Sejumlah Jogja yang Sentimental
: teringat Ra
1
Pagelaran yang selalu redup kini lelap
sebab telah kita lepaskan dongengan itu
biar mereka kelelahan di bawah kelambu
: siapa yang menyulamnya dengan rindu?
2
di luar lobi hotel itu aku menunggumu
kubayangkan aku seorang pelancong — “ini
perjalanan paling mahal, tiketnya kubeli
setelah menguras tabungan airmataku.”
3
tak ada penjaga di gerbang Panggung itu
kita hanya penonton berbekal rasa cemas
yang ingin memotret tanda tanya berdansa
demi segulung jawaban tak pernah tercetak
4
jika kaubayangkan pasir-pasir ini rubaiat
maka aku ratusan tahun ghazal tak sempat
tambat; karam di palung-palung hatimu
yang dalam: sajak yang sulit kutebak
5
sejak hidup adalah sejumlah metafora
maka sajak adalah umpama-umpama, yang
menunggu untuk kita tuliskan — cinta
teramat mudah bersemi, di kota yang rinai
6
tapi kenangan bukan jalan raya lengang
ingatan tentangmu adalah kemacetan, dari
perempatan Kentungan hingga Dongkelan
: di manakah rambu itu, yang kulewatkan?
7
geliat kota ini partitur yang hidup, dan
nasib tak berhenti di ujung lagu manapun
— Malioboro yang tua, tak menemukan
kepingan masa kecilnya di Instagram
8
di sepanjang Kota Baru terhampar nisan
makam aneka bunga — “ini setangkai mawar
yang tak pernah kau pesan; bunga betulan
yang harus mati, demi sekejap kejutan.”
9
akhirnya keretamu itu berangkat juga
di luar peron Stasiun Tugu, kepalaku
jadi selembar gong yang dipukul-pukul
sajak Sitok: “… kau-aku tak saling tuju.”
2018
Puisi Karya @narasibulanmerah
Dibacakan oleh @rintikkecil
42 notes
·
View notes
Sejumlah Jogja yang Sentimental
: teringat Ra
1
Pagelaran yang selalu redup kini lelap
sebab telah kita lepaskan dongengan itu
biar mereka kelelahan di bawah kelambu
: siapa yang menyulamnya dengan rindu?
2
di luar lobi hotel itu aku menunggumu
kubayangkan aku seorang pelancong --- "ini
perjalanan paling mahal, tiketnya kubeli
setelah menguras tabungan airmataku."
3
tak ada penjaga di gerbang Panggung itu
kita hanya penonton berbekal rasa cemas
yang ingin memotret tanda tanya berdansa
demi segulung jawaban tak pernah tercetak
4
jika kaubayangkan pasir-pasir ini rubaiat
maka aku ratusan tahun ghazal tak sempat
tambat; karam di palung-palung hatimu
yang dalam: sajak yang sulit kutebak
5
sejak hidup adalah sejumlah metafora
maka sajak adalah umpama-umpama, yang
menunggu untuk kita tuliskan --- cinta
teramat mudah bersemi, di kota yang rinai
6
tapi kenangan bukan jalan raya lengang
ingatan tentangmu adalah kemacetan, dari
perempatan Kentungan hingga Dongkelan
: di manakah rambu itu, yang kulewatkan?
7
geliat kota ini partitur yang hidup, dan
nasib tak berhenti di ujung lagu manapun
--- Malioboro yang tua, tak menemukan
kepingan masa kecilnya di Instagram
8
di sepanjang Kota Baru terhampar nisan
makam aneka bunga --- “ini setangkai mawar
yang tak pernah kau pesan; bunga betulan
yang harus mati, demi sekejap kejutan.”
9
akhirnya keretamu itu berangkat juga
di luar peron Stasiun Tugu, kepalaku
jadi selembar gong yang dipukul-pukul
sajak Sitok: "... kau-aku tak saling tuju."
2018
49 notes
·
View notes
Sebagai Tanda Tanya
: "kamu mau berdiri di sampingku sebagai apa?"
1
aku ingin menjadi payung
yang lupa kaubawa pulang
sehabis jam kantor
ketika kau menunggu bus
atau berjalan ke stasiun
kau akan sering mendongak
melihat langit dan menebak
-nebak apa maunya cuaca
yang seperti hati kekasih
2
aku ingin menjadi kucing
kesayanganmu, yang lupa
kaukandangkan tadi pagi
di dalam bus atau kereta
dadamu semakin meronta
sebab dicakari rasa cemas
"kya karon hai, kuch kuch
hota hai..." - dan lagu itu bocah
membuatmu bertambah gelisah
3
akhirnya aku ingin menjadi hari cuti;
angka yang sudah kaulingkari
di kalender meja kerjamu,
hari yang selalu kautunggu
-tunggu dan akan menjemput
pagi yang telah kaukemasi
ke dalam koper dan terlipat
di selembar tiket yang belum
tercetak nama kota tujuannya
2018
89 notes
·
View notes
saya lelah berurusan dengan perkara “plagiat”
tulisan di blog ini bebas dilihat siapa saja, bebas ditulis ulang oleh siapa saja dan di manapun juga. bahkan bebas ditulis ulang dan diganti sebagain frasanya, atau diakui jadi milik orang lain. terserah.
satu catatan dari saya: di manapun puisi-puisi saya dituliskan, itu tetap jadi puisi saya, sampai kapanpun :)
41 notes
·
View notes
Di Sebuah Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi
: buat Ra
/1/
inilah sajak yang tak pernah selesai
menghitung tiap cemasmu --- kau membacanya
dan berharap akan menemukan sajak lain
yang tak melarikkan banyak pertanyaan
semisal: "di mana kau menulis sajak ini?"
/2/
kau boleh membayangkan setangkup kanopi
di beranda kafe --- berteduh dari deras kata
kau dan aku mengobrol mesra, hanya kita
tak yakin apakah daftar menu selembar ini
menyediakan seporsi jawab tanyamu
/3/
adakah kata yang kaucari di sajak ini?
aku penyair tak pandai sembunyi, apalagi
menyembunyikan kata - atau cinta. kau
dan kata boleh bermain petak umpet, aku
menunggumu di kursi ini saja
/4/
inilah sajak yang kehilangan tanda titik
di ujung bait-baitnya --- masih kaucari
ke mana kiranya ia menggelinding. tapi
hanya aku kautemukan di kursi itu
menunggumu, masih sendirian
2018
21 notes
·
View notes
Siklus Partitur
1
kita pun sampai, dan aku ingin
menyerahkan sisa hawa dingin
yang terikut di punggungku
kepada pelukanmu yang tiba
lebih dulu, mendahului cemas
dan roda kereta, atau dengung
cerita masa kanak-kanak kita
2
inilah lagu itu, yang tak punya
pendengar selain kau dan aku
--- kita telah belajar maklum
untuk rindu yang tak kesampaian
sekalipun malam sekadar wadah
bagi air mata yang suka mengaduh
dan ingatan yang beranjak pikun
3
"sampai kapan" adalah pertanyaan
yang senantiasa kita kenakan
--- tak perlu kita bayangkan
lalu-lalang puisi yang ragu-ragu
masuk ke rumah tak berpagar itu
atau sebuah jawaban: arah jalan
pulang yang ingin kita lupakan
2018
23 notes
·
View notes
Buku puisi saya Ritus Khayali cetak ulang kedua. Silakan pesan:
WA: 081939006869
FB: Ganding Pustaka Djogja
IG: @gandingpustaka
15 notes
·
View notes
#KUISBUKU . . . saya masih punya sebuah buku puisi karya penyair Astrajingga Asmasubrata @edoy___ yang sudah masuk cetakan kedua: Ritus Khayali. sambil menunggu karya penyair kita selanjutnya, Miryam, saya akan berikan buku ini buat teman-teman, ongkir saya tanggung selama masih di Indonesia dan tidak ke masa lalu. eh. tapi ada syaratnya, gak ribet kok: buat satu puisi yang kamu tujukan kepada penyair favoritmu, atau yang kamu tujukan kepada penyair siapa saja. puisi minimal 8 larik, dan harus diberi JUDUL, ya. puisi boleh ditulis di caption, atau dibuat pict, seperti contoh. buat ikutan, postingan ini nggak perlu di-repost, nggak perlu follow saya juga. cukup tag dan mention saya saja (@narasibulanmerah) dan kasih hestek ini: #inpoetrywetrust #SektePuisiIG #rituskhayali buat contoh puisi kalo masih bingung, bisa digeser-geser ya 😉 saya tunggu sampai tanggal 11 November. satu pemenang yang beruntung, saya umumkan tanggal 12 November. selamat berpuisi! . . . ps: buat yang mau juga buku ini, kalian bisa pesan langsung ke penerbit @gandingpustaka @ganding_pustaka
6 notes
·
View notes
setelah baca puisi om doy ini, aku jadi pengen riset jalur migrasi burung anis. hehehe. termasuk nenek moyangnya. hehehe.
Kelam: gerendeng cuma
15 notes
·
View notes
Tanda bagi Tanya: Imaji Anak-anak, Teka-teki hingga Kuda
Berawal dari tautan Facebook yang dibagikan Arnata Pakangraras yang berisi ulasan Wayan Jengki atas buku puisi Tanda bagi Tanya, saya jadi mengenal nama Frischa Aswarini (seterusnya FA). Judul bukunya menarik saya untuk segera memiliki dan akhirnya membacanya sampai tiga kali berulang-ulang - untungnya buku ini cukup tipis, hanya memuat 33 puisi - sebab, saya sendiri sedang dalam proses mengerjakan buku puisi dengan “bahan” tanda tanya / question mark / signo de interrogación / ? Bahan yang juga nongol di judul buku dengan gambar sampul seorang bocah berdiri di atas perahu (?) itu.
Saya tak mengenal FA secara personal, tapi yang saya tahu berbekal mantra mbah gugel, bahwa FA kelahiran Bali, sekian tahun lebih muda dari saya, dan pernah kuliah di jurusan yang juga sama dengan saya tapi di kampus yang berbeda. Saya juga sempat menengok nukilan Skripsi FA yang mengulas sajak-sajak Sitor Situmorang. Itu saja yang sedikit saya tahu tentang FA, lebih lengkap lagi ada di tulisan Wayan Jengki, yang bisa dibaca di jurnalruang.com
Saya akan mengulas beberapa “perkara” dalam buku yang menarik ini, yaitu teka-teki, dan diksi.
TEKA-TEKI
Selesai mencabik wrap plastik buku ini, saya bingung mulai dari mana. Saya berusaha mencari-cari - yang semestinya, semisal - kata pengantar dari penyairnya sendiri, atau dari penyair lain, namun tak ada. Ya sudah, saya membacanya dari beranda sampai halaman paling belakang. Voila! Dan kata pengantar buku ini - bagi saya - nyempil di puisi terakhir yang berjudul Asmayatra.
Mari kita tengok bait pertama Asmayatra:
Aku tak bisa menulis sajak
seperti sajakmu
walau malam khusyuk
dan kenangan tersedih
menarik cemasku
Melompati enam bait puisi ini, dan kita akan menemukan bait:
Aku telah jatuh hati
pada sajak banyak penyair
dan membiarkannya
jadi pakaian penghangat
yang belum sempat kutanggalkan
Melompat lagi ke dua bait terakhir, kita temukan FA yang:
Saat itu, aku menyadari
setiap orang menempuh jalannya sendiri
begitu pun aku
aku akhirnya meyakininya
sebagaimana imanku pada keindahan
Satu puisi ini sudah cukup meyakinkan saya bahwa FA adalah konseptor yang baik bagi buku puisinya, di mana ia, bagi saya berhasil melesapkan kata pengantar dengan sebuah puisi penutup. Tapi bisa jadi, puisi berjudul Asmayatra juga merupakan kredo bagi penyair kita ini.
Masuk lebih dalam ke puisi-puisi FA, saya menemukan beberapa perkara yang menarik, satu di antaranya adalah dunia anak-anak dan kenangan masa kecil, seperti salah satu tafsir saya atas puisi yang berjudul Seekor Burung Bisu.
Suridjah Niung, atau yang lebih kita kenal sebagai Ibu Sud pernah menciptakan lagu anak-anak yang berjudul Burung Kutilang, yang pastinya kita semua tahu lirik lagunya, saya salikan secara utuh:
di pucuk pohon cempaka
burung kutilang berbunyi
bersiul siul sepanjang hari
dengan tak jemu-jemu
mengangguk angguk sambil berseru
trili li… li…li….li..li..li..liii
sambil berloncat-loncatan
paruhnya slalu terbuka
menggeleng gelengkan kepalanya
menentang langit biru
trili li… li…li….li..li..li..liii
dan ini puisi Seekor Burung Bisu, saya salinkan juga secara utuh:
Seekor Burung Bisu
/1/
Subuh itu di puncak cemara
seekor burung termangu
seperti lupa lagu paginya
seolah linglung
mungkin setengah limbung
hanya sesekali digerakkan paruhnya
di ketinggian sana
tahun baru sudah menyala
dalam kembang aneka warna
semalam dirayakan kala pesta
/2/
wahai burung bermata remang
apa yang buatmu kesepian
sedihkah kau karena usia
bakal merontokkan sayap, angan
dan segala yang kau punya?
subuh ini aku sedang ingin berdoa
mari, biar kusebut untukmu salah satunya
walau selalu aku tak tahu
kapan mukjizat akan tiba
apakah setelah dentang
lonceng kuil yang pertama
khusyuk mantra pendeta
atau sesudah sebuah puisi tulus hati
usai dituliskan?
/3/
beberapa waktu
setelah tahun baru
akhirnya kutahu
burung itu
sudah lama bisu
setiap subuh
ia kembali ke tempat itu
terdiam di atas cemara
meraba kicauan ibunya di udara
Kini giliranku yang termangu
subuh ini menantinya
di bawah pohon itu
seekor burung
yang selalu hinggap
di atas mimpiku
Perhatikan bagian yang saya tebalkan. Silakan tafsir sendiri. Tapi, mari kita telisik. Apakah burung Ibu Sud, sama dengan burung FA? Bisa ya, bisa tidak. Setiap pembaca tentu memiliki tafsirnya sendiri atas sebuah puisi.
Tapi bagi saya, puisi Seekor Burung Bisu adalah tafsir lain atas lagu milik Ibu Sud; dengan suasana muram dan sedih yang berlaku sebagai anti-tesis riang gembira lirik lagu Ibu Sud. Bagi saya, puisi ini berhasil membangkitkan ingatan masa kecil saya atas lagu itu. Dan yang lebih kurang ajar, berhasil membuat saya nyeletuk dalam hati: “oh, jadi ini versi sedihnya lagu itu?”
Banyak puisi di buku ini yang saya temukan, berbicara tentang masa kecil, dengan imaji khas anak-anak. Saya tak akan mengulas lebih banyak karena saya yakin, pembaca yang nyasar ke tulisan saya ini akan lebih menikmati tulisan FA jika membacanya langsung, dan menemukan TEKA-TEKI-nya daripada membaca beberapa nukilan yang saya spoiler-kan, bukan?
DIKSI
Saya menemukan diksi-diksi yang menarik, diksi-diksi yang terkait dengan hewan, salah satunya burung, yang sudah sedikit saya ulas di atas. Tapi bagi saya, yang paling menarik adalah menemukan beberapa Kuda yang berlari-lompatan di puisi-puisi FA. Jika tak salah - maafkan saya jika salah - ada enam kata “kuda” yang muncul di sejumlah puisi FA. beberapa di antaranya sebagai berikut:
/lewat pukul empat
matahari bergegas lenyap
menyusul para kuda
kembali ke kandang/
/terdengar pinus rubuh
hening salju meluruh
suara kaki pejalan
kuda berlari
di hutan batin/
/Aku hanya menatap potret di atas meja
anak kuda
melompat dari pigura
berlarian di bawah nyala lampu
yang menerangi pertanyaanku/
Saya belum terpikirkan mengapa kuda. Mengapa bukan hewan lain - semisal kucing - yang lebih akrab dengan keseharian kita? Bukankah, kuda dan kucing sama-sama berkaki empat? Sama-sama bisa melompat? Bagi saya, ini masih jadi PR, semoga lewat tulisan-tulisan FA di masa mendatang, “kuda” ini bisa saya pecahkan, dan bukan hanya asumsi saya saja. Tentu saya punya asumsi apa atau siapakah kuda di puisi-puisi FA, tapi ini rahasia, dong. Hehehe.
Selain kuda, di sepanjang 33 puisi FA saya juga menemukan hewan-hewan lain di hamparan larik dan baitnya:
Lebah - Laba-laba - Kupu-kupu - Laron - Kumbang - Semut dari jenis serangga. Kuda dan Kelinci dari jenis mamalia. Burung dan Angsa dari jenis yang bisa terbang, juga Ikan - Kerang - Katak - Cumi yang dekat dengan air. Sekali lagi, maafkan saya jika ada yang terlewat.
Hewan-hewan itu, bagi saya adalah bagian dari imaji anak-anak yang barangkali ingin dimunculkan FA dalam puisi-puisinya. Bagaimana anak-anak sangat menyukai gambar-gambar hewan lewat berbagai media semisal buku gambar, buku cerita dan lagu, seperti seekor burung yang nangkring di atas cemara milik Ibu Sud tadi.
Terakhir. Terkait dengan Tanda Tanya ? yang menarik saya untuk menelusuri buku puisi ini, saya menemukan 11 tanda tanya - maafkan lagi jika salah - di sepanjang buku ini. Saya cukupkan sampai di sini saja, sebab, walaupun Tanda Tanya tak bisa menjawab pertanyaannya sendiri, Tanda Tanya juga tak meminta kepada kita untuk menjawab pertanyaannya.
Gilang Perdana
Gonjen, 2017
33 notes
·
View notes
👆 terbangkai emang App Tumblr 😂
jadi kamu udah nata tipografi sajak serapi mungkin lewat web di PC, tapi pas dibuka pake app Tumblr di Android semua usaha menata tipografi sajak yang ruwet itu ambyar. yawdalah. nitip aja. sampai jumpa pan kapan lagi. sampai nanti. sampai puisi. ciaaaw *ngilang*
12 notes
·
View notes
L
1
"kelak, semuanya ditata ulang lagi."
sendirian. bidak itu tersedu, sebelum
genang dan meluap kering telaga
pada hitam-putih petak papan catur
"ada langkah kuda yang mati."
ia tak berani menyeberang
pun mustahil membuat jembatan
dari nukilan kayu tubuh sendiri
2
konon. bah yang kucur dari mata bidak
menenggelamkan sebuah duka, sampai
menyembul sepuncak bukit, di sana
: dermaga yang pertama
tapi perahu pertama malah terdampar
pada sebuah alegori bait-bait sunyi
milik seorang penyair tua, dialah
: trubadur yang pertama
3
ini sebuah pintasan sajak, jarak
menuju huruf yang cekung itu, tapi
sadarkah ia, bawah langkahnya berhenti
pada larik milik penyair tua yang lain?
dan dari bawah sini ia mendengar
gema langit yang pertama, memantul
lewat bahasa yang sungguh asing
: "Checkmate!"
Kleco, 2017
18 notes
·
View notes
Legacy
: buat kalian; penyair berdua
1
ketika kau berlindung dari dengung yang dungu
dengan ayat-ayat yang merajut kelambu tidurmu
musa di mimpinya kepayahan menuruni sinai
gelap - terang; hanya isyarat matahari: kepada
batu-batu sebagai firman yang runtuh, sebelum
lampu neon di kamar dinyalakan azan subuh
2
sebuah pagi menimba doa yang terperangkap
di dasar sumur tua. kau membasuh seluruh luka
penyalibannya yang terlempar dari bukit golgota
di samping selokan kecil di belakang rumahmu
seumpama anakmu bermain kertas; melipat perahu
ia tegakkan tiang layar dengan alif yang panjang
3
cinta kadang bermula dari abata yang terbata
huruf-huruf menyusun kata yang mudah kaueja
namun terlalu sulit sajak untuk kausisipi makna
tapi penyair, masehi adalah abad yang berlari
kejarlah sajak-sajak, riwayatkanlah kepada kami
: cerita yang menyempurnakan ketidaksempurnaan
Kleco, 2017
13 notes
·
View notes
Lembayung, 2
namamu mengingatkanku pada bantal dan kasur
sejak mimpi dan bangun menangis tiap aku tertidur.
raung beker, sobekan kalender; setia menjadi angin
mereka menggugurkan waktu, bukan kau. tetapi
mimpi paling buruk tiba setelah aku membuka mata.
setiap kata yang disentuh jemari matahari menguncup
maknanya menjadi bahasa yang menolak kudoakan
sebagai puisi, sebagai kau yang terus kucari-cari.
"He ido marcando con cruces de fuego." — Neruda
begitulah ia pernah membuka bait sajaknya. Tak aku
di Soneta ini; kau kata yang menolak kutemukan!
namamu arah dan rambu; terhapus dari peta di tubuhku.
tak ada cara melupakanmu, kekasih, selain terus berjalan
: dengan langkah yang tak akan mengantarku kemanapun.
Kleco, 2017
10 notes
·
View notes
Kepada Penyair yang Takut Naik Pesawat
: Arco Transept
kau memintaku - kata
aku memberimu - tiga
: relikui, jarak dan peta
di relung relikui, kau menemukan huruf-huruf
yang bergerak. kaususun urut abjad dari kata
yang memiliki roda, layar dan baling-baling
di raung jarak, kau meneriaki kamus yang salah
sampai lelah kaususun ulang arti pergi dan pulang
sebagai kenapa dan kapan, atau rindu dan nasib
tapi di bentang peta, cinta adalah koordinat
yang tak ingin ditemukan oleh kau. ia mungkin
bersembunyi, pada titik di mana kau kelak tersesat
lalu aku teringat sepenggal lagu lama
: "ingin ku terbang jauh, mencarimu, ke langit rindu..."
Kleco, 2017
11 notes
·
View notes
Bertamu ke Rumah Penyair Jaman Now
sampai di beranda Tumblr-mu
aku disambut nyalak sajak, untung saja
sajakmu tak punya kaki. gawat dong
kalau sajakmu lari menyambarku
bisa-bisa aku kencing sambil berpuisi
di ruang tamu rumahmu, penyair
dindingnya disesaki aneka foto
Screenshot wajah perempuan cantik
"aman kok, aku juga Follow mereka
Following Instagram kita nggak jauh beda
hehehe..."
disela basa-basi kita, kausuguhi aku
secangkir simile yang tawar
"ini kata seolah kopi, itu seolah gula, itu krimnya.
takar dan racik sendiri, ya. atau mau susu?
tuh, Android-mu sampai tumpeh-tumpeh."
aku yang belum penyair ini kebingungan
tapi haus harus segera ditawar, tak pedulilah
yang kuteguk ini simile atau malah metafora
"rasa-rasanya seperti kopi. tapi, ah, ini kopi!"
sambil aku menikmati yang seperti-seolah kopi
kauselesaikan juga satu puisi. santer, seperti
arus Timeline para jomblo saat malam minggu
Waktu Indonesia Bagian Twitter
tapi tiba-tiba hujan mampir
kau terlihat sangat khawatir
"sebentar ya, aku angkat jemuran dulu,
celana dan sarungku masih nangkring."
"ah, kau ini penyair macam apa. sudah menulis
1000 puisi, tapi masih takut sama Sapardi!"
"biar saja, aku lebih takut kalau kualat sama Jokpin!"
"ya sudah, aku pulang, tapi kita selfie
dulu. jarang-jarang ketemu penyair."
*cekrek!*
aku nyempil di antara foto perempuan-perempuan cantik
kulirik Chairil Anwar di bingkai sebelah yang Ngakak So Hard
: wkwkwkwk
Kleco, 2017
11 notes
·
View notes
Menggambar Sketsa Denganmu
: Windy Siswianty
“sketsa apa yang bisa kita buat dari sebatang pensil
dan serenyuk kertas gambar?” kau menjawab waktu
lalu mulai merapihkan kertas lusuhku. kubagi pensilmu
jadi dua: separuhnya untukmu - sepatahnya untukku.
kautindih kertas itu dengan tarik dan rentangan garis
jadi tiang dan tali jembatan. berhati-hati kaumeniti
kau takut melongok ke nganga ngarai: kenangan
licin hari-hari lalu yang kerap menggelincirkan.
kurampungkan segera arsiran di bawah jembatanmu
jadi arus sungai; riak yang deras, menyeret rasa takut
sampai jauh ke laut dan tak terjangkau pensilmu
supaya badai di sana punya lawan seimbang.
namun waktu, tak pernah bisa kita tebak gelagatnya
serpihannya kadang tersangkut bersama ranting
yang ikut hanyut, tertahan di batas sketsa. seperti
sisa rautan pensil; tercecer di selasar meja gambar.
Kleco, 2017
10 notes
·
View notes