Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Kala Hujan-7
Juni 2013
Sejak pertengkaran mereka terakhir kali, Alan dan Hujan tak pernah meributkan apapun lagi. Hubungan keduanya kembali seperti sedia kala. Punya kelompok pertemanan sendiri-sendiri, tapi coba saling mengisi diwaktu sepi. Sampai di titik ini, tekad Alan sudah bulat. Ia tidak akan gegabah. Menyatakan perasaannya dan kehilangan Hujan adalah risiko yang terlalu besar untuk diambil. Alan masih punya waktu untuk menunggu.
Namun Hujan yang mulai menyadari perasaannya pada Alan tidak begitu. Ia tidak ingin menunggu. Hujan tidak ingin mengharapkan apapun dari Alan, selain pertemanan yang selama ini membuat nyaman. Ia tidak bisa membayangkan kehilangan seseorang seperti Alan lewat kata "Putus" yang selama ini selalu dihadapinya dari hubungan dengan pria-pria sebelumnya. Seperti Alan yang tidak ingin kehilangan Hujan, Hujan pun memilih berjarak agar Alan tetap dalam jangkauan.
***
Jam pulang kantor masih beberapa menit lagi. Tapi Alan tidak berniat pulang tepat waktu hari ini. Sebagai pegawai magang teladan, ia harus menyelesaikan pekerjaan sesuai target. Akibat banyak melamun, jam pulang kantornya harus ikut jadi korban.
Ponsel Alan berdering nyaring, memecahkan lamunannya. Terlihat nama "Kala" terpampang jelas di layar.
"Ya?"
"Bisa ngobrol sebentar?"
"Wait, aku cari tempat yang tenang dulu. Di sini terlalu berisik," kata Alan sambil berjalan menuju tangga yang mengarah ke rooftop.
"Ada apa, Hujan?
"Kamu masih marah?"
"Marah kenapa?"
"Kejadian di kafe kemarin. Kamu tiba-tiba pergi gitu aja setelah ngomelin aku gara-gara ceritaku tentang Adri."
'Ah, I don't want to talk about it, Hujan. Aku sedang nggak punya energi untuk terluka saat ini, please...' keluh Alan dalam hati.
Akhirnya yang ia lakukan, "Ohhh... itu. Aku nggak marah, dan nggak punya alasan untuk marah."
"Lalu?"
"I was just... In a rush. Harus balik ke kantor. Mmm... kemarin lembur."
"Baguslah. Berarti aku yang overthinking."
"Jadi, gimana Adri?"
"Dia baik-baik aja."
"Kamu tau bukan itu maksud pertanyaanku."
"Dia baik-baik aja. Kami baik-baik aja. Dia dan pacarnya mungkin bakal segera putus."
"Ann... come on," ucap Alan dengan nada memelas.
"Dengar dulu. There's something I haven't told you yet. Waktu itu aku dan Adri ada program di luar, terus kami harus mampir ke rumah Adri buat ambil sesuatu. Kebetulan orang tuanya ada di rumah, dan Adri ngenalin aku ke mereka sebagai pacar barunya."
Alan tidak merespon.
"Orang tuanya ramah banget sama aku, Lan. Mereka ajak ngobrol dan makan siang bareng. Minta aku datang lagi lain waktu. I'm so happy karena mereka nyambut aku dengan baik."
"Good for you."
"Adri melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan orang lain ke aku. Walaupun belum kenal lama, dari apa yang dia lakukan hari itu, aku tau dia mau serius sama aku."
Alan mulai menyesali pertanyaannya tentang Adri. Harusnya ia tidak bertanya, maka tidak perlu ada perih lainnya yang mesti susah payah ia tutupi.
"Kamu sendiri, mau serius sama dia?" tembak Alan.
Tidak ada jawaban dari Hujan.
"Hujan, still there?"
"Aku sedang mempertimbangkan. Setidaknya aku tau, hubungan kami nggak akan abu-abu. Adri mau memperjuangkan aku."
"Memperjuangkan? Dengan ninggalin pacarnya, maksud kamu?"
"Kenapa kamu bikin kami jadi nampak jahat?"
"Karena apa yang kalian lakukan sekarang itu salah, Hujan."
Hujan menghela nafas, "Kami cuma ingin bahagia. Adri bilang, dia nggak bahagia sama pacarnya. Dia mau aku. Aku..." kalimat Hujan menggantung.
"Dan kamu mau dia? Yakin? Atau kamu cuma senang karena ada seseorang yang nampak memperjuangkan kamu? Karena kamu terlalu sering ditinggalkan." tanpa Alan sadari, kata-katanya semakin tajam.
"Iya, aku memang selalu ditinggalkan. Nggak pernah ada yang memperjuangkan aku seperti Adri. Lalu, aku salah karena sekarang merasa senang diperlakukan begitu?" Nada suara Hujan mulai berubah, antara marah atau kecewa, orang yang selama ini selalu memihaknya kini terasa seperti sedang menghakimi.
Alan mendengarnya. Rasa marah dan kecewa Hujan pada kata-kata jahatnya. Alan ingin terus mendebat Hujan, menyadarkannya bahwa ia tidak bisa begitu saja memercayai pria yang berniat meninggalkan kekasihnya demi bisa berbahagia dengan wanita lain yang menurutnya lebih baik. Bagi Alan, pria yang baik seharusnya tidak melakukan kekejaman semacam itu. Tapi ia tau, ini bukan saat yang tepat. Hujan hanya akan semakin marah.
"Maaf, kata-kataku tadi sudah kelewatan. Harusnya aku nggak bicara begitu," Alan memilih mengalah.
"Kamu satu-satunya orang yang aku ceritakan tentang Adri. Kuharap kamu akan ikut berbahagia saat aku sebahagia ini."
Sebelum Alan sempat menjawab...
Ponsel Hujan bergetar, menandakan ada panggilan lainnya yang masuk. Nomor tidak dikenal.
"Sorry ya, Lan, there's another call. Talk to you later."
Tuut tuut tuut...
Tanpa mendengar jawaban Alan, telepon terputus.
Hujan tidak curiga atau menduga-duga siapa penelepon dengan nomor tidak dikenal itu. Ia hanya khawatir itu telepon penting, jadi ia tetap menjawabnya.
"Halo?"
"Betul ini dengan Ann?"
"Iya. Maaf, dengan siapa ya?"
"Niken. Pacarnya Adri."
DEGGG... Jantung Hujan rasanya mencelos.
"Ya, ada yang bisa dibantu? Tapi ini kebetulan saya nggak lagi sama Adri sih. Hari ini dia nggak masuk kerja."
"Saya perlunya cuma sama kamu kok."
"Oh, oke. Is there anything I can help?"
"Ada. Saya harap, saya nggak menemukan nama kamu lagi di chat room pacar saya. Saya juga nggak mau lihat nama kamu diriwayat panggilan telepon pacar saya, terutama dengan durasi lebih dari dua jam di tengah malam."
"Niken, saya nggak ada hubungan apa-apa sama Adri."
"Saya nggak tau yang bohong itu kamu atau orang tuanya Adri. Tapi apapun itu, mungkin kamu perlu tau satu hal. Saya nggak berniat pisah sama Adri."
"Saya juga nggak berniat merebut Adri. Dia yang datang ke saya dan bilang kalau dia mau putus sama kamu."
"Kami nggak akan putus. So, stay away from him. He's mine."
Satu detik kemudian telepon terputus. Menyisakan suara degup jantung Hujan yang memburu. Hujan bisa merasakan dadanya berdegup kencang, matanya panas, tangannya sudah mengepal siap memukul apapun yang bisa jadi pelampiasan. Tapi ia sadar posisinya terlalu lemah untuk melawan, ia tidak punya apa-apa selain keyakinan bahwa Adri memilihnya ketimbang perempuan bernama Niken yang baru saja meluluhlantahkan harga dirinya dalam hitungan menit.
Dalam kekalutan itu, Hujan berusaha mengumpulkan kembali serpihan harga dirinya dengan menghubungi Adri, berharap mendapat jawaban seperti apa yang ia harapkan. Tapi nihil. Seketika ia tau kalau nomornya sudah diblokir.
Ketika itu juga, seseorang menepuk bahunya dari belakang.
"Ann, sibuk nggak?"
Suara yang Hujan kenal. Mentornya, Bu Nita.
"Oh, nggak kok, Bu. Ada apa, ya?"
"Are you ok? Pucet banget kamu."
"Nggak apa-apa, Bu. Efek kurang tidur aja mungkin."
"Oh.. Iya, Hujan, ini lho, saya mau minta tolong. Nambah-nambahin kerjaan kamu sih. Tapi semoga kamu nggak keberatan."
"Kerjaan apa, Bu?"
"Jadi, pagi ini tuh saya mendadak dapat kabar dari Adri, katanya dia mengundurkan diri dari internship program. Dia cuma bilang karena alasan pribadi, dan mau ngasih tau saya detailnya nanti saat ketemu. Yang jelas mulai hari ini dia nggak akan ngantor lagi. Agak kaget sih karena ini mendadak sekali, sementara kita lagi banyak program yang harus segera running. Kamu handle beberapa tugas Adri sementara nggak apa-apa, ya? Ini sudah saya bagi sama yang lain juga kok. Detailnya nanti kita bahas lebih lanjut saat meeting," Bu Nita menjelaskan panjang lebar.
Hujan belum bisa berpikir jernih. Ia kesulitan mencerna penjelasan Bu Nita. Yang bisa ia tangkap hanya bagian Adri mengundurkan diri.
"Jadi, gimana? Oke ya?" tanya Bu Nita memastikan.
Hujan yang masih tidak fokus akhirnya hanya mampu mengangguk tanpa tau apa yang diminta Bu Nita. Ia hanya ingin segera pulang dan menata kembali pikiran juga hatinya saat ini.
Hujan menyadari bahwa kehilangan Adri tidak membuatnya terlalu sedih, yang menyakitkan adalah kenyataan bahwa lagi-lagi ia ditinggalkan, tidak diperjuangkan, tidak menjadi pilihan, apalagi tujuan. Dan disaat seperti ini, ia tidak bisa menelepon Alan yang baru sesaat lalu memberinya peringatan.
Rangkasbitung, 19 November 2024
Find the previous story here:
0 notes
Text
Cukup
Seperti saat mencintaimu, akupun meninggalkanmu dengan alasan. Sesuatu yang sulit kamu cerna. Dan aku juga tau, apapun yang kamu dengar hanya akan menjadi alat untuk menyerang. Berharap aku menyerah dan berbalik. Menyelamatkan harga diri yang kamu hancurkan sendiri. Tapi seperti kamu yang juga tetap berdiri pada apa yang kamu yakini, aku pun sudah berada pada titik yang tak bisa kamu jangkau lagi.
Sempat kulihat bagaimana kamu mencoba tegar. Iya, tetap berdiri meski terhuyung. Hingga akhirnya kamu jatuh. Jatuh cinta lagi, dan merasa hidup kembali. Kamu benar, tetaplah hidup. Karena aku bukan meninggalkanmu untuk menghadiri pemakaman yang takkan sempat kudatangi.
Perpisahan ini adalah satu-satunya obat. Agar aku, kamu, tidak lantas saling membunuh. Karena ada saatnya nanti, kita akan kehabisan cara untuk saling menyembuhkan, dan luka-luka takkan lagi ada penawarnya.
Mari kita cukupkan saja.
Sampai jumpa di waktu kita telah menjadi bahagia seutuhnya.
0 notes
Text
Beberapa waktu ini aku belajar..
Orang lain tidak perlu sepakat denganku bahwa ada jenis kebahagiaan yang tidak bisa dilunasi dengan materi.
Bangun pagi tanpa perasaan khawatir, misalnya. Khawatir terlambat berangkat kerja, khawatir dengan kemacetan luar biasa dalam perjalanan menuju kantor, khawatir dengan pekerjaan yang tak pernah menemui kata selesai, khawatir dengan omelan atasan, khawatir dengan gunjingan rekan sejawat atas apa-apa dari diri kita yang tidak sesuai ekspektasi mereka, dan kekhawatiran-kekhawatiran lainnya.
Atau bergembira saat bekerja karena memilih untuk menjalani pekerjaan yang dicintai, bukan berusaha mencintai pekerjaan yang dijalani. Selalu merasakan hati yang penuh dengan suka cita saat berhasil menyelesaikan satu pekerjaan, meskipun nilainya tidak setara dengan upayanya. Tapi rasa syukur adalah kunci, kan?
Bahwa tidak apa-apa dianggap bukan siapa-siapa dengan pencapaian yang tidak seperti manusia kebanyakan.
Semua orang berlomba dengan prestasinya. Semuanya berkompetisi menjadi yang nampak paling sempurna di laman media sosial masing-masing. Semuanya butuh validasi. Semuanya butuh pengakuan diri. Semuanya tidak salah dengan melakukan itu. Tapi apakah aku juga harus terbawa arus? Bolehkah aku menjadi yang tidak seperti semuanya? Karena aku pernah dan akhirnya lelah.
Ternyata menjadi yang bukan siapa-siapa tapi menjadi yang paling bisa diandalkan saat orang-orang kesulitan adalah berkah tersendiri bagi si aku yang nampak kecil ini.
Bahwa ukuran kesuksesan seseorang adalah dirinya dihari kemarin. Bukan orang lain.
Pencapaian orang lain akan selalu terlihat lebih baik. Ketika kita berhasil mengimbangi yang satu, akan ada orang lain yang lebih lagi dan kita kembali merasa kurang. Apa gunanya mengejar tujuan orang lain? Tidak bisakah fokus pada tujuan kita sendiri? Tidak bisakah fokus pada apa yang membuat kita bahagia, dan bukan pengakuan orang lain sebagai patokannya?
Dan bahwa.. apa yang membuat kita bahagia lebih berarti dari pikiran orang-orang tentang kita.
1 note
·
View note
Text
Ruang Tenang
Menulis ini disela beresin kerjaan.
Tiba-tiba mood swing dan kepingin nulis. Baru mikirin kata-katanya aja udah mrembes mili. Padahal dari semalam sampe tadi siang tiap cerita ini sama aa selalu nangis. Harusnya udah kenyang dong ya nangisnya? Oh ternyata belum. Ketika ditinggal aa yang pergi kerja dan sekarang di rumah sendirian, langsung kepikiran lagi dan yes, sedih lagi. Kerja depan laptop sambil nangis. HAHAHAAA kelakuan si megan menjelang datang bulan memang agak random sih.
Entah gimana, lagi ngerasa capek banget aja. Terutama ketika mikirin disertasi yang udah 4 tahun ga selesai-selesai. Gilak sih ngerjain disertasi 4 tahun. Bandung Bondowoso aja ngerjain candi cuma semalem. Langsung kepikiran, apakah ada jin yang bisa bantu ngerjain disertasi? Hamba udah hopeless banget ini sumpah.
Hal lain ya tentu saja perkara kerjaan. Ada beberapa kerjaan freelance yang belum selesai tapi mager banget ngerjainnya. Pengen mulai ngajar lagi tapi juga takut nggak kuat sama tekanan kerja dan nggak betah sama lingkungan kerjanya, seperti yang pernah terjadi pada 2022 lalu. Tapi yahhh udah bosen banget merasa dianggap pengangguran sama orang-orang hanya karena nggak punya profesi yang "mentereng" (kalau freelancer dan ketua yayasan, nggak bisa dianggap profesi). Ego dan harga diriku sering terluka ketika ada yang nanya, "Megan nggak kerja?". PADAHAL HAMBA KERJA LHOOOO. Atau ketika pagi-pagi udah siap mau ke TK, masih juga ditanya, "Megan emangnya mau kemana?". YA KEMANA LAGI KALO BUKAN KERJA?
Apakah aku harus daftar CPNS lagi tahun ini dan apply formasi dosen seperti sebelumnya? Biar ketika orang-orang tanya, "Megan kerja di mana?", aku bisa mantap jawabnya. Biar nggak ada lagi yang mempertanyakan, aku kerja atau ngga, karena itu cuma melukai harga diriku, bikin aku ngerasa useless dan nggak dianggap.
Mungkin harusnya aku nggak ngerasa tenang dan bahagia dengan pekerjaan sekarang. Mungkin harusnya aku kayak orang-orang, kerja senin-jumat 8 jam sehari penghasilan 2 digit sebulan. Mungkin harusnya aku nggak perlu mikirin kesehatan mentalku gimana, biar aja jadi gila sekalian walaupun harus tersiksa sama kerjaan yang nggak bikin aku nyaman.
Aku cuma lagi berusaha hidup bahagia dengan cara terbaik yang aku bisa. Bolehkah kasih aku sedikit ruang?
0 notes
Text
Disertasi adalah jalan panjang yang teramat sepi.
5 notes
·
View notes
Text
Tugas
Ayah & Ibu subuh-subuh sudah sibuk di dapur. Lalu terdengarlah percakapan ini..
Ayah: *sambil siap-siap mencuci piring* "Tugas suami mencuci piring."
Ibu: "Kalau tugas istri?"
Ayah: "Taat pada suami."
Ibu: "Jadi kalau istri nyuruh cuci piring?"
Ayah: "Suami harus mau, karena itu tugasnya."
Me: *Ngakak di ruang keluarga*
0 notes
Text
Badai terhebat kadang tidak harus selalu diterjang, tapi boleh ditunggu sampai mulai mereda.
0 notes
Text
Titik Terendah
Semalam mendapat cerita tentang seorang ibu yang mengeluhkan kehidupannya saat ini, hingga terpikir ingin mengakhiri hidup.
Dia punya tiga anak lelaki berusia 8, 4, dan 2 tahun. Ketiganya masih butuh biaya cukup besar untuk kesehariannya. Pendidikan, makan, jajan, susu, popok. Sayangnya, semua kebutuhan itu sulit terpenuhi karena suaminya bekerja sebagai driver ojek online di kota besar, dan penghasilan sebagai driver terkadang hanya cukup untuk makan dihari itu. Sementara dia sendiri tidak bekerja karena memutuskan mengasuh semua anaknya tanpa bantuan pengasuh.
Saat ini ia, suami, dan anak-anaknya tinggal bersama orang tuanya yang sudah tidak berpenghasilan. Satu rumah juga dengan adik lelakinya yang sudah bekerja. Tapi bukannya mendapat dukungan untuk melewati berbagai kesulitan yang ia hadapi, orang tuanya selalu memojokkan dia untuk segala kesusahan yang tengah dialaminya saat ini.
Hingga akhirnya, dia bercerita pada orang yang dipercayainya bahwa ia ingin menyerah. Keputusan untuk bunuh diri selalu terbayang dibenaknya.
Bukannya ditolong, orang-orang sekitarnya yang tau hal tersebut malah makin memojokkan dia karena perasaan itu. Karena keinginan untuk menyerah. Padahal disepanjang hidupnya, sebagai anak perempuan pertama, yang selalu ia utamakan adalah keluarganya. Tidak peduli seberapa lelah, ia terus bergerak untuk menjamin kebahagiaan orang tua dan adik-adiknya. Sampai di titik ia tidak lagi berdaya, semua orang masih saja berharap ia sekuat biasa.
"Kenapa menyerah sih?", "Kok nggak berusaha kreatif buat menghasilkan uang biar suaminya juga termotivasi kerja lebih keras?", "Orang lain juga ada yang lebih susah kondisinya tapi bisa melewati itu, kenapa dia nggak bisa?".
YA KARENA DIA ADALAH DIRINYA SENDIRI DAN BUKAN ORANG LAIN.
Betul, dia harusnya nggak menyerah. Tapi apa dia nggak boleh merasa lelah saat telah lama berada di titik terendah? Bolehkah ada seseorang yang bisa bantu dia memvalidasi perasaannya dan bukan menghakimi apa yang ia inginkan saat ini? Mengatakan kalau dia boleh berhenti sebentar, bahkan untuk sekedar bernafas. Bahwa menjadi lemah bukanlah dosa. Bahwa tidak apa-apa merasa kalah, akan selalu ada kesempatan untuk mencoba lagi. Bahwa sekalipun ia mesti bertahan, itu bukan demi orang tua, suami, atau anak-anaknya, tapi DEMI DIRINYA SENDIRI.
Mungkin yang paling ia inginkan saat ini adalah didengar dan dipahami, sesuatu yang tidak dapat diberikan orang-orang di sekitarnya karena terlalu terbiasa melihat dia jadi yang paling bisa diandalkan.
Memang terkadang, kita dan pikiran kita yang merasa paling benar tidak mampu menjangkau perasaan orang lain.
0 notes
Text
Memilih Duka
Setelah begitu banyak hari dilewati untuk saling memahami
yang aku temukan hanyalah kita yang memilih jalan berbeda
Kamu bilang, tapi cinta masih sama
Namun cinta dan sekedar terbiasa memang kadang nampak serupa
Setelah begitu banyak hari dilewati untuk saling memahami
Bolehkah aku menolak untuk lebih banyak terluka?
Bisakah aku memilih kehilangan sebagai obatnya?
Aku lebih dari tahu bahwa dukaku kadang tak sesuai seleramu
Tapi inilah aku yang tak lagi ingin menolak alpa dari derita
Memilih duka yang masih bisa kutakar penawarnya
Kini, dari semua rencana kepergian yang pernah tertunda
biar aku tuntaskan salah satunya
Dan semoga usahaku tetap hidup tidak lantas membunuhmu
0 notes
Text
Tapi masalahnya, rasa sayangmu sama seseorang bakal selalu bikin kamu begitu peduli sama dia. Sama kesehatannya, sama keperluannya, terlebih sama perasaannya.
1 note
·
View note
Text
Kala Hujan-6
April 2013
Jangan ajari Alan arti sabar, sudah lebih dari satu bulan ia menahan diri untuk bicara dengan Hujan yang masih dengan konsisten mendiamkannya. Sebelumnya, ia merasa sudah sangat mengenal Hujan, tapi kali ini ia jauh dari mengerti. Pada akhirnya Alan hanya diam di tempat, tidak mencoba dekat ataupun pergi. Hujan sendiri terlalu gengsi untuk meminta Alan kembali. Bagi Hujan, ini masalah harga diri. Sementara untuk Alan, jaga jarak dengan Hujan adalah hal paling tepat yang bisa dilakukan lelaki sejati dalam situasi ini.
Karena itu, Alan makin sering menghabiskan waktu bersama teman-teman lainnya. Sabtu ini pun mereka berencana tracking ke Gunung Papandayan, menginap di sana barang semalam. Alan butuh waktu menjernihkan pikiran, melepaskan Hujan untuk sejenak, jadi ajakan itu mustahil ia lewatkan. Sementara Hujan, makin menyibukkan diri dengan kegiatan UKM Jurnalistik yang ia ikuti sejak tahun lalu. Setiap hari pulang larut malam karena harus kuliah dan meliput, kemudian menulis berita. Sampai di kostan hanya sempat mandi dan makan, lalu langsung tertidur lelap karena kelelahan. Tidak sempat untuk mengkhawatirkan hatinya sendiri.
Sabtu ini, Hujan tau Alan dan teman-temannya akan pergi naik gunung. Salah satu anggota rombongan yang akan berangkat mengajak Hujan ikut serta, namun Hujan menolaknya. Ia belum siap menghadapi Alan. Alhasil, agenda Hujan diakhir pekan hanyalah menghabiskan waktu di kostan, dengan setumpuk bacaan yang sudah ia siapkan hasil meminjam dari perpustakaan. Menjelang sore, Hujan menyalakan televisi, mencari channel berita. Seorang jurnalis tidak boleh ketinggalan isu-isu terkini, menurutnya. Hingga muncullah berita tentang bencana kebakaran hutan di Gunung Papandayan. Kebakaran tersebut baru saja terjadi, dan yang ada dipikiran Hujan hanyalah Alan. Refleks Hujan mengambil handphone dan menelepon nomor Alan. Tapi tidak ada jawaban. Hujan berusaha menelepon teman-teman lainnya, tapi nihil. Tak satupun bisa dihubungi. Yang kemudian terlintas dipikiran Hujan adalah Keenan.
"Halo, Keenan."
"Ya?"
"Help."
"Ann? Are you ok? Tenang dulu. Ada apa?"
"Alan. Papandayan. Kebakaran," jawab Hujan terbata.
Tanpa perlu penjelasan lebih lanjut, Keenan memahami perkataan Hujan. Ia tau Alan dan teman-temannya tengah mendaki sejak pagi ini. Dan... Papandayan, kebakaran, tak elak ia membayangkan hal-hal buruk terjadi.
"Kamu di mana?"
"Kostan."
"Kamu siap-siap. Aku ke sana sekarang, jemput kamu."
Bermodalkan mobil pinjaman salah seorang teman, Keenan dan Hujan berangkat menuju Garut. Sebagai ketua angkatan, Keenan merasa perlu memastikan kondisi teman-temannya. Tapi sebagai mantan, entah kenapa Keenan ingin membantu Hujan memastikan kondisi pria yang secara tidak sadar sangat disayanginya.
Dalam perjalanan sejauh 96 KM dengan waktu tempuh lebih dari 3 jam, Keenan dan Hujan tak saling bicara. Menjelang maghrib keduanya baru tiba di pos pertama. Berkat berita kebakaran sore tadi, situasinya jadi cukup ramai. Keenan dan Hujan turun dari mobil dan bergegas menuju pusat informasi. Namun sayang, informasi yang mereka dapatkan hanya sebatas, 'rombongan teman-temannya belum kembali karena tidak ada satupun laporan tentang mereka sampai saat ini'. Hujan merogoh handphone dari dalam tas, berusaha menghubungi Alan, lagi. Tapi gagal. Ia sendiri kesulitan mendapat sinyal. Kondisi itu hanya membuatnya makin frustrasi.
"Tenang. Kita tunggu dulu. Mungkin mereka dalam perjalanan turun," Keenan berusaha menenangkan.
"Tapi sekarang sudah hampir malam, Nan. Gimana kalau ternyata mereka terjebak di sana karena asap?"
"Mereka bakal baik-baik aja. Percaya sama aku."
"Nan, kita nggak bisa ke atas aja, ya? Minta izin, Nan. Kita harus cari mereka."
"Nggak bisa, Ann. Bukan gitu cara kerjanya."
"Tapi mereka nggak bisa dihubungi. Sampai sekarang belum ada kabarnya. Nan, kalau mereka kenapa-napa gimana?" Hujan mulai menangis, membayangkan hal buruk menimpa Alan membuat hatinya nyeri.
"He's gonna be okay. I promise," Keenan mengelus bahu Hujan. Melihat Hujan menangisi pria lain bukan sesuatu yang ingin ia hadapi saat ini, tapi kakinya menolak pergi.
Satu jam. Dua jam. Hari sudah gelap. Tidak satupun wajah dari teman-temannya yang terlihat di antara rombongan pendaki yang turun gunung.
"Kamu tunggu aja di mobil. Aku keluar sebentar cari informasi."
Hujan hanya mengangguk setuju.
Keenan berjalan menuju pos informasi, sampai kemudian, Keenan melihat seseorang yang ia kenal. Diki, teman sekelas Hujan.
"Diki!" Panggilnya lantang sembari berlari.
Mendengar namanya dipanggil, Diki menoleh. "Lho, kok ada di sini, Nan?"
"Gua liat di berita, terus buru-buru ke sini bawa mobil. Kalian gimana?" Keenan menepuk-nepuk bahu Diki dengan raut khawatir.
"Kami berhasil turun, tapi Alan..." kalimat Diki menggantung.
"Alan kenapa?"
"Kakinya terkilir karena jatuh saat berusaha lari. Makanya kami butuh waktu cukup lama buat turun dari lokasi camp ke sini."
"Oh, God. You scared me," Keenan menghela nafas lega.
"Yang lain di pos, buat laporan. Alan lagi diobati di ambulan sebelah sana," Diki menunjuk salah satu ambulan tak jauh dari pusat informasi.
"Syukurlah kalau kalian baik-baik aja. Ann di sini, biar gua antar dia ketemu Alan dulu, ya."
"Ok. I'll see you later."
Keenan bergegas menghampiri Hujan, "Mereka selamat."
"Really? Oh thanks God. Mereka di mana sekarang?"
Tanpa menjawab, Keenan membuka pintu mobil, menarik lengan Hujan, membawanya bertemu Alan.
Alan masih berada di ambulan. Kakinya hampir selesai dibebat oleh salah seorang perawat. Hujan yang melihat Alan lantas berlari menghampiri. Di detik yang sama, genggaman tangan Keenan terlepas dan langkahnya terhenti.
"Alan!" panggil Hujan dari kejauhan.
"Hujan?"
Sesampainya di hadapan Alan, yang Hujan lakukan hanya satu, memeluknya.
"I'm okay," kata Alan setelah beberapa saat.
Hujan melepas pelukannya. Matanya memerah, hidungnya basah, pipinya sudah dibanjiri air mata.
"Jelek banget ya kamu kalau lagi nangis," canda Alan sambil tertawa. Satu tangannya mengelus kepala Hujan.
"Kamu nggak apa-apa? Yang lain mana?"
"Kakiku cuma terkilir. Yang lain aman. Mereka lagi laporan di pos. Kamu kok bisa ke sini?"
"Sama gua, Lan," jawab Keenan sambil berjalan menghampiri.
Alan tak mampu mengantisipasi situasi ini, jadi ia tak bisa merespon dengan kata-kata, hanya wajahnya yang menyiratkan kebingungan.
"Syukur kalian nggak apa-apa. Kami khawatir banget waktu dengar beritanya."
"Thank you, anyway."
"Well, gua ketemu anak-anak dulu ya," Keenan meninggalkan Alan dan Hujan.
"Kok bisa sama Keenan?" tanya Alan setelah memastikan Keenan menjauh.
"Kalian sama sekali nggak bisa dihubungi, satu-satunya yang terpikir cuma Keenan. Setelah aku telepon dia langsung jemput dan ngajak aku ke sini."
"Kupikir dia marah sama aku."
"Mungkin dia ke sini buat mastiin kondisi anak-anak sebagai ketua angkatan."
"Kamu udah nggak marah sama aku?"
"Gimana bisa aku marah saat yang aku bayangin adalah kamu terjebak di atas sana tanpa bantuan?"
Alan tersenyum lembut, "Aku kehilangan kamu. Kangen kita yang dulu," pinta Alan dengan wajah memelas.
Hujan ingin bilang, 'Aku juga kehilangan, kangen kamu, tapi bukan lagi sebagai teman.'
Otak dan hatinya tidak sedang selaras, jadi yang terucap dari mulut Hujan hanya, "Aku juga."
Alan tersenyum, satu tangannya refleks merengkuh Hujan dalam dekapan. Antara lega atau semakin mempertegas luka, Alan tidak peduli. Ia hanya ingin Hujan ada, entah dengan status apa. Pintanya saat ini hanya untuk bersama Hujan, selama yang ia bisa usahakan.
Dari kejauhan, Keenan menyaksikan bagaimana Hujan dan Alan berbaikan. Meskipun sudah berstatus mantan, ada perasaan tidak rela yang mencuat ke permukaan. Namun Keenan juga sadar, bahwa sejak awal, melepaskan Hujan adalah jenis kekalahan yang tidak bisa ia tawar.
Rangkasbitung, 6 Maret 2024
Find the previous story here:
3 notes
·
View notes
Text
Kala Hujan-5
Maret 2013
Hujan kira, Keenan akan seperti pria-pria sebelumnya yang hanya singgah dan kepergiannya tak bisa dicegah, lalu bisa Hujan lupakan dengan mudah. Ternyata tidak. Hujan tidak pernah menduga bahwa akan ada saat di mana pria yang membuatnya merasa jatuh cinta juga bisa meninggalkan luka saat kebersamaan mereka telah tiada. Seperti saat Keenan melangkah pergi tanpa pernah menoleh lagi.
Ini sudah bulan ketiga. Hujan masih sering berpapasan dengan Keenan pada beberapa kesempatan. Di lorong kelas, di kantin, di parkiran, di perpustakaan, di jalanan, pertemuan mereka nyaris tak terhindarkan. Keenan tak pernah sengaja menghindar, namun ia memperlakukan Hujan seperti kasat mata. Dan bagi Hujan, melihat Keenan nyaris setiap hari tak pernah tidak membuat hatinya nyeri.
Alan menyaksikan sendiri bagaimana Hujan menghadapi dampak perpisahannya kali ini. Hujan tak seperti biasanya. Hujan terluka, tapi tak berusaha untuk sembuh. Ia terjebak dalam perih yang dipelihara dalam hatinya. Alan tak berani bertanya, hanya menebak-nebak alasannya.
Siang ini, kelas terakhir dibatalkan. Alan berencana mengajak Hujan makan siang bersama, lagi. Entah ini kali keberapa, tapi untuk hari ini Alan tidak mengharapkan penolakan lainnya. Ia butuh bicara.
"Hujan," panggil Alan.
"Ya?" jawab Hujan sambil sibuk membereskan buku dan laptopnya ke dalam tas.
"Lunch? With me?"
Pergerakan Hujan terhenti. Ia nampak berpikir, kemudian menjawab, "Sure."
Alan mengajak Hujan makan siang di kafe dekat gerbang kampus. Alasannya sederhana, ada jus stroberi favorit Hujan di sana, Alan berharap itu bisa sedikit menjadi penghiburan bagi Hujan yang selalu mendung akhir-akhir ini.
"Susah banget ngajak kamu makan siang bareng, berasa temenan sama seleb nih jadinya," canda Alan membuka percakapan.
"Maaf ya, Lan," jawab Hujan murung. Ia bahkan tidak berusaha untuk berpura-pura baik-baik saja di depan Alan.
"Kamu masih sedih putus sama Keenan?"
Hujan menghela nafas, "Nggak tau. Awalnya terasa lega, tapi lama-lama rasanya hampa."
"Kupikir kamu selalu punya cara untuk sembuh?"
"Kukira juga begitu. Sebelumnya selalu mudah, mungkin karena terasa hanya seperti sedang membuang sampah."
"Dan sekarang?"
"Sampahnya aku sendiri, Lan," jawab Hujan sembari tersenyum getir.
Alan tidak bertanya lagi. Tapi kali ini ia tau satu hal, Hujan menyesal, entah karena apa.
TRINGGG...
Terdengar dering lonceng tanda pintu kafe terbuka. Pandangan Alan refleks tertuju ke arah pintu masuk tak jauh dari tempat duduknya. Keenan melenggang masuk dan langsung menuju konter pemesanan.
"Keenan di sini. Are you okay? Should we go?" Alan bertanya dengan nada sepelan mungkin.
"Di mana?" Hujan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe dan menemukan sosok yang ia cari. Keenan berdiri di depan konter menunggu pesanannya disajikan. Mengenakan kemeja lengan pendek berwarna hitam dengan kancing yang dibiarkan terbuka, inner putihnya nampak serasi dengan kemeja hitam dan celana jeans warna dark denim dan ransel hitam yang ia selempangkan asal-asalan. Tubuh tingginya menjulang dengan punggung tegap dan bahu lebar. Keenan tetap tampan bahkan saat sudah berstatus mantan, pikir Hujan. Untuk sekian detik, Hujan hanya terdiam melihat Keenan di kejauhan. Sampai kemudian mata Keenan menemukan Hujan yang tengah memandanginya. Hujan refleks menunduk. Ia tau, tidak ada yang bisa ia lakukan. Keenan bahkan tak sudi menganggap dirinya ada.
Di luar ekspektasi, Keenan datang menghampiri. Tanpa sadar, Alan menegapkan posisi duduknya, seolah siap pasang badan seperti Keenan adalah ancaman.
"Hai," sapa Keenan singkat.
"Hai," Hujan menjawab pelan.
"On a date?"
"Iya," jawab Alan cepat.
Mata Hujan membelalak, lantas lekas mengoreksi, "Hah? Nggak."
Keenan menunjukkan ekspresi bingung.
"Ada perlu apa ya?" Alan bertanya tenang.
"Oh, nggak. Just wanna say hi, since we're friends."
"Nan, we're not on a date," Hujan masih berusaha meluruskan kesalahpahaman.
Sambil tersenyum, Keenan menjawab dengan nada menyindir, "But you look good together. Congrats."
"Thank you. Tapi kayaknya kami harus pergi duluan, ada keperluan lain," Alan berdiri, mengambil tasnya dan menarik Hujan untuk mengikutinya. Meninggalkan Keenan yang belum beranjak. Hujan yang tidak berniat menimbulkan huru-hara hanya bisa pasrah mengikuti.
Setelah agak jauh dari kafe, di taman yang cukup sepi, Hujan berusaha melepaskan pegangan Alan, "Lepas! Kamu apa-apaan sih?"
Alan ikut terhenti. Berbalik dan memandangi Hujan yang nampak marah.
"Aku cuma nggak mau kamu terluka."
"Perasaan aku bukan tanggung jawab kamu. Sekarang, gara-gara kamu Keenan jadi makin salah paham tentang hubungan kita."
"Makin salah paham? Maksud kamu?"
Hujan ragu, tapi akhirnya menjawab, "Keenan minta putus karena kamu."
"Tunggu. Kenapa aku?"
"Dia kira ada sesuatu antara kita."
"Lalu?"
"Dia minta aku berhenti berteman sama kamu. Tapi..."
Alan menunggu.
"Tapi aku nggak mau."
"Kenapa?" kejar Alan.
"Aku... Aku cuma nggak mau kehilangan kamu."
Sepintas, Alan teringat Mentari, bagaimana Mentari bisa melihat betapa ia mencintai Hujan. Sekarang, ia tau Keenan bisa melihat hal yang sama. Satu-satunya yang tidak menyadari itu hanya orang yang sangat perlu tau perasaan Alan. Hujan.
"Tapi akhirnya kamu kehilangan Keenan. Are you okay with that?"
Hujan tidak menjawab.
"Ternyata aku nggak baik-baik aja tanpa Keenan."
"Lantas?"
"Aku juga nggak tau, Lan. Aku bingung."
"Sekarang kamu berharap aku berbuat apa disituasi ini?"
Seperti saat menghadapi pertanyaan Keenan, Hujan hanya bisa tertunduk tanpa jawab. Saat bersama Keenan, ia takut kehilangan Alan. Sekarang, di depan Alan, ia dengan lantang menyatakan penderitaannya berpisah dari Keenan.
"Aku butuh waktu sendiri." Lalu Hujan bergegas pergi.
Alan mematung. Ia bisa melihat kemarahan, kebingungan, bercampur kecewa di mata Hujan. Sesuatu yang jarang ia lihat. Sesuatu yang tidak bisa ia antisipasi dengan reaksi apapun. Memang ada hal yang masih tidak ia ketahui, tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk mencari. Hujan butuh waktu, dan ia hanya perlu bersabar untuk itu.
Rangkasbitung, 30 Januari 2024
Find the previous story here:
0 notes
Text
Kita bisa merencanakan segala hal, mengusahakannya, mengharapkannya jadi nyata meski lama. Tapi satu yang tidak berada dalam jangkauan kita, takdir.
1 note
·
View note
Text
Surat yang Tidak Akan Pernah Sampai
Apa kabar kamu? Aku hanya mencoba menyapa seperti sapaan pembuka surat pada umumnya. Selain itu, lama tidak berjumpa membuatku wajar bertanya kabar, bukan? Kabarku baik. Jauh lebih baik dari yang bisa aku harapkan. Kamu tahu, sejak dulu aku memang tidak pandai berharap pada apa-apa yang tidak pasti, dan kamu adalah salah satu ketidakpastian itu sendiri. Sudah berapa lama, ya? 8 tahun? Semoga kamu tidak lagi bertanya-tanya tentang kekitaan kita yang saat itu tiba-tiba tiada. Dengan surat ini, aku hanya ingin kamu tahu, aku sudah bahagia, dan kuharap kamu juga. Kita sudah banyak terluka, saatnya berhenti lupa cara menyayangi diri sendiri. Aku sudah bersama seseorang, bukan penggantimu. Tidak ada yang bisa menggantikan kamu. Dia berbeda. Dia tidak menjadikan dirinya alasan kebahagiaanku, tapi mengajariku cara berbahagia. Hingga saat dia tak lagi ada, aku tidak kehilangan segalanya. Dia sebuah ketidakpastian. Tapi dia adalah ketidakpastian yang tidak membuatku menunggu. Maaf untuk masa lalu. Terima kasih telah jadi bagian dari masa itu dan tetap ada di sana. Kuharap bahagia tidak pernah meninggalkanmu, cukup aku. Yang tak lagi menunggu kamu, Megandari
Randomly menemukan tulisan ini. Tulisan yang dikirim buat event menulis dari salah satu penerbit indie bulan Mei lalu, dengan tema "Surat: Untuk yang Telah Pergi". Karena ngga menang, at least bisa debut di sini lah yaaa.
0 notes
Text
Rahmat Semesta
hari ini ketemu salah seorang saudara jauh yang kebetulan sedang berkunjung karena urusan pekerjaan. sebut saja tante Y. tante Y ini sudah menikah puluhan tahun dan tidak dikaruniai keturunan hingga memasuki masa menopausenya, yang artinya nyaris mustahil kalau sekarang masih berharap punya keturunan. aku tau cerita itu sejak lama, dan dari dulu selalu merasa bersimpati sama beliau dan suaminya. kasian banget yaa, pikirku.
sampai aku mengalaminya sendiri.
ternyata ngga punya anak tuh ya ngga kasian-kasian amat. tanteku dan suaminya ini punya karir yang oke. financially stable karena dua-duanya punya jabatan mentereng di tempat kerjanya masing-masing. hidup mereka ga sesedih yang dibayangin orang-orang, termasuk aku.
hari ini, aku dapat cerita lain tentang tante Y. ternyata sekarang beliau ngurus beberapa saudaranya. di rumahnya ngga cuma berdua, tapi ada adik iparnya yang bawa dua anak, ada keponakannya yang lain juga dari adiknya yang sudah meninggal. semua tinggal di rumahnya, dicukupi kebutuhan-kebutuhannya sama beliau dan suami. ahh, hebat sekali.
mungkin rejeki tante Y bukan datang dalam wujud anak, tapi dalam bentuk yang lain. kemampuan untuk memberi, membantu saudara-saudaranya. dan itu hal yang luar biasa.
sebagai manusia, bukankah menjadi rahmat bagi semesta juga sangatlah berharga?
4 notes
·
View notes
Text
kalau kamu tidak terlalu berharga, memang lebih mudah bagi orang lain memperlakukanmu semena-mena.
2 notes
·
View notes
Text
Tuhan, kalau sudah dihajar kesulitan sebegini banyak, aku nanti dapat banyak kesenangan juga kan ya?
6 notes
·
View notes