Text
Gantung Sepatu
Cedera pergelangan kaki (ankle) di awal November tahun lalu yang saya dapat saat bermain futsal di lapangan kantor telah membuat saya berjalan menahan sakit selama sebulan dan tentu saja tidak bermain futsal dalam waktu yang lama. Namun sebenarnya sekitar tiga minggu lalu saya pernah mencoba. Di akhir Desember tahun lalu ketika saya sudah bisa jalan tanpa merasakan sakit, saya sempat mencoba untuk kembali turun ke lapangan. Alih-alih bermain penuh, baru lima menit masuk lapangan saya sudah minta untuk digantikan. Pergelangan kaki saya kembali nyeri.
Tahun sudah berganti namun cedera yang sudah berumur 2,5 bulan ini belum sembuh benar ternyata. Meskipun untuk berjalan sudah tidak ada masalah, namun setiap kali selesai jogging atau bersepeda jarak jauh maka persendian kaki sebelah kiri saya akan merasakan nyeri. Nyali saya tidak sebesar itu lagi untuk memaksakan diri kembali menggiring bola di lapangan.
Hari ini saya mungkin bisa sedikit merasakan kesedihan mendalam Ronaldo (Nazario) yang terwujud dalam bentuk tangisannya di Tahun 2002 yang lampau. Tangisan yang membuat saya mengidolakannya sekaligus Inter Milan hingga saat ini. Bukan (hanya) sakit nya cedera lutut yang membuatnya menangis, namun kesedihan, kecemasan dan ketakutan bahwa ia tidak bisa lagi berlari dan menendang bola di lapangan jauh lebih menyakitkan.
Bermain bola adalah kecintaannya. Begitupun dengan saya. Bermain sepak bola adalah kecintaan saya. Walaupun tentu saja secara kemampuan saya tidak ada apa-apanya dibanding Ronaldo, atau bahkan dibanding teman-teman bermain saya. Tapi saya cinta sepakbola.
Saya cinta sepakbola sebagaimana ketika 3 hari pasca sunat saya tidak bisa menahan diri untuk ikut bermain bola di teras rumah tetangga walaupun jahitan sunat belum kering dan masih memakai sarung ketika itu. Sepakbola bisa sejenak melupakan rasa sakit. Walaupun, Ibu saya marah juga ketika tahu pada akhirnya.
Saya cinta sepakbola sebagaimana saya dan kawan-kawan tidak pernah gentar untuk bermain bola di lapangan golf dekat rumah walaupun beberapa kali ketahuan dan diburu oleh caddy, penjaga lapangan, bahkan anggota TNI berseragam dan bersenjata (entah senjata asli atau bohongan untuk menakut nakuti anak-anak seperti kami)
Saya cinta sepakbola sebagaimana saya mati-matian belajar untuk mendapatkan ranking 1 di kelas saat kelas 4 SD hanya demi sebuah hadiah parabola, sehingga saya dan kawan-kawan dapat menonton siaran liga inggris yang ketika itu belum bisa diakses lewat antena di kota padang.
Saya cinta sepakbola sebagaimana saya menyisihkan uang jajan untuk membeli koran soccer yang berhadiah poster setiap hari jumat, yanv membuat seluruh dinding kamar saya ditempeli poster pemain bola (dulu).
Saya cinta sepakbola sebagaimana di setiap lingkungan pergaulan sejak masih belum sekolah hingga saat ini, saya akan menghabiskan waktu paling banyak ialah dengan teman-teman yang juga senang bermain bola. Baik itu di lingkungan rumah main di lapang gadang atau lapangan golf, kawan SD main di lapangan sekolah, kawan SMP main di GOR Agus Salim atau lapangan UNP, kawan di Tanjung Pati main di lapangan simpang atau lapangan sebelah bengkel, kawan SMA main di lapangan beringin, maupun kawan kuliah yang lebih banyak dihabiskan main futsal di YPKP, Secapa, Saraga dan juga dengan Warga Cisitu Sehat di lapangan Pasaga.
Sepakbola adalah kegiatan sehari-hari. Sehingga ketika kegiatan sehari-hari yang sudah rutin saya kerjakan selama dua puluhan tahun ini, tidak dapat lagi saya lakukan, ada sesuatu yang hilang yang saya rasakan.
Fauzan, kawan SMA saya yang sekarang berprofesi sebagai dokter, tempo hari bilang: “Sebaiknya diperiksakan (dirontgen). Sehingga ketahuan baa kondisi kaki ang tu”
Sepakbola bagi saya adalah kesenangan instan. Hanya dengan membayangkan kaki kiri saya tidak dapat lagi digunakan untuk berlari dan menggiring bola di lapangan... Tidak, saya belum mampu untuk membayangkan kemungkinan itu terjadi. Sehingga hari ini, masih sama seperti hari-hari sebelumnya, saya masih akan mencoba untuk bersabar menunggu. Menunggu pergelangan kaki kiri ini agar kuat sembari tetap melatihnya dengan jogging kecil dan bersepeda.
Sepatu futsal dan sepatu bola saya memang sudah lama tergantung di dinding. Walaupun sudah mulai berdebu, namun mereka tidak akan tergantung selamanya disana
1 note
·
View note
Text
Difabel dan Hak Mereka Yang Sering Terlupakan
Saya dulu bukan orang yang peduli-peduli amat dengan hak difabel, khususnya dalam hak-hak untuk mengakses fasilitas publik. Beberapa kawan saya memang ada yang concern dan lantang memperjuangkan hak-hak mereka, pun di dalam perkuliahan juga beberapa kali dosen saya pernah melempar diskusi mengenai hal ini. Pandangan saya: “Wah bagus, keren. Setuju!” Tanggapan saya hanya sebatas itu. tanpa sedikit pun benar-benar paham apa sih hak mereka yang perlu kita perjuangkan. Kenapa sih kita harus peduli-peduli amat.
Bahkan saya ingat ketika seleksi Pertukaran Pemuda keluar Negeri tahun lalu dimana peserta disuruh memberikan free speech 5 menit dari 1 topik yang dipilih sendiri secara acak, saya terbata-bata untuk menjelaskan mengenai “difabel”. Hanya tiga menit saya bercuap-cuap lalu kemudian blank, karena saya tidak benar-benar mengerti apa itu difabel dan apa urgensinya untuk membicarakan difabel.
Jauh setelah itu, tepat dua minggu yang lalu pada Selasa malam di lapangan futsal kantor, saat menggiring bola secara tidak sengaja kaki saya menginjak bola dan menyebabkan kaki menumpu pada posisi yang salah di lantai lapangan, dan kemudian menyangga berat badan. Akibatnya ankle saya terpelintir pada posisi yang salah, dan mengeluarkan bunyi seperti akar rumput tercabut. Sakitnya bukan main. Tidak pernah rasanya saya berteriak sekencang itu saat main bola ataupun olah raga lainnya. Bahkan sampai mengeluarkan air mata. Ankle kiri saya terkilir. Ankle sprain yang sering sekali menimpa pemain bola itu akhirnya saya alami juga.
Malam itu saya berjalan dengan sebelah kaki kanan ke kosan dengan dibimbing Idin. Sesampai di kosan langsung dikompres dengan es batu, dan keesokan malam nya sepulang kerja dibawa ke Haji Chotib di Cilandak, masih saudaranya Haji Naim tukang urut legendaris di Jakarta. Entah kenapa tukang urut beken di Jakarta nama depannya haji. Pada belajar urut di Mekkah apa gimana.
Sepulang dari Haji Chotib, setelah dimarahi karna saya tetap ngantor dan tidak izin untuk istirahat yang menyebabkan ankle kiri saya membengkak, saya berjalan terpincang-pincang. Hanya kaki kanan yang bisa dijadikan tumpuan. Menginjakkan kaki kiri ke tanah saja sudah sakit, apalagi ketika dijadikan tumpuan untuk menyangga badan, rasa ngilunya luar biasa. Akibatnya saya harus berjalan dengan cara yang benar-benar hati-hati dan amat lambat untuk memastikan kaki kiri tidak menjadi tumpuan. Pada kondisi demikian saya sebenarnya masih bisa jalan. Saya tidak takut apapun, kecuali dua hal: tangga dan tanjakan.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya meratapi nasib ditempatkan di Gedung yang berada di area paling belakang kawasan kantor, dengan jarak dari gerbang utama lumayan jauh dengan medan menanjak. Lebih parahnya ruangan saya berada di lantai 2. Tidak ada lift dan harus melewati 2 kali rentetean tangga.
Dalam kondisi fisik biasa mungkin hanya diperlukan waktu 3 menit untuk berjalan dari gerbang utama ke ruangan. Namun dalam kondisi berjalan dengan terpincang-pincang dan tertatih-tatih, waktu yang saya perlukan menjadi skitar 10-15 menit untuk sampai ke ruangan. Itupun rasanya seperti membawa jarum dan duri di dalam sepatu sebelah kiri.
Dalam kondisi tak berdaya seperti itu, saya menjadi bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang dengan kondisi fisik yang jauh lebih parah dari saya. Tentu teremat sesak perasaan orang yang berjalan dengan bantuan kursi roda ketika melihat hanya ada anak tangga yang harus dilewati dan tak disediakan jalur kursi roda. Bagaimana cara ia sampai ke atas? Setidaknya saya masih bisa berjalan menaiki anak tangga, walaupun dengan setengah melompat dan berpegangan pada lengan tangga. Dan menahan nyeri. Setidaknya saya masih bisa naik ke atas.
Entah bagaimana pula rasanya menjadi orang yang benar-benar memiliki kaki hanya satu, ketika melewati jalan dengan lantai keramik licin dimana paginya hujan lebat. Saya yang kakinya masih dua yang hanya pincang sebelah saja setengah mati menahan beban badan agar tidak terpeleset di lantai licin tersebut. Apalagi yang kakinya satu, dan berjalan dengan bantuan tongkat. Betapa saya masih beruntung kesulitan berjalan saya hanya sementara, masih bisa sembuh.
Dalam kondisi kepayahan tersebut saya baru sadar bahwa kebutuhan setiap orang tidaklah sama, dan sialnya masih banyak fasilitas-fasilitas publik yang tidak dirancang untuk semua orang.
Betapa sialnya menjadi difabel di lingkungan yang kita tinggali saat ini. Menjadi kaum dengan kebutuhan khusus di tengah masyarakat yang menganggap kenormalan dan keumuman menjadi patokan dimana fasilitas-fasilitas umum didesain utnuk “orang normal”, sungguh sangat memilukan.
Persamaan hak, derajat dan pengakuan adalah suatu keharusan!
3 notes
·
View notes
Text
HP Jadul
Malam ini, sepulang dari Kopi Kemara setelah ngumpul dengan teman-teman plano12 screen HP saya pecah tertimpa kopel ikat pinggang. Sebuah skenario yang aneh sekali memang. Respon saya awalnya tidak terlalu kaget, karena bukan pertama kali hp kuat dan malang ini terjatuh terhempas dan masih baik-baik saja. Iya, saya ceroboh memang. Jangan tanya ibu saya, karena ia bisa bercerita sampai berbusa-busa mengenai daftar kecerobohan saya.
Ketika saya melihat ada retakan di screen bagian atas pun saya masih agak santai sebenarnya.
“Oh, untung pake temper glass.”
Namun ketika dinyalakan ternyata touch screen nya tidak berfungsi. hampir semua sisi screen tidak berfungsi. Setelah temper glass saya buka, ternyata kecurigaan saya terbukti bahwa tidak hanya temper glass, tapi layar hp nya pun ikut pecah dan retak.
“Astagaa, rusak beneran?!“
Sepuluh menit saya berusaha untuk membetulkan, dan tidak ada hasil. akhirnya saya menyerah.
Nasib buruk ini hanya bisa saya terima dengan hati kecut. Mengingat banyaknya pengeluaran di bulan ini, bukan waktu yang tepat tentunya untuk servis, apalagi ganti hp.
Tapi setelah dipikir-pikir (dan mencari pelipur dari kegoblogan diri), kondisi seperti ini tidak buruk-buruk amat sih sebenarnya. Masih ada hp jadul samsung lipat lama yang saya simpan di laci lemari yang masih bisa digunakan untuk telepon dan sms. Saya juga berpikir apakah ini jawaban dari janji-janji palsu saya selama ini untuk tidak lagi sering-sering scroll instagram dan twitter? saya terlalu banyak membuang waktu disana, dan tak pernah bisa benar-benar lepas dari candu tersebut. Ada positifnya juga sepertinya.
Yang sedikit menjadi kekhawatiran hanya urusan kerjaan yang seringkali menggunakan media WA. Tak apalah, semoga masih bisa menyesuaikan.
Baiklah, coba kita lihat apakah dalam beberapa minggu atau bulan ke depan bisa survive dengan hp jadul di dalam saku celana.
1 note
·
View note
Text
The Flores Journal #2 : Shit Happened in The Very First Day
“Langkah pertama menentukan 1000 langkah ke depan”
-Anonymous-
Langit Bandung cerah sekali siang itu, ketika saya menjejakkan kaki di terminal keberangkatan Bandara Husein Sastranegara. Belum genap 24 jam saya menghirup udara Kota Bandung, setelah malam sebelumnya datang dari Padang.
“Awali dengan berdoa. Semoga diberikan keselamatan dan kelancaran selama di jalan. Selalau waspada dan hati-hati” kata orang tua saya lewat telepon.
“Iya ma, pa. ”
Bismillah! Semoga lancar.
Pesawat Lion Air tercinta dan termurah yang akan membawa saya ke Denpasar datang tepat waktu siang itu. Pertanda baik ini, semoga. Saya naik ke pesawat dengan sumringah dan berdebar-debar, terlalu senang untuk membayangkan untuk segera menjejakkan kaki di Labuan Bajo. Aqua botol serasa menyegarkan seperti air pegunungan betulan, Burung-burung terdengar seperti bernyanyi, semua orang tampak bergembira siang itu. Hari yang sangat indah untuk memulai perjalanan.
Penerbangan dari Bandung ke Labuan Bajo memang tidak ada yang langsung. Harus transit dulu di Denpasar. Untungnya, rentang waktu keberangkatan pesawat transit ke Labuan Bajo tidak membuat saya harus menunggu lama, hanya setengah jam. Syukurlah take-off tepat waktu dan langit cerah.
Awal yang baik ini, pikir saya ketika itu.
Banyak orang bilang bahwa langkah awal amat penting untuk menentukan keseluruhan proses. Di dalam perlombaan lari 100 m misalnya, akselerasi awal pelari amat vital untuk menentukan siapa yang mencapai finish terlebih dahulu. Di dunia penerbangan juga dikenal istilah critical eleven. Yaitu 11 menit paling kritis pesawat: 3 menit setelah lepas landas dan 8 menit sebelum mendarat. Secara statistik, 80% kecelakaan pesawat terjadi dalam rentang waktu tersebut. Makanya mungkin banyak orang-orang bijak mengatakan mulailah hari dengan senyuman. Atau keluar rumah harus baca doa.
Namun ternyata, harapan saya akan hari yang baik itu langsung runtuh seketika dengan kesialan yang menimpa hanya ketika saya baru sampai di BandaraInternasional I Gusti Ngurah Rai Denpasar. Saat itu saya sedang memperlihatkan tiket transit saya kepada petugas untuk di cek ulang, sembari menunggu tas carrier dan tas kecil saya yang sedang melewati mesin x-ray pemeriksaan bandara. Keadaan sedang buru-buru memang karena seluruh penumpang penerbangan Denpasar-Labuan Bajo sudah naik ke kabin. Tinggal menunggu saya yang baru mendarat dari Bandung.
Ketika saya sudah akan bersiap untuk menggendong tas saya di ujung mesin x-ray, seketika petugas yang memeriksa di depan layar komputer berujar “coba buka tas yang kecil mas”. Saya langsung menduga-duga apakah saya lupa kalau menyimpan gunting kah di dalamnya, atau power bank kah, atau gunting kuku, mungkin. Tapi betapa kagetnya saya ketika membuka saku kecil di tas saya dan menemukan benda yang diberikan oleh teman saya Arief alias Cuip beberapa minggu sebelumnya.
Jantung saya seperti mau copot ketika memegang logam kecil berwarna perunggu tersebut. Benda kecil yang membuat petugas mengernyitkan dahinya tersebut adalah selongsong peluru, atau wadah bekas pembungkus peluru, dimana sebenarnya di dalamnya tidak terdapat amunisi peluru lagi. Saya langsung ingat ketika main ke kosannya, Cuip memberikan satu untuk saya. Kalau tidak salah itu kenang-kenangan dari salah satu pabrik senjata di Bandung, ketika dia kuliah ekskursi disana. “Bisa dijadikan kalung.” Kata cuip ketika itu. Siapa pula selain preman atau anak Punk bercelana sempit yang memakai kalung selongsong peluru. Ah tapi saya simpan saja lah untuk pajangan, pikir saya ketika itu dan langsung memasukkan ke tas tanpa pernah mengeluarkannya lagi hingga sampai di Bandara Ngurah Rai ketika itu.
Sebutir dari logam ini nyempil di tas saya. Gambar diambil dari tokopedia. Dijual online ternyata.
Muka saya pucat pasi. Bayangan buruk seketika menyergap pikiran saya. Saya mencoba untuk tenang sambil berusaha untuk menceritakan duduk perkaranya ke petugas yang tengah mengecek dan mengambil gambar logam kecil yang ternyata nyempil di tas saya tersebut untuk dikirim melalui whatsapp. Namun seketika wajah petugas tersebut berubah menjadi santai. Ia sedikit tersenyum, demi melihat wajah pucat saya ia langsung berkata “Gapapa mas, ini tidak berbahaya. Tapi benda ini harus kami tahan ya.”
Rasanya seketika rongga dada serasa lapang kembali. Ingin rasanya saya bilang “Alhamdulilaah! Ambil aja mas, silahkan. Kenang-kenangan dari saya. Bisa jadi kalung juga loh itu mas...” Tapi lidah saya kelu dan hanya bisa berucap “Terima kasih mas atas pengertiannya. Beneran gapapa kan?”. “Iya mas, gapapa”. Saya langsung menjabat tangan semua petugas bandara yang ada di dekat situ waktu itu. Rasanya amat lega seperti seorang yang baru memenangkan kasus kriminal tingkat tinggi di pengadilan.
Saya langsung bergegas naik ke pesawat. Penerbangan ke Labuan Bajo sore itu adalah pengalaman pertama saya naik pesawat ATR, pesawat berukuran kecil dengan kapasitas kursi hanya 4 baris. Pesawat lepas landas tepat waktu pada sore hari di cuaca Bali yang amat cerah dan cuaca jantung saya yang pasca badai. Pengalaman naas di bandara Ngurah Rai sedikit membuat was-was. Belum juga sampai di Flores, kejadian buruk sudah datang. Saya berusaha untuk tidur untuk sedikit berusaha memperbaiki suasana hati, namun ternyata kakek bule di belakang saya berceloteh ria dengan suara kencang mengajak ngobrol siapa saja di sekelilingnya. Suara nya riang dan kencang sekali seperti bapak-bapak yang sedang main domino di kedai kopi.
Karna terlanjur tidak bisa tidur sekalian saja saya pindah ke kursi sebelah kakek yang bernama Peter dan berasal dari Australia itu dan mengajaknya ngobrol. Ia bercerita mengenai banyak sekali hal. Mulutnya seperti tidak ada capeknya berceloteh. Betapa ia mengagumi keindahan alam Indonesia dan setiap tahun rutin ke Indonesia untuk berlibur dan menenangkan fikiran. Ia bercerita kalau biasanya ia pergi bersama istri atau anak dan cucunya. Namun tahun ini anaknya akan melahirkan, dan istrinya tidak bisa ikut berlibur karna harus menemani anaknya yang sedang hamil besar.
“Tolong beri aku rekomendasi sebuah nama untuk cucuku, karna setiap saat aku selalu memikirkannya.” Kata Peter, suatu waktu.
“Cucumu yang akan lahir cewek atau cowok?”
“Dari hasil USG sih cowok.”
Saya berfikir sejenak dan kemudian menatap mata Peter dengan serius. “Hmmm... bagaimana kalau Bambang. Nama itu sangat keren di Indonesia. Cowok banget” kata saya
Demi mendengar nama Bambang, mata Peter langsung berkaca-kaca kemudian berbinar-binar. Ia langsung mengeluarkan handphone nya dan meminta saya mengetik ejaan B-A-M-B-A-N-G di notes. “Thank you very much, Afif!” kata Peter. “My pleasure, Peter!” saya balas.
Swafoto saya dan Peter yang baru mendarat di Bandara Internasional Komodo, Labuan Bajo
Sore itu kami mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Komodo, Labuan Bajo. Peter pamit duluan karna ia sudah memesan penginapan serta mendapat fasilitas penjemputan. Saya memilih untuk ke pusat kota terlebih dahulu untuk keliling sembari mencari penginapan yang nyaman dan ekonomis. Labuan Bajo adalah kota kecil yang terletak di pinggir pantai dan memiliki landskap perbukitan. Jarak dari bandara ke kota hanya lima menit naik ojek.
Pusat keramaian labuan bajo terletak di pinggir pantai di sekitar pelabuhan. Disana banyak terdapat rumah makan, cafe, bar, hotel, hostel, spa, penyewaan alat diving, minimarket dan segala atribut tempat wisata lainnya.
Saya kemudian mampir ke supermarket untuk membeli beberapa makanan ringan, sekedar mengganjal perut karena belum makan sejak dari Bandung. Namun ketika membayar belanjaan di kasir, kaka kasirnya bilang bahwa uang saya tidak diterima.
“Ada uang kertas saja kah?” katanya.
“Eh, kenapa kak?” kata saya heran.
“Uang logam tidak diterima sebagai alat transaksi belanja disini. Orang sini tidak mau terima uang logam. Tukarkan saja ke Bank kak, masih berlaku kok” kata si kakak.
Saya baru mengetahui hal tersebut disana ketika itu. Saya luput untuk mengetahui informasi tersebut dari browsing beberapa hari sebelum berangkat. Dan ternyata hal tersebut sudah berlangsung sejak lama disana. Saya kemudian mencoba untuk mencari tahu mengapa hal tersebut terjadi, dan jawaban setiap pedagang tetap sama. Tidak mau terima uang logam. Bahkan tukang parkir pun minta dibayar dengan uang kertas. Belakangan saya ketahui dari artikel di internet ternyata di Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nangro Aceh Darussalam, uang logam juga tidak diterima sebagai alat pembayaran.
“Masyarakat Gayo Lues bisa jadi kurang nyaman memegang uang koin, mungkin alasan ribet. Bisa juga karena pola piker." Kata Kepala Kantor Bank Indonesia setempat. Bisa jadi alasan yang sama juga berlaku di Labuan Bajo ini.
Ternyata kesialan tidak menimpa saya sekali saja hari itu. Karena uang tunai di dompet saya sedikit dan berencana untuk membayar penginapan, maka saya mencoba untuk tarik tunai di atm terdekat. Naasnya, saat sudah berada di dalam kotak atm kartu atm yang biasa saya simpan di dompet sore itu entah kemana perginya. Raib tanpa jejak. Saya heran entah mengapa benda tipis berbentuk persegi panjang yang kata Pak Sandiaga Uno seperti tempe ini senang sekali tiba-tiba hilang. Tas carrier dan tas kecil saya bongkar. Saku celana dan dompet saya geledah. Tapi nihil. Keadaan mulai gawat. Jangankan untuk bayar tiket pulang ke Bandung, uang yang tersedia di dalam dompet saya cuma cukup untuk bertahan hidup sehari. Mana disana ga ada kenalan apalagi saudara. Ga lucu juga nih, kalau menggembel disini.
Di saat matahari perlahan mulai tergelincir di ufuk barat dan langit sudah memerah, dari dalam tas kecil abu-abu yang beberapa jam yang lalu mengerjai saya dengan menyimpan selongsong peluru, saya melihat sebuah buku suci berisi angka-angka saldo yang nominalnya tak seberapa itu. Belum pernah saya sesenang itu melihat buku tabungan seumur hidup saya. Saya segera berlari ke bank bni terdekat. Dan keajaiban kembali menghampiri saya, jam operasional bank yang sudah seharusnya tutup beberapa menit sore itu, membuat seharusnya proses penggantian kartu atm saya baru bisa dilakukan keesokan harinya. Namun ternyata ibu yang bekerja di bagian cs terlambat pulang karena masih mengerjakan beberapa pekerjaan. Sore itu juga akhirnya saya bisa memperoleh penggantian kartu atm baru berkat pertolongan ibu yang baik hati tersebut setelah saya sedikit memohon dengan menceritakan kemalangan saya.
Beberapa kesialan menimpa saya di perjalanan hari pertama. Entah orang menganggap kesialan di awal adalah sebuah pertanda buruk untuk proses selanjutnya, namun bagi saya pengalaman-pengalaman tersebut malah semakin membuat saya makin bersemangat untuk menghadapi hari esok untuk menjelajahi Flores. Perjalanan baru akan dimulai. Flores, saya datang dengan gembira!
Pada akhirnya memang terbukti bahwa, Tuhan selalu punya cara untuk menolong hambanya yang pergi travelling! God save the traveller!
3 notes
·
View notes
Text
The Flores Journal #1 : Prolog
(Ilustrasi di Surabaya)
Merantaulah... Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang) Merantaulah… Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan) Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Imam asy-Syafi’i. Cet. Syirkah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Beirut. Hal. 39
--
Tahun lalu, di akhir bulan Januari saya melakukan perjalanan yang amat berkesan ke Flores. Sebuah perjalanan yang sudah saya impikan sejak lama dan baru terwujud di tahun 2018. Sepuluh hari saya menyusuri Flores dari ujung Barat di Labuan Bajo, terus ke timur hingga Maumere. Sepuluh hari yang sangat menakjubkan, betapa saya mengalami banyak hal yang ingin saya ceritakan. Namun baru dapat ditulis sekarang karena selain buku saya hilang, juga karena rasa malas yang berlebih.
Ya, buku catatan yang saya bawa kemana-mana tersebut tertinggal di Maumere hanya sehari sebelum saya pulang ke Bandung. Dan ternyata kehilangan notebook rasanya lebih pedih dibandingkan ketika saya kehilangan handphone yang dulu jatuh di sawah ketika Kuliah Studio Proses Perencanaan di Ciwidey. Buku tersebut berisi berbagai macam corat-coret, termasuk catatan harian selama 10 hari saya berkelana di Flores.
Backpacking ke Indonesia Timur sebenarnya sudah saya impikan sejak masih SMA, dan baru benar-benar memikirkan caranya ketika kuliah. Keinginan untuk melihat komodo sebenarnya sudah ada sejak SD, ketika dulu saya dan beberapa teman secara tidak sengaja melihat segerombolan biawak sebesar komodo ketika dengan sok beraninya kami menyusuri sungai Lubuak Karang ke arah hulunya menjauhi permukiman. Namun ide awal untuk benar-benar berangkat ke Flores datang tiba-tiba setelah saya membaca catatan perjalanan Ernesto “Che” Guevara bersama sahabatnya Alberto Granado menyusuri Amerika Latin (Amerika Selatan) menggunakan sepeda motor. Sebuah perjalanan yang mengubah hidup seorang mahasiswa kedokteran bernama Ernesto untuk menjadi revolusionaris hebat yang menginsirasi kemerdekaan bangsa-bangsa di Amerika Selatan.
Saat itu, seketika Flores tiba-tiba langsung ada di dalam bayangan saya. Niat sudah bulat, uang kebetulan ada, dan waktu lumayan luang. Seketika niat ini langsung saya sampaikan ke beberapa teman, termasuk membuat undangan terbuka di grup angkatan untuk mengajak siapa saja yang bisa dan mau untuk ikut. Yang mau ikut banyak, yang bisa akhirnya tidak ada. Bukan menjadi soal karna keinginan saya sudah bulat. Ada atau tidak ada yang mau ikut saya tetap akan berangkat. Tinggal memperoleh izin dari kedua orang tua.
“Ke Tanjung Uban aja mainnya gimana, bang? Sekalian main ke Batam, juga bisa ke Singapur. Kan abang belum pernah ke luar negeri juga...”
Kata mama ketika saya mengutarakan niat untuk berangkat sendirian ke Flores. Saya amat paham, bahwa mama pasti cemas melepas saya ke tempat yang belum jelas rimba dan orangnya seperti apa. Terlebih, stereotipe yang terbentuk dari televisi mengenai orang-orang timur amat lekat dengan hal-hal negatif seperti kekerasan dan kriminalitas. Namun saya juga bersyukur bahwa mama tidak pernah otoriter dengan memaksakan kehendak, sekalipun ke anaknya sendiri. Cara beliau menolak usulan, adalah dengan mendengarkan kemudian mencoba berdiskusi dengan memberikan pilihan lain. Dan kedua orang tua saya juga amat percaya dengan anak-anaknya, asalkan mampu bertanggung jawab. Pada akhirnya izin saya dapatkan. Izin dari mama berarti juga lampu hijau dari papa. Tinggal berangkat.
Namun sebenarnya saya tidak bisa menjawab secara pasti pertanyaan yang banyak ditanyakan sebelum saya berangkat:
“Sebenarnya backpacking buat apa sih? Apa yang dicari?”
Pertanyaan klise yang juga diiringi dengan pernyataan seperti mending uangnya ditabung; mending buat belanja; ngapain capek-capek; dll yang jika dijawab juga akan berujung pada jawaban klise. Saya jawab saja mau belajar senam maumere, sekaligus mau ngecek disana ada yang jual nasi padang atau tidak.
Backpacking menurut saya tidak sama dengan berwisata, bertamasya atau jalan-jalan. Backpacking secara etimologi mungkin kurang lebih ialah bepergian dengan ransel dengan budget terbatas, tapi selain itu menurut saya yang paling penting ialah mengambil pelajaran dan hikmah mengenai kehidupan dari segala hal yang ditemui di jalan. Pemahaman tersebut tidak lepas dari buku-buku dan film petualangan yang saya baca dan tonton, khususnya Balada Si Roy, Into the Wild dan Motorcycle Diaries. Seorang Backpacker harus mampu menyelami kehidupan selama perjalanannya dan tidak hanya berfokus pada destinasi belaka. Kejutan-kejutan yang didapatkan selama perjalanan ialah suatu nikmat tiada tara. Saya merasa disana lah kenikmatan melakukan backpacking.
Sejak dulu saya menganggap falsafah Minangkabau yang berbunyi “Alam Takambang jadi guru” bukanlah sekedar kalimat biasa. Alam mengajarkan pelajaran kemanusiaan yang tidak dapat ditemukan di bangku sekolah, kuliah maupun lewat tontonan youtube. Maka backpacking adalah cara belajar dari alam. Alam beserta isinya adalah guru terbaik, dan backpacking adalah mata pelajaran yang paling menyenangkan.
Maka bagi saya Flores adalah kelas yang sangat indah. Backpacking selama sepuluh hari di Flores telah mengajarkan saya banyak hal. Mengenai keindahan alamnya, ketulusan hati dan sikap saling menghargai orang-orangnya, tingginya budaya dan sejarahnya, dan membuat saya menyadari bahwa selama ini saya seperti katak dalam tempurung. Benar yang dikatakan Imam Syafii, ilmu tidak didapatkan dengan berdiam diri beristirahat di kampung. Tinggalkan negeri dan hidup asing di negeri orang.
Maka dengan menuliskan catatan perjalanan ini, selain usaha melawan lupa, adalah bentuk rasa syukur saya telah berkesempatan belajar banyak dari Flores. Dan juga sebagai upaya untuk memberitahu kepada dunia bahwa saya bangga menjadi orang Indonesia. Soe Hok Gie pernah berkata lantang: Bagaimana mungkin kita mencintai negeri ini kalau kita tidak pernah melihat keindahan Indonesia dengan mata kepala sendiri? Dan ia benar akan hal itu!
0 notes
Text
Maryamah Karpov dan Dont (worry to) judge a book by its cover
Agaknya sedikit sekali orang yang belum pernah mendengar idiom yang berbunyi “Dont judge a book by its cover”, atau “jangan menilai buku dari sampulnya”
Maknanya kurang lebih: Jangan menarik kesimpulan tentang sesuatu atau seseorang dari tampilan luarnya
Saya sangat setuju mengenai esensi dari ungkapan ini dalam banyak konteks. Misalnya, hanya karena Dono memakai jeans robek dan baju yang lusuh maka ia tidak berhak untuk dicap berandal dan bodoh. Hanya karena orang timur perawakannya keras, belum tentu mereka orang yang jahat. Hanya karena Roi bergaul dengan anak metal dan gaya penampilannya slengean belum tentu ia jarang solat. Hanya karena Roberto Baggio hanya memakai jersey Brescia, maka pemain bertahan lawan bisa meremehkannya. Tidak bisa seperti itu.
Dalam banyak konteks sehari-hari saya seringkali terinspirasi oleh idiom ini. Memilih untuk tidak berprasangka dari tampilan luar.
Namun anehnya, dalam konteks harfiah dari idiom tersebut dimana objeknya adalah buku, maka saya perlu mempertanyakan ulang keabsahan Dont judge a book by its cover! Ungkapan ini seolah-olah secara tidak langsung mengecilkan nilai dari cover itu sendiri dalam menilai sebuah buku. Menurut hemat saya dalam hal buku sebagai sebuah kesatuan karya, maka cover adalah salah satu elemen dari buku itu sendiri. Bukan cuma isinya. Bukan juga cuma covernya. Isi dari sebuah buku memang penting, tapi cover haram hukumnya untuk dikesampingkan.
Saya sering sekali menemukan buku yang ‘ternyata’ sangat bagus bukan dari review atau rekomendasi teman, melainkan karna saya suka desain covernya. Menemukan cover bagus merupakan pembuka jalan untuk mencari ulasan isi. Setidaknya saya sering demikian. Ada banyak sekali buku yang saya beli tanpa rencana sebelum masuk ke toko buku. Pikir saya, setidaknya jika isinya biasa saja atau mungkin sialnya buruk, maka saya menghabiskan uang untuk sebuah karya seni di cover buku tersebut.
Sebaliknya, saya juga pernah ketika sudah berencana akan membeli sebuah buku tertentu dan telah menemukan buku di rak toko, niat tersebut saya urungkan hanya karena melihat betapa buruk nya cover buku tersebut. Yang terbaru, saya tidak jadi membeli buku salah satu novelis favorit saya Habiburrahman El Shirazi hanya karena desain covernya! Saya mengumpat dalam hati hanya karena melihat sebuah novel berjudul Bidadari Bermata Bening. Saya sangat yakin isinya bagus, karna Habiburrahman adalah jaminan mutu. Saya hanya mengumpat dalam hati mentang-mentang dont judge a book by its cover lalu boleh mendesain cover buku asal-asalan, begitu?
Hubungan saya dan cover buku bukan lah hubungan baru. Seingat saya, minat saya memperhatikan desain cover mulai terjadi sekitar sepuluh tahun lalu saat duduk di bangku kelas 1 SMP. Sore itu di waktu liburan sekolah, secara tidak sengaja saya menemukan sebuah buku tebal di ruang kerja Pak Tuo dengan cover bergambar langit kemerahan dan siluet segerombolan anak kecil. Buku yang ternyata novel tersebut berjudul “Laskar Pelangi”. Laskar pelangi seolah mengubah cara pandang saya mengenai cerita fiksi berbentuk novel. Sebelum menemukan laskar pelangi, saya alergi membaca novel dan lebih menyenangi membaca ensiklopedia, biografi tokoh, komik ataupun fiksi pendek seperti cerita rakyat, fabel dan lainnya. Namun sore itu, laskar pelangi benar benar membuat saya tenggelam dan tidak beranjak dari kursi di Kamar Pak Tuo hingga keesokan paginya hingga halaman terakhir saya khatamkan.
Kisah saya dengan cover novel juga terjadi tahun lalu. Saya yang baru lulus memutuskan untuk bekerja di Pemerintahan. Atasan saya bernama Bu Ani, juga merupakan alumni Planologi ITB. Tepat di hari pertama saya melamar pekerjaan tersebut dan beberapa hari setelahnya, saya bertanya-tanya dalam hati. “Saya sepertinya pernah lihat ibu ini. Dimana ya?”. Ketika pada akhirnya Bu Ani memberitahukan bahwa teman saya Karima adalah keponakannya, maka akhirnya rasa penasaran saya terjawab oleh Karima. Suami Bu Ani ternyata adalah seorang desainer grafis yang mendesain banyak cover buku. Beliau lah orang yang ada di balik cover keempat buku dari tetralogi laskar pelangi yang melegenda tersebut. Dan yang membuat saya akhirnya terkaget-kaget ialah, Bu Ani merupakan model dari buku pamungkas dari tetralogi laskar pelangi berjudul Maryamah Karpov! Beliaulah si pemain biola tersebut! Anak dari Maryamah Karpov! Saya speechless sekaligus ikut bangga dan juga kagum.
Kembali ke topik awal, pada dasarnya, saya tidak menyalahkan idiom dont judge a book by its cover pada buku, hanya kurang sependapat dengan anggapan bahwa cover buku tidaklah penting. Yang utama dari sebuah buku tetaplah isinya. Namun buku yang bagus, sebagai sebuah karya sastra dan karya seni, ialah yang sama bagus nya antara isi dan juga tampilan fisiknya. Karna bagi saya pribadi, kepuasan yang didapat dari buku ialah menikmati isi dan juga menikmati covernya.
2 notes
·
View notes
Text
Mengenai Berpihak
“Ada di pihak mana lu dalam polemik transportasi online vs konvensional?”
Beberapa jam lalu pertanyaan ini kembali saya dengar ketika saya, Gia dan Brian bertemu untuk makan malam dan saling bertukar cerita. Pertanyaan yang bagi saya sukar untuk dijawab karna banyak input yang diproses fikiran namun tetap saja saya belum mampu menjawab pertanyaan ini secara tuntas.
Dalam logika sederhana mengenai pertanyaan yang mana (which one), maka tentu saja jawaban dari pertanyaan ini haruslah A atau B dari 2 pilihan jawaban: A dan B. Namun, menjawab pertanyaan memihak mana antara transportasi online atau konvensional merupakan persoalan yang tidak sesederhana itu. Memihak berarti menyertakan hati di dalam nya, tidak cuma rasionalitas yang mengedepankan efisiensi, efektivitas, dan keadilan ataupun cost-benefit sebagai kriterianya. Maka selama beberapa waktu belakangan saya belum mampu untuk menemukan jawaban mutlak dr pertanyaan ini melainkan menjawab keberpihakan dengan jawaban lebih kepada A, atau pun terkadang B. Terlebih dalam keseharian, keduanya saya gunakan dan membantu dalam banyak hal.
Jika menengok kembali postingan terakhir saya disini, ketika mayoritas orang-orang di dunia maya mencaci maki dan memojokkan para pengemudi angkutan konvensional (angkot dan ojek pangkalan), maka dengan seketika keberpihakan saya berada pada angkutan konvensional. Bukan berarti saya tidak suka dengan pengemudi ojek online, namun tidak kah orang-orang yang seenaknya bercarut-marut di dunia maya tersebut menggunakan hati dan akalnya untuk sedikit saja faham bahwa tidak semua ojek pangkalan awam menggunakan teknologi, pandai membaca, dan memiliki spesifikasi motor sesuai standar untuk bergabung dalam ojek online sebagaimana tuntutan mereka para netizen yang budiman. Tidakkah pula mereka tahu bahwa diantara ojek pangkalan tersebut ada banyak orang tua yang fisiknya sudah tidak terlalu kuat untuk berkendara jauh sehingga memilih untuk menunggu di pangkalan untuk beristirahat (bukan bermalas malasan seperti tuduhan para netizen yang budiman). Dan mereka semua punya anak istri yang harus diberi makan, disekolahkan dan dijamin kesehatannya.
Namun demikian, dengan menggunakan rasionalitas yang disebut terakhir, maka keberpihakan juga saya berikan pada perusahaan angkutan online yang sudah memberikan kemudahan dan kelancaran rizki bagi banyak pengemudi ojek online. Apalagi terhadap pengendaranya yang tentunya sama-sama berjuang dan berusaha untuk mencari penghidupan dari ber-ojek online. Ribuan pengangguran mendapat pekerjaan, kesempatan untuk berusaha menjadi terbuka bagi mereka yang punya keterbatasan, dan tentunya anak-istri mereka pun makan dan sekolah dari hasil narik ojek online tersebut. Perusahaan transportasi online juga mendatangkan multiplier effect pada banyak sektor dagang lainnya seperti salon, usaha kuliner, pijet, dan banyak lainnya sehingga manfaat dapat dirasakan oleh banyak pihak. Termasuk usaha notebook custom saya yang sangat terbantu dengan jasa pengantaran barang yang ditawarkan.
Ibarat dua sisi mata koin, saya juga menyadari bahwa keberadaan angkutan online ini tentunya bukanlah hal yang ideal bagi sistem transportasi kota dimana harusnya warganya berpindah tempat dengan angkutan masal yang terintegrasi. Kemacetan kota bertambah dengan semakin tingginya beban jumlah kendaraan yang melebihi kapasitas jalan. Angkutan online pun tentunya tidak senantiasa terus bergerak dan mengorbit untuk mencari penumpang, ada kalanya mereka diam dan menunggu. Dengan tidak disediakannya tempat menunggu yang jelas dari perusahaan ditambah dengan penegakan regulasi yang lemah oleh pemerintah, maka tidak sulit bagi kita untuk menemukan di titik bangkitan transportasi, terdapat banyak ojek-ojek online yang berkumpul dan beraglomerasi (mangkal) di tempat-tempat yang tidak seharusnya. Di badan jalan, di trotoar, di depan pagar rumah orang, di taman, dan tempat-tempat lainnya yang tidak seharusnya. Hal tersebut tentu saja menimbulkan eksternalitas negatif. Tidak sedikit jalan yang menjadi macet justru dikarenakan banyak ojek online yang parkir melintang di bahu jalan. Tidak satu dua spanduk protes yang dibentangkan oleh masyarakat di perumahan yang merasa terganggu kenyamanannya oleh keberadaan ojek online yang mangkal. Kalau sudah begini apa bedanya dengan ojek pangkalan (dalam hal mangkal)? Bahkan ojek pangkalan mangkal secara tertib
dan masih pula dicaci maki :(
Sebab-sebab demikianlah yang membuat pertanyaan yang diajukan Brian diatas bukanlah merupakan pertanyaan dengan opsi pilihan ganda bagi saya. Saya masih terlalu dangkal dalam berfikir sehingga menjawab pertanyaan yang demikian bagi saya ibarat mengurai benang kusut, namun ketika sudah hampir tuntas dalam mengurai sisi lainnya kusut kembali.
Pemerintah tentu tak boleh kebingungan seperti saya. Persoalan ini tentunya harus segera dicarikan jalan keluarnya melalui kebijakan yang dapat menengahi persoalan ini. Pembiaran yang berlarut-larut hanya akan membuat semuanya akan menjadi kacau. Ojek pangkalan maupun supir angkot kehilangan mata pencaharian, pengemudi transportasi online pun dikendalikan sepenuhnya oleh koorporasi. Melihat tren pengguna smartphone yang semakin meningkat, maka tidak akan mustahil jika transportasi umum akan tinggal menjadi legenda, digantikan transportasi online yang menguasai jalanan. Wallahualam.
Ditulis di Jakarta, 21 Desember pukul 3:43 AM Disponsori Cafe latte buatan Cafe Gicu yang bikin melek sampai pagi
3 notes
·
View notes
Photo
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”
― Pramudya Ananta Toer dalam Bumi Manusia
1 note
·
View note
Text
Hijab Berdering #5: Full Day School
Pagi ini, selepas sarapan di kantin dan menyeduh kopi aroma, saya hinggap sebentar di lobby bidang fisik. Sedikit bersantai sambil melihat-lihat koran baru.
Hari ini beberapa harian terkemuka membahas mengenai polemik full day school. Ramai sekali. Banyak tokoh-tokoh publik buka suara dan memberikan pendapat. Beberapa melakukan survey untuk melihat tanggapan masyarakat. Hasilnya beragam: banyak yang setuju dengan program full day school. Yang tidak setuju? Lebih banyak lagi.
“Ada 11 Pasal Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2017 tentang hari sekolah. Poin yang sempat jadi masalah adalah mengenai Pasal 1 ayat satu yang menyebutkan: "Hari sekolah dilaksanakan 8 jam dalam 1 hari atau 40 jam selama 5 hari dalam 1 minggu". Durasi yang panjang di sekolah membuat masyarakat melihat bahwa peserta didik akan menghabiskan waktu sampai jam 3 atau 4 sore, jika ia masuk sekolah dari jam 7 pagi.”
Istilah full day school ini mengingatkan saya ke jaman SMA dulu. Sebab dulu saya full day school. Full-Day dalam artian sesungguhnya, 24 jam di sekolah! Jadi apa istilah yang tepat untuk menyebutnya? Full day (and night) [at] school?
SMA saya secara umum sama seperti SMA negeri pada umumnya, namun dengan asrama di dalam lingkungan sekolahnya. Sehingga di dalam maupun di luar sekolah, teman mu yang kau temui di sekolah juga merupakan yang kau lihat saat makan malam, sarapan, saat kau ingin akan tidur, saat main bola, main domino, gitar-gitaran, baca buku, belajar untuk ulangan harian, mencuci pakaian sekolah. Juga saat bikin PR, yang seringkali saya kerjakan di kelas sebelum guru masuk dengan meminjam pr teman-teman yang baik hatinya. jadi ketika guru kami bertanya “Mengapa kau baru mengerjakan PR di sekolah?”, maka kami bisa menjawab “Rumah kami di sekolah bu”.
Jika bagi banyak orang masa SMA merupakan masa penuh canda dan cerita, maka saya pun mengamini. Tak ada salahnya mendengar pelajaran fisika 3 jam sehari jika kemudian kami bisa berkumpul di warung Nena untuk hanya sekedar membicarakan apa saja yang menyenangkan sambil menyantap katupek pitalah atau mienas. Tak menjadi masalah di sore hari yang letih di jam pelajaran Kimia menerima cubitan perih Bu Tri di perut karena tertidur di kelas, karena dengan itu kami sadar tidurnya jangan di jam pelajaran kimia. Tak menjadi masalah di malam hari, kami hanya punya 1 TV di ruang makan untuk nonton Timnas Indonesia sehingga setiap kali nonton bola selalu nobar dan serasa di stadion. Tak masalah jika kemudian TV dilarang dinyalakan di masa ujian sekolah di saat Semen Padang berlaga, karna kawan kami si Sute yang orang Padang Panjang punya radio dan akan menyalakan siaran pertandingan lewat radio. radio ditaruh di bangsal asrama dan kami semua mengerubungi benda kotak itu untuk debar (dengar bareng). Pernah ada yang nonton bola (dengar bola) lewat radio? Dulu kami pernah beberapa kali kalau tv mati atau listrik mati.
“M Rizal membawa bola. Tik-tak satu dua dengan Hengky ardiles. Umpan lambung ke depan gawang. Dikontrol dada oleh Mak Itam. Mak itam melepaskan tendangan menyusur tanah. DAAANN..... GOOOOOAAALL!”
Seketika pendengaran dan imajinasi memaksa kami untuk melakukan selebrasi. Ruangan bangsal bergelora oleh teriakan. Beberapa menit kemudian saat pembina asrama masuk, semua orang berhamburan mencari buku untuk dibaca pura-pura. Menyisakan suara radio yang masih menyiarkan pertandingan.
Segala rupa kehidupan di sekolah tersebut justru membuat kehidupan menjadi menyenangkan. Sekolah bagi saya menyenangkan, bukan karena saya senang belajar di kelas namun karena bertemu dengan orang-orang di sekolah. Dengan bapak ibu guru, dengan kawan, dengan nena, cak wardi, pak mid, dan lainnya. Dengan duduk-duduk menertawakan banyak hal di warung nena ketika jam istirahat ataupun jam belajar, atau ngopi di malam hari di warung Ni desi, pun saat menghapal ulangan biologi sambil main domino seolah tak ada masalah apapun yang berat di dunia. Dulu saya mengira dengan masuk ke sekolah unggul nan berprestasi, kawan-kawan baru saya semuanya adalah orang-orang pintar yang rajin belajar dan akademis. Namun, anggapan saya salah tepat ketika ulangan harian fisika pertama di kelas 10. Banyak anggota kelas kami yang remedial. Si Brian kawan saya, Utusan olimpiade Fisika Sumatera Barat ketika SMP, nilainya hanya sedikit lebih baik dari saya: 45. Namun dengan santainya kami semua menertawakan nasib naas kertas ulangan kami yang dicorat-coret merah. Bagitulah selanjutnya. Persahabatan kadang lahir oleh kesamaan nasib memang. Nilai dan peringkat kelas tidak berarti apa-apa bagi kami. Tidak membuat kami bersedih ketika remedial, atau membuat saya minder ketika orang tua melihat rapor saya rangking 5 besar (dari bawah). Pun tak juga membuat saya dipandang rendah oleh kawan peringkat satu, yang bisa bertanya dan saya memberi tahu jika saya tahu.
Punya kawan sehari penuh bagi saya merupakan sebuah pengalaman yang berharga.
Oleh karena tulisan ini sudah ngalor-ngidul kemana-mana, maka sebaiknya diakhiri saja. racauan saya ini hanyalah sekelumit reflek yang muncul dari sepenggal kenangan. Saya tulis juga untuk senang-senang dan agar tidak lupa. sama sekali tidak ada hubungannya dengan kebijakan full day school yang dicanangkan pemerintah. Tidak bermaksud mengkritisi, pun juga beropini. Saya meyakini bapak-bapak yang pemangku kebijakan pendidikan di Jakarta sana pasti orang-orang pintar dan sudah memikirkan masak-masak sebelum mengambil keputusan.
Bandung, 15 Agustus Jl Ir H Juanda No 287 Dago
3 notes
·
View notes
Text
Hijab berdering #4: Bayar Hutang
Di asrama Padang Panjang dulu, ada sebuah petuah agung yang turun temurun hampir selalu disampaikan kepada setiap anak baru di masa orientasi. walaupun cara penyampaiannya berbeda tiap orang namun kira-kira isinya begini:
“jangan kalian pikir sekolah disini gratis, makan kalian gratis, tidur kalian di asrama juga gratis. Ada yang membayarkan. Siapa? tengoklah ke pasar pada jam 3 pagi. ibu-ibu yang bangun sebelum subuh untuk berjualan sayur itu yang membayari makan kalian. berjalanlah sesekali ke terminal di teriknya siang, bapak-bapak supir angkot itulah yang bayarin uang sekolah kalian. cobalah lihat ke sawah di daerah gunung, orang-orang itulah yang menyisihkan sebagian pendapatannya yang tidak banyak agar kalian bisa bersekolah. Sesungguhnya kalian berhutang kepada mereka.”
Maka karenanya, ada banyak hutang yang mesti dilunasi. Ada banyak persoalan yang mestinya diselesaikan. Dan ada banyak tantangan yang harusnya dapat terpecahkan dengan ilmu. Karnanya ilmu yang dipunyai sekarang bukanlah milik diri seorang. ia menjadi aset juga bagi orang-orang yang kesusahan. maka gunakanlah ilmu untuk membantu orang-orang terpinggirkan, yang kesusahan, yang menyisihkan sebagian uang makannya yang tidak banyak kepada negara guna kepentingan bersama. Maka jika dengan ilmu yang tinggi harta kita berlebih, kesehatan kita berlebih, rizki kita berlebih, berbagilah kepada mereka yang berhak menerima. Toh Rasulullah juga mengajari bahwa eksistensi manusia dinilai dari kebermanfaatannya bagi sesama, bukan? Lebih dari itu, ada rasa bahagia yang tak dapat dijelaskan saat kita menyadari bahwa keberadaan diri memberikan pengaruh baik kepada orang lain. Mari berbagi, mari bayar hutang.
Bandung sedang menyenangi usaha membuat buku tulis
0 notes
Photo
I'm a proud brother Note: pianika biru di foto dibeli tahun 2003 ketika saya kelas 3 SD. Diwariskan ke kemal, kemudian mutiara dan masih sama bunyinya ketika ditiup safira hari sabtu lalu di tahun 2017, pada pawai khatam quran sd islam budi mulia.
3 notes
·
View notes
Text
dont look back in anger, just do it forward
Demi Tuhan. aku membenci diriku yang sedang marah. meski demikian biarlah kau tidak menyukaiku karna kutampar wajahmu berkali kali agar bangun dari kelalaian yang fana. meski pahit tetap kulakukan, karna kau berarti bagiku. ketahuilah, marah dan benci adalah dua hal yang teramat berbeda. cek kbbi.
2 notes
·
View notes
Text
Daftar 25 lagu paling nampol versi bukan on the spot
Tulisan pertama di tahun 2017 ini dibuat iseng di akhir pekan yang santai. Daftar ini dibuat subyektif sesuai selera serta kenangan penulis pribadi. Penomoran tidak menandakan urutan, jadi tidak ada yang terbaik disini.
1. The Beatles - In my life 2. Queen - Dont stop me now 3. Van Morrison - Brown eyed girl 4. Creedance Clearwater Revival - Fortunate son 5. Bob Dylan - Blowin’ in the wind 6. Iwan Fals - Buku ini aku pinjam 7. Red Hot Chili Peppers - Otherside 8. Led Zeppelin - Stairway to heaven 9. Silampukau - Malam jatuh di surabaya 10. Bon Jovi - These Days 11. The Who - My generation 12. Lynyrd Skynyrd - Free bird 13. Oasis - Stop crying your heart out 14. Banda Neira - Di beranda 15. Dialog Dini Hari - Tentang rumahku 16. Gun n Roses - November rain 17. My Chemical Romance - Cancer 18. Efek Rumah Kaca - Di udara 19. Naif - Musnah tinggal debu 20. Eddie Vedder - Guaranteed 21. Ahmad Band - Sudah 22. Cmon Lennon - Gadis bertangan satu 23. Eric Clapton - Tears in heaven 24. The Doors - Light my fire 25. Kansas - Dust in the wind
3 notes
·
View notes
Video
tumblr
,فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 5)
-Puncak Gunung Kerinci, 10/1/17 9.00 WIB-
0 notes
Quote
The ‘makan uang rakyat’ or 'jalan-jalan pake uang rakyat’ statements even if it is said as just a joke is just unaccaptable. So silly and disrespectful.
4 notes
·
View notes