja yang kita inginkan. Kita bisa mendapatkan informasi apa saja tentang sesuatu yang ingin kita ketahui dari media internet dengan satu klik saja. Belum lagi ponsel canggih yang mendukung kemudahan-kemudahan lainnya. Tanpa disadari, hal ini berkontribusi penting terhadap situasi banjir informasi dari sekitar kita, tak terkecuali informasi tentang parenting atau pengasuhan.
Berkaitan dengan parenting, coba perhatikan kondisi sekarang ini! Buku parenting banyak dijual dimana-mana, seminar sering diadakan di berbagai kota, komunitas yang peduli tentang pengasuhan mulai bermunculan, belum lagi materi-materi yang menjamur di media sosial. Sebaliknya, hal seperti ini tidak terjadi pada orangtua kita dulu. Kiranya menjadi wajar jika dulu orangtua kita menganggap bahwa mengasuh anak adalah kemampuan naluriah yang akan muncul dengan sendirinya seiring dengan pernikahan dan kelahiran anak. Apakah ini lantas menjadi celah yang memperbolehkan kita untuk kecewa dan menghukum orangtua kita atas kesalahan-kesalahan pengasuhan yang dulu pernah mereka lakukan terhadap kita?
“Aku mendewasa sebagai orang yang manja karena memang dulu orangtuaku terlalu berlebihan dalam memanjakan anak-anaknya, padahal gak boleh gitu kan?”
“Sekarang aku konsumtif banget, katanya dulu kalau aku nangis atau rewel pasti langsung dikasih uang dan disuruh jajan”
“Aku sering minder. Sejak kecil orangtuaku memang jarang mengapresiasi apa yang aku lakukan. Aku jadi takut salah terus.”
dst.
Ah yaaa, kita menemukan kesalahan-kesalahan pengasuhan, lalu dengan mudah kita menjadi marah atau kecewa kepada orangtua kita. Padahal, tanpa sadar kita telah melupakan satu yang penting di atas semuanya. Meminjam kalimat Ibu Evangelina, Psikolog dari YKBH, beliau mengatakan, “Kita lupa bahwa pada saat itu orangtua kita sudah melakukan yang terbaik untuk kita. Mereka telah mengupayakan pengasuhan terbaik yang mereka ketahui.”
Apa yang sebenarnya terjadi pada kita? Mungkin kita lebih sering menganggap diri kita banyak tahu. Padahal, apa yang kita ketahui belum seberapa. Kita sudah merasa pintar hanya karena selesai membaca satu dua tiga buku, sebulan dua bulan konsisten belajar, hadir di seminar yang ini dan itu atau diskusi dengan psikolog yang ini dan yang itu. Sebaliknya, ada hidup yang didedikasikan oleh orangtua kita untuk kita. Ya, mereka mendedikasikan hidup dan seluruh energi yang mereka punya untuk berupaya memberikan pengasuhan terbaik bagi kita.
Jangan salahkan orangtua! Kita tidak perlu marah dan mengumbar-umbar kecewa karena bukan itu yang seharusnya kita lakukan. Sebaliknya, kita harus lebih berupaya agar kita tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang sama terhadap anak kita nanti. Yuk bersiap menjadi orangtua, menjadi pembangun peradaban!
0 notes
Text
Self-Assessment: Seberapa Kenalkah Kamu dengan Dirimu?
Jika bertemu dengan orang atau situasi baru, normalnya kita seringkali diminta untuk memperkenalkan diri. Kemudian, pernyataan-pernyataan yang kita lontarkan tentang diri kita pasti tidak jauh dari sekedar nama, tanggal lahir, sekolah/kuliah/kerja, kota darimana kita berasal, keurutan keluarga dan hal-hal standar lainnya. Berbicara tentang perkenalan, pernahkah kita sengaja menyediakan waktu untuk sejenak memikirkan, “Sudah seberapa kenal kita dengan diri kita sendiri?”
Ya! Mari sejenak kita pikirkan. Sudah seberapa kenal kita dengan diri kita sendiri? Apakah kita benar-benar sudah bisa memahami apa yang kita inginkan serta apa yang penting dan tidak penting untuk diri kita? Bagaimana kita melakukan penilaian-penilaian terhadap diri kita? Apakah kita sudah dapat mendefinisikan dengan jelas tentang apa yang menjadi konflik dalam diri kita?
Mengenal diri sendiri adalah sesuatu yang sangat penting. Mengapa? Bukankah akan menjadi lebih baik jika kita memahami diri kita sendiri dulu sebelum memahami orang lain? Dengan memahami diri kita sendiri, kita akan mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi value kita, kondisi-kondisi seperti apa yang akan kita persepsikan sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, apa yang menjadi konflik internal kita, seperti apa kita ingin diperlakukan oleh orang lain, serta apa saja yang mendasari perilaku-perilaku yang kita tunjukkan ke lingkungan. Menariknya, mengenal diri kita sendiri secara lebih dalam dan personal lengkap dengan memahami situasi-situasi momental yang pernah kita alami adalah hal yang penting bagi kita untuk dapat menyusun rencana pengasuhan terhadap anak-anak kita nanti. Mengapa? Karena secara langsung ataupun tidak langsung memahami diri sendiri berarti bahwa kita akan menemukan rekam jejak kehidupan kita ke belakang, termasuk juga rekam ingatan tentang bagaimana dulu orangtua kita mengasuh dan menanamkan nilai-nilai kepada kita.
Kemarin, teman-teman inisiator NuParents mendapatkan kesempatan emas untuk lebih mengenal diri sendiri. Bersama Ibu Evangelina, seorang Psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH), kami diajak untuk melakukan self assessment. Cara yang digunakan terbilang unik: kami diperintahkan untuk menggambar Sungai Kehidupan. Apakah yang dimaksud dengan Sungai Kehidupan?
Melalui Sungai Kehidupan, kami diperintahkan untuk menggambar di selembar kertas, yaitu menggambar sebuah sungai yang berisi simbol-simbol yang menggambarkan perjalanan hidup masing-masing secara pribadi. Untuk sebagian orang, menggambar sungai kehidupan ini cukup menyita banyak energi karena meski hanya duduk, kami harus melakukan recall terhadap banyak fase dari kehidupan. Tapi, kami jadi jauh memahami bahwa serangkaian kehidupan saya terdiri dari hal yang tidak selalu warna-warni, tapi juga pernah hitam atau kelabu.
Bagaimana denganmu? Silahkan mencoba membuat sungai kehidupan versi dirimu sendiri agar kamu juga bisa lebih mengenal sudut-sudut penting dalam diri dan kepribadianmu. Selamat berkenalan dengan dirimu sendiri!
0 notes
Text
Ngobrol Berdaya NuParents: Appreciative Inquiry
Tahukah kamu tentang Appreciative Inquiry?
Sederhananya, AI berarti bergerak menyelesaikan masalah dengan berfokus pada kekuatan-kekuatan yang dimiliki. AI dapat diterapkan dalam setting apa saja, seperti misalnya keluarga, organisasi, perusahaan, komunitas atau bahkan kepada pasangan. AI mengajarkan bahwa penyelesaian masalah dapat bermula dari kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat. Selain itu, AI juga mengedepankan kolaborasi dan sinergi untuk dapat mewujudkan impian bersama.
Contoh dari penerapan AI ini ada pada komunitas Ayah ASI. Kak Idzma sebagai salah satu foundernya bercerita bahwa pada mulanya komunitas tersebut tidak memiliki konselor ataupun psikolog, yang ada hanyalah para ayah yang peduli terhadap ASI. Tapi, ternyata disitulah letak uniknya, Ayah ASI jadi memiliki ciri khas tersendiri dimana edukasi terhadap masyarakat tentang ASI dilakukan oleh para Ayah yang mau belajar sehingga penyampaiannya pun sangat ‘lelaki’. Jika dulu Ayah ASI hanya berfokus pada kelemahan, mungkin komunitas ini tidak akan menjadi sebesar sekarang. It started with AI, anyway!
AI mengajarkan bahwa harapan dan masalah adalah dua hal yang memiliki titik tumpu yang sama, yaitu gap atau kesenjangan antara kondisi ideal dan realita, perbedaannya adalah pada bagaimana dan persepsi apa yang digunakan untuk memandangnya.
Terdapat 5 prinsip dasar AI, yaitu :
(1) Poetic Principle. Hidup ini seperti gubahan puisi, setiap orang memiliki persepsi dan fokusnya masing-masing dalam memandangnya. Apapun yang difokuskan, itulah yang akan tumbuh dan mengakar dalam diri kita. Itulah mengapa kita harus berfokus kepada hal-hal yang positif.
(2) Simultaneous Principle. Pertanyaan dan perubahan dapat berjalan pada saat yang sama. Artinya, pada prinsip ini perubahan atau penyelesaian masalah dapat dilakukan tanpa harus terlebih dahulu menghabiskan banyak waktu untuk berpikir.
(3) Constructionist Principle. Kata-kata dapat membentuk dan mengubah dunia, itulah mengapa semua ide menarik dan penyelesaian masalah dapat berawal dari obrolan-obrolan ringan dimana masing-masing pihak menurunkan egonya dan beranggapan bahwa mereka adalah setara.
(4) Anticipatory Principle. Gambaran yang dimiliki akan menginspirasi aksi. Itulah mengapa mengetahui tujuan akhir adalah sangat baik untuk memulai pergerakan.
(5) Positive Principle. Penguatan dan afirmasi dapat membangun aksi dan kepercayaan diri.
Diantara semua pembahasan mengenai AI ini, ada satu hal yang paling menarik bagi saya, yaitu cara kita melakukan evaluasi terhadap apa yang sudah dilakukan. AI menyebutnya valuasi, bukan evaluasi, yaitu dengan menanyakan hal terbaik apa yang telah didapatkan, bukan menanyakan apa permasalahan yang ditemukan. Ini menarik, karena kesalahan dipoles sebagai sebuah kebaikan yang dihargai.
Jadi, apa hal terbaik yang sudah kamu dapatkan hari ini? Salam NuParents!
0 notes
Text
2045, Siapkah?
Sebagai generasi muda yang di tahun 2016 ini masih berusia 20an, kita harus menyadari bahwa anak-anak kita nanti adalah calon-calon pemimpin di semua lini pada tahun 2045. Tahun yang sama bertepatan dengan 100 tahun Indonesia merdeka. Oleh karena itu, anak-anak kitalah yang di tahun 2045 nanti disebut sebagai Generasi Emas Indonesia.
Untuk mempersiapkan anak-anak yang akan menjadi Generasi Emas Indonesia, kita membutuhkan banyak persiapan dari segi keimanan dan akidah, ilmu, kesiapan psikologis, kematangan berpikir, dll. Jika orangtua dulu sering berkata bahwa tak ada sekolah untuk menjadi orangtua, rasanya hal itu kini terbantahkan dengan banyaknya bahan belajar yang tersebar melalui buku, media, seminar atau forum. Istilah parenting pun kini sudah semakin akrab di telinga. Jadi, sudah saatnya kita berpikir lebih jauh tentang mempersiapkan pernikahan dan berkeluarga, tujuannya adalah agar anak-anak kita kelak siap untuk menjadi Generasi Emas Indonesia 2045.
Permasalahannya, generasi kita saat ini sedang menghadapi tantangan sosial tentang gap generasi dan perbedaan persepsi mengenai kesiapan mengasuh. Kebanyakan orangtua kita dulu membesarkan anak-anaknya dengan pengetahuan seadanya karena menganggap bahwa pengasuhan adalah hal natural yang bisa didapatkan seiring dengan berjalannya waktu. Selain itu, dulu ketika orangtua kita membesarkan kita, akses informasi terhadap ilmu parenting belum marak seperti sekarang. Dampaknya, saat ini kita tidak tumbuh sebagai individu yang dipersiapkan untuk menjadi isteri, suami dan orangtua. Padahal, perkembangan zaman dan situasi dunia menuntut kita untuk siap dalam menghadapi tantangan-tantangan pengasuhan.
Pertanyaannya, apa yang membuat kita harus mencari tahu tentang pengasuhan? Mengapa parenting menjadi begitu penting bagi kita sebagai calon orangtua? Mengapa harus mempersiapkan dari sekarang ketika mungkin kita belum memiliki rencana untuk menikah dalam waktu dekat?
Kesalahan pengasuhan terhadap anak akan menghasilkan anak-anak yang bermental BLAST (Bored, Lonely, Afraid, Angry, Stress and Tired), sehingga mereka rentan terhadap bullying, peer pressure, konten dan nilai yang tidak baik, pornografi dan gaya hidup yang tidak sehat. Padahal, calon-calon Generasi Emas Indonesia 2045 ini perlu kita didik dengan baik agar mampu bermental BEST (Behave Empathetic Smart Tough). Bisakah kita menghasilkan anak-anak BEST jika kita tidak mengupayakan dan memperkaya diri dengan ilmu? Bisakah kita mendidik anak-anak agar menjadi BEST jika kita bermental BLAST dan hanya berbekal perbekalan seadanya? Tentu tidak. Oleh karena itu, kita membutuhkan banyak persiapan. Persiapan tersebut perlu dilakukan dari sekarang. Kita tidak ingin belajar dengan terburu-buru seperti pekerja yang sedang dikejar deadline, bukan?
Terakhir, dalam Al-Qur’an Allah berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S An-Nisa : 9)
So, ayo belajar parenting, ayo mempersiapkan diri! Kita buat anak-anak kita menjadi anak-anak yang siap untuk menjadi Generasi Emas Indonesia 2045!
0 notes