Text
Perempuan dan shaming
Akhir-akhir ini rasanya cukup familiar kita mendengar istilah shaming, body-shaming, mom-shaming, dan semacamnya. Kerap kali figur publik kita mendengungkan istilah ini sehingga kita jadi “ngeh” dan direspon cukup banyak oleh perempuan-perempuan yang sepertinya sering menjadi objeknya. Berangkat dari pengalaman sehari-hari yang diceritakan dan dialami oleh beberapa rekan dekat, kita bahas sedikit ya :)
Apa sih shaming itu sebetulnya? Kalau aku mengartikan singkatnya: mengomentari fisik, perbuatan seseorang (dengan sadar atau tanpa sadar) yang membuat seseorang tersebut menjadi malu atau tertekan. Sesederhana perempuan muda yang dengan mudah berkomentar, "Eh kamu kok gendutan?" "Makin kurus mikirin apa?" atau buat ibu-ibu muda biasanya cukup gerah dikomentari “Kalau lahiran ga normal belum jadi Ibu yang sepenuhnya lho", atau "Si dedek tu dikasih susu formula biar bagus", belum lagi nanti masih ada fase selanjutnya dalam cara mendidik anak, dan seterusnya. Banyak sekali ujaran seperti ini tidak disadari kita, terutama kaum perempuan, bahwa shaming itu cukup menyakitkan dan bikin kita malas karena trauma. Beberapa memilih untuk menahan diri, beberapa cuma bisa update status menyatakan tidak suka, atau curhat ke temen dekatnya. Sementara untuk yang bermental lebih-lebih (salut sama kalian!) bisa cuek bahkan dengan santainya bisa ikut menertawakan menimpali perkataan-perkataan semacam itu.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Mungkin kebiasaan kita di lingkungan secara turun temurun adalah beramah-tamah, menunjukkan perhatian dengan seseorang, dengan kehidupan di sekitar kita. Menanyakan kabar, basa-basi, dan memberikan pendapat atau masukan tentu pernah kita lakukan ketika bertemu dengan orang.
Perempuan. Kenapa ya perempuan yang kebanyakan mengalami shaming (sebagai objek) sementara juga yang kebanyakan melakukan shaming (sebagai subjek/pelaku)? Jujur, sampai hari ini aku juga tidak begitu paham. Padahal semestinya banyak perempuan tahu seperti apa rasanya dikomentari itu, seperti apa malasnya. Seringkali shaming dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan kita yang otomatis tidak jarang kita jumpai. Tetangga, saudara, teman kantor misalnya. Kebayang kan betapa tidak nyamannya bertemu dengan ujaran-ujaran menyakitkan itu dengan frekuensi waktu yang cukup sering? Apakah perilaku tersebut juga dilakukan sebagai ajang "pembalasan"? Please, jangan ya. Semestinya budaya shaming seperti ini tidak perlu diteruskan.
“Halah lebay, gitu aja kok dipikir?” Komentar seperti ini ada benarnya tapi juga semacam tidak mau tahu, memaksa para objek shaming untuk terus diam “memaklumi”.
Mulai sekarang coba berpikir, bahwa tidak semua orang diciptakan sama. Ada yang berpostur badan gendut, ada yang kurus. Ada yang berambut keriting, ada yang lurus. Ada yang berkulit hitam, ada yang putih pucat. Ada yang “dari sononya” pinggulnya sempit sehingga mau tidak mau harus melahirkan secara caesar, ada pula yang “dari sononya” ASInya tidak keluar banyak sehingga harus mengganti asupan bayinya dengan susu formula. Ada hal-hal yang kita sendiri tidak dapat menentukan sendiri karena keadaan. Begitu pula perasaan. Siapa sih yang tau isi hati orang? Ada yang cuek ada yang sensitif.
Kalau salah satu dari contoh di atas ada yang terjadi pada kamu? Apa iya mau terus-menerus dikomentari? Nggak kan..
“Bagaimana kalau maksudnya baik?” Ada kok cara-cara yang baik. Penyampaian kita tidak harus menjustifikasi atau menyudutkan, seakan-akan kamu yang benar. Perlu diperhatikan bagaimana kita bisa menyampaikan dengan lembut. Atau bisa juga dengan memberikan perhatian dengan nyata, dengan solusi, tidak hanya perkataan “kok begini atau begitu”.
Semoga perempuan-perempuan semakin sadar dan bisa bersikap mengenai fenomena shaming ini. Simple sebetulnya. Bagaimana kita ingin diperlakukan, perlakukanlah orang seperti itu. Opini pribadi saja ya ini. Boleh setuju boleh ga setuju, sekian.
2 notes
·
View notes
Text
Arti sebuah nama, Muhaya
Dulu sewaktu kecil aku sebetulnya kurang begitu menyukai nama depanku ini. Nama depanku, sebuah nama yang kurang lazim dan rasanya kurang populer. Selama sekolah tak ada satupun anak yang menyamai namaku. Kata Papaku, yang memberi nama, nama ini diambil dari kakak sepupu beliau di Banyuwangi. Heran sebetulnya, tapi aku tak pernah bertanya kenapa beliau harus mengambil nama saudaranya untuk menamai anaknya.
Nama depanku berbeda dengan nama panggilanku. Banyak sekali orang bertanya, dari guru hingga teman-teman, “kok bisa dipanggil Maya? Bukan Muha, Haya ataupun Aya?”. Malas rasanya aku menjelaskan. Sempat membatin juga, kenapa dulu orangtuaku tidak membuat nama panggilanku di nama kedua dan nama ketigaku yang kupikir saat itu lebih manis dan tidak menimbulkan pertanyaan. Hehe dasar diri ini, malas sekali kalau jadi sasaran lontaran pertanyaan yang tidak penting atau yang tidak kusukai.
Dari SD-SMA teman dan guruku memanggil Maya. Hingga aku kuliah, ada 2 teman memiliki nama Maya (yang betul-betul ada Maya di nama panjangnya). Otomatis, untuk membedakan aku mulai dipanggil dengan nama depanku. Awalnya aku semacam kikuk, seolah jadi punya nama formal selain nama panggilan hehe ya sudahlah.
Sampai pada suatu hari aku berkesempatan mendampingi mahasiswa Malaysia yang mengikuti seminar di kampusku. Rasanya seperti bertemu saudara sendiri yang dengan hangatnya saat berkenalan mereka langsung mengomentari namaku, seolah orang asli Malaysia. Tak disangka, mereka bercerita bahwa ada tokoh terkemuka di sana, dengan nama persis, beliau seorang Profesor yang concern di pendidikan. Hal ini menjadi kesan tersendiri bagiku di tengah langkanya namaku di daerahku sendiri. Selang beberapa tahun kemudian, pengalaman ini juga dialami kakak sewaktu dinas di Singapura. Nama belakang dia tidak familiar juga (yang lucunya Papaku ambil juga dari nama saudara beliau di Banyuwangi), sehingga dia semacam mendapat komentar yang sama. Meski begitu sampai hari ini aku juga tidak dapat mengkorelasikan nama kami dengan cerita tadi. Kebetulan kah?
Belum lama, sekitar 3 bulan lalu, nenekku meninggal, sehingga aku melayat mewakili keluarga Jogja sekaligus menyambangi keluarga Papaku di Banyuwangi. Sudah lama sekali aku tidak kesana, yang kukenal hanya keluarga inti Papaku dan beberapa saudara. Sisanya hanya cerita-ceritanya saja yang kuingat. Pesan ibuku, jangan lupa silaturrahmi ke rumah Bude yang namanya sama denganku. Bude yang namanya Papaku ambil untuk menamaiku.
Sore aku sampai di rumah almarhum nenek, keesokan paginya aku mencari rumah Bude itu, rasanya seperti perjalanan menemukan keluarga yang tidak kukenal. Banyak saudara-saudara jauh yang mengenaliku padahal aku belum memperkenalkan diriku pada mereka, dan padahal juga aku tidak ingat mereka siapa. Mungkin karena wajahku mirip dengan Papaku. Sampai aku tiba di rumah Bude, kuketuk pintunya sambil mengucap salam.
“Saya Maya dari Jogja, Bude Muhaya”
Seketika beliau memelukku erat dan menangis. Rasanya aneh sekali, diri ini juga ingin menangis tapi tak bisa keluar air mata. Beliau menanyakan kabar Papaku yang sedang sakit. Berkaca-kaca lagi. Terlihat dari mata beliau begitu menyayangi Papaku sambil mengucap rindu ingin berjumpa namun karena sudah tua tak berani kemana-mana. Lalu beliau mengajakku ke makam almarhum kakekku (yang aku lahir tak sempat bertemu). Beliau menyuruh anaknya untuk membersihkan makam kakekku, dan mengajakku berdoa. Saat aku berpamitan pulang, beliau seakan tak rela melihatku pergi. Beliau antar aku sampai depan rumah almarhum nenekku, katanya selagi aku masih di sini sambil bercerita tentang Papaku. Sungguh ada hal-hal yang aku sendiri tidak bisa mendeskripsikan perasaanku sewaktu itu.
Sepulangnya dari sana, aku menceritakan kejadian bersama Bude ke Papaku. Sama, matanya berkaca-kaca. Sama juga sambil mengucap rindu ingin berjumpa tapi karena sakit tak bisa kesana. Mungkin ini maksud Papaku menamaiku Muhaya. Mungkin agar aku tahu ada kakak sepupu perempuannya yang begitu menyayanginya. Mungkin agar aku tak melupakan saudara-saudaranya, agar aku selalu ingat akan asal usulnya. (Mungkin) Kini aku mengerti Pah.
0 notes
Text
Rekam Jejak
Tetiba terlintas kata “REKAM JEJAK” setelah nonton serunya Mata Najwa kemarin malam. Disitu ada salah satu sahabat SMA yang dengan kerennya bisa tampil sebagai salah satu wakil kaum milenial pendukung capres 01, Amalia namanya. Lia berkali-kali mengucapkan pentingnya rekam jejak seorang pemimpin negeri ini.
Ga nyambung sih sebenarnya dengan yang ingin kutulis disini. Diri ini cukup terngiang-ngiang aja dengan kata “REKAM JEJAK” tersebut.
“Saya selama ini dah ngapain aja ya? Apa ya yang saya tinggalkan sebagai rekam jejak saya sendiri?”.
Lalu aku bernostalgia sendiri. Selepas kuliah, 5 dari 7 hari kuhabiskan untuk kerja merantau ke kota berjarak 3 jam dengan kampung halaman. Hampir setiap weekendnya aku pulang kembali ke keluarga. Tahun ini sudah masuk ke tahun ke-5 saya di perantauan. Hampir 5 tahun itu pula aku banyak meninggalkan aktivitas kesukaan-kesukaan semasa sekolah dan kuliah. Rasanya seperti waktuku habis di jalan, untuk bisa bekerja, istirahat, dan pulang kampung saja sudah alhamdulillah. Laptop dan buku termasuk satu barang yang jadi jarang kusentuh. Karena “Your Life Now is in Your Hand a.k.a Your Handphone” mungkin ya hehe.. Apapun terasa sudah terwakili dengan HP. Dari baca berita, kirim email, main socmed, sampai belanja online. Pada masanya dulu hal tersebut harus kulakukan dengan laptop sendiri atau ke warnet.
Apa kabar baca buku dan nulis? Ya sebetulnya ga terlalu rajin baca dan bisa nulis juga sih. Hanya saja kalau pulang ke rumah aku jadi teringat buku-buku bacaan (baik milik sendiri, pinjaman, dan milik kakak/papa) yang ada di rumah ternyata lumayan banyak juga ya. Sementara sekarang? Buku baru yang kumiliki bisa hitungan jari, itu aja begitu baca selembar dua lembar dah ngantuk haha. Jadi teringat juga kalau dulu diri ini sempat main dan nulis-nulisan di Tumblr. Iseng kucoba buka akun Tumblr ini, eh passwordnya salah. Emailnya masih email pertama pula, lama tidak kubuka karena masih pakai email Yahoo (berhubung kita saat ini sudah di jaman Androidnya Google, so pasti Gmail yang terpakai), salah lagi dong passwordnya. Syukur, nomor HP jaman kuliah masih aktif, meskipun ga pernah kupakai bisa untuk verifikasi ulang untuk pemulihan akun-akun lama.Ternyata ini pentingnya kita menjaga nomor lawas supaya jangan sampai terblokir.
Alhamdulillah sekarang bisa login. Bisa nostalgia lagi, bisa nulis-nulisan lagi. Ijinkan untuk memulai rekam jejak ini kembali ya sahabat :)
0 notes
Text
Dear Tumblr
Maafkan pemilikmu ini ya, yg sering mengabaikanmu. Dan lebih sering menulis hal2 yg tak penting. Ataupun menulis hal2 yg seakan memanfaatkanmu hanya utk keeksistensian diri saja... Namun, terimakasih sekali ya. Sudah menjadi tempat untuk menumpahkan segala unek2 dan ketidaklabilan yg tak tertahankan dr realitas dunia ini. Smoga ke depan aku lebih bisa membagi perhatian dan waktuku. Menjadikanmu sebagai media pembelajaran atas kehidupan yg sdg kujalani. -Aku, yg tak tahu harus menulis apa-
0 notes
Text
Kamu dan pertanyaan-pertanyaan tanpa henti
kenapa kamu? itu pertanyaanku yg pertama
kenapa kamu begitu indah? itu pertanyaanku yg kedua
kenapa kamu tidak menghilang saja? itu pertanyaanku yg ketiga
kenapa aku tak bisa menghapusmu? itu pertanyaanku yg keempat
apa arti semua ini? itu pertanyaanku yg kelima
karna Tuhan mengizinkan kamu ada di dunia. itu jawaban pertanyaanku yg pertama.
karna Tuhan memberikan kamu karunia yg tak kupunya. itu jawaban pertanyaanku yg kedua.
karna Tuhan sengaja mengujiku. itu jawaban pertanyaanku yg ketiga.
karna Tuhan sajalah yang bisa menghapusmu, bukan aku. itu jawaban pertanyaanku yg keempat.
arti semua ini hanya Tuhan yang tahu.
bisa saja suatu saat nanti aku memulai lagi dengan pertanyaan2..
kenapa kamu, yang begitu indah, tidak menghilang saja, hingga aku tak bisa menghapusmu?
dan jawabannya,
karna Tuhan yang mengizinkan kamu ada di dunia, memberikanmu karunia yg tak kupunya, dan dengan mengujiku, akhirnya Tuhan memutuskan untuk tidak menghapusmu.
bisa saja.
-Aku, yang masih terlalu banyak bertanya-
2 notes
·
View notes
Text
Dear Ibu, I'm not that strong enough to be like you. I'm just a 21 years old daughter spending life shorter than you. But I'm trying to.
0 notes
Text
Talking to myself
Apa kabar kamu? Sudah 21 tahun kamu dilahirkan di dunia ini... Smoga slalu ingat sama Allah, banggain kedua orgtuamu, dan berguna buat sekitarmu. Bahagia sampai kapanpun, sekarang dan jg di masa depan nanti. Oke? Semangat! :) :B :D
0 notes
Text
"Privat" belajar kehidupan
A: Ibu, tau nggak.. I: Apa? A: Aku tadi habis ketemu X, terus aku cerita blablabla.. Terus X tanggepannya blablabla.. I: (Mendesah) Kamu kok ya lugu banget to, Nduk.. Cerita kayak gitu tuh ga usah diceritain.. A: Nggak paham Bu.. Terus aku harus gimana sekarang? I: Ya udah, besok lagi kamu ga perlu nyeritain cerita kayak gitu kecuali kalau sama temen deket. A: Lhah, kenapa memang? I: Haduh... Masa kayak gitu harus diajarin. A: Kan sama siapa aja kita mesti jujur& terbuka, Ibu. I: (Geleng-geleng) Tapi perempuan seusia kamu mestinya dah paham masalah begini. A: Kalau gitu aku mulai sekarang privat aja deh sama Ibu. Privat belajar kehidupan biar nggak lugu. I: (Setengah ketawa, entah geli atau sedih) A: Mau ya Bu? I: Yooooh....
0 notes
Link
Padz and Friends’ History Project Teaser:
Seperti sudah Mimin janjikan, Desember ini bakal ada yang cetar membahana. Tak lain adalah proyek Menelusuri Perjalanan Sejarah SMA 1 Yogyakarta
Seperti yang Mimin sering curcolkan di tumblr ini, sejarah SMA 1 yang beredar luas sekarang ini...
10 notes
·
View notes
Text
#PELANGI
kalau kemarin kamu mendung, sekarang kamu tlah bersinar.
kalau kemarin aku melukis hitam, sekarang aku melukis indahnya warna-warni.
:)
0 notes
Quote
Bila melihat sosok yang kamu kagumi, yang kamu senangi, yang kamu banyak belajar darinya, doakanlah diam-diam kebaikan untuknya.
Achmad Lutfi (via achmadlutfi)
288 notes
·
View notes
Quote
Jangan takut bicara tentang masa depan. Karna di luar sana mereka pun sama denganmu, sama-sama takut. Mereka hanya lebih "menunjukkan" sedikit keberaniannya saja.
Entahdarisiapa, 2013
0 notes
Video
youtube
pointing games by Takeru Sato & Miura Haruma :3
0 notes
Photo
Nomiya-Yamada (Honey&Clover, last episode)
10 notes
·
View notes
Text
Anak-anak itu..
Pagi dunia.. :)
Ingin kuceritakan padamu hal yang paling membuatku grogi dari dulu ialah: menghadapi anak-anak. Aneh, tapi benar adanya. Sebagai seseorang yang dilahirkan paling "bontot", anak-anak begitu asing bagiku... Di keluarga, pertemuan dengan para sepupu kecil bisa dikatakan hanya terjadi setahun sekali, saat libur lebaran saja. Itupun aku cenderung malas meladeni keinginan mereka. Apa yang harus kukatakan pada mereka? Aku tak pandai melucu, aku bahkan tak sanggup meredakan balita yang menangis.. Kadang aku teringat ketika Ibu menolong para pasiennya melahirkan, aku terlalu takut untuk menggendong bayi-bayi itu. Aku beralasan, "Ntar ndak jatuh." Dan pasti Ibu menjawab (sambil menghela napas), "Mengko karo anakmu dewe piye to yo nduk (baca: Nanti sama anakmu sendiri gimana).."
Kalau melihat tingkah para Ibu-ibu, tante-tante, maupun mbak-mbak itu, diri ini hanya bisa membatin, "Kok bisa ya heboh gitu?" Bermain cilukbaa, menanyakan siapa namanya, hingga membuat para anak-anak tertawa dsb. Jadi sadar, perempuan yang takut sama anak-anak itu seperti ada yang kurang.
Dan saat ini... Entah apa sebabnya,semakin kesini susah sekali untuk tidak mengakui bahwa anak-anak itu sangat menggemaskan. Bohong sekali jika aku tidak menyukai mata, tingkah, dan lontaran lucu yang keluar dari bibir mungil itu.. . 2x seminggu bertemu para anak-anak di masjid dekat rumah turut membuatku merasa nyaman di posisi sebagai kakak sekaligus teman mereka, posisi yang tidak pernah aku dapati di rumah sendiri. Meski kadang ketika bicara malah ditinggal main bola (merasa terabaikan, sedihh T.T) tapi ketika sudah saatnya mengaji, anak-anak pada berebut ingin mendapat giliran pertama memilih pengajar yang mereka suka.. Dan ketika pada teriak "Mbak Maya, aku yang pertama." atau "Aku maunya sama Mbak Maya.." rasanya semacam.. *speechless*. Kalau begini susah ngejelasin, yang labil siapa sih? Haha :p
***Sekilas info: Hari ini tadi malah ada seorang anak menggombali kami, para pengajar. Salah satu anak bernama Ivan memberi kami tebak-tebakan, Putihan mana Mbak **** sama susu hayo? Kami menjawab susu. Kata ivan, "Salaah. Emang susu tuh putiiiiiiih banget, tapi hati Mbak-mbak jauuuuh lebih putih". Kena deh sama gombalan anak kecil :">***
Flash back dari beberapa waktu yang lalu.. Tentu saat ini kegrogian itu masih ada.. Mustahil jika ia hilang begitu saja. Tapi sepertinya sudah mulai terhapuskan sedikit demi sedikit. Terimakasih yaaa, adik-adikku..
0 notes