Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Angkat dua ibu jari buat semua orang yang masih bisa bersabar menghadapi kegilaan di jalan raya. Kalau saya pribadi, sepertinya masih jauh dari sabar, bahkan untuk sekadar masa bodoh sama kelakuan nyeleneh pengendara lain saja belum sanggup.
Seperti hari ini, saat berangkat kerja saya harus melihat bokong motor seorang pengendara yang tersenggol motor ojol hingga jatuh. Korban yang seorang wanita paruh baya tampak syok dan hanya bisa berujar, "Kok saya ditabrak, Mas, kan saya sudah bener mau belok."
Spontan saya langsung berujar ke pelaku, "Mas, Mas enggak bisa sabaran sudah tahu orang lagi pada belok masih menyerobot aja."
Kejadian berikutnya yang paling bikin naik darah, secara saya sendiri yang mengalami. Saya sedang anteng menunggu lampu hijau di tempat yang seharusnya ketika ada mobil dari arah kiri muncul. Saya kira dia ingin berbelok ke arah kiri, yang bisa langsung jalan. Saya geser pelan-pelan motor saya, karena takutnya pantat motor saya menghalangi area dia yang memang lumayan ngepas.
Ndilalah, mobil itu ternyata mau bergerak menerobos lampu merah yang sama dengan saya. Setelah dia bebas, motor lain menyusul. Lalu, ada satu pengendara yang dengan arogannya membentak saya, "Bukannya maju dikit, heh!"
Wooow, otomatis saya langsung ngegas. Saya tunjuk lampu merah sambil bilang, "Saya mau ke mana, Pak, itu kan lampu merah. Emang enggak ngeliat apa! Buta kali, yah!"
Pemotor itu berlalu begitu saja dan mengegas motornya menerobos lampu yang masih merah diikuti kendaraan lainnya.
Saya cuma bisa misuh-misuh sendiri, begini rasanya orang yang berusaha untuk menaati aturan. Perkataan pemotor itu membuat saya jadi merasa kayak orang yang bersalah, padahal kenyataannya ya dia yang mau melanggar aturan.
Mau herman, tapi hal ini sudah jamak terjadi. Akhirnya, saya berusaha menenangkan dan mempuk-puk diri saya sendiri. Meyakinkan kalau yang saya lakukan sudah benar, kecuali mungkin omongan kasar saya soal "buta" itu. Hmmm.
0 notes
Text
Tiga Generasi Cacing
Ketika membasmi hewan-hewan, terutama hewan kecil di sekitaran rumah, pernahkah terpikir kalau kita sudah melakukan pemusnahan massal terhadap mereka? Pagi ini, pikiran seperti itu melintas dalam benakku ketika aku sedang membersihkan kamar mandi. Jangan salah, kamar mandiku tidaklah sekotor dan sejorok itu. Aku juga bingung kenapa akhir-akhir ini sering sekali menemukan cacing melata di tembok kamar mandi. Mungkin kamar mandiku merupakan spot yang cocok untuk mereka berkembang biak? Entahlah.
Balik lagi soal membunuh hewan. Bagi kita, manusia, membunuh atau menyingkirkan mereka bisa dibilang merupakan bentuk pertahanan diri, menjaga teritori kita. Tapi, bagi mereka mungkin itu adalah pembantaian. Dan ... bisa jadi sebenarnya kitalah yang melanggar teritori kekuasaan mereka? Siapa tahu, merekalah yang lebih dulu sudah mendiami wilayah itu. Bedanya, aku di atas permukaan tanah, sedangkan mereka di dalam permukaan tanah. Dan dengan sombongnya kumusnahkan mereka dalam sekali gebrak. Aku bunuh bapak-ibu, om-tante, kakek-nenek, dan anak-anak cacing. Ya ampun, mungkin itu sudah tiga generasi keluarga cacing??
Duh, entah kenapa pikiran seperti ini malah muncul ketika aku sedang menyikati dan membersihkan kamar mandi dan menyingkirkan selusin cacing aneka ukuran (mungkin mereka ini tiga generasi keluarga cacing?).
Maaf, Cacing, maaf sekali lagi. Tapi, aku harus menyingkirkan kalian dari kamar mandiku. Bukan karena kau sombong dan verusaha menguasai seluruh wilayah. Tapi, tolonglah cari rumah lainnya, jauh-jauh dari kamar mandiku. Aku cuma ingin mandi dengan tenang dan nyaman tanpa perlu berpikir bahwa selama ini aku mandi ditemani dan ditontoni oleh tiga generasi cacing.
3 notes
·
View notes
Text
Aku lupa, sejak kapan aku selalu nyinyir tiap kali mendengar kabar orang akan menikah. Terutama mereka yang menikah pada usia jauh di bawahku.
Ada saja komentar negatif yang kulontarkan. Entah dari kesiapan finasial mereka, kesiapan mental sebagai pasangan dan juga orangtua yang menurutku belum mereka miliki, atau bahkan tentang penyelenggaraan pesta besar-besaran yang menurutku mubazir.
Aku berkomentar seolah-olah aku tahu segala hal tentang pernikahan. Seolah apa yang kutahu adalah yang paling benar dan sesuai aturan. Padahal, jelas-jelas aku tidak tahu apa-apa tentang pernikahan. Pengetahuanku nol besar tentang hidup berumah tangga, pun tentang menjadi orangtua.
Namun, karena melihat satu-dua kasus dalam rumah tangga seseorang membuatku seolah-olah mahatahu.
Dalam satu kesempatan aku sempat bertanya dan berbincang dengan diriku sendiri. Kenapa aku sebegitu nyinyir, julid, dan skeptis tentang berita pernikahan yang menghampiriku?
Dan jauh dari lubuk hati yang terdalam terdengar sahutan lirih, itu karena aku iri. Aku iri melihat mereka sudah mendapatkan pasangan dan siap mengarungi hidup berumah tangga.
Sedangkan aku? Semuanya masih misteri.
Yang bisa kulakukan saat ini hanya berbaik sangka saja kepada Allah. Dan belajar berpasrah atas apa pun ketetapan-Nya. Meski tak urung, kadang terselip harapan dan pertanyaan kapan hal tersebut bisa menghampiriku.
4 notes
·
View notes
Text
Pagi-pagi sudah ketemu sama hal yang membuat mood berantakan.
#inhaleexhale10x
2 notes
·
View notes
Text
Pagi ini hampir saja tabrakan dengan sesama motor. Pasalnya aku ceroboh tidak menyalakan lampu sen ketika ingin berbelok. Aku pikir kondisi jalanan saat itu lengang, dan aku mencoba mengikuti kendaraan di depanku yang ingin berbelok ke arah yang sama.
Ndilalah dari belakang ada suara teriakan "Eh, eh, eh", dan dari sudut mataku aku bisa melihat motor lain mencoba mendahuluiku dari sisi kanan (yang apesnya merupakan arah yang mau kutuju untuk berbelok). Kedua motor kami hampir bersinggungan, tapi berhasil mengelak dan tidak terjadi benturan sama sekali. #tarik napas lega
Untung lainnya, motor kami sama-sama dalam kondisi lambat. Enggak terbayang kalau motor yang ingin mendahuluiku itu dalam kondisi cepat. Sudah pasti kecelakaan tidak akan terhindarkan.
Aku seperti diingatkan untuk terus berhati-hati di jalan. Tidak bengong, melamun, atau berkhayal*. Iya, aku tuh suka ngayal kalau lagi bawa motor. Suka menciptakan adegan-adegan "sinetron" sendiri. Dan kadang, saking serunya aku bisa terhanyut dan enggak sadar kalau lagi bawa motor. Tiba-tiba sudah sampai saja di tempat tujuan.
Tapi, aku, sih, percaya pasti ada orang lain yang seperti aku. Suka berkhayal kalau sedang berkendara😅
*Mostly aku, tuh, ngayal ketemu idolaku. Terus kami hang out, kayak teman dekat gitu ngahahahah
1 note
·
View note
Text
Berapa banyak cerita dibutuhkan untuk membuat kenangan?
Berapa banyak pertemuan dibutuhkan untuk merasakan kehilangan?
Berapa banyak cinta dibutuhkan untuk merasakan rindu?
0 notes
Text
Aku Anak ibuku
Hari ini aku menydari bahwa aku mirip sekali dengan ibuku. Dalam hal menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan. Biar aku menceritakan bagaimana akhirnya aku dalam diam menyadari hal tersebut.
Kemarin pagi, aku mengetahui kabar bahwa adikku yang paling kecil kehilangan dompetnya yang berisi semua kartu-kartu penting. Aku mengetahuinya dari adikku yang lainnya. Saat mendengar kabar itu, dalam sepersekian detik reaksi yang aku keluarkan adalah ungkapan kekesalan. Aku kesal karena menydari bahwa adikku tidak pernah belajar dari pengalamannya. Hal seperti ini tidak hanya terjadi sekali. Sebelumnya, dia juga pernah kehilangan handphone-nya. Dan semua itu terjadi karena kelalaiannya. Dan kini, hal itu dia ulangi lagi. Bisa kalian bayangkan kekesalan apa yang tiba-tiba menyelimutiku. Dalam kekesalanku, aku ingin membuat adikku bertanggung jawab sendiri atas kelalaiannya. Aku bahkan sempat berujar untuk tidak mau ikut campur dengan urusan itu.
Namun, pada pengujung hari ketika aku sudah bisa mencerna peristiwa itu baik-baik, aku lebih bisa mengontrol emosiku. Aku sempat bersyukur tidak langsung mengonfrontasi adikku saat masih dalam keadaan emosi. Dalam keadaan tenang, aku bisa lebih memberi adikku solusi ketimbang menyalahkannya secara membabi buta, yang aku tahu pasti tidak akan membantu menemukan lagi dompetnya. Hanya untuk meluapkan kekesalanku yang sementara.
Setelah itu, aku bermaksud untuk membiarkan adikku menyelesaikan masalahnya diam-diam tanpa membuat keributan di rumah. Tidak memberi tahu ibuku yang reaksinya pasti akan lebih heboh. Namun, akhirnya setelah beberapa pertimbangan, aku memutuskan untuk memberi tahu ibuku. Aku masih memiliki harapan kalau dompet itu bisa ditemukan di rumah. "Mungkin dompet itu terselip di satu sudut rumah?" pikirku. Dan aku tahu orang terbaik yang bisa membantu menemukan benda yang hilang adalah seorang ibu!
Dan seperti yang sudah kuduga, begitu mendengar kejadian itu ibuku langsung reaktif. Omelan dan cerocosan yang menyakitkan mulai keluar dari mulutnya. Jangan salah, ibuku bukan sosok kejam, tapi begitulah seorang ibu yang mungkin sudah lelah dengan ulah anak-anaknya :). Dan aku tahu, meskipun berkata-kata nyelekit, beliau akan tetap mencari dompet itu ke seluruh penjuru rumah diselingi dengan misuh-misuh kesal.
Hah! Momen a-ha berkelip dalam pikiranku, hehehe. Dan saat mengendarai motorku hari ini, aku memutar lagi momen aku berekasi ketika mendengar kabar yang sama. Astaga, aku cuma bisa merutuk sambil tersenyum getir. Dan pada momen itu aku tahu, ada hal yang perlu aku perbaiki terkait dengan emosiku dan bagaimana aku bereaksi terhadap sesuatu. Karena aku tahu, satu saat sikap reaktif seperti itu akan memyebabkan masalah untukku.
0 notes
Photo
Pas lihat foto ini tetiba mau ngegambar. Yo wis urek², jadi deh!
Overgrown, Hiroo 広尾
3K notes
·
View notes
Text
Mungkin hatiku sedang sakit, sakit teramat parah sehingga yang bisa kulakukan hanyalah mencari salah dan cela orang lain.
Jakarta, 18 Juli 2022
0 notes
Text
Semut dan Lamunanku
Hari ini, saat sedang menunggu prinanku kelar, mataku tertumbuk ke sederetan makhluk kecil hitam yang bergerak begitu tergesa-gesa. Kawanan semut yang sedang memindahkan, entah makanan atau telur dari ujung satu kubikel ke ujung lainnya, sebelum menghilang ke rerimbunan kabel yang menjulur dan meliuk-liuk.
Aku jadi bertanya-tanya, apakah kawanan semut ini harus selalu bersama-sama ke mana pun mereka pergi? Apakah ada di antara mereka yang punya keinginan untuk hang out sendiri saja setelah menghabiskan waktu selalu bersama dalam kawanannya? Apakah ada dari semut-semut itu yang punya sifat introvert seperti manusia?
Kalau tiba-tiba ada sepasang semut yang memutuskan untuk keluar dari kawanan sejenak, untuk refreshing apakah yang lainnya akan cemburu? Apakah dari mereka ada yang membatin kenapa semut itu yang diajak, bukan aku. Apakah kakiku kurang cepat berjalan? Apakah aku tidak seru diajak bertualang? Apakah ada di antara semut itu yang merasa iri?
Lamunanku soal semut-semut lantas dibuyarkan oleh semburan kertas prinan yang berhamburan keluar dari mesin prin. Tampaknya mesin ini sudah terlalu lelah untuk terus diajak bekerja. Mungkin ... inilah bentuk protes dari si mesin. Teriakannya yang minta untuk ditinggalkan sendiri sejenak saja.
Ah, bahkan mesin pun butuh waktu sendiri.
0 notes
Text
Cerita Saat Hujan di Sore Hari
Setiap hujan turun, ingatanku selalu terlempar ke masa lalu. Ada rutinitas yang harus kujalani, yaitu menjemput Bapak.
Aku pergi menjemput Bapak di ujung gang tempat turunnya angkot. Saat itu, belum ada alat komunikasi yang bisa memastikan kapan Bapak tiba di tempat untuk dijemput. Alhasil, aku bisa menunggu berjam-jam di pinggir jalan.
Di tengah guyuran hujan deras, mataku mengamati satu per satu angkot yang lewat. Tiap kulihat angkot berwarna biru mendekat, hatiku berseru, "Ah! Mungkin ini angkot yang ditumpangi Bapak." Tapi, aku harus menelan kekecewaan setiap kali angkot-angkot itu tak berhenti dan melewatiku begitu saja. Kadang, ada pula angkot yang berhenti dan membuatku bersemangat sebelum akhirnya menerbitkan rasa kecewa. Ternyata angkot itu mengira aku calon penumpang, sedangkan aku mengira ia hendak menurunkan Bapak.
Begitu terus, selama beberapa waktu harapan dan kekecewaan datang silih berganti menghampiriku. Bila sedang beruntung, Bapak tiba cepat sehingga aku tidak perlu menunggu terlalu lama. Namun, tidak jarang aku harus menunggu hingga langit gelap dan kumandang azan Magrib terdengar dari pelantang masjid. Dan, tak lama kemudian dari kejauhan aku bisa melihat sosok berpayung yang berjalan pelan. Itu adalah ibuku. Beliau akan datang menggantikanku menunggu sampai Bapak tiba, atau hingga hujan reda.
0 notes
Text
Beberapa waktu lalu, saya ikut larut dalam keseruan obrolan bareng teman-teman di grup chat.
Topiknya adalah ngejulidin skandal seorang artis yang story di IG-nya terbongkar ke publik. Padahal, story itu dibuat secara privat dan hanya bisa dilihat kalangan terbatas. Di story itu tampak si artis, yang notabene masih remaja, asyik bermesraan dengan seorang pria yang usianya jauh di atasnya.
Mulailah bertaburan opini-opini pribadi yang mengomentari tingkah laku si artis. Betapa tingkah laku si artis muda ini tidak pantas, kenapa si artis muda ini sampai berani berbuat seperti itu, hingga mulai mempertanyakan didikan orangtuanya.
Ketika berkomentar tersebut saya pribadi tanpa sadar sudah menempatkan diri menjadi orang yang paling tahu dan paling bersih. Padahal, kalau mau direnungi, saya mungkin tidak jauh berbeda dengan si artis. Ada banyak sekali kesalahan dan aib-aib yang saya lakukan. Saya tidak ada bedanya dengan si artis. Malah mungkin lebih buruk kalau seandainya semua aib saya dijembreng. (Ya Allah, alhamdulillah wa syukurillah Engkau masih bermurah hati menutupi semua aib saya.)
Saya jadi ingat salah satu adegan di film ("Perempuan Berkalung Sorban" kalau tidak salah), ketika semua warga menghakimi seorang wanita yang dituduh melakukan zina. Lalu, tiba-tiba seorang wanita yang dituakan di kampung tersebut berang dan menantang warga. Siapa pun boleh menghakimi si wanita tertuduh dengan catatan dia lebih suci dan tanpa dosa ketimbang wanita tersebut (kurang lebih seperti itu).
Ternyata, saya tak ubahnya warga kampung yang menghakimi wanita pezina.
Betapa mudahnya saya mengunyah dan memapah aib orang lain. Tanpa sadar saya membuka peluang bagi orang lain untuk melakukan hal serupa andaikata mereka menemukan aib yang sudah saya sembunyikan rapat-rapat.
Saya pun berhenti membalas dan merespons lebih lanjut chatingan di grup. Saya hanya bisa beristigfar dan mengambil pelajaran dari skandal sang artis muda. Saya berdoa, semoga peristiwa yang dialami si artis itu tidak menimpa saya. Dan saya mewanti-wanti diri saya dalam mengomentari kasus-kasus serupa.
Saya bukanlah orang yang pantas menghakimi kesalahan orang lain ketika saya sendiri mempunyai gunungan aib.
Saya harus belajar mengerem diri dan mengulang-ulang kalimat ini,
saya bukan orang suci.
0 notes
Text
Tertidur
Ketika lampu dipadamkan
aku menghitung satu satu detak jantungku
kudengar deru napasku melambat
kelopak mataku memberat
dan pikiran-pikiran yang berputar perlahan memudar
detik demi detik yang bergerak
tanpa sadar, aku pun jatuh terlelap
1 note
·
View note