middleface
Welcome
59 posts
about Mountain, Nature, and other interest
Don't wanna be here? Send us removal request.
middleface · 7 years ago
Photo
Tumblr media
Cogito ergo sum - Aku berpikir maka aku ada - Rene Descartes (1596-1650)
0 notes
middleface · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Bromo Tengger Semeru national park, East Java, Indonesia
0 notes
middleface · 8 years ago
Photo
Tumblr media
ride up on sea of sand in Bromo Tengger Semeru national park
0 notes
middleface · 8 years ago
Photo
Tumblr media
steps to peak of Bromo
0 notes
middleface · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Bromo Crater, to summit peak of Bromo can use jeep (hardtop) from Wonokitri or Cemoro Lawang village ride up to the sea of sand (lautan pasir), and then continued by horse or on foot
0 notes
middleface · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Bromo, Bromo-Tengger-Semeru National park, Probolinggo, East Java, Indonesia
0 notes
middleface · 8 years ago
Text
Pada Zaman Dahulu Kala
Suatu hari datanglah lelaki itu, memakai celana jeans, berambut gondrong, dan memakai kemeja tangan panjang corak kotak-kotak. Bukan nabi atau pewaris nabi yang selalu memakai sorban dan kain penutup kepala, bukan juga pastor atau kaum father yang biasa memakai topi-topi Dagon pada kepalanya, juga bukan biksu, dan pandita. Dia hanya manusia biasa. Menurut penuturannya, dia datang dari sebuah negeri; bukan Atlantis, Lemuria, atau Negeri bernama Wonder-Land.
Dia bercerita: “ Aku datang dari sebuah negeri, kalian biasa menyebutnya negeri entah berantah, sebuah negeri yang diceritakan dengan awalan, pada zaman dahulu kala... Ya, seperti Coelho dalam Eleven Minute-nya, mengawali cerita dengan kalimat itu. Negeriku terletak di balik gunung ketika matahari terbit atau terbenam, bisa juga kau sebut, negeriku berada di balik gemawan saat semburat kuning dan cahaya emas lembayung menerangi seantero bumi. Yang jelas, kalian akan mengawali negeriku dengan kalimat, pada zaman dahulu kala...
“ aku akan menceritakan kehidupan di negeriku. Negeriku berbeda dengan negerimu , di negeriku orang-orang tidak pernah sibuk memikirkan bagaimana masa depan, uang, jabatan, profesi, dan bahasa-bahasa bernada kekhawatiran di masa depan. Itulah sebabnya, waktu di negeriku berjalan begitu lambat, hening, karena semua orang di negeriku tidak sedang hidup di masa depan. Mereka menikmati hidup di masa sekarang, tanpa keluh-kesah.
“ Sawah dan ladang di negeriku ditanami oleh padi dan sayur mayur, kami panen setiap enam bulan sekali. Saya selalu membantu orangtua, mulai dari mencangkul, menaburi sawah dengan berbagai pupuk kandang dan kompos, menanam padi, hingga memanen dan menjemurnya hingga kering. Padi-padi hasil panenan di negeriku disimpan di sebuah ruangan, di pinggir-pinggir sawah kami membuat dan membangun gubuk-buguk kecil yang memiliki ruangan tempat penyimpanan sebagian hasil panen. Sisanya, kami tumbuk di lesung-lesung. Para wanita menumbuk padi yang sudah kering sambil bernyanyi riang, rona dan raut wajah bahagia.
“ Kami pun berkebun, menanam kacang-kacangan, adas, mentimun, dan palawija. Hasil kebun tidak kami jual, tapi saling bertukar. Aku tahun kemarin menanam jagung pada satu petak kebun, hingga 6 bulan kemudian aku memanennya,  kemudian kami saling tukar hasil pertanian, saling menikmati hasil kebun itu. Jagungku ditukar dengan labuh-labuh besar dengan tetanggaku. Kami membakar jagung di malam hari, ketika langit ditaburi bintang, di luar gubuk, disertai gelak tawa. Malam di negeri kami begitu panjang, kami bisa bergadang selama berpuluh-puluh jam. Suara angin mendesir dan terdengar gemercik air  di selokan. Pulang dari gubuk, kami melalui pematang-pematang berembun, kami tidak khawatir terhadap bianatang malam atau ular-ular. Di negeriku, binatang-binatang pun menghormati kami karena kami tidak pernah mengganggu hidup mereka.
“ Sekolah pun ada, aku menyekolahkan anakku di sebuah sekolah yang terletak di pinggir kampung halaman. Guru-guru kami tidak mengajarkan hal-hal rumit di sekolah, yang diajarkan hanya lah bagaimana cara kami hidup dan menghadapinya tanpa keluhan. Musikus, seniman, olahragawan, dan jenis profesi lainnya tidak dihasilkan dari sebuah akademi, mereka dihasilkan oleh keinginan dan usaha mereka sendiri. Banyak penemu-penemu hebat di negeri kami, tidak dipatenkan atau dijual, karena hasil temuannya digunakan untuk kepentingan bersama. Musik-musik diperdengarkan di sebuah tempat pada saat-saat tertentu, seperti lokananta yang ditabuh dari kahyangan. Mereka menciptanya tanpa paksaan akan diberi penghargaan, dimasukkan ke dalam kaset, kami langsung mamainkan alat musik itu. “
Pimpinan di negeriku tidak menyukai hura-hura, dia akan membetulkan sebuah pematang sawah jebol ketika suatu waktu dia melakukan kunjungan ke wilayah dan daerah-daerah. Yang ditanyakan oleh dia hanya satu, anakmu sehat? Hanya itu. Dia tidak pernah memikirkan bagaimana strategi perang, seni perang, dan bela diri. Karena di negeriku kejahatan dan potensi-potensinya sama sekali tidak ada. Semua orang percaya dan bertanggung jawab pada dirinya dan keselamatan orang lain. Bahkan, di negeriku tidak akan ditemui tentara dan polisi, tidak perlu seorang pimpinan di kawal-kawal oleh satu kompi pasukan, dia akan berjalan ketika dia mau dan ke mana saja tanpa harus ada macam-macam bernama prosedur.
“ Setiap hari, aku selalu menyempatkan diri jalan-jalan ke beberapa pusat keramaian. Orang-orang saling menyapa dengan seuntai senyum. Dalam hidup kami, hampir tidak ditemui air mata kepedihan dan kesedihan, melainkan dipenuhi oleh cinta dan kasih. Saat tangis bayi terdengar, ada air mata mengalir pada pipi si bayi, tidak kami seka dengan kain atau sapu tangan, kami menyekanya dengan tangan-tangan kami, penuh kelembutan. Setiap ada tangis bahagia, kami selalu saling mengelusnya langsung dengan tangan kami.
“ di sana, ya di negeriku, pernikahan dijunjung tinggi. Kami saling mencintai dengan pasangan, tanpa harus merasa iri dengan pasangan lainnya. Tidak ada pernikahan dan cinta yang didahului oleh ucapan; karena cantik atau tampan. Sebab, di negara kami cantik dan tampan adalah watak bawaan. Masing-masing di antara kami setelah berumah tangga akan membangun rumah, dikerjakan bersama-sama, saling membantu. Rumah-rumah di negeri kami tidak berdempet-dempet, tetapi terbuat dari kayu dan bambu kemudian diberi jarak beberapa meter. Tidak ada bentuk rumah terlalu besar atau terlalu kecil, semua sama, karena rumah bukan tempat untuk memamerkan siapa diri kita, rumah hanya tempat berlabuh dan mendayung sampan menyebrangi sungai malam.
“ Masing-masing orang memiliki hewan ternak dan peliharaan. Aku memelihara dua ekor kelinci, kuberi nama Si Putih dan Si Hitam. Kelinci-kelinci itu setiap hari memamah rerumputan pekarangan rumah. Atau sering dibawa oleh anakku ke pinggiran kampung, kemudian dibiarkan menimkati rumput-rumput segar pada pematang-pematang sawah. Di sana telah ada anak-anak lain, kemudian mereka bersenda gurau berkejaran melintasi pematang-pematang sawah.
“ Tuhan? Ya, di negeriku Tuhan merupakan kuasa tertinggi. Kami percaya sepenuhnya akan kemahamurahan dan kemaha cintaanNya. Itulah makna dari ajaran di negeriku. Ketika Tuhan memiliki kemaha rahiiman, maka apa pun itu tidak ada alasan bagi orang-orang di negeriku memiliki anggapan keliru jika Tuhan akan menyiksa mahlukNya. Kami semua tergantung dan menggantungkan hidup kepada kemurahanNya. Oleh sebab itulah orang-orang di negeriku tidak mengkhawatirkan kekurangan makan, minum, dan jiwa. Kami percaya sepenuhnya, Tuhan , tanpa dipinta pun akan memberikan karuniaNya, tiada henti. Aku selalu menatap titik embun di kuncup mawar setap pagi, menikmati kehadiran Tuhan dalam kehidupan ini. Tidak ada perang apalagi pembunuhan, sebab Tuhan Maha Kasih dan Sayang, dimaknai oleh kami sepenuhnya, segala hal yang bertentangan dengan kemaharahiimanNya merupakan hal tercela. Maka tidak akan ditemui perang atas nama Tuhan di negeriku, karena mana mungkin Tuhan menyuruh Kami berperang dan memusuhi satu sama lain?
“ Ya, seperti yang kamu bayangkan, negeriku dipenuhi lautan cahaya.... kasih sayang. “ Dia tersenyum. Sebelum pamit kepadaku. “ Intiplah kehidupan kami dibalik gunung itu saat matahari menciptakan semburat lembayung dan lempengan-lempengan emas...  kamu harus membiskkan kalimat, pada zaman dahulu kala jika ingin mengintip kehidupan di negerku!”
Aku tertegun, entah berapa lama... hingga lelawa keluar dari persembunyiannya. Lalu kukatakan, “ pada zaman dahulu kala ...!” [ ] Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/warsa/pada-zaman-dahulu-kala_5528ef37f17e61d0208b4577
credits to : Kang Warsa ‘Kompasiana’
0 notes
middleface · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Cozy
14K notes · View notes
middleface · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Street runway, New York.
608 notes · View notes
middleface · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Tuhan sangat asyik ketika Dia tidak kita kurung paksa dalam penamaan-penamaan dan pemaknaan-pemaknaan. Dia tak terdefinisikan. Dia tak terkmaknakan. Dia ada sebelum definisi dan makna ada. Tuhan itu anti mainstream. Tuhan itu Maha Asyik ketika kita mentadabburi-Nya, bukan melogikakan-Nya. - Sujiwo Tejo & DR. MN Kamba, Tuhan Maha Asyik
lukisan Sujiwo Tejo - Semar in waiting room
1 note · View note
middleface · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Orang tidak bisa mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia... Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin - Soekarno
0 notes
middleface · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. duniaku bumi manusia dengan persoalannya. - Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia
0 notes
middleface · 8 years ago
Text
Maha Satpam
     Tanya jawab pengajian itu menjadi hangat. Tak disangka tak dinyana anak muda berpeci yang lehernya berkalung sajadah itu mendadak meningkatkan nada suaranya.
    "Saya sangat kecewa dan memprotes keras mengapa Bapak bersikap sedemikian lunak kepada orang-orang yang datang ke kuburan untuk minta angka-angka buntutan!" ia menuding-nuding, "Itu jelas syirik. Saya sebagai warga organisasi Islam yang sejak kelahirannya memang bermaksud memberantas segala takhayul, bidah, khurafat, dan syirik, akan terus memberantas gejala-gejala semacam itu dalam masyarakat kita sampai titik darah penghabisan!"
Bapak ustadz terkesima.Isi pemikiran pemuda itu tidak aneh, meskipun bukan tidak menggelisahkan. Namun "semangat juang"-nya ini! Apakah ia baru saja membaca sajak Chairil Anwar "Aku" atau "Persetujuan dengan Bung Karno" sehingga voltase darahnya meninggi? Tapi marilah bersyukur. Ini yang namanya sukses pewaris nilai dan semangat perjuangan dari generasi satu ke generasi lain. Proporsi di mana dan untuk soal macam apa semangat itu mesti diterapkan, adalah soal kedua" "Adik manis, maafkanlah kalau saya memang khilaf," bapak ustadz berkata lembut, "Tapi saya berharap sesungguhnya aspirasi kita terlampau berbeda. Saya juga tidak bermaksud menularkan kebiasaan orang-orang tua untuk bersifat terlalu dingin terhadap gejala-gejala. Tetapi,  nyuwun sewu, saya melihat ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pernyataan Anda tadi ibarat memasukkan sambal ke dalam es dawet..." Para jamaah tertawa, meskipun pasti mereka belum mengerti maksudnya. "Syirik ya syirik, tapi orang masuk kuburan kan macam-macam maunya. Ada yang mau mencuri tengkorak, ada yang sembunyi dari tagihan rentenir, ada yang sekedar menyepi karena pusing bertengkar terus dengan istrinya yang selalu meminta barang-barang seperti yang dibeli tetangganya. Terus terang saya juga sering masuk kuburan dan nyelempit di balik gerumbul-gerumbul karena sangat jenuh oleh acara yang macam kita selenggarakan malam ini, jenuh diundang kesana kemari untuk sesuatu yang sebenarnya tidak jelas, jenuh meladeni pertanyaan-pertanyaan yang khas kaum muslimin abad 20 dari soal 'apa hukum merangkul rambut' sampai 'memandang wanita itu zina atau tidak', atau jenuh dengan pikiran-pikiran puber yang akrobat pikiran intelektualnya overdosis. Kejenuhan itu sendiri sunnatullah atau hukum alam. Tuhan mengizinkan kita untuk merasa jenuh pada saat-saat tertentu sebagai bagian dari peran kemanusiaan. Apakah buang-jenuh di kuburan itu syirik?" "Bukan itu maksud saya!" teriak sang pemuda, "Saya berbicara tentang orang yang minta-minta di kuburan". "Baiklah," lanjut bapak ustadz. "Syirik itu letaknya di hati dan sikap jiwa, tidak di kuburan atau di kantor pemerintah. Sebaiknya kita jangan gemampang, jangan terlalu memudahkan persoalan dan gampang menuduh orang. Saya terharu Anda bersedia memerangi syirik sampai titik darah penghabisan, namun saya juga prihatin menyaksikan Anda bersikap begitu sombong kepada orang miskin...." "Apa maksud Bapak?" sang pemuda memotong. "Bukinlah proposal untuk minta biaya meneliti siapa saja yang sebenarnya suka mendatangi kuburan, terutama yang menyangkut tingkat perekonomian mereka. Kita memang tahu para pejabat suka berdukun ria dan para pengusaha mendaki Gunung Kawi, tapi siapakah umumnya yang berurusan dengan kuburan untuk menggali harapan penghidupan? Saya berani jamin kepada Anda bahwa 90%  pelanggan kuburan adalah orang-orang yang kehidupan ekonominya kepepet. Orang seperti Anda ini saya perhitungkan tidak memerlukan kuburan karena wesel dari orang tua cukup lancar. Di samping itu syukurilah posisi sosial Anda. Anda termasuk dia antara sedikit anak-anak rakyat yang beruntung, memiliki peluang ekonomi untuk bisa bersekolah sampai perguruan tinggi. Karena Anda sekolah sampai perguruan tinggi maka Anda akan menjadi pandaidan mampu mengelola kehidupan secara rasional. Harapan Anda untuk menjadi pelanggan kuburan termasuk amat kecil. Anda akan menang bersaing meniti karir melawan para tamatan sekolah menengah, para DO atau apalagi para non-sekola. Kalaupun kemudian nenjumpai persoalan-persoalan umum yang menyangkut ketidakadilan ekonomi, misalnya, Anda bukan berencana berkunjung ke makam Sunan Begenjil,  melainkan bikin kelompok diskusi yang memperbincangkan kepincangan ekonomi dan kemapanan kekuasaan politik...." Seperti air bah kata-kata bapak Ustadz kian meluncur. "Kalaupun Anda ogah terlihat bekerja dalam jajaran borokrasi kekuasaan atau tempat-tempat lain yang Anda perhitungkan secara sistematik mendukung kemapanan itu, Anda masih mempunyai peluang non-kuburan, misalnya, bikin badan swadaya masyarakat. LAngkah pertama gerakan ketidaktergantungan itu ialah merintis ketergantungan terhadap dana luar negeri di mana Anda bisa numpang makan, minum, merokok, dan membeli jeans  baru. Langkah kedua, meningkatkan kreativitas proposal agar secara pasti Anda bisa memperoleh nafkah dari gerakan itu. Dan langkah ketiga, menyusun kecanggihan lembaga Anda sedemikian rupa sehingga Anda sungguh-sungguh bisa mengakumulasikan kekayaan, bikin rumah, beli mobil, dan memapankan deposito. Juklak saya untuk itu adalah umumkan ide-ide sosialisme perekonomian sebagai komoditi kapitalisme persahaan swadaya mesyarakat Anda. Kemiskinan adalah ekspor non-migas yang subur bagi kelompo priayi pembebas rakyat di mana Anda bisa bergabung..." Bapak Ustadz kita sudah tak terbendung lagi. "Dengan demikian Anda bisa selamat dari budaya kuburan sampai akhir hayat. Hal-hal semacam ini tidak bisa dilakukan oleh orang-orang miskin yang hendak Anda berantas syiriknya itu. Mereka tak mampu membuat proposal, takut kepada Pak Camat dan Babinsa, karenabagi mereka lebih mengerikan dibandingkan dengan hantu-hantu kuburan. Satu-satunya kesanggupan revolusioner yang masih tersisa pada orang kecil yang melarat adalah minta harapan secara gratis ke kuburan". Suasana pengajian menjadi semakin senyap. "Bapak ini ngomong apa?" potong sang pemuda lagi. "Kepada siapa dan apa sajakah yang di-Tuhankan orang di negeri ini? Apa yang didambakan orang melebihi Tuhan? Apa yang dikejar diburu melebihi Tuhan? Apa yang ditakuti orang melebihi Tuhan? Apa yang sedemikian menghimpit memojokkan menindih orang seolah-olah berkekuatan melebihi Tuhan? Apa dan siapa yang mendorong orang tunduk, patuh, dan loyal sepenuh hidup kepadanya melebihi Tuhan? Apa yang memenuhi pikiran orang, memenuhi perasaan dan impian orang lebih dari keindahan Tuhan? Lihatlah itu, pikirkan dan terjemahkan melalui pikiran kebudayaan Anda, pikiran sosial Anda, pikiraan politik Anda, pikiran ekonomi Anda, perhitungan struktural Anda..." Suara bapak Ustadz kita menjadi agak gemetar ,meskipun nadanya meninggi. "Beranikah Anda berangkat memberantas syirik-syirik besar yang dilatari oleh kekuasaan, senjata, dan fasilitas? Beranikah Anda berperang melawan diri Anda sendiri untuk mengurangi sikap gemagah kepada orang-orang lemah? Sanggupkah Anda mengalahkan obsesi kehidupan Anda sendiri untuk merintis peperangan-peperangan yang sedikitpunya harga diri?" Napas mulai agak tersengal-sengal. "Anda begitu bangga menjadi satpam kehidupan orang lain. Bahkan Anda tampak bermaksud menjadi maha satpam yang memberantas syirik sampai titik darah yang terakhir. Tetapi Anda menodongkan laras senjata Anda ke tubuh semut-semut yang terancam oleh badai api sehingga menyingkir ke kuburan sepi. Itu karena mata pengetahuan tak pernah dicuci kecuali oleh ulama-ulama yang memonopoli kompetisi pemikiran keagamaan, padahal mereka begitupemalas mencuci mata umatnya, kecuali untuk soal-soal yang menyangkut kepentingan posisi mereka. Anda sudah tahu wajib, sunat, halal, makruh, dan haram, tetapi itu hanya diterapkan untuk hal-hal yang wantah. Anda hanya bertanya orang sudah solat lohor atau belum, orang ke kuburan atau tidak, si keponakan sudah pakai jilbab atau belum, mengapa Cut Nyak Dien mengelus-ngelus paha Teuku Umar padahal itu film citra Islam. Anda tidak merintis penerapan kualifikasi hukum lima itu untuk persoalan-persoalan yang lebih luas. Anda tidak pernah mempersoalkan bagaimana sejarah politik sembahyang, Anda marah kenapa Cristine Hakim tidak memakai jilbab,  tetapi anda tuli terhadap kasus penggusuran, terhadap proses pemiskinan, terhadap ketidakadilan sosial yang luas. Anda tidak belajar tahu apa saja soal-soal kualitasnya wajib dalam perhitungan makro struktural. Anda hanya sibuk mengincar orang masuk kuburan. Anda merepotkan diri mengurusi sunah-sunah dan tidak acuh terhadap kasus-kasus yang wajib respon sifatnya..." "Pak Mengapa jadi sejauh itu...?" sahut sang pemuda. "Dengar dulu, anak muda!" tegang wajah sang bapak. " Itu yang menyebabkan Anda tidak memiliki perhitungan yang menyeluruh untuk akhirnya menemukan hakikat kasus syiril yang sebenarnya. Anda hanya sanggup melihat seseorang mencuri. Anda hanya tahu bahwa mencuri itu hukumnya haram, padahalmelalui ralativitas konteks-konteks, pencuri itu bisa halal sifatnya..." "Apa-apaan ini, Pak?" sang pemuda nyelonong lagi. "Kita ini dibesarkan dalam kesalahan-kesalahan. DAlam rasa ketidakmungkinan menang, subyektivitas kita tumbuh subur. Kalau kita bercermin dan menjumpai wajah kekalahan di biliknya, kita ciptakan kemudian cermin yang mampu menyodorkan halusinasi kemenangan kita. Kalau kita tak punya biaya naik haji, naiklah kita ke puncak Gunung Bawakaraeng dan merasa telah naik haji. Kalau tak sanggup perang melawan kekuatan manusia, kita cari tuyul untuk kita taklukkan. Kalau tak ada juga peluang untuk tampil di panggung sejarah, kita berduyun-duyunlah ke panggung narkoti kebudayaan di bidang ndangdut, diskotik Si Boy, atau mengangkat seorang pencoleng menjadi dermawan sehingga hati terhibur. Kalau risi berpegang pada pilar-pilar kufur dan tak sanggup bersandar pada udara, maka melianglah kita pada lubang sempit pengetahuan keagamaan kita yang mualah dan nadir, Kita menjad "negara" dalam pesta syariat dangkal umat di sekeliling kita. KIta mengawasi muda-mudi yang berbonceng motor, kita menelepon pasien-pasien kita di pagi buta untuk mengecek apakah ia sudah salat subuh, kita sembahyang jamaah sambil melirik apakah orang di samping kita sudah cukup khusuk sembahyangnya. Kita menjadi puritan, menjadi "manusia amat lokal". Kita mendirikan kekuasaan baru di mana kita adalah penguasanya..." Sang pemuda tak bisa tahan lagi, "Maaf, Pak! Berilah saya sedikit peluang..." Tapi air bah terus tumpah ke bumi... Sumber: Ainun Nadjib, Emha. 1992. "Slilit Sang Kiai". Jakarta. Pustaka Utama Grafiti.
teks dari http://idprajuritpena.blogspot.co.id/
0 notes
middleface · 8 years ago
Photo
Tumblr media
disini kita bukan turis - Wiji Thukul
SAJAK KEPADA BUNG DADI
ini tanahmu juga
rumah rumah yang berdesakan
manusia dan nestapa
kampung halaman gadis gadis muda
buruh buruh berangkat pagi pulang sore
dengan gaji tak pantas
kampung orang orang kecil
yang dibikin bingung
oleh surat surat izin dan kebijaksanaan
dibikin tunduk mengangguk
bungkuk
ini tanah airmu
disini kita bukan turis
Wiji Thukul
Solo - Sorogenen
Malam Pemilu 87
0 notes
middleface · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Merbabu via wekas, terdapat sumber mata air pada pos 2, estimasi waktu kira kira 7-8 jam basecamp - puncak kentheng songo (3142mdpl)
0 notes
middleface · 8 years ago
Photo
Tumblr media
And I refused to be a fool dancing on the strings held by all those big shots. I dont apologize, that’s my life.
0 notes
middleface · 8 years ago
Photo
Tumblr media
tell me where should i go ? to the left. where nothing is right or to the right. where nothing is left
0 notes