Photo
beyond making it
i wish to see
sorrow wither before it sprouts into sleepless nights
mistakes mend before they turn into regrets
failure eclipse before one sleeps through wakes
because beyond the "congratulation"s, "im proud of you"s, & "good job"s,
there in lies blessings for all to enjoy without ever making it at all
that is the gift of making it just this far, just this close, just this much
through living, through loving, and most importantly, through being thankful for all that didn't make it
at that moment i knew, that i wanted to love with my eyes closed,
and my life, closer
just this close, just this much
0 notes
Photo
"beyond verges, between cross hatches" september first, twenty nineteen
i sing myself to sleep between shifting notes of restless wonder & dawning daydreams
only because it takes a bar to see me reel back in tune
in between cross-hatches, i fill voids of tender glum with naive hopes & careless dreams in seek of comfort sans numb
but yet beyond verges, on sheets of curious letters, on the edge of venal promises, i dare let the fool fumble upon pebbles of foreseen trials & tribulations
all because, i grow fond of letting wondrous, unfamiliar lessons of pain, grief & mistakes, not get in the way of hopes that one day, i too, will walk,
in endless fields of daffodils & chamomile. - letters to pleasant hill
0 notes
Photo
Keriput Pelipis Aksara .•••. Aku telusuri Naluri alam yang melukis qadha & qadhar Dan aku tulis kembali bait yang Terangsang pada cumbu harap . Aku bercinta dengan ilahi Aku cium kening mimpi Dan aku berselingkuh dengan segala tapi . Semua, setiap, & segala Untuk harap merajut, bergelut dalam Nukilan menjelang sore bersamamu . - Desember 2018. Laurensia.
0 notes
Photo
Hari Ini, Aku Absen Sakit.
---•••---
Hari ini, aku absen sakit. Aku bertepi di bawah teduh bulu matamu. Langit tersenyum lebar, liurnya deras menerpa kita yang canggung berdansa ria. Kerumunan sekitar tertawa, mencemooh riuh hentakkan kaki yang merinding masuk angin. Genangan air menggeleng heran, pasrah membasuh dua insan yang tertawa menggelitik akan lelucon peot tanpa sungkan.
.•••.
Hari ini, aku absen sakit. Aku bersila di antara kedua matamu. Sayu kemarau malu akan senyummu. Siang itu, tiap ukir penamu banjir akan namaku. Catatanmu melonjak keluar dari buku tulismu, keluar jendela, & mengajak daun-daun berjatuhan untuk bangun kembali. Di luar, pohon-pohon diam tersanjung dibuatmu. Dan aku bersemayam di antara masa yang malas bergulir. Lipat jarakku dijejas enggan spasi yang iri menyindir.
.•••.
Hari ini, aku absen sakit. Aku bergelantung pada daun kupingmu. Saat semi aku dengar bisikan malu semua bunga yang merumpi jauh darimu. Pasalnya, mereka murka pada surya yang sibuk menggodamu. Musim ini kan milik kita, pikirnya. Sampai-sampai, embun pagipun berniat mendiamkan sambut kicau yang berkumandang membangunkanmu. Jujur, aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Adanya, aku malah terus dimanjai sirna rupamu pagi ini. Awan mendengkur menunggu gilirannya.
.•••.
Kali ini, aku jalan kembali ke hatimu untuk beristirahat. Di luar, badai salju menuntut ampunku. Gigilku patuh, dengkulku rapuh. Bergegas, aku menjinjing kantung mata yang kendur, seharian membawa kepingan cerita-ceritamu. Kembali aku rintih salam, ketukan pintuku memohon masuk.
.•••.
Arifku geram, naifku suram. Rinduku kaya, nalarku miskin. Ingin aku petik semua benih maaf yang sembunyi di muka bumi. Akanku tumpuk dan tumbuk dan aduk dan bentuk; akanku lukis corak taubat bersujud lirih menjilat suci; akanku tanam maaf sampai bunga gugur pada semi, sampai peluh runtuh melelehkan salju. Aku menggedor pintumu sampai buku-buku tanganku bertebaran jilid-jilidnya. Dan semesta kembali menertawakanku- tapi kali ini, kau ikut serta.
.•••.
Karena sekarang, akulah leluconnya.
.•••.
Hari ini, aku absen. Sakit.
.•••.
- Oktober, 2018. Letters to Pleasant Hill, California.
0 notes
Photo
(Bukan) Prosa Romansa .
Aku berdiri di tengah ruang hampa yang melantun darma gema rima namamu
.
Sahut teriak lirihku hanyut,
Hanyut dalam gulat sandiwara yang
Berupaya merenggut kembali Indera yang dapat mengalamimu
.
Kupingku yang dapat berkedut riang mendengar celotehanmu
Hidungku yang dapat mengendik, mengendus manis helai rambut yang jatuh bermalas-malasan di pundakmu
Sentuhku yang dapat mengelus lemah hangat tempurung tanganmu
Dan bibirku yang getir gemetar, menahan kasih malu yang senantiasa ragu
.
Ragu akan tipu muslihat masa yang lihai berjanji,
Berjanji mewahnya nikmat ialah abadi
.
Aku berdiri di tengah ruang hampa yang melantun darma gema rima namamu
.
Berisik, berisik sekali,
Bising untuk dia yang tuli.
.
"Kembali, kembali, kembali."
- Agustus, 2018. Sinambung rahayu, disana.
0 notes
Photo
Sandiwara Komidi Awan Kumolonimbus Izinkan aku menganggu soremu Selagi rangkai bising membisu, Ingatkah kau akan lintas merpati yang menerjang sendu? Layar mereka anggun, menanggung girang janji surya Dimandikan embun semi dengan harap lepas dari bisik rayu maya Dengan hati penuh asa, dia berpulang kembali dalam hangat pelukan semesta Hanya untuk dijemput kembali oleh tipu dusta Maka dari itu, tolong izinkan aku menganggu soremu Beri aku kesempatan untuk meyakinimu Bahwasannya ini semua hanyalah sandiwara komidi awan kumolonimbus Kira lakon jenakanya pantas menguak ruam luka dengan badai menghembus Rintik hujan licik berdesus Sekalinya dia datang, dia datang dengan sayu menjamu Lagi datang kembali hanya untuk mengusik nukilanmu selagi menjelang sore Lihainya dia kemari hias senyummu berseri Dengan fasad lamun semu yang meniti murung kian mencuri Merampok daya syukurmu akan rangkul jemari kasih, cita & cinta Yang membasuhmu setiap pagi, kian manis tanpa berelegi. - Juli, 2018
0 notes
Photo
Gorengan Ibu
Harum minyak kelapa sawit mengisi dapur siang itu, berpadu laras dengan semangit potongan tahu tempe yang berdansa ria, meletup letup kegirangan. Bak penyihir, gerak sergap tangan ibu mengaduk, menabur, meniris, mengaduk, menabur & meniris, sesaat mengangguk pelan lepas menyicip & sadar akan legit ramuannya.
Dan aku menjadi saksi abadi magis sihir ibu selagi duduk manis di lantai, kepalaku hanyut dalam silang tanganku.
“Kalo nanti kamu udah punya istri, nanti ibu pasti sayang banget sama istrimu, Nak. Akan kubela dia kalau kamu apa-apa dengannya.”
Hening pukul dua siang petang itu seketika buyar dengan dua ucap kalimat ibu. Belakangan ini hati ibu lebih sering separuh hampa daripada separuh penuh; celotehannya sering menyalip benaknya.
Wajar, aku gumam. Ibu belum sepenuhnya utuh.
Bahuku mengendik.
“Bu,” aku ucap.
“kalo aku nanti punya istri, ibu enggak akan sayang dia karena dia istriku, Bu.”
Ciut gesekkan teflon ibu diam sesaat.
“Justeru, dia akan jadi istriku karena ibu sayang dengannya.”
- Mei, 2018.
0 notes
Photo
Lamun Semu Sangkamu aku bodoh Pun dalam setiap rajut tenun ambigu, yang kau bilas bias tanda tanyaku dengan sirna ragu, Liat hanyalah kolotku yang sebatas pribadi dan bukan nazar yang ingin kita abadi Sangkamu aku bodoh Sangkakala yang kuhembus meraung lapis antariksa jelma sumpah kasih kembali jadi gundah siksa Menyeruak, tuduh raga pujangga pada alam gelam pada serabut kabut abai yang teliti kau sulam Sangkamu aku bodoh Lancang seringai yang kau utarakan mendidih menggertak ufuk selatan Pada rimba amniotik yang kau sumpahkan aku kembali Seutuhnya tersiksa berhutang daya untuk menjadi baskara alammu Dan bodoh sangkaku apabila Manis juwita yang kau tuntun untuk aku cicip, sembari lamun semu menyeruak bejana tentramku, kita kan kembali lagi pada malam yang sama Kembali lagi pada ujung sumbu yang liar mengelak gejolak cumbu Di suatu waktu, suatu sendu meragu, kantukku lemah di hadapanmu Jangan lupa kembali, ujarku. - April, 2018.
0 notes
Photo
Tiga Lima Tiga Cengkareng, Ramai
Akupun enggan menuai murka Dengan jujur padamu bahwa aku rela Terpunggut biaya malu, membayar lunas hutang pilu yang Lama, lama sekali aku sanggup teguk dari dulu Dengan jujur padamu bahwa aku rela Untuk sekali, dua kali lagi membiarkanmu dengan lihai bergulat, menggeliat lidahmu Menikam, merobek kiri dadaku dengan bilah lidahmu mencaci maki Aku yang mengelus lemah potret monokrom kita yang aku sisip rapih di dompetku
Akupun enggan menuai murka Dengan jujur padamu bahwa aku rela Menuai dosa yang lengah dari sadarku Dan menanggung dusta yang menjerat kembali amarah yang memberontak hilang sabar Yang melontarku kembali ke dimensi yang absen akan rima jelita namamu Terselimut kabut tipis yang merangkum mataku & membudakiku menjadi penyembah masa Terikat dalam kedamaian palsu yang menjanjikan sunyi Untukku seorang diri
Akupun enggan menuai murka Dengan jujur padamu bahwa aku rela Terang padamu bahwa aku iri dengan Betapa penuh & utuh dirimu Tanpa benang yang mengikatmu pada masa lalu yang terbendung pilu Tanpa terbelenggu buaian dayu mendayu budaya Melayu yang sayu merayu aku Untuk kembali memutar tape yang kamu amanahkan dengan sepuluh trek & memori masa remaja kita Yang aku belai gemulai, dengkulku rapuh dirangkulan kenanganmu
Jarak memang keparat. Aku ingin ingin pulang, lagi.
- Antory, 2017. Namamu terukir di langit kamar tidurku.
1 note
·
View note
Photo
Arloji Kulit Sapi Dan dengan sadarmu Detik demi detik lalu lalai berlaju kamu menulis alamat rumahmu nomor blok yang tercantum di depan rumahmu yang bergarasi diawasi mobilmu yang bangun esok hari dan juga kemarin tempo hari seaakan matahari selalu akan bangun tepat waktu dan tidak pernah lalai bangkong ketiduran Dan dengan sadarmu Detik demi detik lalu lalai berlaju kau berpapasan dengan adikmu yang melipat bajumu yang dia kemas rapih di dalam kopormu sampai kau lupa dan fikirnya melipat jarak denganmu selagi kau sibuk mencari seluar dalammu kau teguk tehmu kau santap sarapanmu seaakan-akan pohon depan rumahmu akan runtuh dan angin yang kau hirup akan tetap segar Dan dengan sadarmu Detik demi detik lalai berlaju kau diamkan dering telfonmu dari ibumu yang risau mengada-ada, katamu, melebih-lebih, pikirmu yang hanya ingin tahu bahwa Tuhan, Tuhan oh Tuhan senantiasa masih menyayangimu walaupun kau tegar bahwa sakramen yang pasanganmu janjikan hanya akan larut seperti tangis yang kau simpan seperti parasmu yang diakui tampan Dan dengan sadarmu Detik demi detik lalai berlaju kau lupa pamit pada ayahmu yang menjinjing kantung matanya yang berat karena keringat yang membuat bajunya pesing ialah bukti semesta akan siang dan malam yang ia kejar supaya kau besok bisa cukup tidur dan bangun siang setelah tidur lelap menjelang malam Dan dengan sadarmu Detik demi detik lalai berlaju kau biarkan aku merengkuh bantal gulingku berharap aku bisa lepas dari awan yang membendung khayalku untuk tersesat di rimba yang asing akan waktu dan fanatik akan kediaman kau dengan sadar meninggalkan lidahku di bilik janji yang kau kunci, aman terjeruji. - Juni 2017.
0 notes
Photo
Tiga Lima Tiga Tujuh - Yoo Hyo Rim Dingin sekali pagi ini. Kalau bukan untuk alunan Telisik Danilla tersalur mengalir ke kedua telinga & setir mulus awak kemudi taksi, habislah sudah sukma pada rekah fajar di negara ini. Entah pula seberapa jauh jarak ke bandar, maka bergantunglah benak pada hiburan ekonomis, ialah tangan yang getir untuk menulis sebuah kenang selagi melayang di ambang jenuh nan melodrama. Lagipula, muak sudah khayal yang berfantasi sinting semalam selagi mencurah hati bersama dia, dengan harap terselubung untuk menjangkit amnesia, luntur ingatanku akan namamu. Akhirnya aku hanya terjebak, terhempas di lintasan waktu. - Sahira, menjelang 2017.
0 notes
Photo
Tiga Lima Tiga
Enam - Perihal Semalam Sekarang tepat sekali pukul 11 malam. Soekarno Hatta rindang membising, atmosfer festivitas mengambang pekat nan mistis menjelang khatam tahun ini. Dua pria di depanku sergap berdiri. Kedua-dua berkobar gairah di setiap latah patah kata yang mereka tukar tangkap. Berseragam, mereka terbalut sandangan monokrom bernuansa leha. Aku hanya bisa mengandai-andai berdiri di antaranya; merumpi, terjangkit konversi meluap-luap yang jelas langit & bumi asyiknya dibanding aku disini; berduduk manis, menggambarkan kedua lelaki di depanku ini yang mungkin, mungkin sebetulnya absen akan faedah percakapannya, absen sepenuhnya akan esensi fiktif yang hanya eksisten di bayangku. Omong-omong, perihal semalam.. - Sahira, 2016. Apakah kau masih mengingatku dengan sama? Aku hanya ingin mengenalmu, sekali lagi.
1 note
·
View note
Photo
Tiga Lima Tiga Lima - Selamat Pagi, Malam Selimut tebal dan penerbangan lama; dua hal yang aku sangat benci. Selimut tebal merayuku sampai terlelap, menipu daya bahwa hangat sintetis lebih intim & hangat dari sapa langkamu. Penerbangan lama karena untuk delapan, sembilan jam aku menjadi mangsa ambang belantara, aku rela percaya bahwa keterpisahan hanya sebatas ilusi. - Sahira, 2016. Apa kau masih mengingatku dengan sama? Aku hanya ingin mengenalmu, sekali lagi.
1 note
·
View note
Photo
Tiga Lima Tiga Empat - Izin Lewat. Untuk bait ini, aku hanya ingin permisi Aku yang seharusnya jaga kau dengan manja Malah berperilaku layak tinja. - Sahira, 2016. Apa kau masih mengingatku dengan sama? Aku hanya ingin mengenalmu, sekali lagi.
2 notes
·
View notes
Photo
Tiga Lima Tiga Nasi Goreng Kambing - Tiga.
Fana, jauh di luar sana, aku ingat dimensi itu
Apa kau ingat? Sabtu malam dingin di tengah rimba kota Di tengah keramaian yang bising membisu kedua telinga kita Selaginya terpal usang putih itu terbuai dansa angin menjelang sepuluh Dan kerusi kayu usang yang kau duduki itu lapuk selayaknya umur sepuh Apa kau ingat? Sama, aku pun tidak.
Apa kau ingat? Saat kau tergesa-gesa menunggu pesanan makan malam kita Dua nasi goreng kambing tanpa timun, satu es teh tawar, dan air mineral yang justru merangsang cita Sesekalinya kau sergap melangkah & menghadap si abang di balik kaki lima Mempertanyakan waktu tunggu santapan kita yang seharusnya membuat terkesima Apa kau ingat? Sama, akupun tidak.
Apa kau ingat? Sirna puas yang terukir di sekujur parut mukamu Saat kedua piring dan gelas beling itu akhirnya terjamu Dan hangatnya paduan saffron, beras raos dan potongan - potongan kambing legit serta linangan minyak sawit mengisi lambung meraung milik kita Tapi anehnya, peliknya, sumpah laknat ganjilnya, buta ialah atensiku yang buta kesilauan akan deretan gigi berpagar Yang berdiam ditunggang lihai layak koboi oleh lekuk senyummu Suam, laksmi ditemani tawa ala anggun Yang aku resap, cukup dengan sebelah mata
Apa kau ingat?
Sama, akupun tidak.
- Sahira, 2016. Apa kau masih mengingatku dengan sama? Aku hanya ingin mengenalmu, sekali lagi.
3 notes
·
View notes
Photo
Tiga Lima Tiga Doea - Pasta Gigi Hijau.
Fana, jauh di luar sana, aku ingat dimensi itu.
Saat itu Juni. Bukan, Desember. Tegur sambutan pagimu selalunya menjadi pengganti tebu seduhan tubrukku. Bahkan faset-faset embun menggoda bercilap-cilap yang mengidap di beranda selalu terpergok merayu mendayu. Manjapun, rencanamu pagi itu, pagi kemarin pula, lusapun sama kala, memantik kakiku untuk tegap, sergap berdiri, menyambut hari, lagi dan lagi. Manakala gatrapun lelah akan afsunmu.
Saat itu Juni. Bukan, Desember. Sorepun sama. Elegi, awan hitam yang remang, tetap saja kau undang. Jangankan aku, rintik isak kosmospun kau anggap remeh. Lagimana akupun tunduk pada lugasmu, yang tanpa sedarmu mengencam eksistensi diri yang kau anggap sepele. Lagimana akupun masih saja ikhlas mengalah pada semua opini mutlakmu. Manakala gatrapun lelah akan afsunmu.
Saat itu Juni. Bukan, Desember. Saat aku tidak lagi harus menakar, sebanyak-banyaknya mengoles pasta gigi hijauku sebelum bermalam. Saat ritual wajib turun-menurun itu kau buat rasanya menjadi sunnah. Saat aku tergesa sendiri untuk selesai secepatnya, untuk kembali dengan khusyuk menyemak celotehanmu sampai tiga lima tiga. Saat akupun ditunggumu dengan sabar selagi aku basmi karang-karang yang berkarat, melarat pada sisi, samping lagipun permukaan geraham kanan kiriku. Tapi sekarang beda. Kemarin malam ponselku tertinggal, hanyut terbalut kain putih tilam tidurku. Kemarin malam aku lupa & malah sengaja oles dengan tebal, sebanyak-banyaknya pada sikat putih pembersih enzim itu dengan pasta gigi hijau yang mulai menipis jumlahnya. Kemarin malam, aku lupa & malah kumur empat, lima kali. Kemarin malam, aku lupa & malah terpojok untuk satu, dua saat di lapisan keramik hitam di dasar kamar kecilku. Kemarin malam, aku lupa & malah percaya bahwa bising air mengalir ke drainase lebih gaduh daripada denting ponselku pada malam yang kita miliki dulu - dulu. Kemarin malam, aku lupa & malah keasyikan rasanya membuang masa membaca komposisi kimia yang membuat pasta gigiku hijau daripada kembali menyambut tiga lima tiga tanpamu. Kemarin malam, aku lupa & masih saja egois pada yang Esa akan kembalinya gejolak yang membuatku bangun melewati sepertiga malam, akan kesempatan yang aku lelang, aku pasarkan demi nafsu yang memberontak hilang sabar. Tapi kemarin malam, yang pasti, kau juga lupa, lupa sekali bahwa manakala gatrapun lelah akan afsunmu,
bagaimana aku?
- Sahira, 2016. Apakah kau mengingatku dengan sama? Aku hanya ingin mengenalmu, sekali lagi.
1 note
·
View note
Photo
Tiga Lima Tiga Satoe - Rana Warna.
Fana, jauh di luar sana, aku ingat dimensi itu Saat tembok-tembok putih kosongku kau dengan angkuhnya lapisi dengan warna Kau cat, kau ukir, kau lukis tanpa sengaja dengan berbagai makna Biru, merah, putih, merah lagi sampai kembali biru lagi kau mandikan aku, Kau basuh diriku, Kau lahap warasku dengan berbagai paduan sentimen Yang kau aduk sampai berkecamuk dengan semua sabda terlarangmu itu.
- Sahira, 2016. Apa kau mengingatku dengan sama? Aku hanya ingin mengenalmu, sekali lagi.
2 notes
·
View notes