kompilasi kisah yang telah lalu atau sekedar khayalan untuk hidup yang baru
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Menemukan Keyakinan
Allahu Akbar..
ya Allah.. ya Allah, terima kasih.. alhamdulillah
3 notes
·
View notes
Text
Pada waktunya tiba, kita memahami bahwa pertolongan Allah selalu datang tepat waktu, hadir disaaat menjadikan-Nya sebagai yang utama serta percaya bahwa tak ada doa dan usaha yang sia-sia..
Maka tak akan menyesal mereka yang menjadikan Allah sebagai landasan, muara segala kekuatan. Saat ujiannya seakan tak henti berdatangan, mungkin Ini saatnya kita untuk lebih mendekat kepada Zat Yang Maha menguatkan. Saat kita merasa kehilangan kekuatan, cobalah mengembalikan hati kepada semulia-mulia niatan
maka ketika mulai mau menyerah, diskusi lagi dengan diri sendiri perihal niat awal, mengakarkan motivasi hanya kepada-Nya, bukan untuk yang lain. Jika bertemu dengan kekecewaaan mungkin perlu dicek lagi niatnya yang ditujukan untuk yang lain (read:manusia), bukan kepada-Nya.
19 notes
·
View notes
Text
Prinsipnya selalu sama. Yang berjalan lambat pastinya akan tetap sampai. Tapi tidak dengan yang berdiam diri.
387 notes
·
View notes
Text
Keputusanmu
Keputusan kita harus bisa dalam kendali kita. Secara sadar, secara bertanggungjawab. Kalau keputusan kita masih bergantung pada apa kata orang lain, menunggu dipilihkan, sudah waktunya kita belajar bahwa kita tidak bisa selamanya demikian. Selamanya menjalani risiko dari pilihan orang lain yang harus kita jalani. ©kurniawangunadi
430 notes
·
View notes
Note
Kalau cinta jangan bodoh. Ukur dengan dirimu sendiri, bukan dengan standar kata orang :)
Maaf sblmny masgun, sy mau tanya.
apa kekhawatiran terbesar laki-laki sblm menyegerakan untuk menikah?
trims
Kekhawatiran itu menyerap energi yang sangat besar. Dan memikirkan kekhawatiran orang lain, itu menyerap energi yang dua kali lipat lebih besar. Kita khawatir karena memikirkan apa yang dikhawatirkan orang lain. Dobel.
Alih-alih tenggelam dalam asumsi tersebut, bagaimana kalau kita fokus pada diri kita sendiri. Memberikan perhatian yang banyak pada kesadaran kita, menumbuhkan kesadaran itu agar kita bisa mengenal diri kita dengan lebih baik untuk menyelesaikan urusan-urusan yang perlu untuk kita selesaikan sebelum masuk ke dalam bingkai pernikahan yang mau semanis apapun, tetaplah rumit dan tak terduga. Cara kita mengatur pikiran kita, memilah mana yang penting dan tidak, menyusun skala prioritas atas segala sesuatu yang ada dalam pikiran kita itu penting. Agar kita tidak habis waktu untuk memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Termasuk, memikirkan kekhawatiran laki-laki yang tidak ada standar bakunya. Milyaran laki-laki di dunia ini, masalahnya tidak sama. Kalau kamu bertemu dengan lelaki yang membawa masalah yang tak bisa kamu jalani seumur hidup dalam pernikahanmu, ya jangan diterima. Kalau cinta jangan bodoh. Ukur dengan dirimu sendiri, bukan dengan standar kata orang :)
589 notes
·
View notes
Text
Perempuan yang Penuh Luka
Mungkin kamu adalah perempuan yang terluka di sana dan sini. Hingga kamu tak lagi mengerti kenapa tiba - tiba menangis karena hal - hal kecil yang mengingatkanmu pada ingatan ingatan buruk. Mungkin dulu kamu adalah perempuan yang diakrabi oleh rasa sakit yang sengaja ataupun tidak digoreskan yang lain padamu. Tapi waktu kemudian mengobati segala keadaan, kamu menguat karenanya. Dan semua terasa lebih mudah, terasa lebih lapang. Tak ada lagi yang bisa menyakitimu, kecuali ingatanmu sendiri. Kamu belum sembuh betul dari semua luka itu.
Lalu ada sepasang tangan yang ingin meraihmu, ingin menghujanimu dengan kebahagiaan yang dimilikinya. Ia datang dengan apa adanya, jauh dari impian impian idealmu. Tapi ia memiliki segala hal yang kau butuhkan. Ia memiliki hati yang luas untuk tempatmu tinggal. Ia menyediakan bahunya untukmu bersandar. Ia mencoba mengerti dirimu dan menyediakan waktunya untuk memahamimu, meski itu bukan pekerjaan yang mudah. Ia memberikan senyum saat kau berteriak kesakitan atas semua luka masa lalu. Ia ingin menggengam tanganmu dan mengajarimu banyak hal dari apa yang pernah dilihatnya di dunia ini. Singkat kata, ia ingin membahagiakanmu. Mengobati segala lukamu. Lalu bahagia bersamanya. Karena ia percaya kamu adalah perempuan baik yang selama ini terluka.
Maka satu pesanku, bahagialah. Hargai keberadaannya. Dan kembalikan kebaikannya lebih besar dari apa yang ia berikan padamu.
Sebab masa lalu tinggal di ruang dimensi yang berbeda denganmu saat ini. Masa lalu mengajarimu untuk lebih bijak. Sementara dia datang mengajarimu untuk bahagia lagi.
Jadi bahagialah.
—-
sumber gambar : pinterest.com
321 notes
·
View notes
Text
Di bawah terik matahari 2021, ada aku yang duduk termangu memikirkan nama siapa kelak yang akan menemani sisa perjalanan panjang, namanya? Atau namamu?
Atau nama lain yang sebelumnya tak pernah muncul
0 notes
Text
Untuk setiap rencana-rencana yang sudah kita buat, untuk setiap kurasi waktu yang sudah diperhitungkan, tapi kalo kata Allah tunggu dulu, itu mungkin yang terbaik, mungkin bukan terbaik menurut kita, tapi menurut Allah begitu
Untuk setiap rencana A, B, C, D, E yang sudah kita susun, mungkin Allah punya rencana lain yang sudah disiapkan, tentunya jauh lebih indah dibanding dengan apa yang sudah kita harapkan
Untuk setiap keadaan yang tak sesuai harapan, yakinlah.. Apa-apa yang terbaik menurut Allah jauh lebih membahagiakan, inget kan? Allah selalu memberi apa yang dibutuhkan bukan diinginkan(?)
Untuk setiap waktunya ke depan kita diharuskan untuk tetap berjuang, tapi kita tidak diwajibkan untuk selalu menang, kan?
Ingat 3Bnya, "Berjuang, Berdoa, Berserah"
Berserahnya ini ni sepertinya jadi kunci yang harus dipegang, selepas perjuangan dan doa yang panjang, Berserahlah.. Yakin Allah akan berikan semua lebih indah dari yang apa kita harapkan
Bumi-Mu, 10 Ramadhan 1442 21 April 2021, 11.20 pm
4 notes
·
View notes
Text
Bercerai
Setelah menikah, kemudian melihat bagaimana realita di lapangan. Perspektif saya terhadap perceraian juga berubah. Dulu, saya melihat bahwa perceraian itu adalah sebuah aib besar, sebuah bentuk kegagalan hebat dalam rumah tangga. Tapi, sekarang tidak. Saya bisa memahami mengapa “cerai” itu ada dan boleh, bahkan dalam agama yang saya imani, perceraian itu sama sekali tidak dilarang meski dibenci.
Cerai hadir sebagai solusi terakhir jika sebuah rumah tangga memang tidak bisa diselamatkan, terjadi hal-hal yang memang membuat sebuah rumah tangga kalau tetap dilanjutkan justru terjadi keburukan yang lebih besar. Misal KDRT, perselingkuhan, salah satu berubah akidah, dll.
Kemudian, setiap kali ada kata cerai. Dalam sudut pandangku, yang salah adalah selalu laki-laki. Entah karena laki-lakinya melakukan KDRT, selingkuh, atau hal-hal lainnya. Tapi ternyata hal itu tidak benar, setelah saya membaca banyak sekali data terkait putusan perceraian. Ada juga laki-laki yang menjadi korban KDRT, istrinya yang berselingkuh, dll. Ternyata, seluas itu pemahaman yang kudapatkan dan sebesar itu juga perubahan pemahaman yang kudapatkan dalam beberapa tahun terakhir.
Bahkan, ketika semua itu terjadi begitu dekat. Pada teman-teman seusiaku, bahkan saya hadir dalam hari pernikahan mereka. Tidak sampai dua tahun, rumah tangganya sudah tidak berlanjut. Bahkan beberapa di antara mereka sempat mengumbar kebahagiaan dan romantismenya di awal menikah, semua unggahan itu sudah hilang. Ada yang sesama aktivis, kami sempat bertemu selang beberapa hari mereka menikah, hari ini sudah berpisah. Bahkan saya hampir saja harus ikut turun tangan dalam rumah tangga yang benar-benar akan hancur, untung tidak jadi. Tidak jadi turun tangan. Tapi rumah tangganya sudah diputuskan bubar oleh pengadilan. Saya juga menjadi lebih terbuka dan realistis, sering berpesan kepada teman yang bertanya tentang pernikahan. Nasihat yang mungkin jarang didapatkan ditempat lain olehnya. Yang intinya, kalau rumah tangganya nanti ada di tahap ekstrem tidak bisa diselamatkan karena ada kekerasan, dan hal-hal yang benar-benar tidak bisa ditolerir dan setelah berbagai upaya tidak bisa diselamatkan. Jangan takut untuk memilih pilihan terakhir, cerai. Dengan segala risikonya. Tuhan hadirkan solusi itu bukan tanpa alasan, meski Dia sendiri membencinya. Tapi, Tuhan tahu bahwa ada hal-hal yang memang tidak bisa dipecahkan dengan solusi lainnya, selain bercerai. Pun perceraian itu tidak berarti kemudian kamu gagal menjalani rumah tangga. Kamu tetap memiliki kesempatan yang sama seperti orang lain, untuk membangun kembali rumah tangga dengan pasangan yang baru nanti. Dan kita, jangan pernah memandang sebelah mata atas rumah tangga orang yang berpisah. Kita mungkin tidak tahu siapa yang salah, apakah dia atau pasangannya. Kalau kita kebetulan tahu, siapa yang salah. Bantulah korbannya dengan menguatkannya.
Kalau rumah tangga kita, terjaga, harmonis, dan bisa utuh hingga saat ini. Bersyukurlah. Karena apa yang dimiliki ini, menjadi sesuatu yang mungkin sulit diperjuangkan oleh rumah tangga lainnya. Kalau kamu belum menikah dan mungkin nanti bertemu dengan seseorang yang kamu cintai dan ternyata “pernah menikah” terlebih dia pernah menjadi korban dalam pernikahan sebelumnya. Harapanku, kamu tidak melihat masa lalunya sebagai sebuah kecacatan yang mengerikan, dia pun tentu tidak menghendaki itu terjadi dalam hidupnya kan? Dan dia berhak memiliki kehidupan yang baik di kesempatan berikutnya. Kalau kemudian kamu mundur karena dia “pernah menikah”, jangan sakiti hatinya dengan menjadikan itu sebagai alasan utama kenapa kamu menghindarinya. Semakin dewasa, semakin banyak realita yang kutemukan. Pemahaman hidup ini semakin meluas, dan aku menjadi paham bahwa keutuhan rumah tangga itu memang perlu diperjuangkan oleh kedua belah pihak dalam rumah tangga tersebut, suami dan istri, tidak hanya salah satu. Dan kita perlu bantuan dari orang-orang terdekat kita, untuk membantu menjaga rumah tangga kita tetap dalam jalurnya. Semoga, anugerah berupa rumah tangga yang berjalan dengan baik tersebut tidak membuat kita merasa lebih tinggi dari teman-teman kita yang lain, yang mungkin tidak beruntung karena rumah tangga mereka ternyata harus karam di usia semuda ini. Semoga, kita menjadi semakin bijak dalam hidup. Aamiin. 6 April 2021 | ©kurniawangunadi
585 notes
·
View notes
Text
“Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni.”
— Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku. (via desisaraswatii)
1K notes
·
View notes
Text
Ternyata...
Benang kusut tak kunjung terurai
Si oemikir mulai memikirkan hal lain yang memicu pikiran-pikiran baru, mencari masalah tanpa menemukab solusi hahah dasar!
0 notes
Text
semakin dewasa
semakin takut ngomongin orang lain. takut kalau suatu hari kita jadi seperti yang diomongin. takut karena yah, kita cuma beda dosa aja.
semakin hati-hati membuat komitmen. lebih banyak menolak daripada menerima. lebih banyak berkata tidak daripada berkata iya. punya not-to-do list alih-alih to-do list saja.
semakin sabar urusan rezeki. sudahlah, yang memang untuk kita pasti akan datang dari mana pun itu. yang bukan untuk kita, nggak akan sampai meskipun sudah di depan mata. juga, semakin sadar bahwa setiap manusia bisa jadi wasilah rezeki bagi manusia lain. termasuk diri kita.
semakin bersyukur sama pasangan, anak, dan keluarga. rasanya, di luar sana orang tuh macam-macam banget. kadang artinya "ada-ada saja". pasangan yang setia, terbuka, dan menyayangi itu sangat istimewa. selebihnya maafkan dan terima.
semakin ingin mengikhlaskan. barang-barang, kepemilikan, masa lalu, luka, beban. ingin semua bersih agar setiap hari bisa berjalan dengan hati ringan.
semakin yakin dengan jalan yang dipilih. ternyata nggak berubah, krisis identitas itu selalu ada di setiap fase hidup. tugas kita adalah membuat kapital identitas yang jauh lebih besar daripada krisisnya. caranya, tetap teguh berjalan pada pilihan. jadilah pemenang yang sabar.
semakin sadar betapa kecilnya manusia. bumi Allah luas, kekuasaan Allah tinggi, Allah Mahabesar. nggak ada yang nggak mungkin bagi Allah.
semakin sayang orang tua. ya Allah, muliakanlah kedua orang tua kami.
1K notes
·
View notes
Text
Kalau Memang Ia
Rasa khawatir itu bergandengan erat dengan harapan, tak kala doa-doa itu terucap dalam hati. Segala sesuatu membuat pikiranku ke mana-mana, ketidakpastian yang ingin segera kutemukan jawabannya. Hari menghitung hari, menunggumu datang beserta dengan niat dan tindakan yang sesuai.
Aku tak pernah sekhawatir ini dalam berdoa, sekaligus tak pernah seberharap ini. Biar tak ada keraguan dan penyesalan di kemudian hari, aku selalu berusaha untuk membuat pikiranku lebih jernih. Bahwa, semua kemungkinan itu mungkin untuk terjadi dan aku harus bersiap.
Kalau memang ia, mudahkanlah jalannya. Kalau ada hambatan, kuatkanlah dirinya. Kalau ada godaan, pandulah ia tetap pada niatnya. Doaku sederhana, semoga kamu tak tersesat ketika datang kepadaku. ©kurniawanguandi
2K notes
·
View notes
Quote
it's you, it's always you if i'm ever gonna fall in love i know it's gon' be you
Ali Gatie
2 notes
·
View notes
Text
mengikhlaskan ternyata bukan perkara yang sangat mudah butuh usaha yang kuat, tak hanya sekedar ya aku ikhlas di lisan tapi hatinya? walau berat semoga aku mampu dan dimampukan
0 notes
Text
Perempuan
Di mana lagi aku temui perempuan semacammu? Tilawahmu tidaklah terlalu merdu, keimananmu pun seolah bersandar kepadaku.
Tapi, di mana lagi aku temui perempuan seikhlasmu? Wajahmu tak cantik melulu, masakanmu pun tidak lezat selalu.
Tapi, katakan kepadaku, di mana lagi aku jumpai perempuan seperkasamu? Kau bahkan tidak biasa berbicara mewakili dirimu sendiri, dan acapkali menyampaikan isi hatimu dalam bahasa yang tak berkata-kata.
Demi Tuhan, tapi aku benar-benar tidak tahu, ke mana lagi aku cari perempuan seinspiratif dirimu? Ingatkah lima tahun lalu aku hanya memberimu selingkar cincin 3 gram yang engkau pilih sendirian? Tidak ada yang spektakuler pada awal penyatuan kita dulu. Hanya itu. Karena aku memang tidak punya apa-apa.
Ah, bagaimana bisa aku menemukan perempuan lain sepertimu? Aku tidak akan melupakan amplop-amplop lusuhmu, menyimpan lembaran ribuan yang kausiapkan untuk belanja satu bulan. Dua ribu per hari. Sudah kauhitung dengan cermat. Berapa rupiah untuk minyak tanah, tempe, cabe, dan sawi. Ingatkah, Sayang? Dulu kita begitu akrab dengan racikan menu itu. Setiap hari. Sekarang aku mulai merasa, itulah masa paling indah sepanjang pernikahan kita. Lepas maghrib aku pulang, berkeringat sebadan, dan kaumenyambutku dengan tenang. Segelas air putih, makan malam: tempe, sambal, dan lalap sawi.
Kita bahagia. Sangat bahagia?.. Aku bercerita, seharian ada apa di tempat kerja. Kau memijiti punggungku dengan jemarimu yang lemah tapi digdaya. Kau lalu bercerita tentang tingkah anak-anak tetangga? Kala itu kita begitu menginginkan hadirnya buah cinta yang namanya pun telah kusiapkan sejak bertahun-tahun sebelumnya. Kita tidak pernah berhenti berharap, kan, Honey?
Dua kali engkau menahan tangismu di ruang dokter saat kandunganmu mesti digugurkan. Aku menyiapkan dadaku untuk kepalamu, lalu membisikkan kata-kata sebisaku, “tidak apa-apa. Nanti kita coba lagi. Tidak apa-apa.” Di atas angkot, sepulang dari dokter, kita sama-sama menangis, tanpa isak, dan menatap arah yang berlawanan. Tapi, masih saja kukatakan kepadamu, “Tidak apa-apa, Sayang. Tidak apa-apa. Kita masih muda.” Engkau tahu betapa lukanya aku. Namun, aku sangat tahu, lukamu berkali lipat lebih menganga dibanding yang kupunya. Engkau selalu bisa segera tersenyum setelah merasakan sakit yang mengaduk perutmu, saat calon bayi kita dikeluarkan. Kaumemintaku menguburkannya di depan rumah kita yang sepetak. “Yang dalam, Kang. Biar nggak digali anjing.”
Jadi, ke mana aku bisa mencari perempuan sekuat dirimu? Kaupasti tak pernah tahu, ketika suatu petang, sewaktu aku masih di tempat kerja, hampir merembes air mataku ketika kauberitahu. “Kang, Mimi ke Ujung Berung, jual cincin.” Cincin yang mana lagi? Engkau sedang membicarakan cincin kawinmu, Sayang. Yang 3 gram itu. Aku membayangkan bagaimana kau beradu tawar menawar dengan pembeli emas pinggir jalan. Bukankah seharusnya aku masih mampu memberimu uang untuk makan kita beberapa hari ke depan? Tidak harus engkau yang ke luar rumah, melawan gemetar badanmu, bertemu dengan orang-orang asing. Terutama ? untuk menjual cincinmu? Cincin yang seharusnya menjadi monumen cinta kita. Tapi kausanggup melakukannya. Dan, ketika kupulang, dengan keringat sebadan, engkau menyambutku dengan tenang. Malam itu, tidak cuma tempe, cabe, dan lalap sawi yang kita makan. Kaupulang membawa uang. Duh, Gusti, jadi bagaimana aku sanggup berpikir untuk mencari perempuan lain seperti dirinya?
Ketika kondisi kita membaik, bukankah engkau tidak pernah meminta macam-macam, Cinta? Engkau tetap sesederhana dulu. Kaubelanja dengan penuh perhitungan. Kauminta perhatianku sedikit saja. Kau kerjakan semua yang seharusnya dikerjakan beberapa orang. Kaucintai aku sampai ke lapisan tulang. Sampai membran tertipis pada hatimu.
Ingatkah, Sayang? Aku pernah menghadiahimu baju, yang setelah itu kautak mau lagi membeli pakaian selama bertahun-tahun kemudian. Baju itu seharga kambing, katamu. Kautak mau buang-buang uang. Bukankah telah kubebaskan kau mengelola uang kita? Kautetap seperti dulu. Membuat prioritas-prioritas yang kadang membuatku kesal. Kau lebih suka mengisi celengan ayam jagomu daripada membeli sedikit kebutuhanmu sendiri.
Dunia, kupikir aku tak akan pernah menemui lagi perempuan seperti dia. Sepekan lalu, Sayang, sementara di rahimmu anak kita telah sempurna, kaumasih memikirkan aku. Menanyai bagaimana puasaku, bukaku, sahurku? Siapa yang mencuci baju-bajuku, menyetrika pakaianku. Bukankah sudah kupersilakan engkau menikmati kehamilanmu dan menyiapkan diri untuk perjuanganmu melahirkan anak kita? “Kang, maaf, ya, dah bikin khawatir, gak boleh libur juga gak papa. Tadi tiba-tiba gak enak perasaan. Tau nih, mungkin krn bentar lagi.” Bunyi smsmu saat kudalam perjalanan menuju Jakarta. Panggilan tugas. Dan, engkau sangat tahu, bagiku pekerjaan bukan neraka, tetapi komitmen. Seberat apa pun, sepepat apa pun, pekerjaan adalah sebuah proses menyelesaikan apa yang pernah aku mulai. Tidak boleh mengeluh, tidak boleh menjadikannya kambing hitam. Membaca lagi SMSmu membuatku semakin tebal bertanya, ke mana lagi kucari seorang pecinta semacammu.
Kaumencintaiku dengan memberiku sayap. Sayap yang mampu membawaku terbang bebas, namun selalu memberiku alamat pulang kepadamu. Selalu. Lalu SMS mu itu kemudian menjadi firasat. Sebab, segera menyusul teleponmu, pecah ketubanmu. Aku harus segera menemuimu. Secepat-cepatnya meninggalkan Bandung menuju Cirebon untuk mendampingimu. “Terus kamu kenapa masih di sini? Pulang saja,” kata atasanku ketika itu. Engkau tahu, Sayang, aku masih berada di dalam meeting ketika teleponmu mengabarkan semakin mendekatnya detik-detik lahirnya “tentara kecil” kita. Ketika itu aku masih berpikir, boleh kuselesaikan meeting itu dulu, agar tidak ada beban yang belum terselesaikan. Tapi, tidak. Atasanku bilang, tidak. “Pulang saja,” katanya. Baru kubetul-betul sadar, memang aku segera harus pulang. Menemuimu. Menemanimu. Lalu, kusalami mereka yang ada di ruang rapat itu satu-satu. Tidak ada yang tidak memberikan dorongan, kekuatan, dukungan.
Lima jam kemudian aku ada di sisihmu. Seranjang sempit rumah sakit dengan infuse di pergelangan tangan kirimu. Kaumulai merasakan mulas, semakin lama semakin menggila. Semalaman engkau tidak tidur. Begitu juga aku. Berpikir untuk memejamkan mata pun tak bisa. Aku tatap baik-baik ekspresi sakitmu, detik per detik. Semalaman, hingga lepas subuh, ketika engkau bilang tak tahan lagi. Lalu, aku berlari ke ruang perawat. “Istri saya akan melahirkan,” kataku yakin.
Bergerak cepat waktu kemudian. Engkau dibawa ke ruang persalinan, dan aku menolak untuk meninggalkanmu. “Dulu ada suami yang ngotot menemani istrinya melahirkan, lihat darah, tahu-tahu jatuh pingsan,” kata dokter yang membantu persalinanmu. Aku tersenyum, yang pasti laki-laki itu bukan aku. Sebab aku merasa berada di luar ruang persalinan itu akan jauh lebih menyiksa. Aku ingin tetap di sisihmu. Mengalirkan energi lewat genggaman tanganku, juga tatapan mataku. Terjadilah. Satu jam. Engkau mengerahkan semua tenaga yang engkau tabung selama bertahun-tahun. Keringatmu seperti guyuran air. Membuat mengilap seluruh kulitmu. Terutama wajahmu. Menjerit kadangkala. Tanganmu mencengkeram genggamanku dengan kekuatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kekuatan yang lahir oleh kesakitan. Engkau sangat kesakitan, sementara “tentara kecil” kita tak pula mau beranjak. “Banyak kasus bayi sungsang masih bisa lahir normal, kaki duluan. Tapi anak ini kakinya melintang,” kata dokter. Aku berusaha tenang. Sebab kegaduhan hatiku tidak bisa membantu apa-apa. Kusaksikan lagi wajah berpeluhmu,Sayang. Kurekam baik-baik, seperti fungsi kamera terbaik di dunia. Kusimpan lalu di benakku yang paling tersembunyi. Sejak itu kuniatkan, rekaman itu akan kuputar jika suatu ketika kuberniat mencurangimu, menyakitimu, melukaimu, mengecewakanmu.
Aku akan mengingat wajah itu. Wajah yang hampir kehilangan jiwa hanya karena ingin membuatku bahagia. “Sudah tidak kuat, Kang. Nggak ada tenaga,” bisikmu persis di telingaku. Karena sengaja kulekatkan telingaku ke bibirmu. Aku tahu, ini urusan nyawa. Lalu kumerekam bisikanmu itu. Aku berjanji pada hati, rekaman suaramu itu akan kuputar setiap lahir niatku untuk meminggirkanmu, mengecilkan cintamu, menafikkan betapa engkau permata bagi hidupku. Aku mengangguk kepada dokter ketika ia meminta kesanggupanku agar engkau dioperasi. Tidak ada jalan lain. Aku membisikimu lagi, persis di telingamu, “Mimi kuat ya. Siap, ya. Ingat, ini yang kita tunggu selama 5 tahun. Hayu semangat!”
Engkau mengangguk dengan binar mata yang hampir tak bercahaya. Aku tahu, ini urusan nyawa. Tapi mana boleh aku memukuli dinding, menangis sekencang angin, lalu mendongak ke Tuhan, “Kenapa saya, Tuhan! Kenapa kami?” Sebab, Tuhan akan menjawab, “Kenapa bukan kamu? Kenapa bukan kalian?” Aku mencoba tersenyum lagi. Mengangguk lagi kepadamu. “Semua akan baik-baik saja.” Maka menunggumu di depan ruang operasi adalah saat di mana doa menjadi berjejal dan bernilai terkhusyuk sepanjang hidup. Seandainya aku boleh mendampingi operasimu?. Tapi tidak boleh. Aku menunggumu sembari berkomat-kamit sebisaku. Aku sendirian. Berusaha tersenyum, tetapi sendirian. Tidak ? tidak terlalu sendirian.
Ada seseorang mengirimiku pesan pendek dan mengatakan kepadaku, “Aku ada di situ, menemanimu.” Kalimat senada kukatakan kepadanya suatu kali, ketika dia mengalami kondisi yang memberatkan. “Apa kepala bebalmu tidak merasa? Aku ada di situ! Menemanimu!” Lalu, tangis itu! Rasanya seperti ada yang mencabut nyawaku dengan cara terindah sedunia. Tangis itu! Tentara kecil kita. Menjadi gila rasanya ketika menunggu namaku disebut. Berlari ke lorong rumah sakit ketika tubuh mungil itu disorongkan kepadaku. “Ini anak Bapak?” Tahukah engkau, Sayang. Ini bayi yang baru keluar dari rahimmu, dan aku harus menggendongnya. Bukankah dia terlau rapuh untuk tangan-tangan berdosaku? Dokter memberiku dukungan. Dia tersenyum dengan cara yang sangat senior. “Selamat, ya. Bayinya laki-laki.” Sendirian, berusaha tenang. Lalu kuterima bayi dalam bedongan itu. Ya, Allah?.bagaimana membahasakan sebuah perasaan yang tidak terjemahkan oleh semua kata yang ada di dunia???
Makhluk itu terpejam tenang semacam malaikat; tak berdosa. Sembari menahan sesak di dadaku, tak ingin menyakitinya, lalu kudengungkan azan sebisaku. Sebisaku. Sebab, terakhir kukumandangkan azan, belasan tahun lalu, di sebuah surau di pelosok Gunung Kidul. Azan yang tertukar redaksinya dengan Iqomat. Mendanau mataku. Begini rasanya menjadi bapak? Rasanya seperti tertimpa surga. Aku tak pedul lagi seperti apa itu surga. Rasanya sudah tidak perlu apa-apa lagi untuk bahagia. Momentum itu berumur sekitar lima menit. Tentara kecil kita diminta oleh perawat untuk dibersihkan. Ingatanku kembali kepadamu.
Bagaimana denganmu, Sayang? Kukirimkan kabar tentang tentara kecil kita kepada seseorang yang semalaman menemani kita bergadang dari kejauhan. Dia seorang sahabat, guru, inspirator, pencari, dan saudara kembarku. “He is so cute,” kata SMS ku kepadanya. Sesuatu yang membuat laki-laki di seberang lautan itu menangis dan mengutuk dirinya untuk menyayangi bayi kita seperti dia merindukan dirinya sendiri. Sebuah kutukan penuh cinta. Setengah jam kemudian, berkumpul di ruangan itu. Kamar perawatan kelas dua yang kita jadikan kapal pecah oleh barang-barang kita. Engkau, aku, dan tentara kecil kita. Seorang lagi; keponakan yang sangat membantuku di saat-saat sulit itu. Seorang mahasiswi yang tentu juga tidak tahu banyak bagaimana mengurusi bayi. Tapi dia sungguh memberiku tangannya dan ketelatenannya untuk mengurusi bayi kita. Engkau butuh 24 jam untuk mulai berbicara normal, setelah sebelumnya seperti mumi. Seluruh tubuhmu diam, kecuali gerakan mata dan sedikit getaran di bibir.
Aku memandangimu, merekam wajahmu, lalu berjanji pada hati, 50 tahun lagi, engkau tidak akan tergantikan oleh siapa pun di dunia ini. Lima hari, Sayang. Lima hari empat malam kita menikmati bulan madu kita sebenar-benarnya. Aku begitu banyak berimprovisasi setiap hari. Mengurusi bayi tidak pernah ilmunya kupelajari. Namun, apa yang harus kulakukan jika memang telah tak ada pilihan? Aku menikmati itu. Berusaha mengurusmu dengan baik, juga menenangkan tentara kecil kita supaya tangisnya tak meledak-ledak. “Terima kasih, Kang,” katamu setelah kubantu mengurusi kebutuhan kamar mandimu. Lima tahun ini apa keperluanku yang tidak engkau urus, Sayang? Mengapa hanya untuk pekerjaan kecil yang memang tak sanggup engkau lakukan sendiri, engkau berterima kasih dengan cara paling tulus sedunia? Lalu ke mana kata “terima kasih” yang seharusnya kukatakan kepadamu sepanjang lima tahun ini? Tahukah engkau, kata “terima kasih” mu itu membuat wajahmu semelekat maghnet paling kuat di kepalaku. Mengurusimu dan bayi kita.
Lima hari itu, aku menemukan banyak gaya menangisnya yang kuhafal di luar kepala, agar aku tahu apa pesan yang ingin dia sampaikan. Gaya kucing kehilangan induk ketika ia buang kotoran. Gaya derit pintu ketika dia merasa kesepian, gaya tangis bayi klasik (seperti di film-film atau sandiwara radio) jika dia merasa tidak nyaman, dan paling istimewa gaya mercon banting; setiap dia kelaparan. Tidak ada tandingnya di rumah sakit bersalin yang punya seribu nyamuk namun tidak satu pun cermin itu. Dari ujung lorong pun aku bisa tahu itu tangisannya meski di lantai yang sama ada bayi-bayi lain menangis pada waktu bersamaan.
Ah, indahnya. Tak pernah bosan kutatapi wajah itu lalu kucari jejak diriku di sana. Terlalu banyak jejakku di sana. Awalnya kupikir 50:50 cukup adil. Agar engkau juga merasa mewariskan dirimu kepadanya. Tapi memang terlalu banyak diriku pada diri bayi itu. Hidung, dagu, rahang, jidat, tangis ngototnya, bahkan detail cuping telinga yang kupikir tidak ada duanya di dunia.
Ada bisik bangga, “Ini anakku? anak laki-lakiku. ” Tapi tenang saja, istriku, kulitnya seterang dan sebening kulitmu. Rambutnya pun tak seikal rambutku. Kuharap, hatinya kelak semembentang hatimu. Kupanggil dia Sena yang berarti tentara. Penggalan dari nama sempurnanya: Senandika Himada. Sebuah nama yang sejarahnya tidak serta-merta. Panjang dan penuh keajaiban. Senandika bermakna berbicara dengan diri sendiri; kontemplasi, muhasabbah, berkhalwat dengan Allah. Sedangkan Himada memiliki makna yang sama dengan Hamida atau Muhammad: YANG TERPUJI? dan itulah doa kita untuknya bukan, Sayang? Kita ingin dia menjadi pribadi yang terpuji dunia akhirat. Kaya nomor sekian, pintar pun demikian, terkenal apalagi. Yang penting adalah terpuji? mulia?dan ini bukan akhir kita, bukan, Honey?
Ini menjadi awal yang indah. Awalku jatuh cinta (lagi) kepadamu. (persembahan buat setiap perempuan, dan ibu yang hatinya semembentang samudra)
—— Cerpen by Tasaro GK
461 notes
·
View notes
Quote
Ada orang yang saling menunggu hanya karena diantara mereka takut untuk memulai. Aku pernah menemukan yang seperti ini diantara banyak perjalanan yang sedang aku jalani. Dan aku tidak melakukan apa-apa, hanya menyaksikan keduanya menahan diri. Enggan memulai, yang satu merasa tidak pantas karena dia perempuan, yang satunya merasa tidak pantas karena belum mapan. Rumit.
©kurniawangunadi
(via kurniawangunadi)
Setelah sekian lama, ternyata urusan saling tunggu ini tak kunjung selesai. Sampai-sampai waktu berlalu, keduanya dipisahkan oleh kekhawitiran yang ternyata hanya ada dalam pikirannya sendiri. Ketakutan yang dibuat-buat seolah itu akan menjadi kenyataan jika ia memulai lebih dulu.
(via kurniawangunadi)
Ada orang yang sedang menunggu orang yang juga sedang menunggunya.
3K notes
·
View notes