sedang mencoba menulis kembali dan belajar untuk merangkai sebuah kalimat
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Pikiran Seorang "Diri" #1
Rencana nikah di umur berapa? 30
Rencana nikah kapan? kalo sudah siap
Rencana nikah kapan? …
___
Kenapa dulu saya saat umur 21 sudah minta nikah? Berkali-kali bilang ke orang tua meskipun sudah tahu belum boleh karena satu dan lain hal. Umur 22 berkali-kali bilang. Umur 23 berkali-kali bilang juga. Qodarullah belum waktunya.
Akhirnya merasa maksimal umur 24-25 sudah harus nikah, dengan siapapun yang jadi jodohnya. why?
Pikiran saat itu adalah bahwa muara hidup di nikah, sepertinya sudah harus menikah untuk terjaga, menyempurnakan agama dan ladang pahala.
Saat itu tanya-tanya ke MT cari tahu bagaimana ilmunya nikah? Ada tidak kumpulan hadist khusus tentang bab pernikahan?
Bagaimana syaratnya menikah? caranya? sunnahnya? do'anya? minta manqulan private materi kitabu nikah saat kelewat ngaji.
Apakah saya memikirkan apakah sudah siap menikah? Ya
Apakah ada kepikiran bahwa rasanya belum siap? Ya
Apakah ada khawatirnya? Ya
Apakah ada takutnya? Ya
Apakah saya khawatir belum bisa memberikan sesuai ekspektasi? Ya
Apakah takut merasa tidak cukup baik? Ya
Alhamdulillah setelah banyak istikhoroh makin mantep dan dilancarkan jalannya.
Alhamdulillah Alloh ngasih kekuatan, kesabaran, rejeki melimpah, rasa syukur sampai saat ini.
Alhamdulillah istri saya Edistiara.
Alhamdilillah punya anak Umar dan Ukasyah.
Maaf masih banyak kurangnya.
Bismillah, mudah-mudahan bisa bicara dengan baik, menyampaikan dengan baik, mencontohkan dengan baik, menasehati dan memberi tahu dengan baik, mendengarkan dengan baik, mengoreksi dengan baik, bersikap tegas dengan baik.
Mudah-mudahan saya, istri dan anak-anak bisa terus tumbuh menjadi orang yang sholeh sholehah, dan selalu dalam hidayah Alloh. Amin
0 notes
Text
Pikiran Seorang Ayah #2
Anak bukanlah investasi, bukan pelampiasan hal-hal yang belum tercapai di masa lalu, bukan untuk memenuhi rasa bangga, bukan juga menjadi tujuan.
Anak adalah amanah yang dititipkan, mereka punya fitrah dan misinya sendiri. Tidak ada hak untuk memiliki mereka, tugasnya adalah menjaga, membersamai, memfasilitasi, memberikan contoh dan mendidik mereka. Karena Alloh swt.
___
Lalu apa boleh merasa bangga? senang dengan pemberian mereka? mengenalkan banyak hal yang mungkin tidak didapat saat dulu masih kecil? merasakan rindu dan selalu ingin pulang? merasakan sedih jika membayangkan sakit/kehilangan?
Tentu boleh. Hanya saja jangan sampai lupa bahwa tujuannya adalah untuk mencari ridhonya Alloh swt.
Pemberian dari anak adalah rejeki dari Alloh yang diberikan melalui anak. Rasa bangga adalah "ukhro" dari perjuangan yang sudah dilakukan dan bukan tujuan.
Mengenalkan banyak hal yang mungkin tidak didapat saat dulu masih kecil adalah bentuk ikhtiar untuk mengenalkan anak dengan banyak hal supaya mereka bisa berkembang sesuai fitrahnya. Ikhtiar untuk memberikan yang terbaik karena mereka adalah amanah.
Rasa rindu dan ingin pulang bukan karena mereka adalah tujuan, tapi karena ingin menjaga mereka (dan sebaliknya), membersamai (dan sebaliknya), mendidik dan belajar (dan sebaliknya). Supaya dapat pahala. Kalo lebih banyak waktu dengan keluarga insyaaAlloh tambah barokah.
Lalu sedih jika membayangkan mereka sakit/kehilangan? wajar namanya manusia. Tapi jangan lupa bahwa qodar dari Alloh swt. Jika diqodar sakit ya sabar, ikhtiar dan do,a. Jika pun kehilangan ya memang qodarnya demikian, karena dunia ini sementara. Yang pasti harus keadaan dalam hidayah.
Tujuannya tetap mencari ridho Alloh swt. Adapun yang didapat adalah "ukhro" dan rejeki dari Alloh. Perbanyak bersyukur dan sabar.
0 notes
Text
Pikiran Seorang Suami #1
Di pengajian hari Minggu lalu disampaikan syairan tentang ibu oleh penyampai materi. Sebetulnya pertama kali dengar tahun 2020 lalu (insyaaAlloh) di Tanjung, Kalsel.
Pertama kali dengar syairan ini, yang terlintas di pikiran adalah perjuangan ibu (saya) membesarkan anak-anaknya yang banyak sekali. Tapi di hari Minggu lalu, kali kedua dengar syairan ini yang pertama muncul adalah perjuangan istri.
Syairannya kurang lebih begini :
لِأُمِّكَ حَقٌّ لَوْ عَلِمْتَ كَبِيْرُ , كَثِيْرُكَ يَا هَذَا لَدَيْهَا يَسِيْرُ فَكَمْ لَيْلَةٍ بَاتَتْ بِثَقْلِكَ تَشْتَكِى , لَهَا مِنْ جُوَاهَا أَنَّةٌ وَزَفِيْرُ وَفِى الْوَضْعِ لَوْ تَدْرِى عَلَيْهَا مَشَقَّةٌ , فَمِنْ غَصَصٍ مِنْهَا الْفُؤَادُ يَطِيْرُ وَكَمْ غَسَلَتْ عَنْكَ الْأَذَى بِيَمِيْنِهَا , وَمَا حِجْرُهَا إلَّا لَدَيْكَ سَرِيْرُ وَتُفْدِيْكَ مِمَّا تَشْتَكِيْهِ بِنَفْسِهَا , وَمِنْ ثَدْيِهَا شَرْبٌ لَدَيْكَ نَمِيْرُ وَكَمْ مَرَّةٍ جَاعَتْ وَأَعْطَتْكَ قُوْتَهَا, حُنُوًّا وَإِشْفَاقًا وَأَنْتَ صَغِيْرُ فَأَهًا لِذِى عَقْلٍ وَيَتَّبِعِ الْهَوَى , وَأَهًا لِأَعْمَى الْقَلْبِ وَهُوَ بَصِيْرُ فَدُوْنَكَ فَارْغَبْ فِى عَمِيْمِ دُعَاِئِهَا, فَأَنْتَ لِمَا تَدْعُوْ إِلَيْهِ فَقِيْرُ
Artinya :
Bagi ibumu itu punya haq, jika kamu tahu besar sekali haq itu.
Semua balas budimu itu jauh lebih kecil jika dibandingkan jasa ibumu.
Beberapa malam ibumu mengeluh karena beratnya mengandung dirimu.
Dari rongga mulutnya keluar rintihan dan tangisan terisak-isak.
Ketika melahirkanmu, ibumu itu menanggung beban yang berat (taruhan nyawa).
Karena saking sulitnya, dalam hati serasa melayang.
Betapa seringnya ibumu membersihkan kotoranmu dengan tangan kanannya.
Dan pangkuan ibumu itu kau jadikan sebagai tempat tidurmu.
Dan ibumu telah menebusmu dengan segala kesakitan dirinya.
Dan dari susu ibumu kau jadikan minuman terus menerus.
Betapa seringnya ibumu menahan lapar namun tetap memberikan makan kepadamu.
Karena rasa kasih sayang dan kekhawatirannya ketika engkau masih kecil.
Alangkah hinanya bagi orang yang berakal, sementara ia menerima hawa nafsunya (berani pada orang tua).
Alangkah hinanya bagi orang yang buta hatinya sementara matanya melihat (tidak pengertian pada ibu).
Senangkanlah dirimu yang selalu ada dalam do'a ibumu.
Sedangkan engkau selalu membutuhkan do'a ibumu.
___
Tidak lama dari menikah, istri langsung ikut saya ke Kalimantan. Yang biasanya di kota tiba-tiba ke kampung kecil di pulau seberang dengan orang baru dan cuma ada suami. Fase terberat adalah adaptasi. Adaptasi dengan lingkungan baru, dengan orang baru yang kebiasannya juga baru, harus stay lama di rumah, tiba-tiba ada ODGJ naik pagar rumah, ular masuk rumah, perabot seadanya dll.
Lalu teringat juga saat membersamai kala dia mengandung, ketika menahan sakit, menahan rasa tidak nyaman, mungkin ada rasa insecure juga karena perubahan fisik, rasa mual dll.
Di proses lahiran anak pertama sepertinya yang lebih berat dari yang kedua karena lebih banyak khawatirnya, pada saat itu juga melewati proses induksi yang masyaAlloh, meskipun tidak bisa merasakannya, tapi melihatnya saja rasanya tidak tega. Sampai akhirnya karena kondisi mama dan kandungannya, jadi disarankan dan akhirnya melalui operasi (insyaaAlloh barokahnya seperti itu).
Detik-detik paling terasa seumur hidup adalah ketika nunggu istri di operasi. Panik ga? panik lah masa ngga, cuma harus tetap kalem. Kalo kita panik, siapa lagi yang bisa tenang. Chat di grup keluarga, japri kakak, ibu minta do'a dari semuanya.
Begitu perawat keluar, yang pertama disampaikan dia adalah kondisi bayinya, alhamdulillah normal sehat semua. Lalu pertanyaan saya selalu "mamanya gimana?".
Tidak berhenti di proses lahiran, pasca lahiran tidak kalah berat, harus begadang, recovery pasca operasi dst dst. Terlalu banyak kalau diceritakan, mungkin nanti dipostingan yang lain.
Sampai sekarang pun saya dan istri masih terus belajar, dan yang dicurahkan bukan lagi hanya fisik, tapi juga ekstra pikiran dan pengelolaan emosi. Bagaimana memfasilitasi seiring perkembangan anak, memberikan contoh yang benar, berusaha tidak tantrum (kitanya) dll.
Saya coba ceritakan sesekali ke anak-anak, bagaimana perjuangan mamanya saat mengandung dan lahiran, saat membesarkan mereka sampai sekarang, supaya mereka paham dan berpikir.
Masih panjang perjalanan dan seiringnya akan terus belajar (insyaaAlloh). Maaf ya Mama, Umar, Kasya kalo belum dirasa cukup baik, tapi insyaaAlloh sudah dan akan berusaha yang terbaik sapol kemampuan.
Bersyukur mulai dari awal sampai saat ini, alhamdulillah istri aku Edistiara, alhamdulillah punya pekerjaan proper, tempat tinggal nyaman, bisa sama-sama dan terutama masih dalam hidayah Alloh swt. Mudah-mudahan bisa saling surga mensurgakan. Amin.
0 notes
Text
Pikiran Seorang Ayah #1
Menjadi seorang ayah adalah proses belajar. Belajar menghargai fitrah anak, mengontrol emosi, berdiskusi, membujuk, bersikap tegas dan konsisten, memaafkan, berempati, memahami, memperbaiki kebiasaan yang kurang baik, memberikan teladan yang baik dan masih banyak lagi.
---
Ada yang menarik ketika melihat anak pertama berusia lima setengah tahun dan anak kedua menginjak empat tahun. Ketika mereka bermain, berbicara, bertingkah, berlarian, bersuara keras dan berdiskusi, beberapa kali terlintas di pikiran "saya dulu seperti apa ya di usia mereka ?".
Di usia empat tahun saya mulai masuk ke dunia pendidikan formal dengan memulai di tingkat taman kanak-kanak selama satu tahun. Dengan modal mencoba-coba, di tahun berikutnya orang tua saya memasukkan saya ke kelas satu jenjang sekolah dasar.
Dua tahun pertama di sekolah dasar adalah salah satu momen yang paling berkesan, karena disaat itu ketika jam istirahat saya sering sekali berlari ke rumah (karena rumahnya dekat sekali dengan sekolah) dan menyempatkan meminum susu dari dot baru kemudian kembali ke sekolah. Ada kalanya dipanggil ke ruang guru untuk diberikan segelas susu tanpa tahu apa sebabnya dan juga tidak bertanya-tanya, padahal waktu itu cuma saya yang dipanggil.
Baru kemudian saya sadari, di saat itu saya sepertinya tidak benar-benar sadar bahwa sedang memasuki jenjang sekolah dasar. Ketika melihat anak pertama dan kedua saya, lantas saya berpikir.
"Apakah dulu saya se-energik ini?"
"Bagaimana dulu saya mengikuti pelajaran di sekolah?"
"Apakah saya tahan duduk berlama-lama di kelas?"
"Kok bisa saya dapat ranking 1 di dua tahun pertama?"
"Bagaimana orang tua saya memperlakukan saya dulu ya?"
"Apakah saya termasuk di bully di sekolah?"
Banyak sekali pertanyaan muncul di kepala dan berujung pada treatment apa yang bisa saya terapkan pada anak-anak dengan berkaca pada masa kecil saya.
Bahasan berikutnya muncul dari istri dan kebetulan sempat dibahas dengan kakak saya, yaitu usia berapa yang cocok untuk anak pertama masuk jenjang sekolah dasar. Saat ini anak pertama saya sedang menikmati tingkat taman kanak-kanak dan tahun depan pas diajaran baru usianya enam tahun (insyaaAlloh).
Dengan berkaca pada pengalaman saya ketika kecil dan melihat dia (anak pertama saya) sudah mulai bisa membaca dan secara kognitifnya sepertinya sudah mampu, menurut saya sepertinya sudah bisa masuk kelas satu SD di usia enam tahun, toh masih banyak waktu untuk jenjang ini, jadi lebih cepat setahun sepertinya tidak masalah asal tidak dipersingkat waktunya. Itu pikiran saya.
Selang beberapa hari, istri saya mengirimkan beberapa referensi dari instagram dengan kasus yang serupa, yaitu orang tua yang galau memasukkan anaknya ke jenjang sekolah dasar di usia berapa. Ada yang tujuh tahun, ada yang tujuh setengah tahun, yang jelas minimal di tujuh tahun dengan alasan kecerdasan emosional anak sudah lebih matang. Di usia ini lebih bisa mengontrol emosinya dan tidak meledak-ledak. Namun, di setiap referensi selalu disebutkan bahwa ini spesifik untuk kasus mereka dan bisa jadi berbeda untuk anak lainnya.
Ini juga yang merupakan hal yang menurut saya penting sebagai seorang suami dan ayah yaitu open minded, tidak menutup pada setiap pendapat dan berusaha mengambil hikmahnya. Belum tentu apa yang saya alami ketika kecil bisa sama dengan yang dialami anak saya, dan belum tentu juga apa yang dialami anak-anak di referensi instagram dan yang dialami anak kakak saya sama dengan yang dialami anak pertama dan kedua saya.
Saya coba untuk menerima semua perspektif dan berencana untuk berdiskusi dengan pengajar di sekolahnya ketika akhir semester atau mendekati pergantian tahun ajar nanti. Tentu juga dengan observasi perilaku anak sampai dengan nanti masuk enam tahun.
Bismillah, semoga apapun keputusannya nanti untuk anak pertama dan kedua adalah yang barokah. Amin.
1 note
·
View note